18 Agustus 2007

Kebutuhan untuk Membangun Dewan Mahasiswa sebagai Alat Politik di Kampus

Gusti Galuh Ratna Sari*


Situasi nasional dan deindustrialisasi
Memburuknya situasi sosial di negara-negara berkembang saat ini sangat terkait dengan krisis yang dialami oleh imperialisme, keterpurukan negara-negara berkembang ini adalah ekses dari penerapan agenda neoliberalisme sebagai jalan keluar dari krisis imperialisme. Neoliberalisme sama sekali tidak mau menyisakan sedikitpun ruang bagi rakyat untuk bisa mencari penghidupannya, segala aspek ia kuasai dan ia gunakan semaksimal mungkin untuk menambah akumulasi capital meski dengan mengorbankan milyaran rakyat di dunia.
Program-program neoliberalisme yang dijalankan pemerintah kita atas keinginan imperialisme ini menghasilkan deindustrialisasi secara nasional (matinya produktifitas rakyat secara massal) dan kebangkrutan negara karena tidak memiliki sumber pemasukan yang maksimal, betapa tidak, neoliberalisme memprivatisasi semua hajat hidup publik (komunikasi, perhubungan, pertambangan dan industri-industri lain), memberikan upah buruh yang rendah dan mencabut subsidi-subisidi yang sangat vital bagi perkembangan produktivitas rakyat (pendidikan, kesehatan, bahan bakar dll). Ditengah situasi dimana semua barang dan akses sangat mahal, rakyat juga tidak diberikan kesempatan untuk berproduksi. Konsekwensi logisnya adalah krisis kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, meluasnya kemiskinan dan ketidakmampuan rakyat dalam memberdayakan dirinya untuk bangkit menjadi sebuah bangsa yang besar dihambat oleh pemerintah kita sendiri. Subsidi energi (BBM, listrik, gas, air), pendidikan, kesehatan, perumahan, telekomunikasi adalah penting untuk pertumbuhan dan perkembangan kapital sosial sebagai prasyarat untuk membangun industrialisasi nasional yang modern.
Pencabutan subsidi terhadap pendidikan yang bahkan sudah diatur dalam konstitusi sebanyak 20% saja tetap tidak mau direalisasikan oleh pemerintah, pemerintah juga secara sembarangan melakukan privatisasi terhadap istitusi-institusi sekolah dan kampus dengan menggunakan legitimasi RUU BHP dan UU sisdiknas yang tendensinya sangat anti rakyat(komersialisasi), kurikulum yang anti realitas serta menempatkan pelajar dan mahasiswa sebagai calon buruh-buruh murah yang kembali pada kepentingan imperialisme itu lagi.

Hasil dari kemerosotan kesejahteraan rakyat secara umum serta kebijakan anti rakyat dari pemerintah ini tentunya juga berdampak langsung kepada system dan kehidupan pendidikan yang kini menjadi problem pokok yang dihadapi mahasiswa sekarang. System pendidikan yang dibangun sedemikian rupa mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan kepada level yang sangat rendah, kurikulum yang anti realitas dan system pendidikan monologis atau dalam istilah Paulo friere disebut sebagai pendidikan gaya bank juga masih dominan dalam dunia pendidikan kita. Rendah dan minimnya sarana infrastruktur pendidikan juga merupakan persoalan yang berawal dari lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan infrastruktur yang cukup dan memadai untuk peserta didik, ditambah lagi dengan adanya privatisasi dimana pengelolaan pendidikan diserahkan kepada pihak swasta, akan menambah deretan potret buram dunia pendidikan yang akan berakibat pada melambungnya biaya kuliah yang tidak bisa terjangkau oleh mayoritas rakyat.


Jalan keluar dalam aspek pembiayaan untuk pembangunan produktifitas rakyat

Bagaimana mengatasi persoalan mahasiswa yang tidak terlepas dari problem keseluruhan rakyat ini? Untuk membangun bangsa yang besar dan produktif, kita harus mampu memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki terutama modal untuk pembangunan basis produktifitas rakyat itu sendiri. Maka dari itu maksimalisasi untuk pembiayaan mengharuskan kita untuk segera mengambil sikap dengan merebut kembali industri pertambangan (estratif) kita yang sudah jatuh ketangan asing melalui nasionalisasi dan berani mengupayakan penghapusan hutang walaupun harus dilakukan secara sepihak karena selain hasilnya hanya dinikmati para koruptor terutama soeharto dan kroninya, beban utang luar negeri ini juga sangat membebani APBN dan selalu menjadi alasan pemerintah untuk mengatakan “kas negara sedang kosong sehingga tidak ada alokasi untuk subsidi kebutuhan rakyat”. sedangkan legitimasi negara dalam bentuk perundang-undangan untuk mempraktekkan neoliberalisme dunia pendidikan ini maka UU, RUU, PP atau Permen yang tidak berpihak pada peserta didik harus ditolak dan dicabut.

Apa yang harus dilakukan

Sistem perpolitikan yang timpang didalam kampus, misalnya antara birokrat dan mahsiswa bukanlah suatu hal yang kebetulan, situasi ini sudah sedemikian rupa dibuat untuk membatasi ruang gerak mahasiswa untuk bisa secara legal memperjuangkan hak-hak sejatinya. Maka dari itu metode perjuangan yang dapat dilakukan oleh mayoritas mahasiswa yang selama ini terus diposisikan sebagai sasaran kebijakan adalah dengan membangun kekuatan yang diisi oleh individu dan organisasi mahasiswa yang bersama-sama dengan intelektual progresif yang juga sudah melihat adanya kebutuhan untuk mendapatkan posisi tawar yang ideal bagi mayoritas untuk menghadapi arogansi dari birokrat sebagai agen neoliberal dilingkungan kampus. Dengan adanya pemahaman bahwa mayoritas (mahasiswa) adalah sejatinya decision maker maka kebutuhan untuk membangun sebuah alat politik mahasiswa yang solid, terstruktur dan memiliki kapasitas yang ideal adalah satu kemendesakan, dimana situasi ini menjadikan dewan mahasiswa sebagai harga mati untuk pembukaan ruang demokrasi yang sejati di dalam kampus dan alat politik yang paling memiliki kapabilitas dalam mengkampanyekan program-program kerakyatan lainnya yang sejatinya adalah bagian dari kepentingan dunia pendidikan itu sendiri.

Long Live Socialism!!!

*Dept Hubungan Intenasional LMND





0 komentar: