05 September 2007

IMPERIALISME DI INDONESIA DARI MASA KE MASA

Oleh : Egalite
Sejak jaman dahulu kala, Indonesia, atau dulu dikenal sebagai kepulauan Hindia Timur, diketahui memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah ruah baik botani, geologi maupan kelautan. Hutan- hutan di Indonesia selain penting bagi eksosistem global, juga merupakan komoditas penting bagi pasar dan industri. Hal itu disebabkan kesuburan tanah di Indonesia yang banyak mengandung zat-zat dan mineral yang sangat berguna untuk pertumbuhan dan kesuburan tanam-tanaman. Pulau Jawa misalnya dikenal sebagai salah satu tanah tersubur di dunia. Pertanian Indonesia, selain menghasilkan padi sebagai bahan makanan pokok penduduknya, juga menghasilkan rempah-rempah seperti cengkeh, lada, pala, ketumbar, kayu manis, yang sangat diminati pasar dunia. Hasil pertanian lainnya yang juga sangat diminati pasar antara lain adalah tembakau, teh, kopi, gula, karet alam, kopra, kelapa sawit, kina, sisal, tumbuh subur di bumi negeri ini. Perut bumi Indonesia, baik di daratan maupun di dasar laut, mengandung banyak pendaman berharga sperti minyak bumi, gas alam, timah tembaga, nikel, emas dan sebagainya. Sejak OPEC (Organisation of Petroleum Exporting Coutries) didirikan, Indonesia menjadi anggota organisasi ini dengan kuota consensus sebesar 1,5 juta barel per hari. Selain itu Indonesia meiliki posisi strategis yang sangat signifikan dalam perdagangan, antara lain karena letaknya yang menjembatani benua Asia dengan Australia.

Imperialisme Klasik : masa kolonial

Rupanya aroma rempah-rempah dari kepulauan Hindia Timur ini tercium jauh hingga ke benua Eropa. Dan inilah awal bencana di negeri ini. Cristopher Columbus dari Spanyol penasaran untuk berlayar mengarungi samudera demi mencari negeri ini. Namun ia tersesat sangat jauh ke Amerika yang disangkanya Hindia. Pada tahun 1292, penjelajah dari Italia bernama Marcopolo pernah singgah di negeri ini. Pada tahun 1496, orang-orang portugis datang ke kepulauan Maluku untuk berdagang, menginjil, dan merampok rempah-rempah. Untuk tiga tujuan itu mereka mengadu domba raja-raja yang beragama Islam dengan yang beragama Hindu. Selagi pedagang perampok dari Portugis berulah, datang pula orang-orang Spanyol pada tahun 1512. mereka adalah “Columbus-columbus yang terlambat menemukan” Indonesia. Untuk menguasai negeri ini mereka mengadakan persekutuan dengan raja Tidore yang ketika itu sedang berjuang melawan pedagang perampok Portugis yang bersekutu dengan raja Ternate. Konflik antar elit-imperialis ini menimbulkan perpecahan dan korban pada rakyat pribumi biasa yang sebagian besar adalah petani rempah itu. Rakyat pribumi yang menjual rempah kepada Spanyol dibantai habis oleh pihak lawannya, demikian pula sebaliknya. Bantai-membantaipun terjadi. Kampung-kampung dibakar habis, penduduk tua-muda dibunuh, permpuan-perempuan diperkosa. Akhirnya, aroma rempah-rempah itu berubah menjadi bau darah, api, mesiu dan bangkai. Dua pedagang perampok dari dua negeri Eropa itu saling berperang, melibatkan penguasa-penguasa local, dan mengorbankan rakyat pribumi. Spanyol kalah, dan akhirnya setelah menerima ganti rugi dari Portugis sebesar 350000 Crusado, mereka hengkang dan memilih focus pada penaklukan-perampokan Filipina. Patung-patung, benteng-benteng, lukisan-lukisan tua di Maluku bisa menjadi saksi tentang masa-masa kegelapan itu.

Neraka rakyat di bumi nusantarapun berlanjut. Pada tanggal 22 Juni 1596, sebuah armada yang terdiri dari 4 buah kapal perompak dari negeri Belanda di bawah pimpinan Cornelius Houtman membuang jangkar di pelabuhan Banten. Selain mendarat di pulau Jawa, pedagang perampok Belanda ini kemudian juga mendarat di pulau-pulau lainnya di Nusantara termasuk Maluku yang saat itu dikuasai Portugis. Konflikpun terulang lagi. Rakyat pribumi jadi korban lagi. Kali ini Portugis kalah dan hengkang diganti penguasa baru yang wilayah kekuasaannya tidak hanya Maluku, tapi (kemudian) seluruh Nusantara.

Pada tahun 1602 di negeri Belanda, dibentuklah sebuah perkumpulan dagang yang terdiri dari sejumlah pengusaha dan perwira yang diberi nama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie = Perkumpulan Perkongsian Dagang Hindia Timur) dengan tujuan menggeser monopoli Portugis atas rempah-rempah Indonesia ke tangan pedagang perampok Belanda. Selain mematahkan monopoli Portugis dengan jalan merampok, VOC juga melakukan akumulasi capital secara primitive. Artinya, capital itu membengkak tidak secara modern, yaitu karena nilai tambah dari produksi dan perdagangan, tapi secara primitive, yaitu perampokan absolute. VOC melakukan “hongitochten” (mars hongi) ke Indonesia bagian timur. Dengan kapal-kapal hongi yang sangat laju, VOC menyerang, merampok, menangkap, menyiksa dan menyembelih penduduk. Penduduk pulau Banda misalnya, hampir seluruhnya musnah dibantai. ‘Hongitochten’ ditujukan untuk memusnahkan pohon-pohon cengkeh di pulau-pulau luar Ambon guna mendapatkan harga yang tinggi buat VOC.

Penumpukan capital melalui perampokan absolute juga dibangun di atas dua landasan penting. Pertama, system pajak tanah yang sangat tinggi, kedua, system jual paksa, dimana kaum tani dipaksa menjual sebagian hasil pertanian mereka kepada VOC dengan harga monopoli, artinya : harga ditentukan tidak oleh si penjual tetapi oleh si pembeli dan pula pembeli satu-satunya. Karena korupsi merajalela pada satu pihak dan perlawanan kaum tani pada pihak lainnya, akhirnya tahun 1800, VOC gulung tikar. Sejak itu hingga bulan maret 1942, operasi perampokan atas rakyat dan negeri ini dilakukan langsung dibawah otoritas pemerintah kerajaan Belanda. Otoritas pertama dipegang oleh gubernur jenderal dictator bernama Daendels. Pada masa pemerintahannya rakyat, Jawa dipaksa bekerja membangun jalan raya terpanjang di Indonesia sepanjang 1000km dari Anyer (Banten) hingga Panarukan (Madura), dengan upah sangat minim, bahkan ada yang tak dibayar. Banyak rakyat yang meniggal dalam melakukan kerja paksa itu.

Tidak hanya pedagang perampok dari Portugis, Spanyol, dan Belanda yang memperebutkan surga khatulistiwa ini, pedagang perampok dari kerajaan Inggrispun tak mau ketinggalan, walau hanya sementara waktu saja. Dari tahun 1811 hingga 1814 administrasi atas negeri jajahan ini berpindah tangan dari Belanda ke kerajaan Inggris. Itu adalah masa administrasi Letnan Jenderal ‘Sir’ Thomas Stamfort Raffles. Ini terjadi karena negeri Belanda diduduki oleh Perancis. Sekalipun Raffles mencoba melaksanakan politik persaingan bebas dan mengubah system ekonomi politik Belanda di negeri ini yang didasarkan pada system ‘lintah darat’ dan perampokan, namun esensinya adalah tetap penghisapan terhadap kaum tani tapi dalam bentuk lain. Pada masa administrasi Raffles yang singkat itu dikeluarkan sebuah dekrit yang mendera kaum tani, yang disebut “Domeinsverklaring”, dengan mana ditetapkan bahwa semua tanah adalah milik Negara (staatsdomein). Berdasarkan ini kaum tani dipaksa membayar pajak tanah yang sangat tinggi kepada Kerajaan Inggris, tanah yang mana sebelum imperialis-imperialis ini datang adalah milik rakyat pribumi negeri ini. Tingginya pajak tanah berkisar dari kurang lebih duaperlima hasil panen yang baik dan seperempat sampai sepertiga hasil panen yang kurang baik. Administrasi Raffles di Indonesia secara resmi berakhir pada tahun 1814 ketika kerajaan Inggris menandatangani pengembalian koloni-koloni Belanda setelah Perancis di bawah komandan Napoleon Bonaparte kalah perang.

Cultuurstelsel

Setelah menerima pengembalian koloni dari Kerajaan Inggris, pada tahun 1830 pemerintah Kerajaan Belanda atas prakarsa Van den Bosch memperkenalkan sebuah system baru bernama “Cultuurstelsel” (tanam paksa). Ini adalah suatu kultur penghisapan dan penindasan model baru yang lebih kejam dari model-model sebelumnya. Dalam system ini kaum tani tidak mempunyai kebebasan sama sekali. Kaum tani diwajibkan menanam tanaman untuk komoditi pasar Eropa seperti tebu, kopi, nila, kapas, tembakau. Petani juga diwajibkan menyerahkannya kepada pemerintah colonial dengan harga yang ditetapkan oleh colonial itu. Dalam prakteknya ‘cultuurstelsel’ telah mewajibkan kaum tani menanam sepertiga sampai duapertiga dan adakalanya seluruh sawahnya dengan komoditi pasar Eropa. Tenaga kerja untuk tanam paksa komoditi Eropa ini direkrut dan dimobilisasi secara masiv, jauh lebih banyak daripada padi. Hamparan padi yang luas itupun disulap menjadi perkebunan komoditi Eropa. Pajak tanah dinaikan lagi. Kelebihan hasil tanaman komoditi dan hasil penjualan padi (yang sudah semakin berkurang) tidak dikembalikan kepada petani, melainkan untuk membayar kekurangan pajak tanah. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani. Petani wajib mengantarkan hasil ke gudang-gudang tanpa dibayar. Selain itu para petani juga diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan umum seperti pembangunan benteng-benteng, tanpa bayaran. Pada masa itu banyak sekali jumlah rakyat yang mati kelaparan dan tertindas oleh cara kerja system cultuurstelsel ini seperti di Cirebon tahun 1844, Demak tahun 1848, dan Grobogan tahun 1849.

Cultuurstelsel berlangsung selama 40 tahun, diakhiri pada tahun 1870. Dalam 40 tahun Belanda dapat mengeruk kira-kira 800 juta florin, yaitu hampir sama banyaknya dengan jumlah yang diperoleh VOC selama dua abad menghisap kekayaan alam dan jerih payah rakyat Indonesia. Pendapatan ini selain dapat mengganti kerugian selama Indonesia jatuh ke tangan administrasi Inggris, menutupi ongkos menindas perlawanan kaum tani di Jawa tengah selama lima tahun (1825-1830) di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, mengongkosi perang terhadap bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Belgia dan Perancis, juga mengongkosi perang-perang colonial untuk memperluas imperium Hindia Belanda ke pulau-pulau luar Jawa. Perlawanan kaum tani di wilayah-wilayah itu yang terkenal antara lain perang Bali, Lombok, Sumbawa, Dompo, Flores, Bone, Maluku, Banjarmasin,Sumatera Barat, Jambi, Tapanuli dan Aceh. Pemberontakan rakyat petani terhadap imperialis sudah berlangsung sejak VOC berkuasa.



Imperalisme politik pintu terbuka : “Globalisasi pertama”?

Berakhirnya cultuurstelsel bukan berarti berakhirnya penindasan terhadap rakyat Indonesia. Cultuurstelsel kemudian diganti dengan system penghisapan modern yang lebih maju tetapi lebih intensif dan sistimatis. Mulai tahun 1870 dan seterusnya, pemerintah colonial Belanda melaksanakan “politik pintu terbuka”. Maka kini Indonesia terbuka bagi penanaman modal swasta asing. Perusahaan-perusahaan perkebunan swasta asing membuka perkebunan-perkebunan kopi, teh, gula dan kina yang cukup besar di Jawa dan Sumatera Timur berdasarkan Undang-undang Agraria tahun 1870. Undang-undang ini meminimalisir intervensi pemerintah atau Negara (Kerajaan) dalam bisnis dan memaksimalkan peluang kaum pemilik modal swasta (kapitalis) untuk menghisap kekayaan alam Indonesia. Penindas rakyat kini bertambah, selain pemerintah colonial kini juga pihak swasta atau kaum kapitalis dari korporasi-korporasi internasional. Selain Belanda, mereka berasal dari Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Jepang dan sebagainya. Dengan demikian imperialime di Indonesia telah bersifat Internasional, dimana modal asing telah diinvestasikan dalam sector pertanian seperti karet, teh, kopi, tebu, tembakau dan lain-lain. Juga sector pertambangan seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara. Perusahaan-perusahaan pribumi yang kalah bersaing dengan modal asing terpaksa gulung tikar.

Selama berlangsungnya tanam paksa, rakyat bekerja kepada pemerintah dan setelah dihapusnya tanam paksa, rakyat bekerja kepada majikan barunya yakni kaum kapitalis. Rakyat Indonesia banyak yang dipaksa bekerja di perkebunan dan pertambangan swasta dengan upah yang sangat minim dan perlakuan yang sangat keji, tidak manusiawi, merendahkan martabat. Kemiskinan dan penderitaan rakyat Indonesiapun bertambah. Di bawah sistem modern ini jumlah kekayaan alam Indonesia yang dikeruk orang-orang asing (sebelum krisis ekonomi global tahun 1929), hanya dalam tempo setahun saja, sudah hampir sama dengan 40 tahun Cultuurstelsel! Namun demikian mayoritas rakyat (miskin) Indonesia tidak dapat mengecap sedikitpun kekayaan alamnya, hasil jerih payah keringat, darah dan air mata mereka (bahkan hingga saat ini). Menjelang krisis ekonomi global tahun 1929 banyak perusahaan yang bangkrut. Terjadi PHK massal. Yang lainnya terpaksa ditutup karena para pekerjanya mogok dan memboikot. Pemberontakan nasional pertama melawan imperialis oleh buruh dan tani yang diorganisir PKI pada tahun 1926 di Jawa dan tahun 1927 di Sumatera Timur, dapat ditumpas habis. Ratusan kader PKI dan rakyat pekerja ditangkap, disiksa, dibunuh, dan dibuang ke pulau-pulau terpencil untuk kerja paksa.

Imperialisme Jepang

Pemerintah colonial Belanda terusir pada tahun 1942 oleh pendatang baru yaitu kekuatan fasis militeris dari negeri Jepang yang tak kalah ganas. Jepang datang dengan semboyan menipu – “Kemakmuran bersama di Asia Timur Raya” seolah sebagai pembebas. Bahkan beberapa pemimpin nasionalis terkemuka seperti Soekarno sempat terilusi dengan semboyan dan “janji kemerdekaan” dari Jepang. Tapi semboyan dan janji itu adalah penipuan belaka. Yang diterima rakyat Indonesia hanyalah kesengsaraan hidup Jaman tengah dalam jaman modern! Kekayaan alam Indonesia dan puluhan juta pasang tangan kaum tani dan buruh tidak dapat lagi memberikan makan dan pakaian kepada rakyatnya. Rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan absolut. Kaum tani yang menanam padi terpaksa makan singkong, sedangkan serdadu-serdadu imperialis Jepang bisa makan nasi tiga kali sehari sebanyak yang mereka mampu. Kaum buruh yang menenun kain tak lagi dapat memberi pakaian untuk anak-anaknya. Keluarga mereka terpaksa berpakaian kain goni gombal, karet atau kulit kayu.

Sedangkan serdadu-serdadu Jepang hanya bermabuk-mabukan setiap hari dan menikmati perempuan-perempuan Indonesia, Cina, Korea yang diculik, ditipu dan dipaksa jadi pelacur. Berpakaian tiga lapis sekalipun Indonesia bersuhu tinggi. Pencuri-pencuri di gudang-gudang bahan makanan tidak lagi perlu diadili. Mereka dibunuh begitu saja dengan cara yang sadis dan di muka umum hanya karena 2 atau 3 piring beras. Kesengsaraan rakyat di negeri yang subur dan kekayaan alamnya luar biasa ini persis dilukiskan pepatah tua Indonesia :” Ayam mati di lumbung padi!” Selama tiga setengah tahun yang singkat itu, kurang lebih 5 juta rakyat Indonesia mati kelaparan. Kurang lebih 2 juta diantaranya mati sebagai “romusya”(“pekerja”, baca: kerja paksa) atau gugur di medan perang sebagai “heiho”(tentara pembantu, baca: tumbal) Jepang di dalam dan luar negeri. Selain sebagian besarnya mati karena kelaparan, “romusya” lainnya dibunuh selesai membangun proyek-proyek militer yang harus dirahasiakan. Yang lainnya lagi gugur dalam perjuangan dan kegiatan-kegiatan bawah tanah melawan pendudukan fasis Jepang, termasuk kegiatan ‘front anti fasis’, sebagai bagian dari upaya persiapan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari.

Era Neoliberalisme

Setelah dibombardir sekutu, akhirnya Jepang menyerah dan hengkang dari Indonesia. Maka pada 17 Agustus 1945 Soekarno, atas dorongan pemuda-pemuda kiri, memproklamirkan ‘kemerdekaan’ Indonesia. Tapi benarkah Indonesia telah benar-benar merdeka? Sesungguhnya tidak! Indonesia belum pernah benar-benar merdeka bahkan hingga saat ini! Pasca imperialisme Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Jepang, Indonesia masuk dalam cengkeraman penindasan system ekonomi politik yang jauh lebih besar, lebih intensif, lebih sistematis, dengan skala teritorial yang lebih luas.

Pada tanggal 1-22 Juli 1944, negara-negara Imperialis atas prakarsa Amerika Serikat (AS) berkumpul di Bretton Woods, New Hampsire, AS. Pertemuan ini bertujuan mencari kesepakatan mengenai kerangka institusional untuk perekonomian global pasca perang dunia II. Namun tujuan utama sebenarnya di mata para arsiteknya adalah menyatukan dunia dalam suatu jaringan global yang terbuka dan saling bergantung secara ekonomi di bawah kepemimpinan AS, yang akan menjamin akses AS ke pasar dan sumber bahan baku dunia, terutama di negara-negara dunia ke tiga (khususnya : Indonesia!). Hasil dari pertemuan ini adalah terbentuknya institusi-institusi multilateral yang independen yaitu : International Bank For Reconstruction and Development (IBRD, kemudian lebih dikenal sebagai World Bank atau Bank dunia), dan International Monetary Fund (IMF). Menyusul pada tahun 1947 dibentuklah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT, yang kemudian menjadi World Trade Organisation atau WTO). Inilah awal dari “liberalisasi kapital model baru” atau “neoliberalisme”.

Fungsi World Bank adalah, menciptakan ketergantungan negara-negara miskin yang kaya sumber daya alamnya terhadap kaum imperalis, dengan memberikan akses untuk pinjaman dana bagi pembangunan berupa kredit (utang luar negeri), yang berasal dari negara-negara Imperialis.

Fungsi IMF adalah : Pertama , menciptakan nilai tukar tetap (fixed rate) terhadap semua mata uang dunia dengan standar dolar AS. Kedua, memberlakukan ‘penyesuaian struktural’ (structural adjustment) kebijakan ekonomi secara menyeluruh terhadap negara debitur (yang telah menjadi ‘klien’ World Bank) guna menyalurkan lebih banyak sumber daya dan aktivitas produksi negara tersebut ke arah pelunasan kembali utang, serta membuka lebih lebar ekonomi nasional negara debitur bagi ekonomi global.

Fungsi WTO adalah, menghapuskan hambatan terhadap perdagangan dan investasi internasional.

Ketiga institusi ini telah bekerja sama untuk memperkuat kebergantungan negara-negara dunia ke tiga (selain negara-negara sosialis) pada system ekonomi politik dunia, dan kemudian membuka perekonomian mereka bagi kolonisasi kapital-imperialis global. Indonesia adalah korban utama dari neoliberalisme. Periode 1965-1967 terjadi penggulingan kekuasaan paling berdarah di seluruh dunia terhadap rejim Soekarno yang anti ‘nekolim’ (neo colonial imperialis) itu. Jutaan rakyat Indonesia yang dituduh komunis tewas dibantai oleh tentara Angkatan Darat dan gerakan rakyat anti komunis dalam scenario kudeta yang dirancang oleh agen-agen imperialis AS. Begitu Soekarno tergulingkan, maka muluslah jalan bagi kaum imperialis untuk menancapkan kuku-kukunya di bumi nusantara ini. Rezim Soekarno digantikan oleh pemerintahan orde baru (Orba) di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang tak lain adalah agen kepentingan imperialis global modern di bawah komando AS. Sejak saat itu, beberapa strategi social politik dan ekonomi yang dibangun negara-negara imperialis dijalankan di bawah payung ideologi developmentalisme (pembangunan) dan pertumbuhan ekonomi yang di doktrinkan melalui World Bank (lalu diteruskan ke kampus-kampus). Ideology developmentalisme dan pertumbuhan ekonomi mulai diterapkan oleh pemerintah Orba pada tahun 1968. Hal ini tercermin dalam undang-undang no.2 tahun 1968 tentang penanaman modal asing di Indonesia. Sejak saat itu korporasi-korporasi multi dan trans nasional berduyun datang berinvestasi di Indonesia. Diantaranya adalah investasi minyak dan gas bumi di Aceh (oleh Standard Oil Company yang berganti nama menjadi EXXON Mobile), di Riau (CALTEX), di Papua (Freeport Mc Moran). Hampir semua korporasi global itu berasal dari AS. Sejak saat itu kebijakan perekonomian Indonesia didikte oleh imperialis global.

Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah Indonesia mulai meminjam dana secara masiv untuk pembangunan dan modernisasi ‘agar tak kalah dan bisa bersaing dengan negara-negara maju’. Peminjaman dana itu difasilitasi oleh IMF dan World Bank yang bekerja sama dengan negara-negara Imperialis yang tergabung dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang kemudian hari berganti nama menjadi Consultative Group for Indonesia (CGI). Peminjaman dana secara masiv itu menyebabkan menjamurnya bank-bank swasta baru yang kelahirannya dibidani oleh Pakto 1988 tentang kebijakan liberalisasi sector perbankan. Menjamurnya bank-bank swasta baru ini menyebabkan terjadinya kredit macet yang cukup besar untuk merusak fundamen ekonomi nasional. Pada tahun 1992, pengusaha-pengusaha swasta melakukan pinjaman devisa secara besar-besaran dengan menggunakan bank-bank swasta tersebut sebagai kendaraan. Meskipun pemerintahan Orba membentuk Panitia Kredit Luar Negeri (PKLN) untuk mengontrol pinjaman luar negeri tersebut, namun tetap terjadi pembengkakan utang swasta. Belum lagi pertumbuhan utang oleh Badan Usaha Milik Negara. Indonesia mulai terjebak ‘perangkap’ (utang) imperalisme global. Ketika jatuh tempo pembayaran lima tahun berikutnya, yaitu pada tahun 1997, terjadilah gejolak moneter yang dahsyat, sehingga para pengusaha tersebut dan pemerintah tidak dapat mengembalikan utangnya yang mengakibatkan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Untuk mengatasi krisis moneter tersebut, pada Januari 1998, Managing Director IMF, Michael Camdessus, berhasil ‘memaksa’ Soeharto untuk menandatangani Letter of Intent (LoI) yang menyangkut restrukturasi perekonomian Indonesia melalui program penyesuaian structural (structural adjustment program/SAP). Berdasarkan SAP, maka pemerintah Indonesia harus melakukan : a. devaluasi mata uang ; b. deregulasi sector keuangan ; c. pemotongan subsidi BBM, listrik, pendidikan dan kesehatan ; d. menjual perusahaan public, yaitu privatisasi BUMN ; e. memangkas anggaran social dan tenaga kerja ; f. liberalisasi sector perdagangan ; g. penurunan upah. Begitu Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, SAP terus diwariskan kepada rejim-rejim penerusnya hingga rejim SBY Kala ini.

Anak kandung Imperialis, menindas bangsanya sendiri

Sejak LoI diberlakukan, jutaan rakyat Indonesia terperosok ke dalam jurang kemiskinan yang makin dalam. Banyak perusahaan bangkrut. Ribuan buruh di PHK. Sejumlah besar generasi muda tak dapat melanjutkan pendidikan. Pengangguran terus bertambah. Angka kemiskinan dan kriminalitas melonjak tinggi, seiring kenaikan harga BBM dan kebutuhan-kebutuhan pokok primer. Kebutuhan pokok sekunder seperti pendidikan dan kesehatan dikomersilkan sehingga biayanya semakin mahal, dan hanya orang-orang kaya saja yang menikmatinya. Berbagai jenis wabah penyakit, busung lapar dan kekurangan gizi meningkat seiring semakin membengkaknya ongkos berobat di rumah sakit. Perusahaan-perusahaan public di swastakan. Mal-mal dan pusat-pusat pertokoan multi nasional seperti carefour dan lain-lain mulai bermunculan menggusur pasar-pasar local dan tradisional. Pemukiman rakyat miskin dan fasilitas-fasilitas rakyat miskin digusur untuk membangun fasilitas niaga yang mempunyai nilai komersil dan profit yang tinggi. Sementara urbanisasi semakin tak terkendali karena pembangunan di desa-desa terabaikan sekalipun otonomi daerah sudah diberlakukan. Mobil-mobil mewahpun makin banyak bersliweran di jalan.

Namun ironisnya, pemerintahan SBY Kala ini baik di tataran eksekutif maupun legislatifnya, bukannya menunjukan kepedulian terhadap keterpurukan bangsa ini, tapi malah menaikan upah, tunjangan dan anggaran operasionalnya yang sudah tinggi itu. Mereka memperkaya diri di tengah kesengsaraan rakyatnya. Pemerintah dan ‘wakil rakyat’ memang sengaja dipenuhi dengan orang-orang yang tidak kompeten dan qualified, serta dimanjakan pula dengan uang dan fasilitas yang tidak rasional agar mereka mandul terhadap aspirasi rakyat. Maka boleh dikatakan pemerintah SBY kala ini adalah anak kandungnya imperialis, bukan sekedar kaki tangannya. Dan ia menindas saudara-saudara sebangsanya sendiri. Belum puas melihat rakyatnya menderita akibat kemiskinan, bencana alam, penyakit, pemerintah menaikan harga BBM sampai dua kali (sebagai konsekuensi LoI). Masih belum puas juga, pemerintah melalui Bulog menerapkan kebijakan impor beras di negeri lumbung padi Asia tenggara ini, yang sangat merugikan petani, dua kali juga. Pertama pada November 2005 sebesar 70050 ton, lalu Januari 2006 sebesar 11000 ton, semuanya dari Vietnam. Ini terkait dengan SAP mengenai liberalisasi sector perdagangan dalam LoI 1998, yang menuntut diberlakukannya tariff impor beras sebesar 0% sesuai standard WTO. Ini juga berlaku bagi komditi jagung, kedele, tepung terigu, dan gula. Selain itu LoI juga mengatur agar Bulog tidak lagi mengurus kestabilan harga pangan dan agar melepaskannya pada mekanisme pasar. Wewenang Bulog menjadi hanya sebatas pedagang beras saja, itupun harus bersaing dengan pedagang beras swasta. Dengan demikian kaum imperialis global melalui Bulog telah menghancurkan ketahanan pangan rakyat Indonesia. Sehingga tak heran muncul wabah kelaparan seperti di NTT dan Yahukimo, Papua. Rakyat terus menderita dalam cengkeraman imperialisme, tapi sampai kapan? Mereka pun terus berjuang sambil menatap harapan yang tampak samar di hari esok yang suram. Harapan yang tanpa mereka sadari hanya bisa di raih lewat jalan REVOLUSI SOSIAL… !!!***

0 komentar: