04 Januari 2008

STATEMENT DEKLARASI LMND-PRM JABODETABEK

STATEMENT DEKLARASI LMND-PRM JABODETABEK

…Kepada Penindas Tak Pernah Aku MembungkukAKU SELALU TEGAK...
(Widji Thukul. Tujuan Kita Satu Ibu)

Kita begitu bersemangat menuntut program-program yang kita yakini merupakan solusi dan hak-hak rakyat miskin yang harus dipenuhi oleh Negara. Pendidikan gratis. Kesehatan gratis. Upah layak nasional bagi kelas pekerja. Lapangan kerja untuk rakyat. Nasionalisasi industri pertambangan. Hapus utang luar negri dan lain-lain. Hal yang kita yakini akan sulit terealisasi jika bukan kita yang berkuasa, jika bukan kita sendiri yang memimpin tampuk pemerintahan dan tidak menggantungkan harapan-harapan pada elit-elit borjuis yang tak berpihak kepada rakyat yang sekarang berada di dalam pemerintahan dan parlemen.


Kita blejeti kedangkalan berpikir dan logika formal yang merasuki elit-elit borjuis penindas rakyat. Kita selalu bersikap skeptis terhadap tingkah laku elit-elit partai politik yang kini duduk di parlemen. Teori-teori progresif revolusioner memang membuat kita menjadi seorang yang selalu skeptis dan kritis terhadap roda produksi kapitalisme dan kekuasaan borjuis.


Karena sudah tidak percaya lagi terhadap partai-partai borjuis busuk itulah kita mendirikan partai politik ALTERNATIF yang akan membawa rakyat ke dalam surga kesejahteraan. Namun dalam perjalanannya partai kita mendapat hambatan dari kaki tangan Imperialisme melalui tindakan-tindakan represif dan undang-undang yang tidak demokratis. Dan kita menyimpulkan akan sulit bagi kita untuk menjadi peserta pemilu 2009. Hingga kita memutuskan untuk berkoalisi dengan Partai Bintang Reformasi (PBR) yang membuka pintu untuk kita masuk parlemen. Sekali lagi, Partai Bintang Reformasi (PBR), partai borjuis yang mulai kita cari kebaikan-kebaikannya di tengah FAKTA kebusukan PBR agar terlihat kita sedang berkoalisi dengan “partai yang belum begitu busuk” sehingga adalah benar jika kita berkoalisi (melebur lebih tepatnya) ke dalam partai pendukung pemerintahan SBY-JK ini. Kita tidak bersikap garang ketika melihat pernyataan ketua umum PBR Bursah Zanubi yang berkomentar tentang aksi kita sendiri yang menuntut anggaran pendidikan 20% dikatakan tidak mungkin karena pemerintah harus bayar utang (logika formal). Ada kawan yang malah membenarkan statement itu, ada juga yang bilang karena PBR dalam proses menuju kerakyatan untuk itu lah kita masuk ke dalamnya (untuk mencuci semua dosa-dosa mereka kepada rakyat). Kita adalah partai yang menolak sisa-sisa feodalisme tapi kini kita terbiasa untuk memanggil sebutan “Bang!” di beberapa event untuk elit-elit busuk di PBR. Kesemuanya, hanya agar kita terlihat sebagai “adik” yang baik maka kita bisa masuk parlemen lewat partai bang Bursah Zanubi.


Kita sepakat bahwa musuh kita adalah penjajahan modal asing yang dikemas lewat kebijakan-kebijakan neoliberalisme. PBR adalah partai yang ikut menyetujui dibukanya pintu penanaman modal asing lewat uu pma. Koalisi, tak jadi masalah bila hanya program miminum saja yang bisa diterima oleh sekutu kita, tapi program minimum tersebut tidak boleh kontradiktif atau kontra-produktif terhadap program-program maksimum atau program sejati kita, atau kita dengan bebas, tak terikat, harus (di segala kesempatan) berupaya mempropagandakan program-program sejati kita.


Seluruh massa kita diharuskan untuk meyakini kesepakatan koalisi kita hanya lewat MoU dengan PBR. PBR adalah salah satu partai borjuis yang ada di parlemen nasional dan daerah yang tidak berpihak kepada rakyat miskin. Sudah berapa banyak janji-janji, kesepakatan yang elit-elit borjuis ucapkan di atas kertas, berkekuatan hukum, mengatasnamakan Tuhan, di depan kitab suci, di hadapan jutaan pasang mata tetapi mereka tetap melanggar janji mereka kepada rakyat. Kita pun tahu kesemuanya itu tetap tak merubah karena memang watak kaum borjuis selalu anti rakyat miskin dan pro kapitalisme-neoliberalisme.


Justru sebaliknya, kita menjadi begitu garang dan reaksioner terhadap kawan sendiri. Beberapa kawan LMND Jakarta (Elang, Rheza, Ezi) di pecat dan beberapa daerah di bekukan dengan alasan agar terciptanya sentralisme demokratik (yang mekanik?). Kita bahkan menelan mentah-mentah pengakuan seorang anggota baru tanpa ada konfirmasi dan prinsip cek dan ricek. Penjelasan tentang perpecahan di tubuh partai kita dan rasionalisasi pro dan kontra hasil Presnas kita bilang itu black propaganda. Penyebutan nama kawan hanya untuk mengidentifikasi posisi sikapnya tentang koalisi kita bilang itu menjelek-jelekan kawan dan subyektif. Akhirnya kita mulai tertular kedangkalan berfikir dan logika formal kaum borjuasi dalam mengambil keputusan.


Maka tak salah jika kami kini berbalik menolak oportunisme di lingkaran kita dan kami menolak bersekutu dengan penindas rakyat yang licik, munafik, naif dan despotis. Dan kami siap menerima konsekuensi apapun untuk menjalankan garis politik kami sendiri. POLITIK RAKYAT MISKIN….


Berikut ini adalah struktur


Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi – Politik Rakyat Miskin (LMND-PRM)
Wilayah JABODETABEK :
Ketua : FAISAL HAMID (Ogie)
Sekretaris : RHEZA ANDHIKA P
Dept. Pendidikan dan Bacaan : ELANG RIKI YANUAR
Dept. Organisasi & Kesekretariatan : SYAFREZI FITRAH
Dept. Perluasan : RENDRA
Dept. Dana dan Badan Usaha : MINDY
Jakarta, 28 Desember 2007

Terima Kasih.. Terus Berjuang..
lmndjabotabek.prm@gmail.com

Lawan Parlementaris Oportunis dalam Politik dan Anti Demokrasi dalam Organisasi


Data Kejahatan PBR-Pelopor (Calon Koalisi Papernas).
PBR-Pelopor ikut menandatangani UU Penanaman Modal.
PBR ikut dalam menandatangani Perda Tibum no.8 di DKI Jakarta
PBR ikut dalam komite penerapan persiapan syariat islam dimakasar.
Wakil walikota samarinda (pelopor) menggusuri basis-basis SRMK.
Statment bursah tentang tuntutan 20 % anggaran pendidikan,tidak masuk akal karena pemerintah masih memiliki beban bayar hutang (benarkah pemerintah tidak sanggup) ?(Rakyat Merdeka 30 Agustus 2007)
Ketua PBR sulbar menggunakan preman bayaran untuk mengusir petani dari lahannya.preman tersebut kemudian dibunuh para petani,sekarang beberapa petani di penjara.
Di labuhanbatu, anggota DPR dari labuhanbatu adalah Mafia tanah. Ketua PBR bahkan menodongkan pistol kepada seorang petani sawit (Suara Sumut, Rabu 19 September 2007)

Data Respon Daerah.
Papernas Sidoarjo
i. Mekanisme Organisasi yang tidak di jalankan, KP-PAPERNAS berubah menjadi PAPERNAS adalah salah satu amanat kongres, maka untuk merubah PAPERNAS menjadi ORMAS harus melalui Kongres bukan PRESIDIUM NASIONAL.
ii. Hasil konferensi taktik di sidoarjo adalah PAPERNAS tetap menjadi Partai Alternatif bagi perjuangan rakyat meskipun harus berkoalisi dengan partai lain, bukan fusi dengan partai lain.
iii. Keputusan Presidium Nasional terkesan memaksakan diri untuk bisa fight pada panggung politik electoral 2009 (Pemilu 2009), padahal Pemilu adalah alat politik borjuasi dan hanya jadi strategi dan taktik perjuangan kita, karena pokok-pokok perjuangan PAPERNAS adalah Memimpin dan terlibat aktif dalam perjuangan rakyat tertindas, Memimpin, mendorong dan memajukan organisasi massa-organisasi massa di setiap sektor dan teritorial, Memimpin dan terlibat aktif dalam gerakan-gerakan politik menuju masyarakat yang adil, modern, sejahtera, demokratik dan setara sepenuh-penuhnya di bidang sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya.
iv. Panggung Politik 2009 bukan satu-satunya panggung untuk melakukan agitasi dan propaganda, masih ada tahun-tahun berikutnya dan panggung-panggung politik lainnya untuk agitasi dan propaganda.
v. Ditengah tuduhan bahwa PAPERNAS adalah Neo Komunis, kawan-kawan di beberapa kecamatan di sidoarjo masih tetap konsisten, artinya Kesadaran politik Rakyat sudah mulai terbangun, karena rakyat mulai mempercayai PAPERNAS sebagai partai alternatif bagi perjuangan rakyat, akan tetapi dengan hasil keputusan Presidium Nasional ini tinggal satu Kecamatan tersisa.
vi. Dalam situsi pro-kontra terhadap keputusan Presidium Nasional, ini artinya kekalahan politik kita yang belum mampu menyatukan kekuatan-kekuatan yang telah kita miliki selama proses kerja-kerja penstrukturan, maka harus ada tindakan yang mampu menyatukan kembali kekuatan-kekuatan tersebut.
Papernas Jakarta Pusat
i. Mayoritas peserta menolak koalisi PBR-Pelopor
Papernas DIY
i. Mayoritas peserta Menolak koalisi dengan PBR-Pelopor
Papernas Sumut
i. 5 kawan menolak koalisi dengan PBR-Pelopor..
ii. 4 kawan bersepakat dengan koalisi
KPE Papernas (Paguyuban Stockholm):
Pendapat umum kawan-kawan Paguyuban pada pokoknya:
- Ikut pemilu bukanlah tujuan gerakan;
- Yang sangat penting adalah penggalangan kekuatan, pembangunan partai baik kwantitif maupun kawalitatif;
- Kebebasan partai harus dipertahankan;
- Nama partai Papernas harus dipertahankan;
- Berbagai bentuk kerjasama, koalisi dsb dalam menghadapi pemilu 2009 bisa dilakukan selama tidak mengikat kaki dan tangan kita dan tidak menghapus nama Papernas.

Data kejahatan Organisasi:
FNPBI SUMUT-Yang pro koalisi mendukung calon Gubernur dari GOLKAR, H.Syamsul. Arifin,SE. (Sumut Pos 5 Desember 2007)
Penonaktifan kawan Greogorius Wardoyo dari PP FNPBI
Pengangkatan oknum-oknum non FNPBI ke PP FNPBI untuk menyingkirkan kawan Gregorius Wardoyo.
Pemecatan 5 pengurus DPD I Papernas Sumut yang menolak koalisi (Johan Merdeka, Ida, Mangiring, Xina, Ijul) oleh DPP Papernas. Kemudian DPP Papernas mengesahkan KPO Papernas dan menyelenggarakan Konferdalub tanpa mengundang kelima orang kawan tersebt dan kawan-kawan yang menolak koalisi.
Pemecatan sepihak kepada Ketua STN Sumatera Utara (Mangiring Sinaga) oleh Sekretaris dan Bendahara STN (Yang pro Koalisi dengan PBR-Pelopor).
Pemecatan 9 Orang Kader pimpinan PRD dan pembekuan 3 KPW PRD.
Penonaktifan Paulus Suryanta (Sekjend LMND), Pemecatan kawan Reza, Elang, Eji dan pembekuan LMND DIY, Sumut, Kaltim, Jawatimur.





10 Alasan saya menolak hasil Presnas Papernas, antaralain;
1. Proses demokratik menuju Presnas Papernas terlalu terburu-buru. Banyak kawan-kawan di daerah tidak terlibat dalam proses pendiskusian materi-materi Presnas. Bahkan ada yang belum menerima materinya sebelum Presnas berlangsung. Saat ini DPP PAPERNAS menuntut adanya Sentralisme tanpa adanya Demokrasi dalam partai secara Substantif.
2. Kekeliruannya dalam menganalisa ekonomi. Bahwa yang dianalisa oleh Proposal Presnas PRD hanya berkisar pada Kapital Uang. Tidak mendialektikan pengaruh penggelembungan pada Kapital Uang, Penetrasi Kapital Dagang, dan Kehancuran Kapital Industri terhadap potensi krisis kedepan. Dalam hal itu pula, melepaskan faktor vangguardisme/kepeloporan pada kalimat:”.... potensi krisis yang mungkin akan muncul tidak sampai menghasilkan krisis revolusioner. Untuk menghasilkan krisis politik sekalipun (dengan level lebih rendah dari krisis revolusioner) membutuhkan adanya perpecahan yang akut di antara faksi-faksi borjuasi” Padahal bertransformasinya krisis ekonomi menjadi krisis politik selanjutnya krisis revolusioner ditentukan oleh kepeloporan politik kaum pelopor.
3. Kekeliruannya dalam menilai celah anti imperialisme di Parlemen. HIngga hari ini seluruh partai politik yang ada di Parlemen merupakan kaki tangan imperialis. Meskipun terdapat partai yang mengatasnamakan dirinya sebagai Partai Oposisi (PDIP) tetapi ikut dalam menandatangani kebijakan-kebijakan neoliberalisme.
4. Sasaran Prioritas Koalisi Papernas—dalam hal ini PBR dan Pelopor— merupakan barisan partai-partai pendukung Pemerintahan Agen Imperialis (SBY-JK)
5. Dalam pelbagai tindakan dan statement politik, telah ditunjukkan bahwa calon koalisi kita (PBR & Pelopor) bertindak dan bersikap tidak sesuai dengan tuntunan programatik kita. Padahal dalam tradisi gerakan demokratik bahwa syarat melakukan front adalah kesesuaian dengan program minimum kita. (Lihat kembali data sms saya)
6. Konsentrasi penggalangan sekutu yang hanya bersepakat pada program dan taktik (Pemilu dan Koalisi). Yang dalam kenyataannya hanya segilintir saja yang masuk dalam kategorisasi tersebut (bersepakat program dan taktik), membuat komposisi kekuatan untuk melawan imperialisme menjadi tidak seutuhnya diolah oleh Papernas dalam kepentingan perjuangan melawan Imperialisme.
7. Penentuan kawan Koalisi diprioritaskan kepada Partai (PBR) yang memberikan peluang lebih besar. Ini mengartikan bahwa sasaran Papernas hanya pada partai yang memberikan kesempatan masuk parlemen lebih besar bukan dalam konsep menginvestigasi dari berbagai Partai yang ada yang memiliki kesanggupan dan pengalaman historis mengangkat program demokratik atau program anti imperialis serta partai secara kuantitatif besar. Hal ini mengartikan bahwa yang utama adalah kepastian dalam kemungkinan masuk dalam parlemen. Bukan kemaksimalan mengangkat Program Perjuangan.
8. Koalisi akan membatasi Papernas dalam melancarkan propaganda Program Alternatif, Metode Politik Radikal, Alat Politik Alternatif. Karena garis calon koalisi Papernas (PBR) adalah Islam, dengan politik pro kebijakan neoliberalisme. Sehingga tuntutan situasi agar Papernas secara terus-menerus menunjukkan kepeloporan programatiknya, kepeloporan metode politiknya menjadi ditunda. Padahal massa rakyat yang melawan penindasan imperialis membutuhkan tuntutan programatik, metodologi dan alat dari Partai Alternatif seperti Papernas.
9. Konsentrasi Organisasi di daerah pemilihan (dapil) merupakan turunan dari konsep “yang penting masuk parlemen dulu” atau dalam bahasa lain “Parlementaris”. Sebab, meniadakan kepentingan mengolah peluang/potensi radikalisasi (dalam level apapun) diluar teritori Dapil. Sehingga seolah-olah tidak ada relasi politik antara teritori yang menjadi konsentrasi dapil dan non konsentrasi dalam kepentingan mengangkat semaksimal-maksimalnya program perjuangan. Aksi, Kampanye, dan Penyadaran memang ada tetapi hanya diberikan di teritori konsentrasi dapil saja. Tidak diberikan untuk teritori diluar dapil. Karena memang tujuan utamanya adalah: “yang penting masuk parlemen dulu”. Aksi, Kampanye dan penyadaran didaerah konsentrasi dapil diberikan tetapi porsinya akan disesuaikan dengan kondisi dan kesanggupan koalisi. Atau dalam kata lain, aksi, kampanye dan penyadaran dilakukan dengan prinsip tidak mengganggu “kohesifitas” Koalisi—tentu saja dalam tujuan utama mengamankan “cita-cita masuk parlemen”
10. Perubahan Partai Persatuan Pembebasan Nasional menjadi Persatuan Pembebasan Nasional. Penghilangan kata “PARTAI” demi mempermudah koalisi menghilangkan substansi politik PAPERNAS sebagai partai alternatif. Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) menjadi sekedar ormas (alternatif) perjuangan massa. Meski sering disebutkan bahwa secara eksternal kata “Partai” dihilang sebagai konsepsi taktis dan secara internal kita masih partai akan tetapi tetap saja menghilangkan esensi PAPERNAS sebagai “PARTAI” Alternatif.

Kritikan Terhadap Koalisi PRD dan PAPERNAS

Koalisi (Ala PAPERNAS) Mematikan Pembangunan Gerakan Alternatif(Kritikan terhadap Proposal PRD)

Oleh: Aminanto Sumardi

1. Kritikan terhadap Latar Belakang proposal PRD:
Disampaikan bahwa mayoritas kelas elit adalah perantara sekaligus mandor bagi kepentingan imperialisme (modal asing). Apakah pernyataan tersebut bermaksud mengataka: ada sebagaian kecil kelas elit yang tidak menjadi mandor imperialis.
Jika memang ada, mestinya ada penjelasan siapa saja mereka dan apa kepentingan ideologi politiknya, karena tidak menjadi mandor bukan sertamerta anti terhadap imperialis, apalagi melawannya.? Disampaikan juga bahwa keresahan rakyat terus meningkat dan melahirkan perlawanan-perlawanan namun masih fragmentatif, dapat dikanalisasi secara prosedural dalam demokrasi liberal, dan miskin orientasi politik. Sekalipun upaya rejim untuk mengkanalisasi perlawanan rakyat terhadap imperialisme dilakukan dengan memaksakan demokrasi prosedural, namun bisa dikatakan upaya rejim tidak sepenuhnya berhasil, karena aksi–aksi massa tiap hari terus terjadi bahkan, di banyak tempat, dengan metode-metode yang radikal, sehingga demokrasi prosedural bukan makin menguat legitimasinya melainkan makin melemah. Demikian juga dengan angka golput yang tinggi dalam pemilihan kepala daerah, atau juga survey banyak lembaga yang menyatakan bahwa rakyat makin tidak percaya kepada parpol pemenang pemilu 2004, tidak percaya pada DPR, tidak pada percaya Pemerintah, tidak percaya pada elit-elit politik, tidak percaya pada birokrasi maupun aparatus keamanan, dan tidak percaya pada hukum. Kenapa perlawanan rakyat masih fragmentasi dan “miskin orientasi politik”? Itu karena campur tangan kaum pelopor masih kurang baik secara ideologi, politik maupun organisasi. Seharusnya ini diakui oleh PRD dan kaum revolusioner lainnya, bahwa kemampuan mereka (secara subyektif) untuk mengintervensi perlawanan rakyat belum cukup kuat, baik dalam pekerjaan ideologi, pekerjaan politik maupun pekerjaan organisasi, bukan malah menyalahkan kondisi obyektifnya (yang sebenarnya kondusif bagi perlawanan politik yang sadar dan terorganisir). Karena rakyat Indonesia, juga rakyat di negeri manapun, hanya akan mendapatkan kesadaran sejatinya—kesadaran sosialisme—jika kaum pelopor terus menerus mengintervensi dengan berbagai macam cara, dengan ketekunan, dengan ketelitian, dengan kesabaran yang tinggi. Pasca reformasi, rakyat Indonesia terus melawan karena tidak ada perubahan yang siginifikan buat mereka, malah makin dimiskinkan. Itulah sumber utama enerji partai revolusioner yang, kalau tepat diolah dengan baik, akan menjadi kekuatan sesungguhnya bagi pergantian sistem ekonomi-politik di Indonesia, dan akan menular ke negri-negeri lainnya.? Juga dikatakan, dalam pendahuluan, bahwa belum ada alternatif yang sanggup tampil ke arena politik untuk memimpin, mengolah, dan mengarahkan keresahan rakyat tersebut menjadi perjuangan anti imperialisme yang efektif.Jelas, jelas sekali. Memang belum ada alternatif. Untuk kepentingan itulah PAPERNAS kita dirikan, agar rakyat miskin, rakyat yang melawan, mempunyai saluran perlawanannya, mempunyai ideologinya sendiri, mempunyai politiknya sendiri, dan mempunyai alat perjuangannya sendiri yang akan berhadapan dengan semua kekuatan politik anti rakyat baik Imperialis maupun boneka-bonekanya di Indonesia. Dan pekerjaan untuk menjadikan PAPERNAS sebagai alternatif belum selesai, dan tidak akan pernah selesai sekalipun nantinya rakyat Indonesia sudah menang, karena masih ada tanggung jawab untuk membebaskan rakyat di negeri-negeri lain. PAPERNAS tidak didirikan semata-mata untuk PEMILU, tetapi sejatinya adalah untuk memimpin dan membesarkan gerakan rakyat, sehingga hidup matinya PAPERNAS bukan ditentukan oleh penguasa atau oleh siapapun (musuh rakyat), melainkan oleh rakyat sendiri, karena PAPERNAS adalah milik rakyat miskin.
? PRD juga menyampaikan: dalam proses sebelumnya, upaya membangun persatuan tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan, baik dengan unsur-unsur gerakan [lewat KPGR (Konferensi Persatuan Gerakan Rakyat), ABM (Aliansi Buruh Menggugat), dan PPR (Partai Perserikatan Rakyat)] ataupun dengan unsur-unsur moderat (intelektual, tokoh-tokoh politik, agamawan, ekonom, tokoh LSM, budayawan, dan lain sebaginya).
Betul, sudah ada upaya. Tapi, jika mau jujur, upaya untuk membangun persatuan tersebut, dalam rencana yang disusun pada saat itu, hanyalah dengan mencoba meluluskan proposal, bukan dengan kerja-kerja bersama dalam merespon momentum-momentum politik atau momentum-momentum perlawanan rakyat. Memang ada KPGR, namun itu bukan rencana kita, itu adalah usulan dari kawan lain di luar kita, yang kemudian kita sepakati dan kita coba kerjakan. Dalam prekteknya, memang unsur-unsur gerakan, terutama yang ada di Jakarta, tidak bersungguh-sungguh tapi, di luar Jakarta, sambutan terhadap KPGR ini cukup luas. Sayangnya, karena kelemahan kepemimpinan di Jakarta, sambutan yang luas di berbagai daerah tersebut tidak dapat dipertahankan dan diperluas. Padahal, terbukti, ketika kita memutuskan untuk membangun KP-PAPERNAS, sebagian unsur KPGR juga terlibat. Demikian juga halnya dengan ABM: sekalipun intervensi kita minimal, namun penerimaan ABM untuk menjadikan isian TRIPANJI menjadi PLATFORM ABM merupakan sebuah langkah maju, apalagi ABM bukan semata-mata aliansi taktis, melainkan aliansi semi permanen—bahkan, dalam perjalanannya, sekarang akan dimajukan menjadi aliansi permanen dalam bentuk konfederasi serikat buruh; dan, lebih dari itu, ABM telah mendorong terjadinya pembangunan persatuan dengan sektor/gerakan rakyat di luar buruh. Kerja-kerja tersebut, sayangnya, kemudian makin diminimalkan setelah KP-PAPERNAS terbentuk, karena sebagaian kawan menjadi anti atau tidak percaya bahwa capaian yang telah didapat akan bisa dimajukan. Alasan utama beberapa kawan itu: gerakan tersebut tidak mau ikut pemilu. Padahal gerakan tersebut memiliki platform anti imperialis dan punya jaringan yang juga luas. Apakah gerakan anti imperialis harus mau ikut pemilu dulu baru boleh diajak untuk bersatu oleh kita? Naïf alias bodoh: karena sesungguhnya persatuan anti imperialis adalah berkali-kali lebih penting, berkali-kali lebih utama daripada sekadar ikut pemilu. Dan sejarah di banyak negeri, juga di Indonesia, telah menunjukan bahwa pemerintahan borjuis bisa dikalahkan oleh gerakan rakyat di luar mekanisme pemilu. Apalagi pemilu di Indonesia, sistemnya jauh dari demokratik, bahkan menjauhkan rakyat dalam partisipasi yang sesungguhnya sehingga, seharusnya, ketika PAPERNAS memutuskan mengintervensi pemilu, maka kerja utama PAPERNAS adalah mendobrak hambatan-hambatan demokratis yang dibuat oleh rejim, bukannya mengamini. Dan upaya mendobrak hambatan demokrasi tersebut, tidak cukup bersandar pada Aliansi Parpol untuk Keadilan, harus bersandar pada gerakan-gerakan mobilisasi massa, terutama massa yang sadar, massa yang militan, tentunya—dengan demikian membutuhkan pengorganisiran terlebih dahulu. Sedangkan Aliansi Parpol untuk Keadilan bisa dikatakan sangat cair—semua partai yang dirugikan oleh UU Pemilu atau RUU Pemilu bisa bergabung, termasuk partai Hanura maupun PKPB, yang pimpinan-pimpinanya adalah antek-antek Suharto/Orde Baru, pelanggar HAM, anti demokrasi. Bagaimana bisa: mengharapkan komitmen demokrasi pada mereka yang sejatinya anti demokrasi? ?
Dalam Latar Belakang, PRD juga mengajukan pertanyaan apakah intervensi Pemilu 2009 tetap dipandang sebagai sesuatu yang obyektif dibutuhkan—dalam kerangka taktik menghadapi imperialisme? Bila tidak, seperti apakah garis politik lain yang dapat dijalankan oleh struktur Papernas sampai Pemilu 2009? Bila ya, terdapat kenyataan Papernas belum sanggup (berdasarkan laporan organisasi) memenuhi syarat-syarat yang diciptakan rejim, dan apakah melakukan koalisi dengan partai lain dapat menjadi kesepakatan kita untuk pilihan kerja politik ke depan?
Ya, pemilu, sebagaimana juga panggung/momentum politik lainnya, harus di intervensi, tapi intervensi tidak selamanya bermakna harus menjadi peserta agar mendapatkan keuntungan yang maksimal. Mega-Bintang-Rakyat (MBR), yang merupakan taktik intervensi pemilu oleh PRD pada tahun 1997, berhasil mengajak jutaan rakyat tumpah ruah ke jalan dalam mobilisasi-mobilisasi kampanye PPP di banyak kota, dengan mengusung semangat/program Gulingkan Soeharto, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Cabut Paket 5 UU Politik dan program demokratik lainnya. Jutaan rakyat tersebut jelas merupakan hasil intervensi PRD, karena Pimpinan PPP maupun PDI Mega justru melarangnya, termasuk Rejim Soeharto pun melarang arak-arakan massa. Namun massa rakyat tidak mengindahkan larangan-larangan tersebut, mereka tetap tumpah dan bergerak di jalan-jalan sehingga, kemudian, dengan intervensi kaum pelopor yang terus berkelanjutan, akhirnya berhasil menjatuhkan Soeharto di tahun 1998—padahal pada Pemilu 1997 GOLKAR menang mutlak, dan Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden hingga 2002. Selain itu, tindakan politik tersebut berhasil memukul mundur ABRI hingga ke pojok. Siapakah di antara kita yang berani mengatakan bahwa penjatuhan Soeharto dan kesanggupan memukul mundur ABRI bukan capaian yang luar biasa—padahal, pada waktu itu, PRD adalah partai terlarang, bergerak di bawah tanah, sedang dikejar-kejar, dan dengan jumlah anggota yang sangat sedikit. Ada juga pengalaman Intervensi lainnya yang dilakukan oleh Chavez pada pemilu 1994 di Venezuela: melakukan golput aktif dengan propaganda utama Bukan Pemilu, tapi Majelis Konstituante sehingga, kemudian, pada tahun 1998 berhasil memenangkan Chavez menjadi Presiden dengan program kerakyatannya. Padahal pada pemilu 1994, Chavez ditawarkan menjadi calon Presiden dari Partai Cauza R—partai kiri yang sudah punya kursi lumayan besar di parlemen pada watu itu—namun Chavez menolaknya, karena pemilu masih dikuasai oleh elit/parpol anti rakyat sementara kekuatan rakyat belum teroragnisir dengan cukup kuat. Chavez kemudian mengkampanyekan Bukan Pemilu,Tapi Majelis Konstituante dan terus mengkampayekan kebutuhan akan majelis konstituante pada tahun-tahun berikutnya sekaligus membangun struktur organisasi dan legalitas legal untuk memperjuangkannya. Dan, pada tahun 1996, dua tahun sebelum pemilu 1998, Chavez mengadakan survey pada 100 ribu rakyat , yang isinya menanyakan pada rakyat: apakah rakyat menghendaki dirinya mencalonkan diri menjadi Presiden pada Pemilu 1998 atau tidak. Dari 100 ribu orang responden, 87 % menyatakan, Chavez harus mencalonkan diri; survey berikutnya menanyakan: apakah mereka akan memilih Chavez atau tidak. Dari 100 ribu orang responden, 57 % menyatakan akan memilih Chavez. Akhirnya Chavez membentuk partai politik, berpartisipasi dalam pemilu 1998, dan berhasil memenangkan pemilu dengan dukungan 57 % suara, sama dengan hasil survey sebelumnya. Dan kita semua tahu bahwa Chavez kemudian melakukan perombakan UUD secara radikal, sehingga UUD di Venezuela adalah UUD yang paling demokratik baik proses pembuatannya maupun isinya—termasuk banyak sekali program-program kerakyatan seperti pendidikan gratis hingga universitas, kesehatan gratis, menasionalisasi aset-aset negara yang telah dikuasai Asing dan lain sebagainya. Apakah ini bukan capaian yang maksimal, sekalipun Chavez tidak ikut pemilu pada tahun 1994. Dalam kepentingan PAPERNAS SEBAGAI ALTERNATIF, apakah PAPERNAS harus IKUT PEMILU dengan TAKTIK KOALISI—sebenarnya bukan koalisi, tapi MERGER (melebur)—BERSAMA PARTAI BORJUIS (PBR, salah satunya)? Tentu tidak, karena: 1) rakyat Indonesia, seperti kesimpulan di atas, makin tidak percaya pada elit/parpol borjuis, termasuk mekanisme borjuisnya. Rakyat justru membutuhkan ALTERNATIF di luar PARTAI DAN ARENA MEKANISME BORJUIS, sehingga seharusnya KONSENTRASI/PRIORITAS kerja PAPERNAS bukan di situ; 2) merger dengan borjuis (ala PEPRNAS) jelas akan mengikat tangan dan kaki PAPERNA karena, belum apa-apa, sudah meminta TUMBAL, yakni: PAPERNAS sebagai PARTAI POLITIK DIBUBARKAN, diganti PAPERNAS sebagai ORGANISASI MASSA (yang didaftarkan ke DEPDAGRI, walaupun esensinya, katanya, tetap partai. Satu taktik yang membingungkan rakyat). 3) tidak ada satupun partai borjuis yang ada di PARLEMEN sekarang punya persepektif ANTI IMPERIALIS dan PERSPEKTIF DEMOKRASI, apalagi PBR dan PELOPOR bahkan MENJADI PARTAI PENDUKUNG SBY-JK; 4) Papernas belum cukup kuat secara ideologi, politik dan organisasi untuk mencegah pengaruh-pengaruh busuk borjuis, jika terjadi MERGER. Namun jika koalisi terpaksa dilakukan karena ada situasi-situasi khusus—seperti ada potensi keuntungan yang sangat besar, atau ada ancaman terhadap demokrasi yang nyata dan sangat signifikan—maka bisa saja koalisi dijalankan dengan prinsip-prinsip yang tidak merugikan (kontra-produktif terhadap) kepentingan PAPERNAS sebagai PARTAI ALTERNATIF: 1) landasan Platform koalisi harus jelas, tidak boleh abstrak—sekalipun moderat—dan tidak boleh kontradiktif serta kontra-produktif terhadap program–program PAPERNAS; 2) paling tidak di luar arena merger, harus ada kebebasan bagi PAPERNAS untuk melakukan aktifitas Ideologi, Politik dan Organisasinya—dalam hal ini, bebas mengkampanyekan Tripanji dan program-program lainnya, bebas melakukan metode-metode perjuangannya, bebas menggunakan PAPERNAS sebagai PARTAI (tidak boleh dilarang, apalagi dibubarkan menjadi ormas), dan bebas melakukan kritikan terhadap sekutu baik karena kesalahan masa lalu, masa kini atau jika ada kesalahan sekutu di masa depan; 3) jika syarat tersebut terpenuhi, tetap saja pekerjaan koalisi merupakan PEKERJAAN SEKUNDER, BUKAN PEKERJAAN UTAMA, karena PEKERJAAN UTAMA PAPERNAS adalah MEMBANGUN POLITIK ALTERNATIF, POLITIK RAKYAT MISKIN.

2. Kritikan dalam Hal Analisa Situasi Nasional

? PRD menyatakan: demikian halnya dalam lapangan politik, belum ada suatu gambaran data maupun kejadian yang mengindikasikan adanya perubahan—yang mengharuskan kita meninggalkan arena elektoral—yang juga diamanatkan oleh Kongres Pembentukan Papernas di Kaliurang.
Apa yang dimaksud dengan belum ada satu gambaran data atau kejadian yang mengindikasikan adanya perubahan yang mengharuskan kita meninggalkan arena elektoral? Jika pertanyaan ini dibalik secara negatif, apakah ada data-data yang menunjukan bahwa PARLEMEN di Indonesia bisa menjadi ajang bagi perubahan sejati?Apakah ada data-data yang menunjukan partaip-partai Borjuis di Indonesia punya perspektif anti Imperialis dan demokrasi? Jika PRD memahami dialektika sejarah meereka seharusnya mengerti bahwa aksi-aksi, YANG sekarang terus-menerus terjadi, adalah buah dari kegagalan sistem demokrasi prosedural dan neoliberalisme, adalah buah dari kegagalan partai-partai politik borjuis dalam memberikan jalan keluar, sehingga dapat manjadi potensi yang luar biasa besarnya bagi POLITIK ALTERNATIF, bagi POLITIK EKSTRA PARLEMEN, bagi PAPERNAS sebagai PARTAI RAKYAT MISKIN. Namun potensi tersebut harus diolah secara tepat, dengan kesabaran yang sepenuh-penuhnya dalam melatih massa, mendidik massa, menggorganisir massa dan menyatukan massa dalam kepemimpinan program/politik, sehingga tidak mustahil akan lahir perubahan yang sejati dengan cara EKSTRA PARLEMEN. Namun jika PRD bermaksud MENUNGGU ADANYA GERAKAN RAKYAT YANG REVOLUSIONER TANPA MENGOLAHNYA, maka ITU BERARTI PRD mengambil sikap BUNTUTISME, mengekor pada kesadaran massa—yang sekarang justru sedang tanpa pengolahan kaum revolusioner. Bagi PRD: harus ada PARASMANAN kesadaran massa yang maju—dan hal itu, katanya, disebut realistis, disebut sebagai tindakan politik kongkrit. Bagaimana mungkin ada parasmanan kesdaran massa yang maju bila tidak diolah oleh kaum pelopor, yang memasokan kesadaran maju? MIMPI. PRD malah menganggap mengolah potensi tersebut sebagai mimpi, karena itu lebih baik mengambil jalan politik yang tidak bertumpu pada kesadaran maju massa (KARENA BELUM ADA), atau jalan pintas politik: menjadi peserta pemilu, APAPUN TUMBALNYA. Ada istilah untuk tindakan tersebut: PRAGMATIK, bahkan kapitulasi (baca: menyerah pada skenario musuh). Padahal, seharusnya, menjadi peserta pemilu (yang tidak mengorbankan segalanya) tujuannya justru untuk membantu pengolahan memajukan potensi kesadaran, tindakan politik, dan organisasi massa (sebagai yang pokok). Bisa saja PRD mengaku bahwa itulah sebenarnya yang akan dilakukan: memanfaatkan peluang pemilu dan duduk di parlemen/pemerintahan untuk menyadarkan massa. Bagaimana mungkin penyadaran massa akan efektif bila sebelumnya saja potensi kesadaran maju dan radikalisasi massa sudah dicemoohkan, dinilai rendah. Sejatinya, apa yang harus dikatakan PRD: Mari, kita mengolah kekuatan bakyat untuk berkuasa (salah satunya dengan cara menjadi peserta pemilu, tanpa mengorbankan segalanya) dan revolusi; dan jadikan pemilu serta parlemen untuk membantu membangkitkan kekuatan rakyat lebih jauh: revolusi. (Harus diingat kesadaran massa saat ini bisa saja dimanipulasi oleh borjuis bila tidak dipasokkan program sejati oleh kaum pelopor.) PRD mencoba agar taktiknya tidak menjadi mimpi, tidak sekadar menunggu kesadaran dan tindakan politik massa menjadi maju, yakni dengan menjadi OPPURTUNIS: 1) memanfaatkan keresahan rakyat, radikalisasi massa, dari parlemen (parlementaris); 2) atau mengambil untung dari hasil pekerjaan (tindakan/mobilisasi politik) orang/kelompok lain, juga dari parlemen Ini persis sama seperti sikap PKS dan ormas-ormasnya—dulu, saat mereka masih di bawah tanah, saat PRD dan kelompok-kelompok demokratik lainnya menggorganisir gerakan penjatuhan kediktaktoran Soeharto (pada tahan 1980an hingga 1990an), PKS tidak terlibat sama sekali dalam gerakan tersebut, namun sedikit demi sedikit mereka membangun dan memperluas struktur seiring dengan terbukannya ruang demokrasi yang diperjuangkan PRD dan kelompok-kelompok demokratik lainnya, dan baru pada detik-detik terkahir penggulingan Soeharto, senat-senat yang mereka kuasai ikut turun ke jalan. Hasilnya, mereka sekarang besar, tetapi besar di atas darah pejuang-pejuang demokrasi, darah kader-kader PRD saat itu, darah rakyat yang telah melawan kedikaktoran Soeharto. Dan bagaimana bila semua orang dan kelompok berpendirian sama dengan PKS/ormas-ormasnya, bisakah ruang demokrasi dibuka lebih lebar (Baca: sehingga bisa membesarkan PKS dan ormas-ormasnya). Benalu dan buntutisme (karenanya pemimpi).
? Dalam hal analisa politik, PRD menyatakan bahwa, sekalipun ruang demokrasi menyempit dan kekuatan konservatif semakin menguat, celah untuk melawan imperialisme tetap terbuka, baik di arena parlementer maupun ekstra parlamenter. Kita juga sekata, bahwa upaya memundurkan demokrasi ini harus dilawan, agar semakin lapang jalan bagi rakyat untuk berdaulat sepenuhnya. Perlawanan ini nyata sedang kita lakukan.

PRD mengatakan bahwa ada celah untuk melawan Imperialisme di arena PARLEMENTER dan EKSTRA PARLEMETER.. Sebenarnya, seberapa besar celah perlawnan terhadap imperialis di arena parlementer dibandingkan dengan arena di luar parlemen? Bila dianalisa dari partai-partai yang ada sekarang, dari aturan-aturan yang ada di arena parlemen, bahkan dari situasi di parlemen, sangat jelas bahwa celah itu sangat kecil. Sekalipun ada anggota PAPERNAS yang menjadi anggota DPR, celah itu masih sangat kecil, apalagi jika tidak ada gerakan massa di luar parlemen. Namun bandingkan dengan arena di luar parlemen, banyak sekali organisasi gerakan yang mengusung program anti imperialisme—walaupun belum bersikap soal taktik arena parlemen—banyak sekali aksi-aksi di luar arena parlemen yang sangat maju metodenya, banyak sekali perlawanan rakyat (di luar arena perlemen) yang menolak dampak-dampak neoliberalisme, dan semakin meningkat ketidakpercayaannya terhadap arena parlemen. Ekspresi GOLPUT jangan dianggap remeh menjadi semata teknis, tidak bisa bangun pagi, karena kerja, tidak terdaftar sebagai pemilih dan lain sebagainya. Karena rakyat akan bersemangat mengikuti pemilu dengan segala tetek-bengeknya kalau ada harapan perubahan yang akan diberikan setelah pemilu. Juga jangan anggap remeh ekpresi pengulingan Kepala Daerah-Kepala Daerah yang anti rakyat. Ini adalah celah yang luas sekali, belum lagi cakupan teritori dan sektornya, yang menyebar di seluruh Indonesia. Bahkan Hizbut Tahrir Indonesia— fundamentalis Islam—justru mengangkat program anti imperialis yang lebih maju dibandingkan dengan PDIP maupun PKB, apalagi PBR dan PELOPOR. Dengan demikian, jika berangkat dari politik kongkrit, politik nyata, politik rakyat, maka arena di luar parlemen lah yang memungkinkan menjadi arena utama untuk diolah oleh PAPERNAS, walaupun pada awalnya sulit populer—yang bisa diatasid engan program persatuan.? Dalam hal kesadaran massa, PRD menyatakan bahwa sebagian besar dari aksi-aksi perlawanan tersebut masih berada di bawah pengaruh kesadaran reformis, yang dapat diselesaikan, bisa dihentikan, dengan sogokan dan konsesi-konsesi. Karena itu, masih ada potensi rakyat akan kembali terseret menuruti kehendak partai-partai dan elit tradisional dalam suatu momentum politik yang muncul. Tentu saja kesadaran mayoritas rakyat adalah kesadaran reformis—kesadaran borjuis—dan ini asal usulnya sangat mudah dianalisa, yakni: ideologi borjuis jauh lebih tua, jauh lebih lama, dibandingkan dengan ideologi demokrasi kerakyatan, apalagi ideologi demokrasi kerakyatan di Indonesia telah dihancur-luluh-lantakan pada tahun 1965 dan sepanjang Orde Baru berkuasa, bahkan hingga sekarang ideologi demokrasi kerakyatan tidak sepenuhnya bebas dipropagandakan. Dan kesadaran reformis rakyat ini, selamanya akan selalu begitu, jika kaum pelopor, kaum revolusioner, tidak mengintervensinya dengan penuh dalam situasi apaun dan dengan alasan apapun. ? Lebih jauh PRD menyatakan: Lebih gamblang dapat dijelaskan bahwa perkembangan kuantitatif tersebut belum sanggup mengatasi kelemahan mendasar dari seluruh perlawanan tersebut, yaitu; fragmentatif dan ketidakjelasan orientasi politik. Benar, PRD benar sekali, bahwa perkembangan kuantitatif perlawanan spontan belum sanggup mengatasi fragmentatif dan ketidakjelasan orientasi politik, serta seusungguhnya bukan hanya belum sanggup, melainkan tidak akan pernah sanggup. Massa rakyat, dengan pengalaman ditindas dan perlawanannya (yang tak tersadarkan)—juga harus dicatat, masih banyak lagi yang ditindas tetapi tidak melawan—akan memiliki kesanggupan untuk mengatasi persoalan fragmentasi dan orientasi politik seperti yang di maksudkan PRD, karena persoalan persatuan perlawanan, persoalan perebutan kekuasaan, persoalan sosialisme, hanya mungkin didapatkan oleh massa rakyat jika ada kekuatan politik pelopor yang memasoknya, mendidiknya dengan tak kenal lelah, dengan bacaannya, dengan aksi-aksinya, dengan organisasinya, dengan persatuan-persatuannya, dengan vergadering dan lain sebagainya. Sehingga keberadaan PRD dan organisasi politik lainnya, yang mengaku dirinya sebagai kekuatan politik kelas, kekuatan politik termaju dari massa rakyat miskin, seharusnya diabdikan ke arena tersebut, bukan sebaliknya: meninggalkan arena tersebut dan menunggu massa rakyat untuk sadar sendiri; baru kemudian setelah massa rakyat sadar, PRD akan bergerak di arena tersebut. Apalagi alasan meninggalkan arena tersebut? Karena ada arena lain, yakni arena parlemen yang sangat “nyata”, “kongkrit” yang, nyatanya, kongkritnya, tidak memiliki kesanggupan untuk membebebaskan massa rakyat miskin dari cengkraman penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya.?
Dalam hal memandang gerakan, PRD menyatakan: Kaum pergerakan adalah salah satu fragmen dari luasnya fragmen rakyat yang berlawan. Sebagai salah satu fragmen, kaum pergerakan juga masih terpisah-pisah lagi ke dalam detail fragmen yang lebih luas, baik dalam hal pilihan praktik politik maupun pilihan alat yang digunakan. Mayoritas dari fragmen kaum pergerakan (yang relatif kecil dalam perimbangan dengan kekuatan elit secara keseluruhan) belum mempunyai orientasi politik, atau masih ragu-ragu dan lamban menentukan sikap.
Sebagai fakta, betul apa yang disampaikan oleh PRD, namun tentu saja akan salah jika fakta tersebut kemudian dijadikan pembenaran untuk meninggalkan gerakan, karena selemah-lemahnya iman kaum pergerakan (katakanlah pimpinan dan organisasi kerakyatan), merekalah yang paling maju dalam perjuangan melawan dominasi penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya. Apakah PRD buta (mata dan hati) bahwa salah satu elemen pergerakan, yakni Aliansi Buruh Menggugat, adalah Organisasi yang dalam tindakan politiknya telah bergerak dengan mengusung TRIPANJI; atau KAU, yang sekalipun masih sangat elitis dalam makna organisi, namun kampanye-kampanye mereka soal penghapusan utang luar negeri, cukup efektif; apakah PRD juga buta (politik), bahwa Walhi (dengan jaringannya) cukup efektif mengkampanyekan tuntutan-tuntutan anti neoliberal; demkian juga dengan beberapa organ permanen kampus yang mengusung program anti neoliberal; dan banyak pula organ-organ pergerakan yang mengusung program demokratisasi atau kombinasi keduannya. Sebagai fakta, tidak dapat dipungkiri bahwa jaringan organ pergerakan tersebut masih kecil, juga kemampuan propaganda dan mobilisasinya, namun fakta tersebut tidak bisa dijadikan alasan bagi partai pelopor untuk meninggalkannya, karena tugas menyadarkan, menyatukan, memperbesar gerakan adalah tugas partai pelopor.

3. Kritikan dalam hal Program PerjuanganTidak ada kritikan dalam hal program perjuangan.

4. Kritikan terhadap Strategi-Taktik Front Persatuan dan Koalisi Elektoral?
Sejauh unsur-unsur pendukung imperialis di dalam negeri masih dominan di lapangan politik, dan menguasai alat-alat kekuasaan negara, dan di lain pihak terdapat potensi unsur-unsur yang menentangnya, maka politik front persatuan mutlak kita butuhkan.
Dalam logika front persatuan yang dimaksud oleh PRD, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa kesamaan program anti dominasi imperialis adalah salah satu ukuran dalam hal penggalangan sekutu—logika yang kemudian dibantah sendiri oleh juru bicara–juru bicara PRD dalam Sidang Presidium Nasional PAPERNAS—bahkan PRD mengatakan, potensi unsur-unsur yang menentang dominasi imperialis pun wajib dijadikan sekutu. Artinya, kaum pergerakan, perlawanan spontan rakyat—karena perlawanan spontan rakyat menyimpan potensi anti dominasi imperialis—adalah sekutu sejati PRD, yang harus terus menerus diajak untuk membangun persatuan anti dominasi imperialis.?
Pada point selanjutnya , PRD menyatakan: Namun realitasnya kita (PAPERNAS) tidak bisa lolos sendiri, dan kesempatan untuk memanen keuntungan politik-organisasi pun tetap terbuka lewat koalisi.
Secara teoritik (yang umum dan abstrak), tidak bisa dibantah bahwa taktik koalisi—bahkan (dalam hal ini) koalisi dengan kekuatan borjuis—dimungkinkan. Namun, koalisi dengan borjuis memiliki syarat-syarat situasi obyektif maupun subyektif yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu: 1) ada musuh bersama yang sedang mengancam perjuangan demokrasi dan sosialisme ke depan [FPI dan kelompok-kelompok anti-komunis tidak bisa disimpulkan sebagai ancaman serius, tebukti rakyat bisa mengalahkannya saat ada upaya penghancuran (crackdown) terhadap PRD pada tahun 1996; juga rakyat bisa mengalahkannya pada saat kaum raksioner mengerahkan PAMSWAKARSA; bagaimana mungkin peluang demoktrasi liberal (sebagaimana yang disimpulkan PRD) yang lebih tebuka ketimbang sebelumnya tidak bisa dimanfaatkan untuk melawa FPI?]; 2) karena sifatnya yang momentual—lihat point pertama—maka koalisi tersebut tidak bisa diharapkan berjalan dalam jangka panjang, kecuali jika momentumnya bisa diprediksi akan panjang; 3) secara subyektif, harus ada kebebasan untuk melakukan aktifitas agitasi propganda revolusioner dan aktifitas politik partai di luar arena/kesepakatan koalisi (apa yang diistilahkan: kita punya program dan politik sendiri yang tidak boleh dikerangkeng); 4) termasuk melakukan kritik/oposisi terbuka terhadap program/tindakan politik sekutu yang mendukung imperialisme; 5) Program-program perjuangan koalisi haruslah program yang kongkrit dan spesifik—sekalipun minimum—agar mudah diterima oleh massa rakyat sekaligus mudah pula ditagih konsistensi perjuangannya. Dan yang tidak termasuk ke dalam kesepakatan platform koalisi, tentu saja boleh diwujudkan oleh kita sendiri, tanpa ikatan); 6) karena salah satu tujuan koalisi adalah memperbesar mobilisasi massa rakyat, maka sandaran utama koalisi adalah organ-organ gerakan dan perlawanan spontan rakyat. Dari kenyataan saat ini, ancaman musuh bersama belum manifes di antara partai-partai borjuis; yang ada adalah: semua partai borjuis menjadi musuh bersama rakyat. Kalaupun ada rencana koalisi Golkar-PDIP, yang bisa saja akan menghambat perjuangan rakyat kedepan, namun belum terlihat kegelisahan di antara partai borjuis lainnya untuk melakukan perlawanan secara kuat, malah yang menjadi musuh bersama partai-partai borjuis adalah PKS, sekalipun PKS juga tidak kelihatan tindakan politiknya yang membela rakyat miskin—kecuali dalam bentuk karitatif.? Koalisi obyektif dapat dijalankan selama masih dalam batas-batas politik yang menguntungkan bagi front persatuan. Kongkritnya, koalisi ini jangan sampai bertentangan dengan program perjuangan, harus mencerminkan persatuan dalam aspek program, struktur, dan sebagainya. Pernyataan PRD tersebut benar. Namun jika tidak ada syarat obyektifnya, maka koalisi tersebut hanyalah menjadi keinginan subyektif, sehingga harapan agar koalisi (dengan partai/pihak borjuis) dapat berjalan sesuai dengan tujuan-tujuan perjuangan partai adalah omong kosong, apalagi dalam situasi di Indonesia saat ini tidak ada satupun partai borjuis pun—yang ada di parlemen—yang dapat disimpulkan tindakan politik-organisasinya membela kepantingan rakyat miskin, bahkan dalam program darurat/mendesak sekalipun, apalagi memperjuangkan demokrasi dan melawan dominasi imperialis. ?
Lebih lanjut PRD menetapkan syarat sekutu koalisi, yaitu: Syarat-syarat atau batasan dalam pembangunan Partai Koalisi secara prinsip: a) calon sekutu menerima platform dasar kita yaitu anti imperialisme atau ”dalam bahasa lainnya” (tanda kutip dari penulis tulisan ini, untuk menunjukkan bagaimana PRD bersilat kata); b) calon sekutu bukan berasal dari unsur kekuatan pokok penopang orde baru atau kekuatan reaksi yang anti demokrasi. Alat ukur kesepakatan tersebut apa? Menurut juru bicara-juru bicara PRD di Sidang Presidium Nasional PAPERNAS, alat ukurnya adalah kesepakatan di atas kertas, dalam bentuk MOU—yang, padahal, sampai sekarang, belum ada samasekali. Jika alat ukurnya adalah kesepakatan di atas kertas—apalagi cuma obrolan antara pimpinan PRD dengan pimpinan partai borjuis—sudah bisa terbayang bahwa koalisi yang dibangun akan sangat rentan, baik kemampuan berjuangnya maupun konsistensi perjuangannya. Bandingkan koalisi dengan Gus Dur (dengan platform anti sisa-sisa Orde Baru) dan Koalisi Nasional—yang antara lain melibatkan PNBK—(dengan platform anti neoliberal). Yang paling mampu menunjukan serangan politik cukup radikal adalah koalisi dengan Gus Dur, karena situasi obyektif pada saat itu memungkinkan, yakni: adanya ancaman dari kekuatan sisa-sisa Orde Baru yang ingin merestorasi diri dalam panggung kekuasaan Indonesia. Di banyak tempat, kantor-kantor Golkar menjadi sasaran aksi massa; bahkan, di Jawa Timur, kantor Golkar dibakar massa. Sedangkan Koalisi Nasional, sekalipun ada situasi obyektif yang juga menguntungkan, yakni kemarahan rakyat atas kebijakan Megawati untuk menaikkan harga BBM, TDL, tarif telpon secara bersamaan pada awal Januari 2003, namun tidak cukup kuat serangan politiknya, bahkan sekalipun mendapat respon yang cukup baik dari media massa pada saat konferensi pers di Gedung Juang, Jakarta, saat mengumumkan terbentuknya Koalisi Nasional ini. Pada saat Vergadering Koalisi Nasinal di Tugu Proklamsi—pada saat itu PRD dan ormas-ormasnya melakukan mobilisasi secara nasional—tidak ada mobilisasi sama sekali dari PNBK maupun partai/kelompok lainnya yang tergabung dalam Koalisi Nasional, bahkan Eros Djarot sebagai Ketua Umum PNBK, juga tidak hadir. Praktis, di lapangan, yang hadir hanya massa PRD dan ormas-ormasnya, serta dukungan massa dari Komite Anti Penindasan Buruh—Front Persatuan Buruh yang justru tidak tergabung dalam Koalisi Nasional. Jika pengalaman tersebut ditarik dalam konteks sekarang: koalisi yang dicita-citakan PRD berdiri di atas landasan situasi hampa-politik, tanpa terlebih dahulu menciptakan atmosfir gerakan perlawanan, atau tanpa musuh bersama yang akan dilawan. Nasib koalisi tersebut akan jauh lebih buruk dibandingan Koalisi Nasional ataupun koalisi dengan Gus Dur. Dalam point B, dikatakan bahwa calon sekutu bukan berasal dari unsur kekuatan pokok penopang Orde Baru atau kekuatan reaksi yang anti demokrasi. Seharusnya pengertian tersebut diberikan penjabaran yang lebih rinci, agar jelas apa yang dimaksudkan oleh PRD. Jika pengertian kekuatan pokok Orde Baru adalah semata-mata Golkar, maka PPP bisa dikategorikan sebagai calon sekutu (padahal PPP juga merupakan Partai bentukan Orde Baru—hasil fusi yang dipaksakan tanpa perlawanan); atau bisa juga PKPB maupun Hanura dijadikan calon sekutu, karena selama Orde Baru, kedua partai tersebut belum ada, sekalipun pimpinan PKPB maupun Hanura adalah Orang-Orang yang memegang banyak jabatan penting selama Orde Baru. Lalu bagaimana dengan PDIP, apa kriterianya? PDIP bukan penopang utama Orde Baru, tetapi pernah memerintah dan bahkan pernah memberikan peluang menguatnya kembali Orde Baru (Golkar dan tentara) ke panggung kekuasaan politik. Bukankah kejatuhan Gus Dur adalah hasil Kolaborasi PDIP, GOLKAR, tentara, sisa-sisa Orde Baru dan Poros Tengah? Sekarang pun PDIP dan GOLKAR sedang membangun program stabilisasi politik demi kesejahteraan (ingat yang serupa dengan itu: Trilogi Pembangunan Orde Baru!) yang intensif melalui serangkaian pertemuan massal. Lalu Bagimana juga dengan Partai-partai pendukung Pemerintahan SBY-JK, baik yang sudah mendukung sejak pencalonan Sby-Jk di Pilpres 2004 seperti Partai Demokrat dan PKS maupun yang baru belakangan mendukung—dalam hal ini PBR maupun PELOPOR termasuk partai-partai yang mendukung pemerintahan SBY-JK. Artinya, kualifikasi calon sekutu yang diajukan PRD sangat tidak lengkap karena bisa mengasilkan pengertian bahwa PAPERNAS bisa berkoalisi dengan PDIP, PPP, PAN, Partai Demokrat, PKS hingga koalisi dengan PKPB maupun Hanura. Atau dengan bahasa lain: selain Golkar, semua partai bisa diajak berkoalisi. Harusnya, sejarah partai-partai dijabarkan secara rinci, termasuk sepak terjanganya di daerah, agar bisa dilihat mana partai yang ketika diajak berkoalisi dapat memberikan keuntungan bagi perjuangan rakyat miskin ke depan; dan ketika tidak ada yang memenuhi syarat, tidak perlu PAPERNAS dipaksakan untuk berkoalisi. Setelah hal tersebut dijabarkan, baru lah PRD bisa berbicara apa saja potensi keuntungan kalau PAPERNAS berkoalisi; juga harus dijabarkan apa saja potensi kerugiannya—karena secara teoritik, koalisi itu ada di ranah kompromi, sehingga ada potensi kerugian juga yang harus diantisipasi. Namun, dalam Propasal PRD, dengan yakin PRD menyampaikan potensi-potensi keuntungan yang menggiurkan seperti: bisa mempropagandakan program perjuangan melawan imperialisme beserta program-program mendesaknya, menarik unsur-unsur anti imperialis dari kalangan kaum demokrat, mengkonsolidasikan dan memajukan politik partai koalisi agar arah perjuangannya sejalan serta menguntungkan bagi perjuangan rakyat melawan imperialisme dan kaki-tangannya, serta dapat merangkul unsur-unsur maju di dalam partai koalisi, mempengaruhi—atau setidaknya menetralisir—unsur-unsur yang labil, dan mengisolir unsur-unsur yang konservatif di dalam partai koalisi. Tentu saja, secara konsepsi logika formal hal tersebut bisa dianggap ”benar” (sekalipun dalam kenyataannya tidak ada), namun jika diletakan dalam realitas kongkrit partai-partai yang ada sekarang, belum tentu semuanya bisa diwujudkan, apalagi PRD tidak menjabarkan apa saja potensi kerugian yang harus ditanggung oleh PAPERNAS saat berkoalisi. ? Dalam penjabaran taktik, PRD memegang ”teguh” konsepsi taktik utamanya yang disebut dengan konsentrasi ideologi, politik, organisasi dalam mengerjakan koalisi elektoral di teritorial pada daerah pemilihan (dapil). Konsepsi tersebut berangkat dari keyakinan bahwa taktik konsentrasi bisa mendorong maju koalisi—hingga sanggup menjadi alat perjuangan anti imperialisme yang efektif (dalam pengertian menjadi alternatif bagi rakyat). Rumusan tersebut sungguh menyedihkan, karena tidak berangkat dari situasi nyata, situasi kongkrit, bahwa partai-partai yang saat ini ada di parlemen sejatinya adalah partai-partai yang mendukung imperialisme. Sehingga mengharapkan adanya perubahan karakter ideologi, politik dan organisasi dari partai-partai ini, sekalipun ada PAPERNAS di dalamnya, adalah mustahil. Hal tersebut bukan permasalahan apakah calon sekutu bersedia menandatangani MOU, tetapi bagaimana karakter partai-partai tersebut, kelas-kelas (apa dalam masyarakat) yang membentuk dan menghidupka partai-partai tersebut, sehingga tidak bisa dengan gampang diberikan kesimpulan bahwa dengan MOU maka karakter partai-partai parlemen ini sudah atau akan berubah. Apalagi rencana koalisi yang sudah dikerjakan oleh DPP PAPERNAS adalah koalisi dengan PBR-PELOPOR—itu artinya akan ada perjuangan internal di partai koalisi tersebut, yakni perjuangan untuk menghadapi dua partai politik yang karakter politik kelasnya adalah pendukung imperialis (yang akan sangat berat untuk memenangkannya). Dan karena konsepsi PRD mengabaikan potensi pembangunan gerakan anti imperlisme di luar koalisi, maka bisa dipastikan perjuangan internal di partai koalisi ini akan sulit dimenangkan karena tidak ada tekanan dari gerakan massa di luar koalisi. Dalam kepentingan menjalankan taktik koalisi (dengan konsentrasi di dapil), maka langkah awal yang harus dilakukan adalah: membalikan citra PBR (yang busuk dan sektarian) menjadi PBR yang berpihak pada rakyat dan demokratik. Itulah, katanya, yang (dalam proposal PRD) menjadi perspektif kerja mendesak. Menurut PRD, itulah tugas PAPERNAS dalam partai koalisi tersebut. Namun, jika tugas tersebut (disepakati secara sepihak) oleh PAPERNAS maka, obyektifnya, PAPERNAS akan berhadap-hadapan secara langsung dengan unsur-unsur dalam partai koalisi tersebut yang, sejatinya, adalah musuh-musuh rakyat. Mana mungkin partai koalisi tersebut akan memenangkan pemilu jika penuh dengan konflik internal. Dan karena PRD mengartikan intervensi pemilu sebagai keharusan menjadi peserta pemilu, itu artinya konflik internal tersebut akan berujung pada kompromi yang merugikan rakyat. Kaitannya dengan organisasi pendukung PAPERNAS, maka tentu saja politik koalisi tersebut akan sangat merugikan karena struktur organisasi yang selama ini terbangun [dengan politik yang baik (dalam ukuran organisasi progresif)] bahkan bisa mengalami kemunduran, akan ditinggal massa yang menyeberang ke organisasi yang lebih progresif.

5. Kritikan dalam hal OrganisasiDalam proposal PRD, pengertian partai persatuan yang dibangun ke depan dimanipulasi sebagai koalisi (yang, sebenarnya merupakan merger/peleburan). Itulah sebabnya dikatakan bentuk partai koalisi tersebut adalah fusi. Padahal, secara politik maupun organisasi, pengertian antara koalisi dengan peleburan sangat jauh berbeda. Dalam koalisi, di luar hal-hal yang telah disepakati dalam koalisi, unsur-unsur penyusun koalisi masih memiliki independensi politik dan organisasi satu dengan lainnya. Dengan demikian, jika persatuan yang dibangun adalah koalisi, maka PAPERNAS masih memungkinkan menjalankan politiknya sendiri. Namun, jika persatuan yang dibangun bermakna peleburan, maka sedari awal PAPERNAS sudah kehilangan independensinya, karena secara politik dan organisasi sudah dilebur dengan unsur-unsur yang anti rakyat, sehingga politik organisasi PAPERNAS paling banter abu-abu atau, yang paling parah, justru menjadi sama dengan politik-organisasi unsur-unsur anti rakyat tersebut. Dan, tidak perlu menunggu lebih lama lagi, wajar bila PRD kemudian menyetujui agar PAPERNAS berubah “nama”—tekanan “kata PARTAI” dihilangkan diganti dengan persatuan dan lain sebagainya. Tentu saja orang bodoh sekalipun akan memahami bahwa hal tersebut bukan sekadar pergantian nama, melainkan perubahan karakter organisasi, dari sebuah partai politik menjadi organisasi massa, merubah sebuah alat tertinggi perjuangan politik massa menjadi alat pembelajaran perjuangan massa. Hal itu oleh PRD dianggap sebagai kewajaran, karena PAPERNAS harus tetap menjadi peserta pemilu (sekalipun menghilangkan ”kata” partai) karena sebuah partai politik, menurut PRD, harus menjadi peserta pemilu sebagai wujud konkrit politik kepartaiannya, dengan kata lain tidak ada gunanya membangun partai politik jika tidak menjadi peserta pemilu. Argumen itu saja sudah menyalahi sejarah PRD sendiri yang secara legal berdiri pada tahun 1996—dengan kerja-kerja ilegal pada tahun-tahun sebelumnya—karena dalam dokumen-dokumen PRD pun banyak dijelaskan bahwa, sekalipun tujuan partai politik adalah untuk merebut kekuasaa namun, karena kepentingan rakyat yang diutamakan, maka cara menuju kekuasaan bisa bermacam-macam: bisa dengan ikut pemilu; bisa juga dengan boikot pemilu; bisa juga dengan cara-cara yang lainnya—bahkan, di banyak negeri, partai-partai politik terlibat dalam pemberontakan untuk merebut kekuasaan; juga di Indonesia, sebelum kemerdekaan, banyak partai politik yang menjalankan politik anti kompromi (non-kooperasi) dengan Belanda, sekalipun Belanda juga membuat lembaga parlemen yang disebut Volksrad. PKI, PNI, PARTINDO dan banyak partai lainnya menolak memasukan orang-orangnya ke dalam lembaga ini.
KESIMPULAN:

1. Bahwa PRD telah meremehkan kemampuan rakyat dan gerakannya untuk melakukan pembebasan (radikal) bagi dirinya sendiri dari penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya;

2. Bahwa PRD telah meremehkan kemampuan rakyat dan gerakannya untuk membangun persatuan yang kokoh untuk membebaskan dirinya dari penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya;

3. Bahwa PRD telah memberikan ilusi (baca: menipu) rakyat, dengan menyimpulkan bahwa perlawanan anti imperialisme dan bonekannya di parlemen (saat ini) sangat besar peluangnya;

4. Bahwa PRD telah menghancurkan politik dan alat perjuangan alternatif rakyat, yakni PAPERNAS dan organisasi pendukungnya, dengan meleburkan diri kepada partai penindas rakyat, sehingga mempersulit perjuangan rakyat ke depannya;

5. Bahwa PRD telah menjerumuskan PAPERNAS pada GARIS POLITIK PARLEMENTARIS.

Max Lane: Indonesia antara Nasionalisme dan Pembebasan Nasional[*]

Indonesia sebagai sebuah nasion baru ada setelah abad XX. Untuk menjelaskan itu akan dimulai dengan pengertian nasion (nation). Saya akan mengajukan beberapa hal menyangkut pembentukan nasion. Pertama-tama yang dimaksud nasion adalah gejala baru dalam sejarah umat manusia. Nasion sebenarnya hanya muncul di atas bumi manusia sejalan dengan berkembangnya kapitalisme. Sebelum ada kapitalisme tidak ada yang namanya bangsa atau nasion. Pada masa sebelum perkembangan kapitalisme yang ada hanyalah kelompok-kelompok etnis, kesukuan, kerajaan dan sebagainya—bukan nasion, bukan negara. Nasion memiliki beberapa sifat konkret, yang menurut saya—yang jika semua sifat itu tidak ada, kalau tidak lengkap—tidak bisa disebut nasion, atau belum nasion.
Nasion merupakan sebuah komunitas yang terbentuk dalam proses perkembangan sejarah yang stabil. Artinya, ada (eksis), sudah mampu bertahan cukup lama dan cukup stabil. Jadi, sesuatu fenomena yang eksis 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun terus hilang, itu belum stabil. Jadi, nasion itu harus yang sudah stabil, sudah eksis cukup lama. Komunitas orang-orang yang terbentuk dalam proses sejarah yang stabil itu, pertama, harus memiliki wilayah yang dihuni bersama (common territory). Kedua, ada bahasa yang dipakai bersama (common language). Ketiga, kehidupan ekonomi bersama—semua orang yang tinggal di suatu wilayah memiliki satu kehidupan ekonomi bersama. Biasanya dalam proses kemunculan kapitalisme terbentuk suatu pasar yang terintegrasi, tersatukan di dalam wilayah itu. Cerminan fenomenanya adalah adanya mata uang yang sama, hukum pajak yang sama, peredaran barang di seluruh wilayah, termasuk tenaga kerja manusia tersatukan dalam satu proses ekonomi di suatu wilayah. Keempat, ada watak psikologis bersama yang tercerminkan dalam satu kebudayaan bersama.
Sifat-sifat di atas tidak mendadak jatuh dari langit. Di setiap negara, kemunculan sifat tersebut berbeda-beda dan dengan pasang surut yang berbeda-beda pula. Ada yang bisa berkembang cepat, sementara yang lainnya lama, dan seterusnya. Keempat sifat di atas—sebagaimana analisis dari kaum kiri—tidak diperoleh dari langit, melainkan merupakan hasil dari pengamatan terhadap proses. Orang yang pertama kali menulis soal untuk pertama kalinya mengamati proses sejarah masyarakat Eropa, dan kemudian Amerika. Di jaman Eropa feodal misalnya, kerajaan-kerajaan yang ada adalah kerajaan-kerajaan kecil. Kalaupun ada raja besar, itu adalah kerajaan yang memperoleh upeti dari berbagai raja-raja kecil. Di masing-masing kerjaan Eropa itu bahasanya berbeda-beda—itu yang sering dilupakan orang. Misalnya di Prancis ketika terjadi Revolusi Prancis, jumlah orang yang saat ini disebut sebagai orang Prancis dan berbahasa Prancis hanya 30%, sedangkan 70% lainnya sebelum Revolusi Prancis berbicara dalam bahasa-bahasa suku. Demikian pula di Jerman dan Itali. Sebelumnya tidak ada bahasa Italia yang menyatukan seluruh Italia. Di Inggris, bahasa Skotlandia yang asli, bahasa Wales yang asli tidak dimiliki oleh orang Inggris. Di Eropa pada awalnya batas-batas geografis kerajaan itu sangat cair. Tetapi dalam proses penyatuan, misalnya Napoleon menyatukan Prancis, Bismarck menyatukan Jerman dan sebagainya, setelah melalui berbagai peperangan, lama kelamaan wilayahnya menjadi jelas.
Salah satu faktor yang menggerakan kaum borjuasi di Prancis untuk menjatuhkan feodalisme adalah karena adanya “kemumetan” dalam mengatur perekonomian. Itu karena masing-masing wilayah di Prancis, pertama-tama bahasanya, isi perjanjian ekonomi, pajak dan lain-lain di setiap daerah memiliki bahasa yang berbeda-beda. Berdasarkan kenyataan itu kaum borujuasi menginginkan satu pengaturan ekonomi yang meliputi seluruh wilayah dengan mata uang yang sama, aturan pajak dan pungutan yang sama. Mereka menginginkan satu ekonomi nasional, pasar nasional dengan aturan nasional yang bersatu, yang terintegrasi, di mana semua orang bisa terlibat. Itu merupakan salah satu sebab—bukan satu-satunya—mengapa kaum borjuasi Prancis menggulingkan kekuasaan feodal. Mereka menginginkan sebuah bentuk republik untuk seluruh Prancis. Jadi orang-orang bukan lagi abdi raja, tapi menjadi warga suatu republik, suatu nasion. Termasuk tenaga kerja masuk ke pasar nasional, di mana harga tenaga kerja dalam bentuk gaji itu menjadi relatif merata di semua sektor ekonomi. Membeli buruh di suatu daerah dan daerah lainnya kurang lebih sama. Kalaupun tidak sama, ada aturan nasional yang bisa memastikannya (memberi kepastian), sehingga terbentuklah pasar nasional.
Apakah memang bangsa-bangsa itu memiliki watak psikologis yang berbeda-beda? Watak psikologis ini datang dari mana? Kebudayaan yang dialami, dijalankan bersama-sama dalam wilayah tersebut (nasion) berasal dari mana? Faktor itu penting, apalagi di negara-negara pasca kolonial seperti Indonesia.
Munculnya nasion dengan sifat di atas merupakan proses sejarah. Artinya, ada awalnya, ada proses berkembangnya, dan ada proses selesainya. Jadi kalau ada pertanyaan apakah bisa selesai, menurut saya proses menyelesaikan atau mewujudkan keempat sifat nasion di atas seharusnya bisa. Hal yang perlu dicatat dan penting adalah bahwa terbangunnya nasion tidak menjamin apa-apa bagi masyarakat yang menjadi warganya. Adanya nasion tidak menjamin kemakmuran masyarakat. Adanya nasion hanya menjamin kemampuan untuk satu nasion berhubungan/berususan dengan nasion-nasion lain. Suka tidak suka, dunia sekarang terdiri dari nasion-nasion. Dalam kerangka itu, jika proses pembentukkan nasion belum mantap, maka dalam berurusan dengan nasion lain nasion yang bersangkutan akan berada dalam posisi lemah. Sebaliknya, jika sudah berkembang posisinya bisa tidak lemah lagi atau tidak selemah seperti sebelum berkembang. Faktor lain yang dapat menjadi imbangan kekuatan adalah potensi. Tinggal persoalannya apakah potensi yang ada itu bisa direalisasikan atau tidak.
Batasan wilayah Indonesia berasal dari batasan yang dibuat pada jaman Hindia Belanda. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa batas wilayah Indonesia merupakan hasil dari proses kolonialisme—tetapi bukan bentukan Hindia Belanda. Oleh sebab itu, keliru jika mengatakan bahwa Indonesia merupakan ciptaan Belanda, sebagaimana pendapat beberapa kalangan sejarawan Barat. Secara kewilayahan, Indonesia merupakan hasil pertempuran pihak-pihak kolonial (Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris).
Pandangan yang mengatakan bahwa Indonesia dipersatukan oleh Belanda adalah tidak benar. Kaum kolonial justru memecah belah setiap usaha membentuk nasion Indonesia. Wilayah Indonesia menjadi jelas terjadi dalam proses sejarah kolonialisme. Sedangkan aspek-aspek lain yang menjadi ciri nasion Indonesia dibangun oleh orang Indonesia sendiri—hasil dari proses perjuangan orang Indonesia sendiri. Bahasa Indonesia menjadi bahasa bersama diresmikan oleh gerakan Indonesia: Sumpah Pemuda. Hal itu merupakan hasil dari sebuah proses. Dalam hal itu, Pramoedya Ananta Toer memiliki jasa besar dalam menunjukkan bahwa orang Indo dan orang Tionghoalah yang sebenarnya membangun landasan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional.
Sebuah bahasa hanya bisa berkembang menjadi sebuah bahasa nasional jika sudah mampu dipakai untuk sastra. Sebelum muncul sastra bahasa Melayu, bahasa Melayu hanya dipakai untuk sastra kraton—dengan bahasa yang sangat sempit—dan bahasa perdagangan. Sebagai lingua franca, bahasa yang dipakai di seluruh kepulauan Nusantara hanya untuk kepentingan perdagangan, seperti isi kontrak, harga, tawar-menawar di pasar dan pelabuhan. Kalangan yang mulai membangun bahasa Melayu sebagai bahasa yang bisa dipakai untuk membicarakan atau membahas masalah kehidupan modern adalah orang-orang Indo yang menulis novel-novel tentang kehidupan Hindia Belanda waktu itu, kemudian orang Tionghoa yang menulis cerpen dan novel-novel dalam bahasa Melayu. Dengan begitu bahasa Melayu pun berkembang. Kalangan yang mengambil langkah berikutnya—yang membawa bahasa Melayu benar-benar menjadi bahasa nasional—adalah aktivis-aktivis gerakan nasionalis. Mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk menjelaskan visi dan perjuangannya ke masa depan. Sebaliknya, Belanda sendiri menggunakan bahasa Melayu hanya sebagai bahasa administrasi—bahasa larangan dan alat pengaturan terhadap masyarakat jajahannya—bukan bahasa yang akan mampu menjadi bahasa untuk membentuk suatu—bahasa yang mampu membahas segala aspek kehidupan, terutama politik. Di jaman penjajahan Belanda bahasa Melayu selalu disempitkan menjadi bahasa yang sangat kaku. Bahasa Melayu menjadi bahasa yang hidup diwujudkan melalui gerakan nasionalisme, yang pada tahun 1928 diresmikan sebagai bahasa nasional. Dari situlah bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa Indonesia yang aktif dipakai untuk membahas masa depan Indonesia: bagaimana mencapainya dan apa yang harus dilakukan untuk mencapainya.
Jika membaca karya tulis pengamat Belanda di jaman kolonial, ciri yang paling berlaku tentang kehidupan ekonomi di Hindia Belanda adalah dual economy: di satu sisi ada ekonomi yang dijalankan oleh orang-orang Eropa, sebagian kecil orang Tionghoa; dan di sisi lain ekonomi yang dijalankan oleh orang Hindia Belanda—dari semua etnis. Orang-orang Eropa berada di sektor ekonomi yang sangat produktif dan menghasilkan kekayaan besar, sedangkan di luar masyarakat Eropa produktivitas ekonominya sangat rendah, serta disertai kemiskinan dan kemelaratan. Pada jaman Hindia Belanda kehidupan ekonomi bersama tidak ada. Orang-orang yang tinggal di pedesaan dunia ekonominya berbeda dengan orang-orang di perkotaan. Pada waktu itu menuju pada kehidupan bersama sebenarnya mulai ada—mata uang yang sama, dan mulai ada undang-undang ekonomi yang berlaku di seluruh Hindia Belanda. Dual economy melahirkan jurang (ketimpangan) yang besar. Bukan saja jurang kaya dan miskin, tetapi juga jurang bahasa, kehidupan sehari-hari, kebudayaan sehari-hari, dan terutama produktivitas.
Apakah ada yang disebut kebudayaan Indonesia? Itu merupakan persoalan besar. Kebudayaan sebuah nasion datang dari mana? Ali Murtopo tahun 1970-an mengemukakan tentang “kebudayaan nusantara”, “kebudayaan kepulauan”. Menurutnya kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan kepulauan. Apa yang dimaksud dengan kebudayaan kepulauan? Maksudnya adalah: berbagai kebudayaan yang ada di pulau nusantara, dan kebudayaan Indonesia adalah penggabungan dari semua kebudayaan etnis-etnis yang ada. Itu adalah ide baru. Sebelum Orde Baru tidak ada ide itu. Memang ada slogan “bhineka tunggal ika”, tetapi asumsi—pada tahun 1930-an, 1940-an, 1950-an, 1960-an, semua pikiran tentang bhineka tunggal ika dan lain-lain—yang hidup di masyarakat yaitu ada kebudayaan yang sama sekali baru yang sedang berkembang. Kalau kita melihat sejarah Prancis, Jerman, Inggris, Amerika, Australia, dan Jepang, ketika mereka berkembang menjadi nasion memang tampak sekali ada suatu kebudayaan yang sama sekali baru yang lain dari kebudayaan sebelumnya. Kebudayaan Prancis setelah Revolusi Prancis tidak ada hubungannya dengan kebudayaan Prancis yang sebenarnya juga tidak ada—karena yang ada adalah kebudayaan berbagai bahasa yang ada di Prancis di jaman feodal. Demikian pula dengan Jepang, apakah ada hubungan kebudayaan Jepang sekarang dengan kebudayaan Jepang pada abad 18 dan 19. Sedikit sekali sisa-sisanya.
Lantas pertanyaannya, datang dari mana kebudayaan baru itu? Sebenarnya sumber utama dari kebudayaan baru adalah perjuangan yang dilakukan dangan sadar untuk mencapai perubahan. Di Eropa, pembangunan nasion dilakukan melalui perjuangan menghancurkan feodalisme. Di Amerika, perjuangan membangun nasion dilakukan dengan menghancurkan pengaruh kolonialisme Inggris dan perbudakan—karena tidak akan bisa mewujudkan suatu kehidupan ekonomi bersama jika masih ada masyarakat budak. Perjuangan untuk mencapai perubahan—penghancuran feodalisme dan kolonialisme—di kebanyakan negara-negara bekas kolonial bukan hanya menghancurkan feodalisme—karena kolonialisme sendiri yang sebenarnya sudah menghancurkan feodalisme sebagai kekuatan—tetapi juga feodalisme sebagai pengaruh mental. Sultan-sultan, raja-raja di nusantara sudah kalah tiga ratus tahun sebelumnya oleh Belanda, dan yang tersisa tinggal simbol—dalam mental dan kebudayaan masih ada—tetapi sebagai kekuatan sudah hilang. Jadi, perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan mengalahkan kolonialisme. Perjuangan itulah yang kemudian melahirkan kebudayaan baru, dan semua perjuangan itu berbuntut revolusi.
Revolusi itu pertama-tama adalah memutarbalikkan susunan kekuasaan yang ada—yang dominan sebelumnya, yang tadinya berkuasa menjadi tidak berkuasa lagi, dan yang tadinya dikuasai menjadi berkuasa. Aspek kedua—merupakan syarat mutlak—dari revolusi adalah bahwa dalam proses memutarbalikkan kekuasaan tersebut terjadi proses menciptakan sesuatu yang sama sekali 100% baru atau yang sama sekali 100% tidak ada sebelumnya. Revolusi itu merupakan proses yang sangat kreatif, sekaligus juga destruktif. Dikatakan destruktif karena revolusi menghancurkan kekuasaan yang ada sebelumnya; dan dikatakan kreatif karena melahirkan sesuatu yang sama sekali baru. Dalam kasus-kasus revolusi anti-fedodal maupun kasus-kasus revolusi anti-kolonial yang terjadi di Asia seperti di Indonesia—yang dihancurkan oleh nasionalisme—adalah penghancuran struktur kekuasaan kolonial, yang dikreasikan sebagai gejala yang 100% sama sekali baru di atas muka bumi. Itu adalah sebuah nasion yang tidak ada sebelumnya, yaitu Indonesia. Kita bisa melihat itu dalam keempat buku Pramoedya Ananta Toer—dari Bumi Manusia hingga Rumah Kaca—yang diakui oleh hampir semua orang sebagai buku kebangkitan Indonesia, walaupun dalam keempat buku tersebut kata Indonesia sama sekali tidak dipakai. Mengapa, sebab waktu itu kata Indonesia belum ada di benak siapapun, kecuali seorang sosiolog Inggris. Mengapa tidak ada sama sekali, karena waktu itu baru dimulai, belum bisa dibayangkan. Orang-orang Indonesia waktu baru mulai membayangkan Indonesia seperti tercermin dalam gerakan nasionalisme tahun 1920-an. PKI adalah yang pertama kali menggunakan kata Indonesia, kemudian diikuti gerakan nasionalisme lainnya. Mengapa dibayangkan, karena waktu itu mulai eksis, sudah mulai berkembang: wilayahnya sudah ada, bahasanya—berkat orang Indo dan Tionghoa mulai menyebar sebagai bahasa yang berguna. Terwujud di mana? Pertama-tama dalam sastra Indonesia. Jangan meremehkan sastra. Banyak pengamat dan akademisi menulis bahwa dalam pembangunan nasion yang penting adalah bahasa. Memang, ada bahasa bersama itu betul. Tetapi bahasa bersama itu tidak berkembang sebagai national language. Bahasa nasional baru bisa berkembang jika sastranya berkembang. Apa yang menjadi basis kebudayaan Prancis? Sastranya. Apa yang menjadi basis kebudayaan Inggris? Sastranya. Kalau tidak ada Shakesphere, tidak ada Charles Dickens. Atau jika di Amerika tidak ada Jack London, kebudayaan Amerika dan Inggris datang dari mana? Nilai-nilai budayanya datang dari mana? Apakah datang dari gereja? Sudah tidak. Dari agama? Sudah tidak. Hanya sebagian kecil saja yang masih kuat agamanya, sementara orang-orang yang beragama dengan yang sudah lemah agamanya pun nilai-nilainya sering sama. Nilai-nilainya datang dari mana? Sastra, karena lama kelamaan sastra menjadi sesuatu yang dinikmati seluruh masyarakat, dan sastra diajarkan di sekolah mulai dari SMP secara serius. Sampai sekarang Indonesia adalah satu-satunya negeri di seluruh dunia yang tidak mengajarkan sastra Indonesia di SMP dan SMA—yang memiliki kewajiban membaca sekian banyak novel, sekian drama, sekian syair, ramai-ramai membedahnya di kelas, pekerjaan rumahnya menuli essay. Hal itu di Indonesia tidak ada, satu-satunya negeri di seluruh dunia.
Di Indonesia sastra hanya diselipkan dalam pelajaran bahasa, padahal nilai-nilai budaya sastra Indonesia kaya. Melalui sastra, drama, syair, lagu muncul kebudayaan baru. Tetapi, harus dicatat bahwa kelahiran kebudayaan baru tidak hanya lewat sastra, tetapi juga lewat politik. Dalam kebudayaan Prancis ada slogan liberty, fraternity, equality atau di Amerika ada slogan by the people, of the people, for the people. Pidato-pidato politik besar dan pemikiran politik yang berkembang dalam proses pembentukkan meraih nasionnya (kemerdekaan) itulah yang menjadi nilai-nilai budaya. Mengapa di Amerika pidato-pidato George Washington dan Thomas Jefferson menjadi bacaan wajib? Apakah tulisan-tulisan Soekarno, seperti Indonesia Menggugat menjadi bacaan wajib di sekolah Indonesia? Tidak. Padahal pada awal gerakan kemerdekaan—tahun 1920-an, 1930-an, 1940-an, 1950-an hingga 1965—sastra dan pemikiran politik menjadi sesuatu yang sangat hidup di masyarakat. Melalui proses pertarungan ini penyebaran sastra, Indonesia melancarkan gerakan kebudayaan seperti melalui Lekra, gerakan nasinoal dan gerakan Islam waktu itu sungguh luar biasa. Jumlah cerpennya, syairnya, kegiatan kebudayaan sampai ke desa-desa secara luar biasa.
Dalam hal berorganisasi sebenarnya Indonesia melampaui banyak negara di Asia. Pada waktu Sarekat Islam sampai puncaknya, sebagai organisasi modern—memiliki AD/ART-nya, cabang-cabang, buletin, pedebayan, dan traning-traning-nya—merupakan organisasi massa modern terbesar di dunia waktu itu. Di Eropa, Amerika dan Asia tidak ada organisasi sebesar Sarekat Islam, apalagi partai-partai yang menyusul setelahnya. Jadi, tidak benar orang Indonesia dianggap tidak suka berorganisasi, kecuali jaman Orde Baru yang memang dilarang berorganisasi. Nah, melalui organisasi itu sastra, pidato politik membentuk kehidupan kebudayaan bersama.
Harus diingat, sejarah Indonesia setelah kemerdekaan adalah 62 tahun (sampai 2007). Tetapi selama 62 tahun, kurang lebih 32 tahunnya berada di bawah kekuasaan Orde Baru. Itu artinya, lebih dari separuh usia kemerdekaan Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru. Di bawah Orde Baru itulah Indonesia banyak mengalami kemunduran. Jadi, kalau para sejarawan membahas sejarah Orde Baru, salah satu hal yang harus dikaji adalah soal perkembangan dan kemunduran—sampai sejauh mana berkembang dan mundur—usaha membangun nasion Indonesia. Wilayah masih sama, tapi Aceh hampir hilang, karena memperlakukan Aceh sebagai bangsa asing. Itu merupakan warisan dari Belanda yang diterima setelah kemerdekaan, karena semua kepulauan di sebelah Utara menerima dengan sukarela masuk Indonesia, tidak ada paksaan. Hampir tidak ada penyatuan suatu nasion di seluruh dunia yang terjadi tanpa satu etnis memaksa etnis lain. Di Inggris Raya, Great Britain, perang orang Inggris melawan Scotlandia dan orang Inggris menjajah Wales berkali-kali perang dan puluhan ribu orang mati. Demikian pula di Jerman dan Amerika. Hanya Indonesia yang bisa bersatu dengan sedikit sekali darah. Itu kesukarelaan. Jadi kalau prinsip kesukarelaan dilanggar, seperti yang terjadi di Aceh pada tahun 1980-an, belum tentu orang mau menerima lagi.
Bagaimana dengan bahasa bersama? Apakah bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa yang dipakai oleh semua lapisan rakyat dan semua daerah untuk membicarakan masa depan Indonesia? Itu berkaitan dengan politik. Sebab, jika membicarakan masa depan dengan politik dilarang, lalu bagaimana bahasa bisa berkembang. Pergilah ke desa, sampai sejauh mana orang desa sekarang mampu membicarakan, menjelaskan pikiran mereka tentang masa depan Indonesia dalam bahasa Indonesia. Jika itu tidak berkembang, maka bahasanya pun terhambat. Di Indonesia hal itu masih menjadi persoalan besar. Memang, sebagian penyatuan kehidupan ekonomi Indonesia ada perubahan, penyatuannya semakin ada, tetapi masih sedikit. Sebagian kehidupan ekonomi Indonesia masih bersifat dual economy. Lebih dari itu, dual economy yang ada di jaman Hindia Belanda sekarang muncul lagi. Jaman Hindia Belanda kehidupan ekonomi di lapisan atas bahasanya adalah bahsa Belanda, sekarang mereka yang dilapisan atas mengirim anaknya ke sekolah berbahasa Inggris—international school. Sehingga di bidang kebudayaan pun ada bahaya, karena kehidupan ekonomi bersama—bukan hanya soal kaya dan miskin—semakin tidak terintegrasi, sehingga nasion pun semakin lemah karena itu.
Pertanyaannya sekarang, apa itu nilai-nilai budaya Indonesia. Pancasila itu menarik. Pancasila selama Orde Baru dikampanyekan besar-besaran. Pelajar harus lulus, setiap kali upacara diucapkan, tetapi setelah Soeharto jatuh hanya dalam waktu singkat Pancasila sudah hilang dari wacana publik—bahkan sudah terjadi sebelum Soeharto jatuh. Padahal selama kurang lebih 30 tahun Pancasila digembar-gemborkan oleh Orde Baru tetapi sama sekali tidak mengakar. Demikian pula dengan kata pembangunan. Setelah Soeharto jatuh berapa banyak orang yang berbicara tentang pembangunan. Seperti halnya Pancasila, pembangunan hilang juga sebagai suatu nilai. Selama Orde Baru masyarakat tidak mengetahui sejarahnya, karena ditutup-tutupi—kecuali diwajibkan menghapal tanggal dan tempat peristiwa. Di sekolah menengah tidak ada pelajaran sastra, sehingga berjuta-juta lulusannya tidak pernah membaca satu novel serius. Demikian pula dalam kehidupan politik, sehingga bahasanya bisa menjelaskan segala hal tidak ada.
Apakah sekarang ini ada watak psikologis bersama, suatu cara pandang dunia yang sama di Indonesia? Menjawab pertanyaan itu tidak cukup hanya melihat sejauh mana ya dan tidak, karena yang penting sekali adalah kekuatan masyarakat mana yang menggerakkan proses pembentukkan nasion dan kekuatan masyarakat mana yang menghambatnya. Agency-nya apa? Pelakunya siapa, kekuatannya siapa? Siapa yang menggerakkan? Semua itu diciptakan oleh gerakan itu sendiri: gerakan nasioanalisme dan anti-kolonialisme itu sendiri. Siapa penggerak tersebut? Di Indonesia khas, karena tidak ada kelas pengusaha. Penggeraknya adalah segelintir intelektual yang hebat dan rakyat (massa) itu sendiri. Jadi, agency-nya, kekuatan pelaku di dalam sejarah sampai kemerdekaan adalah intelektual-intelektual, aktivis-aktivis muda dengan massa.
Namun demikian, setelah kemerdekaan muncul persoalan. Sebelum 1949 sudah terjadi pertarungan antara mereka yang menganggap bahwa dengan diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional berarti revolusi Indonesia sudah selesai. Sementara di pihak lainnya berpikir sebaliknya: revolusi Indonesia belum selesai. Mengapa dianggap belum selesai, karena kehidupan ekonominya belum bersatu dan masih dikuasai perusahaan-perusahaan Belanda. Tiga ratus tahun Belanda merampok Indonesia, mendirikan perkebunan, pertambangan, perkapalan, itu semua hasil perampokan selama kolonialisme. Hal yang tidak masuk akal adalah pemerintah Hatta menyetujui pengembalian hasil rampokan Belanda tersebut. Itu benar-benar tidak masuk akal. Bukan hanya itu, sejumlah uang yang senilai dengan biaya yang dikeluarkan Belanda untuk memerangi Indonesia juga dijanjikan akan dibayar kepada Belanda, meskipun sampai tahun 1956 dihentikan.
Seperti disebutkan tadi, setelah kemerdekaan ada pertarungan antara mereka yang menganggap revolusi sudah selesai dengan mereka yang menganggap belum selesai. Mereka yang menganggap selesai berpandangan stabil saja dan berorientasi pada pembangunan dengan cara menginintegrasikan ekonomi Indonesia dengan Barat. Sebagian intelektual kemudian bergabung dengan penguasaha-pengusaha dalam negeri yang selanjutnya menjadi pengusaha nasional. Saya membedakan dalam negeri dan nasional, karena dalam negeri itu dikuasai tokoh-tokoh yang tersebar di banyak kota, tetapi jaringan usahanya sendiri belum nasional dan baru mulai atau baru sedikit-sedikit saja berwawasan nasional. Pengusaha dalam negeri yang berusaha menjadi pengusaha besar nasional bekerjasama dengan kaum intelektual. Mereka menganggap revolusi sudah selesai, tetapi perusahaan-perusahaan hasil perampokkan kolonial masih di tangan kolonial, hutang di Belanda masih diakui. Terjadi usaha untuk menyelesaikan itu dimana tahun 1956-57 perusahaan kolonial diambilalih oleh rakyat dan langsung diduduki dan orang-orang Belanda diusir secara fisik dari perusahaan-perusahaan tersebut. Setelah itu baru parlemen menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Belanda.
Dalam periodisasi sejarah Indonesia di banyak buku kita mengenal ada demokrasi parlementer, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin. Semua itu omong kosong, karena yang terjadi pada tahun 1948-49 adalah pertarungan. Tidak ada satu sistem yang berhasil diterapkan dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga semua orang bisa menilai keberhasilan dan kegagalannya. Sepanjang periode itu yang terjadi adalah pertarungan, karena tidak ada satu pun kekuasaan politik yang sempat menjalankan misi dan konsepsnya secara stabil dalam jangka panjang. Apalagi demokrasi terpimpin. Saya menilai demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin tidak sempat dijalankan sama sekali. Itu hanya mungkin dijalankan kalau ada pemerintah yang dikuasai Soekarno, PKI, PNI kiri dan Partindo. Padahal sampai 1965 pun PKI tidak masuk di kabinet secara berarti. Partindo tidak secara berarti, PNI kiri tidak secara berarti. Belum ada kekuatan kiri yang mampu memenangkan demokrasi terpimpin. Justru tahun 1965 (peristiwa G30S-ed) terjadi untuk mencegahnya.
Nah, dalam proses pertarungan sampai 1965 pun harus dilihat siapa yang menggerakkan? Siapa yang meluaskan sastra ke masyarakat? Kekuatan sosial apa? Kekuatan sosial yang beroposisi dan berontak adalah di buruh dan tani. Intelektual dan mahasiswa bersolidaritas dengan buruh dan tani. Kalangan itulah yang terutama menerapkannya. Siapa yangg mau menuju kepada sebuah pasar nasional, dan setelah 1965, siapa yang memimpin proses itu mundur? Kekuatan sosial mana? Di Indonesia kekuatan sosial terdiri dari mereka yang bemodal—kapitalis dan penguasaha—dan masyarakat lainnya—buruh dan tani. Namun, pemodal dalam negeri itu ternyata—sejak awal abad XX sampai sekarang—tidak mampu untuk menggerakkan proses nation building. Sampai sekarang pun tidak mampu. Kekuatan sosial yang mampu menggerakkan perubahan sejak tahun 1930-an sampai 1960-an adalah gerakan rakyat miskin. Ketika itu dihancurkan, maka semua usaha nation bulting pun mengalami kemunduran.
Nasion terbangun jika ekonominya berkembang, jika ada development. Dengan adanya dual economy, sebagian masyarakat tertinggal, karena tidak ada development yang mencakup seluruh negeri. Ada banyak orang, termasuk aktivis di Indonesia yang anti-neoliberalisme dan berusaha menjelaskan bahwa masalah ekonomi Indonesia akibat neoliberalisme. Itu tidak benar. Masalah ekonomi Indonesia—kemelaratan, kemiskinan dan produktivitasnya rendah—adalah warisan kolonial. Selama kolonial, waktu Indonesia memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada waktu itu Indonesia tidak memiliki apa-apa. Tidak memiliki apa-apa sama sekali. Industri tidak ada sama sekali. Ada memang pabrik gula dan lain-lain, tapi untuk negara sebesar Indonesia itu nothing.
Tahun 1950 dunia imperialis sudah sangat maju. Universitas-universitasnya sudah ratusan, lembaga teknologi sudah ratusan, sudah bisa menciptakan bom atom, sudah ada Einstein, sudah bisa bangun empire state bulding. Setiap anak di Amerika, Eropa dan Jepang sudah sekolah sampai SMP dan SMA. Di Indonesia, waktu Belanda masih berkuasa sebelum Jepang masuk tahun 1942 angkanya adalah 5%. Jadi Indonesia memang mulai dari nol. Mau membangun negeri kapitalis tidak memiliki capital. Mengapa, sebab selama penjajahan Belanda tidak diijinkan memodernisasikan pertaniannya maupun membangun industri. Kalau mau menjelaskan mengapa kondisi Indonesia sekarang, bukan karena neolib. Neolib hanya aroma terakhir, aroma dewasa ini, aroma kontemporer, tetapi proses yang sudah berlangsung ratusan tahun. Tapi memang ada konsekuensi politiknya. Seperti saya bilang, di Indonesia pengusaha, kelas borjuis, kelas pemodal tidak akan mampu menjadi penggerak perubahan. Sudah terbukti secara teoretis dan dapat dilihat, tidak ada kapitalis di Indonesia yang berarti, kecuali pengusaha-pengusaha kecil di mana-mana. Sekarang ada 50 konglomerat. Tetapi diterpa krisis moneter bangkrut semua. Kalau tidak diselamatkan oleh pemerintah bangkrut semua dan banyak yang memang bangkrut, dan berpindah tangan ke orang asing. Tidak ada apa-apanya. Yang bisa melakukan perubahan dan terbukti bisa—kemerdekaan dari Belanda bisa dicapai—bukan karena ada kelas borjuis yang kuat, tetapi karena ada intelektual-intelektual yang bersatu dengan massa. Kekuatan itulah yang bisa merebut kemerdekaan dan mempertahankannya. Yang hampir berhasil sampai 1965 adalah gerakan yang sama.
Jadi hambatannya besar untuk membangun nasion Indonesia. Itu tergantung pada devolopment. Kapitalisme yang bisa dikembangkan di Indonesia harus kapitalisme yang dikuasai oleh pelaku-pelaku sosial sendiri—yaitu rakyat miskin—dan orang-orang yang bersolodaritas dengan rakyat miskin. Apakah bisa membangun infrastruktur untuk nasion Indonesia sekarang? Bisa. Negara-negara miskin lain bisa, mengapa Indonesia tidak.
Catatan: [*] Tulisan ini merupakan transkrip presentasi Max Lane dalam diskusi buku Indonesia yang belum selesai (Max Lane) yang diselenggarakan oleh Pantau, 28 Agustus 2007 di Jakarta.

ARAH PENGORGANISASIAN MASSA UNTUK REVOLUSI

DENGAN METODE TIGA BULANAN

Oleh: Subiyanto

LANDASAN

Pengorganisiran massa agar menjadi kekuatan revolusi—menghancurkan musuh, merebut kekuasaan, mendirikan dan mempertahankan kekuasaan baru—adalah pekerjaan membangun massa sadar yang terorganisir dan berkekuatan. Makna massa sadar harus dilihat dalam dua (2) pengertian: secara kognitif (kesadarannya) dan secara politik (tindakannya untuk berjuang). Massa sadar yang bertindak sebagai atau dalam pengertian kader, adalah massa maju yang berjuang membangkitkan dan berjuang bersama massa rakyat yang lain. Kader menjadi bagian dari setiap perlawanan massa, memajukan politik perlawanan tersebut, dan terus memperluas/memperbanyak massa maju atau kader lainnya di antara massa berlawan tersebut. Di sinilah pengertian kader sesungguhnya, sebagai kader revolusioner, yaitu selalu tidak pernah dan tidak bisa dipisahkan dari perjuangan massa—sehingga berbeda dengan aktifis salon (menara gading) (yang tidak berada di tengah massa berjuang), ataupun pekerja sosial (yang tidak untuk memajukan massa (secara kognitif dan tindakan).

Pengertian kader dan pengorganisiran massa sebagaimana dijelaskan di atas adalah pengertian yang sekaligus menjawab pertanyaan: bagaimana kader tumbuh bersama kesadaran massa (yang masih masih reformis) dan memajukannya (menjadi revolusioner), sehingga batas kesadaran kader dengan kesadaran massa semakin menipis? Dengan demikian, pekerjaan membangun revolusi, dalam makna mendirikan pemerintahan rakyat (untuk memerintah dirinya sendiri) memiliki landasan nyatanya—nyata, benar-benar, sanggup mendirikan pemerintahan rakyat sendiri—karena massa telah memiliki kesadaran yang maju, memadai untuk mendirikan pemerintahannya sendiri. Kalaupun masih ada jarak antara kesadaran kader dengan massa, semakin hari jarak tersebut harus semakin menipis dengan semakin memajukan kesadaran massa. Saat perlawanan massa semakin meningkat dan meluas—itu artinya kesadaran dan tindakan (politik) massa sedang meningkat dan meluas—partai seharusnya dibuka untuk massa. Tapi itu bukan berarti organisasi revolusioner melepaskan kreteria-kreteria dalam rekruitmennya, bukan berarti melemahkan syarat-syaratnya namun, pengertiannya adalah: secara organisasional partai harus peka dan dapat dengan segera mewadahi massa yang kesadaran dan tindakan (politik)nya sudah/sedang maju/berkembang.

Pengorganisiran massa dan radikalisasi tiga bulanan kepentingannya adalah untuk memajukan dan menguji kesadaran serta tindakan (politik) massa—sehingga semakin dekat dengan pengertian kader. Bisa saja dibuat dua (2) atau empat (4) bulanan, tidak masalah, namun harus ada landasannya. Pengalaman sehari-hari kami berada di tengah massa memberikan pengertian, dan sepenuhnya maklum bahwa: sekalipun massa telah sanggup menerima propaganda tentang revolusi, namun belum tentu massa tersebut siap bertindak memperjuangkannya—apalagi bila kwantitas massanya belum memadai, sehingga memang tindakan (politik) massa tidak boleh terlalu maju. Dalam situasi kontradiksi yang semakin tajam akibat meluasnya persoalan rakyat—terutama persoalan-persoalan mendesak yang gamblang terasa dan terlihat di depan mata oleh rakyat—hal terpenting dalam tahap awal menuju revolusi adalah bagaimana segala keresahan tersebut diorganisir (baca: disadarkan dan dimobilisasi) menjadi tindakan politik massa yang rapi, menjadi mobilisasi menuntut, serendah apapun isu yang sanggup dan akan diperjuangkan oleh rakyat. Mobilisasi tersebut merupakan wujud kongkrit, wujud nyata kesanggupan rakyat untuk memperjuangakan kepentingannya, ideologinya, yang tumbuh dari kesadarannya, atau merupakan tindakan (politik) utama yang menunjukkan dan menguji kekuatan rakyat sendiri. Bersamaan dengan mobilisasi atau tindakan politik tersebut, semakin hari juga harus dipastikan adanya peningkatan kesadaran dalam politik massa. Dan sekalipun radikalisasi atau mobilisasi tiga bulanan ini dilakukan secara bertahap , namun bukan berarti dalam pekerjaan penyadaran massa kita tidak boleh memberikan kesadaran tentang seluk beluk revolusi—baik dalam pengertian ideologinya, politiknya dan organisasinya; dalam pekerjaan menyadarkan massa, sedapat mungkin, kita tidak boleh menahap-nahapkan isian kesadaran tentang revolusi. Sehingga, walaupun massa sedang memperjuangkan tuntutan reformis, namun massa akan sadar bahwa perjuangan tersebut masih merupakan perjuangan reformis, belum revolusioner; itulah yang dinamakan kompartemen kesadaran revolusioner dalam lautan perjuangan reformis—yang secara bertahap, sesuai dengan syarat perluasan kesadaran revolusioner dan kwantitas massanya, akan berderap menuju revolusi. Kompartemen revolusioner tersebut—baik dalam pengertian kesadarannya, maupun para pekerja/aktivisnya—harus semakin meluas menutup/merubah kesadaran dan tindakan (politik) reformis.

Pengertian revolusi secara mudah bisa diartikan sebagai perubahan tiga hal pokok, yakni: 1) peningkatan tenaga produktif (force of production); bahwa peningkatan kemakmuran (yang berdialektik, berkait-berkelindan) dengan perubahan budaya (baca: nilai-nilai baik) dan sebagainya memiliki dan tergantung pada landasan tenaga produktif; 2) Perubahan hak milik atau transformasi pemilikan; 3) Perubahan kesadaran massa, terutama kesadaran untuk memerintah dirinya sendiri (transformasi dari demokrasi perwakilan ke arah demokrasi langsung). Dengan demikian, sosialisme (yang tenaga prodiktifnya dapat melimpahkan kemakmuran dan pemilikannya adil) justru memberikan landasan material bagi peningkatan potensi manusia sampai ke tingkat ke individu, yang sebelumnya potensi (individu) tidak bisa berkembang karena landasan materialnya telah dirampas oleh pemilik/penguasa tenaga produktif. Potensi (semua) individu untuk menjadi dirinya sendiri akan sanggup dikembangkan.

Oleh karenanya perjuangan kognitif (kesadaran) harus disatukan dengan tindakan perjuangannya/pemwujudannya. Dan agar kesadaran lebih mudah dapat didorong menjadi tindakan perjuangannya/pemwujudannya, maka kita bisa berangkat dari persoalan mendesak rakyat, dari tuntutan-tuntutan darurat rakyat, dari persoalan yang kasat mata dilihat dan dihadapi rakyat.

Situasi sekarang, karena terus menerus terjadi peningkatan dan perluasan penderitaan rakyat, mengakibatkan meluasnya lautan kesadaran ekonomis (reformis) di kalangan rakyat. Bahkan kesadaran reformis tersebut ada yang belum menjadi tindakan perlawanan; kalaupun ada perlawanan, yang semakin hari semakin meningkat kwantitas dan kwalitasnya, namun masih belum terorganisir secara nasional dan masih belum bersatu, terpecah-pecah. Kesadaran rata-rata massa adalah kesadaran reformis, ekonomis, dan itu merupakan realita yang harus diakui (untuk diatasi atau dimajukan, bukan disalahkan atau ditinggalkan). Kita tidak boleh idealis: mengharapkan kesadaran sosialis akan dengan mudah diterima dan diperjuangkan massa, atau datang (dari langit) dan muncul (dari bumi) dengan sendirinya. Lautan kesadaran reformis tersebut harus disimpulkan penyebab kongkritnya, sehingga bisa ditemukan bagaimana mengobatinya agar menjadi kesadaran revolusioner dan dapat dimobilisasi untuk memperjuangkan ideologi serta kepentingannya (bahkan tuntan reformis/mendesak sekalipun). Bagaimana menghadapi dan mengatasi kenyataan kesadaran reformis tersebut, apakah hanya kita didik terus sampai mereka paham? Ya bisa saja, tapi lebih lama menyerapnya. Contohnya, pembangunan Taman Siswa (dalam pandangan kolonial Belanda adalah sekolah-sekolah liar) yang didirikan Ki Hajar Dewantara. Apabila tidak diletakkan dalam gerak perlawanan atau tindakan politik massa, maka pendidikan-pendidikan tersebut akan lebih sulit membangun massa sadar karena perjuangannya tidak menjadi nyata dirasakan dan disaksikan oleh massa sendiri.

Kesadaran akan tuntutan reformis tersebut didorong (baca: diorganisir) menjadi tindakan (baca: mobilisasi) politik massa (yang meluas, membesar dan menguat) dalam memperjuangkan tuntutan-tuntuannya (ekonomis sekalipun), berupa mobilisasi-mobilisasi massa yang menuntut. Wadah-wadah rakyat yang bertujuan untuk menuntut harus terus menerus diperluas dan disatukan, bahkan persoalan-persoalan mendesak (dan tidak mendesak) lainnya yang belum jelas bagi rakyat harus diungkapkan dan ditunjukan kepada massa (saking banyaknya persoalan, sehingga kadang saling tumpang-tindihnya tak terlihat, tak kasat mata, misalnya: pengamen yang selalu diburu trantib bisa lalai atas persoalan kesehatan dan pendidikan anaknya; dan sebagainya). Segala persoalan mendesak rakyat ini harus terus diolah menjadi basis perlawanan rakyat. Rakyat harus bergerak untuk menuntut atau memperjuangkan kesejahteraannya, dengan metode proletar dalam bentuk: aksi massa.

Tapi harus diingat, setiap perlawanan ekonomis dan reformis tersebut tidak boleh dilepaskan dari kompartemen sosialisme dan kesadaran sejati. Massa sadar atau kader sosialis harus terus menjadi bagian dari setiap gerak massa ekonomis ini. Kompartemen sosialis tersebut harus membesar dan terus membesar, walaupun awalnya kecil. Tidak boleh seperti piramid; tidak boleh dibiarkan massa yang maju tidak membesar atau mengerucut. Apa tugas kompartemen sosialis tersebut? Selain menjadi kekuatan termaju dalam mewujudkan kesadaran ekonomis massa menjadi tindakan politik (dalam isu yang paling diterima massa), tugas kader revolusioner tersebut sejak awal adalah mengisi tuntutan-tuntutan reformis tersebut dengan pengertian sejati (menjelaskan kaitannya dengan sistim kapitalisme), terus menerus menjelaskan penyelesaian revolusioner yang sesejati-sejatinya yang dibutuhkan rakyat sebagai jalan keluar bagi berbagai masalah yang dihadapinya. Walaupun wujudnya tetap tindakan (politik) reformis, tidak masalah, harus diterima sebagai kenyataan, sebagai cerminan kesadaran massa pada waktu sekarang. Karena itulah kita bisa berangkat dari kesadaran tuntutan reformis, yang akan didorong menjadi tindakan politik. Tapi sejak awal massa juga harus tahu bahwa jalan keluar sejatinya tidak bisa reformis, atau hal itu saja belum cukup. Jadi, rakyat tahu bahwa tuntutan tersebut hanya untuk sementara (sebelum kesadaran dan kwantitas massanya memadai), atau sekadar mengurangi kesulitan sehari-hari rakyat. Propaganda kaum revolusioner harus ditransfer menjadi pemahaman massa, walaupun perjuangannya masih seperti itu (masih reformis, masih berupa sekadar tuntutan yang bisa jadi dipenuhi pemerintah), atau belum sekaligus menyelesaikan semua masalah (karena penyelesaiannya belum ke akarnya) karena revolusi belum memadai syarat-syaratnya. Oleh karena itu, kesadaran massa harus diisi oleh pemahaman bahwa perjuangan reformis sekarang ini bukanlah akhir dari segalanya, atau perjuangan sekarang ini merupakan bagian dari suatu tahap dari arah revolusi. Karenanya, arah revolusi harus dijelaskan kepada massa secara lugas, gamblang, jelas dan kongkrit, dapat dimengerti rakyat. Massa harus sadar bahwa: seandainya pun negara/pemerintah (atau pihak yang dituntut lainnya) memenuhi sebagian atau seluruh tuntutan reformis tersebut, namun hal tersebut hanyalah merupakan kemenangan kecil karena desakan rakyat, dan sebagai bagian utnuk mendapatkan kemenangan sejati. Dan yang terpenting: mobilisasi massa tersebut bukanlah sekadar untuk menekan (bargain terhadap) negara/pemerintah (atau pihak yang dituntut lainnya); namun juga untuk memberikan contoh pada rakyat (terutama yang tidak berlawan) bahwa rakyat bisa memiliki kekuatannya sendiri, bahwa berjuang itu tidak mustahil, bahwa rakyat bisa memperjuangkan ideologi dan kepentingannya sendiri dengan kekuatannya sendiri, dengan politiknya sendiri—salah satunya, yang terpenting dan paling ampuh: dengan metode proletar; mobilisasi (aksi) massa. Sedangkan politik menekan, politik bargain dengan kekuatan rakyat tapi hanya untuk kepentingan kelas lain (misalnya hanya untuk memperkuat tawar menawar terhadap elit atau kelompok/partai lain, untuk bersekutu dengan elit atau kelompok/partai lain, dan sebagainya) ADALAH SALAH—bahkan bisa melemahkan keyakinan rakyat atas kekuatannya sendiri. Politik bargain yang salah tersebut sekarang telah menjadi penyakit yang menghinggapi organisasi gerakan, dan tidak boleh dibiarkan.

Agar mewujud menjadi mobilisasi—dengan sebelumnya ada proses (tahapan) investigasi dan peningkatan kesadaran massa—maka sebelumnya harus ada kesanggupan dari organisasi revolusioner untuk mewadahi massa. Lautan kesadaran reformis massa tersebut, yang selalu ada di sebagian besar tempat karena selalu ada himpitan persoalan mendesak yang dihadapi rakyat, harus bisa ‘ditangkap’, harus bisa diwadahi terlebih dahulu. Pewadahan tersebut akan memudahkan proses tiga bulanan dijalankan di tengah subjektif organisasi yang masih kecil. Pewadahan tersebut bisa dilakukan dengan berbagai bentuk dan berbagai cara terutama, tentu saja, lagi-lagi, berangkat dari kebutuhan mendesak massa sekitar yang sudah diinvestigasi dan disimpulkan. Misalnya dengan mendirikan Posko Pembelaan Rakyat Miskin untuk Berobat Gratis, atau Posko Pembelaan Rakyat untuk Mendapatkan Pendidikan Gratis, atau Posko Pembelaan Rakyat untuk Mendapatkan BLT, atau Posko Pembelaan THR Buruh dan sebagainya (kita harus jeli menginvestigasi dan menyimpulkannya). Dengan posko tersebut massa akan diberanikan mengadukan persoalan-persoalannya, dan posko tersebut dengan demikian mejadi penampung, wadah, bagi rakyat yang mengadukan persoalan-persoalannya dan segera dibantu memperjuangkannya—sehingga berkesempatan mendapat kepercayaan rakyat (apalagi jika segera mendapat hasil seperti bisa mengobati rakyat miskin secara gratis di rumah sakit). Bahkan dari keseriusan kita memperjuangkan saja—sekalipun belum berhasil—memungkinkan kita mendapatkan kepercayaan massa. Dengan selebaran dan alat-alat propaganda lainnya (kita harus kreatif menemukan alat-alat atau cara-caranya) kita propagandakan (posko) bantuan pembelaan/advokasi untuk mengurus persoalan-persoalan rakyat, agar bisa membantu mewadahi massa (dalam kantung-kantung massa) yang akan memperjuangkan persoalan-persolannya dengan program radikalisasi tiga bulanan.

BENTUK-BENTUK KERJA

Bentuk Kerja dalam melaksanakan radikalisasi tiga bulanan terdiri atas pekerjaan bertahap (dilakukan secara berurutan) dan pekerjaan simultan atau bersamaan (dilakukan secara bersamaan atau seiring dengan pekerjaan bertahap). Dalam hitungan tiga bulan atau 90 hari, pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah sebagai berikut:

I. Pekerjaan Bertahap

1. Investigasi (porsinya 10% dari seluruh waktu pekerjaan yang 90 hari, atau 10% dari 90 hari, yakni 9 hari)
Investigasi adalah pekerjaan pencarian data tentang karakter massa (baik seara ekonomi, politik maupun budaya), apakah itu secara teritorial ataupun secara sektoral. Selain di teritori basis yang sudah kita organisir, sasaran/arah teritori atau sektor yang akan diinvestigasi diperoleh dari rekomendasi kawan-kawan yang bekerja dalam pekerjaan perluasan, dari analisa geopolitik dan sebagainya. Dua masalah yang hendak diketahui dalam investigasi adalah: 1) kebutuhan-kebutuhan/persoalan-persoalan ekonomi (atau yang lainnya) yang sangat mendesak bagi rakyat. Tujuannya agar rakyat mau masuk dalam mimbar/wadah kita. 2) mengetahui apakah mereka mau melawan/berjuang atau tidak atas persoalan mendesak tersebut; 3) mengapa mereka mau atau tidak mau berjuang untuk mengatasi persoalan-persoalannya sendiri.

Banyak hal yang akan didapat dari investigasi tersebut, seringkali juga hal-hal negatif (misalnya bahwa, ternyata, massa sulit berjuang, takut dan sebagainya). Namun, apapun hasil investigasinya, akan sekaligus menjelaskan bagaimana organisasi mendapatkan kemudahan untuk mengajak dan menjadi bagian dari perjuangan massa. Sehingga, dari hasil data yang ada, akan bisa disiapkan bentuk perjuangan yang disanggupi massa, dan diketahui pula bagaimana kemudahan memajukan pemahaman/kognitif massa, serta sekaligus membangun kesiapan politik massa.

Selain keuntungan dapat memperoleh data, pekerjaan investigasi tersebut juga secara bersamaan dapat melatih organisasi dan massa rakyat untuk mengenal serta berlatih menjalankan demokrasi langsung. Maksudnya, dalam mengorganisir kita bisa menyediakan ruang yang mengutamakan aspirasi atau pendapat massa dalam menentukan isi dan sasaran dari perjuangan mobilisasi atau radikalisasi tiga bulan ke depan. Pendapat massa terbanyak (mayoritas) tentang persoalan mendesaknya, yang dipandang harus segera diperjuangkan, merupakan landasan utama untuk merumuskan penyadaran dan tuntutan dalam radikalisasi yang akan dilaksanakan. Keterlibatan atau partisipasi massa dalam aksi juga akan lebih kuat atau lebih mungkin terjadi, karena sejak awal rencana aksi diletakkan pada kepentingan mendesak massa itu sendiri. Metode bertanya langsung ke rakyat sebelum keputusan diambil, bahkan harus diperjuangkan untuk menjadi metode/pola yang dilakukan negara sebelum membuat keputusan penting bagi rakyat (misalnya referendum sebelum buat UUPM, atau dalam pembuatan konstitusi, dan lain sebagainya) .

Dalam menjalankan investigasi, alat-alat yang dipergunakan untuk mengetahui pendapat massa bisa berupa: a) Angket: (i) diisi langsung oleh rakyat atau; (ii) (bila ada yang belum sanggup mengisi angket karena berbagai sebab) diisi sambil ditanya; b) dari perbincangan dengan massa; c) dari laporan organiser. Alat-alat investigasi tersebut bisa digunakan semuanya, secara bersamaan, atau bisa juga salah satunya. Namun, bila menggunakan salah satunya saja kadang tidak bisa menjangkau massa luas atau kadang ada kesulitan-kesulitan. Misalnya dengan angket, memang bisa lebih luas dan semakin banyak bisa memperoleh pendapat massa tentang persoalan dan kesanggupan berjuangnya dari satu-persatu massa, tapi seringkali juga ada kesulitan karena massa sulit mengisi angket (karena teknis atau banyak juga karena buta huruf).

Selanjutnya, dari pekerjaan investigasi harus ada kesimpulan hasil investigasi. Hal terpenting dari pendapat massa yang harus diperhatikan adalah pada persoalan apakah massa siap melawan/memperjuangkan persoalan-persoalannya. Sekali lagi, hal prinsipil saat mendorong maju kesadaran ekonomis (reformis) adalah mewujudkannya menjadi tindakan politik massa, menjadi mobilisasi aksi massa. Sehingga harus dihargai betul kesanggupan massa untuk bergerak, dalam persoalan apapun. Kita harus mempelajari persoalan-persoalan yang, bagi massa, paling mendesak untuk diperjuangkan. Secara umum, persoalan-persoalan tersebut harus dilihat apakah: 1) merupakan kebutuhan mendesak rakyat yang sudah dipenuhi negara (tapi ada persoalan dalam pelaksanaannya); atau 2) merupakan kebutuhan mendesak rakyat yang belum dipenuhi oleh negara. Untuk kebutuhan mendesak yang sudah dipenuhi negara atau sudah menjadi program negara (tapi dalam pelaksanaannya masih ada persoalan, sehingga tidak diterima oleh massa di teritori yang sedang diinvestigasi), memang lebih mudah dituntut dan lebih cepat kemungkinannya untuk diselesaikan. Dengan demikian, kader-kader revolusi harus wasapada karena tuntutan massa yang dengan mudah bisa dipenuhi negara (karena memang sudah menjadi program penerintah) bisa menyebabkan massa terilusi: percaya kepada negara sebagai pihak protagonis (pihak yang baik hati), bisa mengurus rakyatnya—Dinas Kesehatan yang memperhatikan rakyat, Dinas Sosial yang peduli dan sebagainya. Bahkan organisasi yang dilibatkan dalam pelaksanaan program pemerintah itupun akan serupa dengan pekerja sosial, atau bahkan menjadi kacung pemerintah. Bagaimana supaya tidak demikian? Agar tidak terbangun ilusi kepercayaan massa terhadap negara (yang sebenarnya bukan pihak yang baik dan dapat mengurus rakyatnya), maka harus disiapkan materi propaganda (sebagai isi tahap berikutnya: tahap penyadaran) tentang kemenangan sejati dan tentang kemenangan-kemenangan kecil yang mungkin didapat sebelum revolusi. Jadi, jangan sampai dibiarkan ada celah berkembangnya kesadaran massa untuk mempercayai negara borjuis ini, tidak perlu berterima kasih kepada negara dan harus berterimakasih pada perjuangan rakyat itu sendiri. (Pengalaman di Jakarta, ketika tuntutan bisa dipenuhi pemerintah—karena memang sudah jadi program pemerintah—maka massa tetap bisa diajak untuk mengritik cara pemerintah yang salah dalam menjalankan program tersebut. Dan massa disadarkan bahwa kemenangan kecil tersebut bukanlah kemenangan sejati karena bisa dicabut kembali atau tidak diberikan lagi, dipotong subsidinya, seperti terjadi di negeri-negeri lain bahkan di negeri kita sendiri; kemenangan sejati adalah buah revolusi, karena revolusi bisa memberikan jalan keluar yang radikal atau menghilangkan akar penyebab persoalan-persoalan rakyat.)

Sekali lagi, kesimpulan investigasi yang terpenting adalah dalam persoalan: apakah sebagaian besar massa sudah siap berjuang. Bisa jadi, dari 500 massa, hanya 50 massa saja yang menyatakan siap berjuang. Tidak masalah. Karena memang rata-rata massa yang ditemui adalah yang tidak mau menuntut, mereka biasanya akan berubah pikiran bila, misalnya, faedahnya sudah bisa dirasakan langsung. Tingkat kesadaran reformisnya bahkan juga bisa lebih rendah dari perkiraan organiser. Jadi memang tidak bisa dijamin bahwa setiap mendapat persoalan pasti akan melawan. Itulah kesadaran reformis—dan yang paling membahayakan adalah: bila sudah tak punya harapan bisa melawan atau berjuang, tak yakin bisa menang (ideologi yang paling berbahaya). Jadi, tidak benar pernyataan bahwa melawan adalah instink manusia, layaknya hewan. Manusia, karena punya kesadaran, dan tidak sekadar mengandalkan instink layaknya binatang, bisa saja tidak melawan bila ditindas (dengan alasan takut, sudah biasa dan terima saja, serta lasan-alasan lainnya). (Pada massa Suharto, banyak massa yang tidak berani melawan. Massa bisa berani melawan karena syarat-syaratnya telah dibuka oleh unsur-unsur pelopor; itulah mengapa sekarang, setelah Suharto jatuh, rakyat banyak yang bisa melawan.) Potensi perlawanan belum tentu dengan segera mewujud, manifes, tidak serta-merta (otomatis) bisa mewujud nyata. Itulah salah satu landasan dasar teori kepeloporan, harus ada tambahan penyadaran yang dipasok dari luar, dari kelas asing sekalipun, bagi perkembangan dan majunya perlawanan. Dari data hasil investigasi yang menyatakan bahwa masih banyak massa tidak mau melawan, kita harus menyimpulkan: apa saja penghambat kesadaran massa di wilayah massa tersebut, dari mana sumbernya; misalnya, apakah ada oknum/lembaga yang menghambat kemajuan kesadarannya, atau karena sebab-sebab lainnya. Penyebabnya harus disimpulkan kemudian dicari obatnya (remedy). Jadi sebelum melangkah ke tahap dua, tahap penyadaran, harus juga ada kesimpulan tentang obatnya. Biasanya obatnya adalah pengertian atau penyadaran yang bisa menjelaskan tentang kesalahan dari kesadaran massa tersebut, atau obat untuk menghancurkan kesadaran palsu massa.

2. Penyadaran (porsinya 75% dari seluruh waktu pekerjaan yang 90 hari, atau 75% dari 90 hari, yakni sekitar 66 hari)

Tahap kedua adalah penyadaran atau sering disebut tahap agitasi-propaganda. Dalam program radikalisasi tiga bulanan, tahap kedua ini merupakan pekerjaan yang paling banyak porsi waktunya. Karena dalam tahap inilah kesimpulan investigasi diolah, agar diketahui akar masalah mengapa massa tak sanggup berjuang, bagaimana mengobatinya agar betul-betul sanggup memperjuangkan persoalannya, dan mengerti kemenangan sejati yang harus dicapai.

a. Penyadaran tentang tuntutan yang mendesak dan yang sejati
Penyadaran untuk memahami masalah mendesak yang dihadapi massa (yang didapat dari hasil investigasi), sekaligus membangun keberanian berlawannya, adalah lebih mudah ketimbang pekerjaan propaganda tentang bentuk perubahan sejati yang hendak dicapai—yang sedapat mungkin harus juga disampaikan, dalam berbagai cara dan bentuk. Di samping kita harus menjelaskan mengapa kita harus menuntut tanggung jawab negara dalam persoalan tersebut, kita juga harus menyampaikan apa akar persoalannya. Itulah tugas organiser: memberi pengertian radikal tentang problem yang akan dituntut; bahwa akarnya adalah persoalan sistem (kapitalis) yang berlaku saat itu. Karena itu, kita tidak boleh menyetujui pemahaman reformis massa terhadap masalah tersebut, tapi kita harus memberikan kesadaran radikal/revolusioner tentang problem reformis yang dituntut oleh massa. Misalnya dalam hal pendidikan, jangan dimaklumi alasan-alasan negara bahwa anggarannya kurang karena harus membayar utang luar negeri; sudah diupayakan (sehingga anggrannya hanya bisa sedikit meningkat), dan alasan-alasan lainnya. Akar persoalan tersebut, yakni adanya sistim (kapitalis), harus dijelaskan. Akar persoalan yang ditimbulkan oleh sistem (kapitalis) tersebut adalah: (1) penjajahan (baca: penghisapan) asing dan agen-agennya di dalam negeri; (2) sisa-sisa lama (Orde Baru dan GOLKAR); (3) tentara; (4) reformis gadungan; (5) kebudayaan tak melawan, tak berorganisasi, dan tak bersatu.
Karena penyadaran radikal/revolusioner tersebut berpotensi menjatuhkan dan menggantikan sistim (kapitalis) tersebut, maka pekerjaan penyadaran tersebut sering menghadapi bahaya/gangguan, dari siapapun dan di manapun. Namun karena penjelasan sejati tersebut tidak boleh ditinggalkan, karenanya harus disiasati, bukan diabaikan atau ditahap-tahapkan. Organisasi dan organiser harus jeli memanfaatkan ruang dan membangun ruang dari situasi yang ada, untuk memberikan tempat bagi propaganda revolusioner tentang akar masalah rakyat. Semua sektor masyarakat harus mendapatkan penyadaran tersebut, tak bisa ditunda atau ditunggu-tunggu lagi. Memang ada bahaya, tapi harus diatasi dan bukan dengan dicabut/ditiadakan. Kalau hanya melakukan propaganda reformis, maka kita tidak beda dengan pekerja sosial radikal, tak punya arah revolusi. Bila pesoalannya adalah keamanan, maka yang perlu diatasi adalah keamanannya, bukan menanggalkan prinsip revolusionernya.

b. Penyadaran tentang cara berjuang (dalam arah revolusi)
Massa yang sedang menuntut kebutuhan mendesaknya harus sadar bahwa perjuangan tersebut adalah sebagai tahapan (sekolah) menuju revolusi, yakni untuk memudahkan hajat (survival) hidupnya dan agar mereka sadar bahwa, dengan berjuang bersama, mereka memiliki kekuatannya sendiri, apalagi jika bersatu dengan sektor lain. Itulah mengapa program radikalisasi tiga bulanan tersebut sedapat mungkin beranggotakan multisektor (melibatkan sektor lain masyarakat) dari berbagai tempat, daerah sampai ke tingkat nasional. [Walalupun dalam tahapan penyadaran, sebelum tahap mobilisasi multisektor, diperkenankan melakukan penyadaran dengan cara aksi sektoral ataupun teritori-teritori tertentu saja—terutama bila masalahnya harus sesegera mungkin diatasi atau untuk menyerang musuh lokal (agar kita populer di teritori tersebut)]. Tapi hati-hati: aksi lokal tersebut (dari segi stamina dan dana) jangan sampai menggangu program mobilisasi/radikalisasi tiga bulanan tersebut. Sekali lagi, cara perjuangannya harus dalam arah revolusi, sehingga massa sadar bahwa perjuangan mereka sekarang adalah dalam kerangka revolusi. Sehingga: (1) secara ekonomi bisa menang; (2) secara politik sadar akan kekuatannya. Metodenya bisa berbagai cara, yang satu sama lainnya bisa saja simultan/bersamaan. Misalnya: keikusertaan dalam pemilu merupakan salah satu bagian saja dari siasat revolusi (sehingga keikursertaan dalam pemilu tidak menyimpang, kontradiktif, atau kontra-produktif terhadap arah revolusi); atau dengan mendirikan partai sendiri, partai alternatif (apalagi saat partai-partai yang ada sudah disimpulkan tidak dapat dipercaya lagi oleh rakyat); aksi menuntut; rapat akbar (vergadiring); membuat dan menyebarkan terbitan seluas-luasnya; dan lain sebagainya.

c. Alat-alat penyadaran
Banyak dan beragam: 1) penyadaran untuk meningkatkan kesadaran/koginitif, bisa berupa: pendidikan (termasuk pendidikan kelas); diskusi; bacaan/terbitan; pemutaran film; lomba/pentas baca puisi; panggung kesenian; seminar; debat publik (pengalaman di DKI, debat publiknya digelar di depan warga, menghadapkan wakil DPR, wakil pemerintah, dan wakil organisasi kita); dan lain sebagainya; 2) penyadaran untuk melatih tindakan politik, bisa berupa aksi-aksi sektoral atau teritorial setempat (aksi lokal). (Tapi, sekali lagi, aksi-aksi sektoral dan lokal jangan sampai menggangu program radikalisasi/aksi/mobilisasi tiga bulanan, baik dari segi stamina maupun dana); 3) Gabungan penyadaran (1) dan (2), terutama yang berupa vergadering atau rapat-rapat akbar (di semua tingkatan bahkan, semakin hari, vergaderingnya bukan saja sekadar di tingkat teritori yang tinggi, namun juga harus semakin didorong ke tingkat teritori bawah, di tingkatan RT, misalnya)

3. Mobilisasi (porsinya 15% dari seluruh waktu pekerjaan yang 90 hari, atau 15% dari 90 hari, yakni sekitar 13-15 hari)

Pada tahap ini, kembali dijelaskan rencana mobilisasi (beserta rincian tuntutan, sasaran dan lain sebainya) dan ditanyakan kesanggupannya (dalam bentuk mengisi absen) untuk terlibat dalam aksi. Kesanggupan tersebut merupakan kreteria (tolak ukur) keberhasilan pekerjaan TAHAP I (INVESTIGASI) dan TAHAP II (PENYADARAN). Begitulah kita mengukur penerimaan massa terhadap rencana program radikalisasi tiga bulanan. Dalam TAHAP III (MOBILISASI), setiap harinya harus ada (organiser) yang mengumpulkan tanda tangan absen keikutsertaan (aksi) tersebut. Dalam tahap ini juga diperiksa persiapan-persiapan lainnya, seperti: transportasi; perangkat aksi; evaluasi terhadap kecukupan dana; bentuk aksi; sasaran; kampanye ke media massa; pengamanannya; sampai warna, spasi huruf/kata/baris, bentuk huruf agar spanduk dan poster-posernya menonjol; lagu-lagu; yel-yel; slogan-slogan; dan lain sebaginya.

Pada tahap mobilisasi ini, bahkan pada tahap penyadaran, massa secara jelas mengetahui aksi yang akan dilakukan, dari isi tuntutannya (isuuenya) hingga teknis-teknisnya. Sehingga jika di lapangan ada wartawan yang bertanya ke massa, mereka akan bisa menjawab dan memang mengetahui kepentingannya, sebagaimana layaknya massa sadar (tak seperti massa bayaran yang sekadar dimobilisasi). Dan kita juga tahu massa mana saja yang belum siap aksi—dan tugas kita lah untuk menyadarkan dan memberanikannya. Jumlah peserta aksi pun akan rinci sesuai dengan absen (1.313 orang, misalnya). Kalaupun berubah, jumlahnya tidak akan jauh berbeda dari daftar yang ada di absen (bahkan kadang-kadang lebih banyak karena, biasanya, massa mengajak mengajak teman atau keluarganya tanpa didaftarkan. Namun, sedapat mungkin harus didaftarkan agar dapat dikontrol dan dijaga. Selain itu, resiko penyusupan provokator ke dalam aksi bisa dikurangi).

II. Pekerjaan yang dilakukan secara simultan atau bersamaan dengan pekerjaan bertahap

Pekerjaan yang tidak ditahap-tahapkan, yang dikerjakan sejak awal hingga aksi, dan selalu ada dan terus dikerjakan bersamaan dengan pekerjaan bertahap (investigasi, penyadaran dan mobilisasi), kita sebut pekerjaan simultan atau pekerjaan yang dilakukan secara bersamaan (dengan pekerjaan bertahap). Pekerjaan simultan ini meliputi pekerjaan-pekerjaan yang juga tidak boleh dipisahkan dari radikalisasi tiga bulanan.

1. Persatuan
Kerja membangun persatuan dengan organisasi/individu lain sejak awal harus dilakukan dan ada petugas (khusus)nya yang ditunjuk . Petugas untuk membangun persatuan atau front ini akan menawarkan ke organisasi/individu lain untuk terlibat (seluruhnya atau sebagian) dengan tahapan radikalisasi tiga bulanan tersebut. Organisasi/individu lain yang sepakat terlibat atau sepakat menjalankan bersama-sama rencana radikalisasi tiga bulanan tentu akan juga mengikuti dan melaksanakan semua pekerjaan tiga bulanan tersebut. Namun mereka bisa juga hanya terlibat dalam sebagian prosesnya saja: misalnya, saat bekerja sama dengan LSM, mereka hanya mau bekerjasama dalam program atau tahap investigasi. (Dengan demikian, selain kita dan LSM tersebut akan bersama-sama memiliki data hasil investigasi, juga kita dan LSM bisa saling berbagi dalam membiayai program investigasi). Atau misalnya ada kelompok/pihak lain yang hanya mau terlibat dalam mobilisasi dan aksi (dengan menerima program/issue/tuntutan yang kita usung), atau bentuk-bentuk kerjasama yang lainnya. Prinsip dari pekerjaan membangun persatuan tersebut adalah untuk memperbanyak sekutu dan sumber daya (massa, organiser, dan dana). Bahkan bisa jadi kita yang kemudian ikut dalam program kelompok/pihak lain atau front yang sudah ada, oleh karena tuntutan mereka lebih tepat, misalnya (tentu saja kita harus menjelaskannya kepada massa kita mengapa kita harus mengusung program/issue/tuntutan front). Ada banyak lagi kemungkinan bentuk taktik persatuan yang dijalankan—bahkan, misalnya, bisa saja kelompok/pihak lain tidak mau dicantumkan sebagai penyelenggara aksi tapi hanya sebagai pendukung (sponsor) aksi (tercantum dalam statemen dan selebaran sebagai pendukung); atau sengaja (dengan persetujuan kelompok/pihak lain) kita mencantumkannya hanya sebagai pendukung aksi karena mereka memang tidak terlibat dalam program tiga bulanan sejak awal. Walaupun, di lapangan, kita harus memberikan kesempatan (demokratik) kepada mereka untuk berorasi. Semua itu agar mempercepat persatuan dan penggabungan antar kota/wilayah/sektor dari berbagai kekuatan demokratik. Unsur-unsur kekuatan politik rakyat harus terus kita dorong bersatu, dan akan semakin mudah jika organisasi kita tidak sektarian, rendah hati dan tidak memaksakan kehendak. Dan akan semakin mudah bila proses persatuan tersebut menuju ke arah yang benar (tuntutannya semakin baik, membela rakyat, dan kelompok/pihak yang terlibat semakin bertambah). Dengan demikian massa, rakyat, secara umum akan melihat keseriusan kita membangun persatuan berbagai kekuatan politik demokratik yang menguntungkan rakyat. Kerjasama dengan organisasi politik lain yang sering atau pernah menjadi musuh rakyat akan kontra-produktif bagi politik alternatif, karenanya TIDAK bisa dijadikan sekutu atau membangun persatuan dengan pihak tersebut. (Pengecualian kerjasama dengan pihak semacam itu adalah hanya jika sedang menghadapi serangan musuh yang lebih berbahaya bagi rakyat, dan pihak lain tersebut dengan tegas JUGA menyatakan perlawanan terhadap musuh rakyat tersebut).

2. Perluasan
Pekerjaan perluasan bisa dibedakan dengan pekerjaan front atau persatuan—walaupun pekerjaan front mengandung unsur manfaat perluasan. Bahkan manfaat perluasan yang diberikan oleh front (secara manajemen) harus ditindaklanjuti oleh pekerjaan perluasan. Pekerjaan perluasan lebih bermakna memperluas perjuangan kita sendiri (baik secara teritori/struktur/massa, tuntutan, maupun sektor masyarakatnya). Pekerjaan perluasan tidak boleh kita abaikan, harus selalu dikerjakan, sehingga mempercepat pembesaran organisasi. Makna perluasan bisa dilihat dari: perluasan basis teritori (struktur dan massa), perluasan sektor, perluasan tuntutan dan lain sebagainya; dan perluasan itu ada yang terencana (mengolah teritori/struktur/massa, tuntutan, maupun sektor masyarakat yang potensial akan bergolak) atau ataupun tidak terencana (misalnya, kita mengolah teritori/struktur/massa, tuntutan, maupun sektor masyarakat yang sudah/sedang bergolak, yang sudah manifes/berwujud). Perluasan harus menjadi bentuk kerja tersendiri, karenanya perlu ada orang-orang khusus (SATGAS Perluasan) yang ditugaskan untuk pekerjaan perluasan tersebut. Petugas perluasan ini harus siap melakukan pekerjaan perluasan yang diolah dari setiap potensi yang datang (selain yang sudah direncanakan), termasuk misalnya dari hasil kerja persatuan/front yang berhasil mendapatkan peluang perluasan.

Bahkan untuk mempercepat perluasan, bisa diputuskan bahwa sebagian besar organiser (75% nya, misalnya) dalam dua hari setiap minggunya melakukan pekerjaan perluasan atau berkeja sebagai SATGAS Perluasan, apalagi bisa sudah ada massa maju (pengganti/second liner) untuk menjaga basis yang ditinggalkan selama dua hari dalam setiap minggunya itu. Biasanya, bila pekerjaan perluasan dilakukan secara bersama-sama, atau tidak sendiri-sendiri, maka keberanian organiser untuk melakukan pekerjaan perluasan akan terjamin. Dalam dua hari itu, pekerjaan basis bisa diserahkan kepada second liner (bila ada), atau massa maju yang sudah diberikan pendidikan dan diberikan/didelegasikan wewenang pekerjaan pengorganisasian basis yang sudah ada (sekaligus merupakan latihan dalam proses kaderisasi). Alat-alat atau media untuk melakukan perluasan bisa berbagai macam bentuk, misalnya, layaknya dalam pekerjaan penyadaran: pendidikan (termasuk pendidikan kelas); diskusi; bacaan/terbitan; pemutaran film; lomba/pentas baca puisi; panggung kesenian; seminar; debat publik, dan lain sebagainya; atau misalnya dengan selebaran yang isinya menjelaskan bahwa kita bisa memberikan advokasi/pembelaan kesehatan dan pendidikan gratis kepada rakyat (dengan memberikan nama petugas kita, alamat terdekat, dan nomer telpon/handphone yang dapat dihubungi rakyat).

Pekerjaan perluasan tersebut akan saling-memberikan manfaat (dialektik) antara massa basis lama dengan massa basis baru: massa basis lama akan meningkat semangatnya bila mengetahui adanya perluasan basis massa baru; demikian pula sebaliknya, massa basis baru akan mau terlibat bisa mengetahui sudah ada/banyak massa di daerah lain yang terlibat. (oleh karena itu, dalam selebarannya, juga harus dicantumkan massa basis-basis mana saja yang sudah mendapatkan manfaat advokasi/pembelaan kesehatan dan pendidikan gratis.) Apalagi bila keterlibatan massa di basis lama stagnan, sulit meningkatnya, atau bahkan cenderung menurun. Selain itu, dengan perluasan, kita bisa mengukur kapan kita bisa meningkatkan tindakan dan/atau tuntutan politik kita, radikalisasi (KADANG, apalagi pada masa awal) harus diselaraskan dengan jumlah massa dan tingkat kesadaran/kesanggupan politiknya. [misalnya, saat kita hendak menggulingkan Soeharto, kita memiliki ukuran perluasannya: bila kita berhasil melibatkan 25% massa dari 98 kelurahan (di DKI Jakarta) di jalur revolusi , maka Soeharto akan tumbang.

Untuk menentukan sasaran perluasan kita harus memahami watak geopolitik dan watak massanya. Teritori yang dipertimbangkan memenuhi syarat geopolitik sangat penting menjadi sasaran perluasan (baik dalam pengertian geopolitik teritorial maupun geopolitik sektoral), karena daya juang politiknya akan memiliki pengaruh politik yang tinggi/luas, baik ketika berhadapan dengan negara maupun untuk mempengaruhi teritori lain (sehingga perluasan selanjutnya ke teritori lai akan lebih mudah). Sasaran perluasan perlu juga dilihat dari watak massanya. Misalnya, perluasan ke lapisan masyarakat yang tak terlalu miskin bisa lebih mendapatkan massa yang lebih mudah untuk dimajukan sebagai organiser atau kader.

Pekerjaan perluasan tersebut juga bisa dikaji untuk diterapkan dalam pekerjaan perluasan di sektor-sektor mayarakat lainnya, misalnya di sektor buruh, tani dan lain sebagainya.


3. DANA JUANG
Dilihat dari sumbernya, dana juang bisa diperoleh dari dua sumber:

• Dari dalam:
Mutlak HARUS karena, dengan demikian, kita bisa menguji dan mengkur komitmen atau kesetiaan massa untuk mendanai perjuangannya sendiri. Dana dari dalam ini sebaiknya dipergunakan untuk item-item atau hal yang kaitannya dengan perjuangan massa sangat dekat, misalnya: untuk biaya mobilisasi aksi; untuk bacaan; untuk pendidikan; dan lain sebagainya. Memang sering tumpang tindih dengan sumber dana dari luar, tapi harus selalu diupayakan agar massa mendanai perjuangannya sendiri. Dalam pengalaman di DKI Jakarta, Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK) mengajurkan agar massa menyumbangkan dananya sebesar Rp.500,- per hari (sebagai tabungan). Kenapa harus per hari (atau per dua hari; di buruh per minggu): itu agar meringankan massa memberikan dannya, ketimbang sekaligus Rp.30.000,- per bulan, berat. Dan agar terlaksana dengan baik, harus ada petugas keliling yang mengumpulkannya. (Rekor pengumpulan dana juang SRMK Jakarta: pernah mengumpulkan 45 jutaan rupiah dalam tiga bulan, dari keharusan terkumpul 90 jutaan rupiah). Banyak hambatannya, memang, tapi harus terus diupayakan metode terbaiknya, sesuai dengan watak massa masing-masing.

• Dari luar:
Bisa didapatkan dari kerjasama dengan kelompok/pihak lain atau dari unit usaha kita sendiri. dan alokasi dananya, sebaiknya, untuk yang kaitannya dengan perjuangan massa lebih jauh, misalnya untuk tranportasi organiser, untuk kesekretariatan, dan lain sebagainya.

III. Pekerjaan Tambahan

Selain pekerjaan bertahap dan pekerjaan simultan, ada juga pekerjaan tambahan yang dalam setiap periode tiga bulanan bisa berubah-ubah. Namun begitu pekerjaan tambahan ini ditetapkan di satu periode tiga bulanan, maka pekerjaannya juga harus menjadi bagian dari program tiga bulanan dan hasilnya ditelit/dievaluasi bersama dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Dalam program tiga bulanan, SMRK DKI Jakarta pernah menetapkan pekerjaan tambahannya adalah sebagai berikut (untuk jadi acuan):

1. Pembangunan kompartemen:
Misalnya, pembangunan kompartemen: a) Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS); b) Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika c) Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker). Artinya dalam satu periode tiga bulanan (bisa saja terus berlanjut di tiga bulanan berikutnya) maka pekerjaan organisasi ditambah dengan pekerjaan membangun PAPERNAS, Mahardhika, dan Jaker di setiap teritori. Sebenarnya, dari pengalaman, pembangunan kompartemen tersebut sangat membantu dalam perluasan dan penyadaran massa (massa jadi tidak cupet/parokial pemikirannya), serta membantu dalam menggalang sumberdaya organiser dan dana.
2. Pendidikan kader/massa maju
Tujuannya untuk mempertinggi pengetahuan/meningkatkan kemampuan dan pendelegasian wewenang kepada massa yang dianggap telah memenuhi kreteria maju; selain itu, juga agar pekerjaan perluasan dapat ditingkatkan dan diperingan (karena sumberdaya organisernya lebih banyak) dengan melimpahkan wewenang kepada massa maju untuk mengorganisir/menjaga basis yang sudah ada, selama organiser lama bekerja menjadi petugas SATGAS Perluasan. Taktik ini berangkat dari pengalaman: saat basis massa meluas, atau potensial meluas, tapi tak bisa ditangani karena organisernya tak mencukupi.

3. BUK (Badan Urusan Kontradiksi)
Badan ini difungsikan untuk menyelesaikan persoalan personal antar kawan, antar massa, atau antara organiser dengan massa, yang mungkin muncul selama proses tiga bulanan. Persoalan antar personal tersebut penting untuk diperhatikan, dan sebisa mungkin segera diselesaikan, sehingga tidak menganggu pekerjaan-pekerjaan dalam tiga bulanan.

4. Unit Usaha
Pengembangan usaha ekonomi untuk membiayai organisasi, yang muncul dari potensi yang paling sanggup dikerjakan, sebagai bagian penting membangun kemandirian organisasi dalam memenuhi kebutuhannya. Seberapapun capaian awal dalam unit usaha organisasi ini, harus dihargai dan dikembangkan terus. Arah untuk mencukupi kebutuhan sendiri bagi organisasi harus dijadikan tujuan yang penting, arah yang penting, melalui dana juang dan unit usaha organisasi.

5. Manajemen
Yang harus dipelajari dari manajemen terutama tentang manajemen Gerak dan Waktu (Motion and Times Study). Agar lebih peka melihat transaksi-transaksi kerja beserta variabel-variabel kerja apa yang harus dikerjakan dan diatur. Prinsipnya adalah: setelah ada penetapan strategi-taktik, harus ada pengaturan bagaimana mencapainya, bagaimana melaksanakan dan mengatur waktunya. Hasil akhirnya akan seperti jadwal (schedule) kerja beserta personilnya. Kolektif harus peka bahwa, untuk mencapai tujuan tersebut dan untuk melaksankan strategi-taktik tertentu, pekerjaan apa saja yang harus dilaksanakan (dari yang paling rumit sampai sederhana), siapa-siapa saja yang mengerjakan, dan bagaimana jadwal waktunya, serta kemudian diatur menjadi pekerjaan yang bisa dijalankan. Yang terakhir, bisa diketahui mana yang harus dikerjakan secara bertahap, dan mana yang harus dikerjakan bersamaan.

6. Advokasi/pembelaan
Pekerjaan advokasi atau pembelaan terhadap masalah-masalah rakyat sehari-hari (di luar program 3 bulanan) bisa menjadi pintu masuk (meraih simpati) massa agar massa bisa masuk ke dalam wadah-wadah pengorganisasian kita, sehingga bisa terjangkau oleh kerja penyadaran kita. Masalah-masalah rakyat tersebut misalnya bila ada massa yang sakit (dan memerlukan pengobatan gratis), bila ada massa yang mau menyekolahkan anak-anaknya tapi tidak mampu (karenanya membutuhkan pendidikan gratis atau diperingan), bila ada massa yang kesulitan mengurus surat-surat di RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Walikota dan lain sebagainya (sehinga perlu didampingi dan diberikan penyadaran hukum), bila massa tidak berhasil mendapatkan manfaat dari program-program yang (sebenarnya) telah diberikan oleh pemerintah tapi di lapangan tidak mencapai sasaran (program BLT, konpensai gempa, misalnya) (sehingga membutuhkan arahan dan mobilisasi untuk menuntutnya), dan lain sebaginya. Namun, secara ideologis dan politik, pekerjaan advokasi juga mengandung bahaya: 1) organiser atau organisasi yang mendampinginya oleh massa akan dianggap sebagai dewa penolong; atau massa tak punya kesadaran akan kekuatannya sendiri. (oleh karena itu, massa juga harus diberikan pelatihan advokasi agar bisa mengadvokasi dirinya, keluarganya, teman-temannya dan masyarakat lingkungannya); 2) massa menganggap bahwa bila sudah diadvokasi maka persoalannya sudah selesai; massa tidak menganggap bahwa masih banyak (potensi) persoalan yang akan menimpa rakyat miskin; 3) massa tidak sadar bahwa hanya persoalan dirinya saja yang diselesaikan, hanya persoalan anggota (SRMK saja, misalnya) yang selesai, sedangkan persoalan massa di teritori lain, persoalan massa yang bukan anggota (SRMK) tidak bisa diselesaikan—apalagi bila capaian atau metode-metode perjuangannya tidak tersebar secara luas sehingga massa dari teritori lain dan anggota organisasi lain tidak bisa belajar dan mengambil hikmah dari hasil perjuangan (SRMK, misalnya) (apalagi massa yang tak berorganisasi); 4) ini yang paling bahaya: massa, organiser, dan organisasinya, menganggap bahwa keberhasilan tersebut merupakan pemberian, kebaikan atau keberhasilan program pemerintah. Massa, organiser, dan organisasinya tak sadar bahwa keberhasilan tersebut adalah buah, panen, dari program-program menuntut/radikalisasi massa. (Misalnya, DepKes atau Pemda bisa mempermudah advokasi kesehatan SRMK karena mereka sudah tahu radikalisasi SRMK yang dilakukan sebelumnya; banyak organisasi atau individu yang tidak seperti SRMK, kesulitan melakukan advokasi. Bahkan, sekarang, dari laporan oragnisernya, anggota-anggota SRMK sendiri mulai dipersulit melakukan advokasi di beberapa rumah sakit; contoh lain: dalam film SICKO, karya terbaru Michael Moore, yang dilarang diperkenalkan perdana (launching) di Amerika Serikat, dijelaskan bahwa banyaknya layanan publik yang diberikan pemerintah kepada warga Prancis adalah karena warganya sering menuntutnya. Sebagai contoh: bahkan bila warga Prancis dan keluarganya kerepotan mencuci pakaian mereka, maka mereka bisa meminta Pemda setempat untuk datang mencucikannya, gratis); 5) dengan demikian, massa tidak mengerti tentang arah revolusi dari perjuangan sehari-harinya; hanya jadi penadah kebaikan pemerintah, kacung pemerintah, atau pekerja sosial saja.

Demikian pekerjaan-pekerjaan menuju aksi tiga bulanan. Keseluruhan kerja tersebut saling terkait dan menjadi bagian tak terpisahkan dari konsepsi radikalisasi tiga bulanan, dan bukan sekedar jadwal aksi tiga bulan sekali. Aksi tiga bulan ini setahap demi setahap harus meningkat. Walau tuntutannya sama, tapi isi, kwalitas, radikalisasi dan jumlah mobilisasinya harus ditingkatkan. Dan harus menjadi program multi-sektor dari tingkatan teritori yang paling rendah sampai tingkatan teritori naional/internasional. Harus bergabung. Supaya psikologi perjuangannya lebih bagus. Misalnya kepercayaan diri massa meningkat karena ada sektor lain yang terlibat, karena kekuatannya besar. Oleh karenanya, menyertai pelaksanaan radikalisasi tiga bulanan tersebut, harus ada lembaga tambahan, yakni LEMBAGA GABUNGAN ANTAR-SEKTOR MASYARAKAT (beserta rapat-rapatnya), yang di dalamnya ada perwakilan tiap-tiap sektor masyarakat. Juga, selain ada rapat regular di tiap sektor dan antar-sektor masyarakat; dibutuhkan juga pertemuan konferensi-konferensi stratak, yang reguler dan meluas baik di sektornya sendiri maupun dalam gabungan antar-sektor masyarakat, untuk mengatasi hambatan-hambatan dan terobosan perjuangan, baik dalam hal strategi–taktik sektoral, antar-sektor maupun antar-teritori.

Dalam hal organisasi, radikalisasi tiga bulanan tersebut juga merupakan metode terstruktur yang perlu dikaji dan dicoba untuk dijalankan, dalam upaya menjawab persoalan kecilnya organisasi. Dalam situasi subjektif organisasi yang kecil, baik organisasi kita (maupun organisasi lain), akan lebih sulit untuk membangun kekuatan politik alternatif, walaupun secara objektif perlawanan rakyat meluas di mana-mana. Kecilnya organisasi harus diatasi, tidak boleh dihindari dengan kapitulasi (menyerah) kepada organisasi non-alternatif, karena hal tersebut adalah pokok. Hal yang pokok bagi revolusi, sesulit apapun, harus terus dikerjakan dan harus dicari kemudahan-kemudahannya, oleh kaum revolusioner sendiri. Begitu menghindari yang pokok, maka seketika itu juga tergelincir dari arah politik alternatif, dari arah kemenangan rakyat, dari arah revolusi.