15 Agustus 2007

Nasionalisasi Industri Pertambangan untuk Pendidikan dan Kesehatan Gratis*

Fenomena bunuh diri atau percobaan bunuh diri anak-anak Sekolah Dasar (SD) di beberapa tempat seperti Kebumen, Tegal, Pemalang, Garut dengan alasan malu karena menunggak uang sekolah, atau karena orang tuanya tidak mampu membelikan buku baru atau seragam sekolah. Dan realitas prostitusi di dalam kampus adalah gambaran miris dunia pendidikan di Indonesia. Tidak berhenti disitu, gambaran lain adalah grafik peningkatan putus sekolah di berbagai daerah yang sangat besar, di Sumatera Selatan misalnya pada tahun ajaran 2004/2005 Sebanyak 9.055 pelajar SD dan SMP putus sekolah. Di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur Lebih dari 71 ribu anak putus sekolah. Di Kabupaten Garut, pada tahun 2004 sedikitnya ada 1.761 siswa SD/MI dan 664 siswa SMP/MTs mengalami putus sekolah. Untuk perguruan tinggi, mirisnya kondisi pendidikan ditunjukkan dari menurunnya jumlah peserta mahasiswa baru. Pada tahun 2004 peserta seleksi penerimaan mahasiswa baru turun sekitar 4 persen (336.707 peserta) dibandingkan tahun 2003 sebanyak 350.306 peserta. Tahun 2005 menurun lebih parah mengalami penurunan sebesar 7,5 persen atau sekitar 311.000-an peserta.

Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari rendahnya pendapatan masyarakat klas menengah – bawah disatu sisi. Disisi lain, pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara justru diserahkan pada beban individu masing-masing. Diberbagai kampus negeri-yang dahulu terkenal sebagai kampus bagi rakyat, saat ini justru hanya dapat dinikmati oleh mahasiswa-mahasiswa dari klas atas. Sedangkan calon mahasiswa yang berasal dari klas bawah terpaksa melupakan mengecap pendidikan bergengsi di kampus-kampus terkenal tersebut. Dan itu baru biaya dasar kuliah, belum termasuk harga buku ataupun pembiayaan bagi kerja praktek , praktikum. Biaya pendidikan menjadi sangat membengkak.

Padahal di beberapa negara, beban pendidikan tidak diletakkan pada individu tetapi diletakkan pada beban negara. Sebab, negara sangat membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas untuk menjalankan negara, bahkan mengolah hasil kekayaan yang dimiliki.

Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK), sebenarnya telah memutuskan agar anggaran pendidikan dinaikkan hingga sebesar 20% dari APBN. Tetapi ini tidak dijalankan oleh Pemerintah SBY-Kalla. Meski Pemerintahan SBY-Kalla melalui Mendiknas Bambang Sudibyo usai peringatan Hardiknas di Depdiknas mengumbar janji akan menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007 ditinjau dari logika ekonomi tetap tidak akan mungkin dijalankan apabila politik anggaran Pemerintah lebih ditekankan pada pembayaran utang luar negeri. Lihat saja besaran rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2006 untuk pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp. 76,629 Triliun atau 2,5% dari PDB, meningkat 0,3% dari APBN 2005. Sedangkan pembayaran cicilan utang pokok luar negeri sebesar 2,1% dari PDB. Lebih besar dari alokasi anggaran untuk kesehatan yang besarannya sekedar 0,4% dari PDB dan Pendidikan 1,4% dari PDB. Berbeda halnya di Cuba, anggaran pendidikan sudah di gratiskan oleh Pemerintahan Cuba, sebab anggaran pendidikan di Cuba sangat besar, sekitar 8% dari PDB atau 2% diatas anjuran anggaran pendidikan Unesco. Peneliti di Barat masih tak habis pikir bagaimana negara miskin seperti Cuba, dengan pendapatan per-kapita $2.800 (ppp) dapat menyaingi standar pendidikan negara-negara imperialis seperti Amerika Serikat ($37.800), Canada ($29.700) atau Inggris Raya ($27.700), terutama dalam hal akses pendidikan yang menyeluruh dan setara. Dalam bidang kesehatan, di Cuba angka kematian bayi bisa ditekan menjadi 5,2 per 1000 kelahiran dan harapan hidup meningkat menjadi 75 tahun (di Indonesia harapan hidup pada tingkat 66 tahun). sekitar 524.000 anak-anak antara 3-9 tahun mendapatkan vaksin polio dan dengan jumlah dokter sebanyak 70.000 orang untuk 12 juta penduduk atau 1 dokter untuk 600 orang (di Indonesia jumlah dokter 34.000 melayani 220 Juta penduduk).

Indonesia sesungguhnya dapat menyaingi Cuba, bahkan melebihi standarisasi Cuba dari segi kuantitas dan kualitas pendidikan. Sebab, Indonesia memiliki syarat-syarat kekayaan alam yang luar biasa, yang tidak dimiliki oleh Cuba. Indonesia memiliki banyak kekayaan, Minyak, Tambang, Gas Alam, Perkebunan, bahwa tenaga kerja. Dan banyak hal yang dimiliki Indonesia tidak dimiliki oleh Cuba. Dari segi ekonomi, pendapatan per kapita Indonesia ($3200) saja masih di atas Kuba. Tapi justru Cuba mampu menjalankan pendidikan dan kesehatan Gratis. Cuba dapat melakukan hal ini sebab, Revolusi Cuba berhasil membangun pemerintahan populis yang dapat mensentralisasi kekayaan alam untuk kepentingan rakyat Cuba.

Melihat pengalaman negara lain.

Melihat pengalaman dari Cuba, pada tahun 1959, revolusi rakyat Cuba yang dipimpin oleh Fidel Castro, melakukan nasionalisasi perusahaan tambang Freeport Sulphur yang pada tahun itu baru saja produksi perdana biji nikel. Bahkan program nasionalisasi ini dilakukan oleh pemerintahan Castro terhadap seluruh perusahaan-perusahaan asing. Sejak itulah pemerintahan Cuba dapat memberikan pendidikan dan kesehatan gratis terhadap rakyatnya.

Selain itu, Hugo Chavez Frias, Presiden Populis Venezuela, setelah kemenangannya dalam pemilu tahun 1998 melakukan program nasionalisasi terhadap perusahaan minyak PDVSA. Sejak penerapan nasionalisasi tersebut Pemerintahan Venezuela menggratiskan pendidikan dan mendirikan sekolah-sekolah Bolivarian yang menyediakan makan dua kali sehari bagi murid-muridnya. Saat ini tercatat sudah 3000 sekolah Bolivarian terbangun dan sekitar 1,5 juta rakyat masuk dalam sekolah-sekolah gratis tersebutBahkan pemerintahan Venezuela akan memperluas Universitas-Universitas Bolivarian agar orang-orang yang tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi dapat mengikutinya. Dalam program kesehatan, secara gratis pemerintah venezuela menyelenggarakan operasi mata untuk penyakit katarak secara gratis dan setiap tahunnya 100.000 orang mendapatkan operasi gratis ini. Membangun sistem kesehatan gratis yang massal dan mendatangkan 15.000 lebih dokter Cuba untuk meningkatkan mutu kesehatan bagi rakyat miskin di Venezuela.

Diluar Venezuela dan Cuba, Evo Morales, Presiden Bolivia, memajukan programnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dari memperbesar production sharring (bagi hasil produksi) menjadi nasionalisasi perusahaan minyak dan gas alam di Bolivia.

Jika dilihat dari jumlah kekayaan alam, Indonesia, ditunjukkan dari pendapatan dari Pajak penghasilan Migas dalam APBN 2005, sekitar 6,8% dari PDB, dan 5,2% dari Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk Migas. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sektor minyak, gas dan hasil tambang lainnya memiliki kontribusi yang besar terhadap pemasukkan negara. Pemasukkan yang seharusnya bisa jauh lebih besar dan jauh lebih dapat dinikmati oleh publik. Tetapi sejauh pembagian hasil yang kecil (25% untuk negara dari setiap hasil produksi perusahaan-perusahan asing) maka tetap tidak akan signfikan kontribusinya terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Terlebih sangat besarnya Capital Flight (larinya modal ke luar negeri) akibat besarnya pembayaran utang luar negeri dan pembayaran surat utang negara.

Belajar dari pengalaman Cuba, Venezuela, dan Bolivia, maka menasionalisasi perusahaan-perusahaan pertambangan, minyak dan gas alam merupakan suatu keharusan mendesak. Sebab, kekuatan kekayaan rakyat Indonesia terletak pada sektor-sektor tersebut. Dan kapitalisme internasional justru bercokol dan menghisap pada sektor-sektor itu. Dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan tersebut maka harapan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya pendidikan dan kesehatan gratis dapat diwujudkan.

Mampukah kita?

Meski ini mendesak, tapi pada umumnya, para intelektual-intelektual pro pasar bebas selau bersikap negatif terhadap hal ini. Bahkan acap kali menentang program populis ini.dengan pernyataan bahwa sarjana-sarjana kita belum mampu mengambil alih perusahaan-perusahaan besar tersebut ataupun alasan moralis lainnya. Padahal Soekarno sendiri setelah revolusi 1945 sering mengkampanyekan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang mayoritas dimiliki oleh Belanda dan Jepang.Justru pada saat jumlah kampus teknik dan sarjana-sarjan kita masih sedikit.

Saat ini kampus-kampus yang memberikan pendidikan mengenai geologi, pertambangan, geofisika, lingkungan, perminyakan sudah banyak tersebar di beberapa kota besar dan dengan jumlah mahasiswa yang banyak. Ini saja sudah menjadi satu acuan bahwa kita mampu untuk menjalankan alih tekhnologi sendiri. Tidak lagi ditangan multinational corporation..

Apa yang harus dilakukan?

Program Nasionalisasi Industri Pertambangan dan Migas untuk pendidikan dan kesehatan gratis tidaklah dapat dilakukan oleh LMND sendiri. Tugas sejarah ini haruslah dijalankan bersama-sama oleh kelompok demokratik dan rakyat. Maka Front Persatuan Gerakan Rakyat merupakan jawaban yang paling untuk dalam kepentingan untuk melaksanakan program ini. Front Persatuan ini haruslah kuat dan terstruktur secara nasional. Tidak bisa lagi perjuangan dengan alat yang terpecah-pecah (Fragmentatif). Sebab musuh rakyat, Imperialisme, dan bonekanya Pemerintahan SBY-JK, sangat kuat dan terstruktur rapi. Front Persauan harus melakukan kerja-kerja bersama dalam mengkampanyekan program nasionalisasi industri pertambangan agar rakyat semakin memahami bahwa nasionalisasi industri pertambangan merupakan jawaban bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Agar rakyat semakin paham bahwa hal ini mendesak. Maka Front persatuan harus membangun posko-posko pendudukan perusahaan tambang dan migas. Posko pendudukan ini dibangun di kampus-kampus, di kampung-kampung sehingga rakyat mendapatkan tempat untuk berdiskusi, bertanya mengenai pentingnya program ini dijalankan secara konsisten.

Alat-alat propaganda seperti koran, selebaran reguler, spanduk, poster, pamflet harus disebar sebanyak-banyak baik di kampung-kampung maupun di kampus-kampus. Semakin banyak yang menerima, maka akan semakin banyak yang tertarik untuk berdiskusi, bertanya, mengerti dan akhirnya menjadi kekuatan inti untuk melakukan kerja politik bersama.

Panggung-panggung seperti seminar, diskusi publik, debat kampus, hingga debat kampung harus kita bangun agar semakin banyak yang mengerti sifat darurat dari program ini. Selain, agar kelompok-kelompok yang belum bersepakat dapat memahami hal penting dari program ini.

Pendudukan-pendudukan seperti yang pernah dilakukan oleh rakyat Cuba, Venezuela, Bolivia bahkan oleh rakyat Papua dan masyarakat Bojonegoro patut untuk dicontoh. Aksi pendudukan tersebut harus dilakukan baik di kantor-kantor perusahaan industri tambang dan migas maupun di pabrik-pabrik mereka. Dan Front Persatuan sebagai alat alternatif untuk terus memimpin program mendesak ini.

Paulus Suryanta Ginting
Sekretaris Jendral
Eksekutif Nasional
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)

0 komentar: