10 Agustus 2007

SANG PANDAI API (Memimpin Kebangkitan Kesadaran Massa)

Oleh : Danial Indrakusuma[1]


Pendahuluan

Konsep partai pelopor didasari asumsi keberanian—secara psikologis sering dituduh sebagai kecongkakan atau elitis—untuk menyimpulkan bahwa terdapat kesenjangan antara kesadaran partai dengan kesadaran massa, sehingga tugas utama partai adalah menghilangkan kesenjangan tersebut. Tuduhan tersebut segera bisa kita abaikan karena adalah hak absyah suatu partai untuk menyimpulkan adanya kesenjangan tersebut dan menghilangkannya. (Kesenjangan itu sendiri merupakan hasil historis penindasan, yang menyebabkan adanya strata yang berpengetahuan dan yang tak berpengetahuan.) Tuduhan tersebut sebenarnya hanya lah merupakan kasih sayang yang dibalut idealisme (celaka!) kesejajaran manusia, sama sekali tak ada gunanya. Memang, konsep partai pelopor bisa menjadi landasan bagi pemaksaan yang fasistis; namun, konsep partai pelopor yang kita maksudkan tak akan menjadi landasan seperti itu bila kenyataan kesenjangan tersebut diterima—sebagai kerendahan hati (bila psikologis ukurannya)—dan dihilangkan secara sukarela, sekali lagi secara sukarela. Keanggotaan partai pelopor itu sendiri harus merupakan keanggotaan sukarela atas dasar penerimaan intelektual (cerdik) atas program dan metode perjuangan partai. Upaya menghilangkan kesenjangan kesadaran tersebut merupakan upaya menolak Blanquisme—karena tak mungkin suatu revolusi akan berhasil tanpa massa sadar; sebenarnya, tak mungkin pergi ke surga sendirian. Itu lah mengapa partai pelopor hari-harinya ditelikung oleh obsesi untuk berjuang bersama massa sadar. Memang, kesadaran sejati merupakan hasil historis lingkungan material dan sosial. Namun, bila tak ingin jatuh pada materialisme vulgar, upaya partai (seterbatas apa pun) untuk mentrasfernya, dimungkinkan. Buntutisme terhadap kesadaran palsu massa memungkinkan dua hal: manipulasi bagi kepentingan kelas penindas; atau penyerahan kepemimpinan politik kepada kelas di luar dirinya, kelas yang asing, yang akan mengkhianatinya. Kesadaran sejati bagi perjuangan massa pada tahap sekarang ini:


REVOLUSI DEMOKRATIK SEPENUH-PENUHNYA, YANG HANYA BISA DILAKSANAKAN OLEH MASSA TERTINDAS YANG SADAR DAN TERORGANISIR. Tak ada yang lain.

Upaya meraih dan memassalkan kesadaran sejati menuntut syarat-syarat, menuntut alat-alatnya. Upaya maksimal partai (kondisi subyektif) untuk memenuhi syarat-syarat tersebut tentu saja tetap tak bisa keluar dari batas-batas yang memagarinya (kondisi obyektif), berhenti di tepi pagar-pagarnya—dan bila tak maksimal, akan jauh dari tepi pagar-pagarnya, bahkan mungkin memandangnya pun tak sanggup. Membebankan kesalahan secara berlebihan pada kondisi subyektif, tanpa melihat keniscayaan kondisi obyektif, akan menimbulkan ketidakpercayaan pada kemampuan partai, ketidakpercayaan pada kemampuan perjuangan. HABIS SUDAH. Ini bukan suatu apologi untuk memaklumi (understand) ketidakmampuan subyektif yang tidak sepatutnya—ketidakpatutan tersebut juga harus disimpulkan jalan keluarnya. Pengertian (understanding) terhadap kondisi subyektif hanya lah merupakan toleransi bahwa kondisi subyektif itu sendiri merupakan hasil historis. Setiap tahap sejarah partai harus dilihat sebagai upaya untuk memenuhi syarat-syarat tersebut, merebut alat-alat untuk memassalkan kesadaran sejati yang dibutuhkan suatu tahap sejarah. Bila massa tertindas masih tenggelam dalam lautan kesadaran palsu maka partai adalah sebanyak-banyaknya kapal penyelamat yang akan membawanya ke .... alternatif bagi massa tertindas. Semakin kukuh dan meluas kesadaran sejati massa, semakin melenyap makna partai; dan itu akan sejalan dengan semakin hilangnya penindasan, yang akan mendorong semakin dilenyapkannya makna negara—karena per definisi negara adalah alat penindas.

APAKAH TERDAPAT KONDISI OBYEKTIF PERLUASAN KESADARAN SEJATI MASSA; BILA TIDAK ADA, MAKA PERTANYAANNYA: DI MANA MASSA MEMPEROLEH KESADARAN PALSUNYA?

Kondisi Obyektif yang Harus Disebarluaskan Kondisi Subyektif:
1965. Bukan saja merupakan tahun pintu gerbang bagi akselerasi modal yang lebih tinggi bagi penambahan dan perluasan geografi modal yang lebih besar, namun juga adalah pintu gerbang bagi penataan formasi modal yang baru (baca: penghancuran modal lama)—anarkisme terhadap tenaga produktif lama guna menetapkan hubungan pemilikan modal dengan watak politik yang lebih loyal terhadap kekuasaan baru yang sedang mengakomodir masuknya modal asing. Takdir akhir bagi modal priyayi-priyayi patron PNI yang masih berkutat dalam modal perdagangan (merchant capital); takdir akhir bagi industri negara pasokkan negeri-negeri sosialis, yang masih dalam taraf pelatihan untuk ditangani oleh priyayi-priyayi yang tak memiliki basis historis lahir dari kandungan ibu masyarakat borjuis indigeneous; takdir akhir bagi industri kecil swasta, yang kuno—terutama tak massal—dan tak menarik, tak relevan seketika dibandingakan dengan pencerahan barang-barang baru. Semuanya, industri negara—yang sektarian terhadap modal Barat—merchant capital dan industri kampungan borjuis kelontongan memang pantas dihancurkan dihadapan rasionalisasi rencana trilyunan dollar modal baru Barat. Anarkisme terhadap tenaga produktif kelontongan, yang justru memang pantas dilumatkan karena tokh tak bisa menjadi basis bagi rencana rasionalisasi trilyunan dollar modal baru tersebut. Tenaga produktif manusia Indonesia (human experience-nya) pun kelontongan, yang tak relevan di hadapan rencana rasionalisasi trilyunan dollar modal Barat tersebut, apalagi jutaan borjuis kecil sudah dalam atau sedang dalam recana cengkraman hantu komunis. Jadi anarkisme pun (baca: pembantaian) terhadap mereka memang bisa masuk ke dalam pembukuan harian Barat. Oleh-oleh pencerahan modal modal Barat dengan imbalan kado 3 juta bangkai manusia dan pemenjaraan (sampai mati potensi) ribuan manusia sampah/parasit bagi modal Barat tersebut adalah pertukaran yang pantas untuk Orde Baru pembangunan—bila ingin membangun harus dengan basis tenaga produktif dan hubungan sosial yang benar-benar baru, bila tak ingin ada kemungkinan perlawanan dari 3 juta anggota dan 10 juta simpatisan komunis, yang mungkin akan tak rasional, MENOLAK oleh-oleh dari Barat.[2] Bravo! Pintu gerbang memang sudah didobrak kesatria borjuis-Barat, untuk melumat sisa-sisa priyayi pra-borjuis; disambut sorak-sorai pertanyaan suku anak dalam mayarakat pra-borjuis: “Cermin ajaib, cermin ajaib, siapa kah kami?” Jawaban sang penabur modal: “Engkau lah yang ramah tamah, masyarakat pra-borjuis; engkau lah yang akan menjadi tercantik, menjadi masyarakat borjuis secantik-cantiknya, seutuh-utuhnya, seperti kami.”

Di tahun 1965, dalam masyarakat pra-borjuis yang kurus kering, siapa sebenarnya yang menyambut kesatria modal itu? Mereka itu adalah gabungan (yang berinteraksi) dari:
1. TENTARA, yang mau berlagak sebagai kesatria modal dalam negeri. Berumur sekitar 40-50-an. Hasil dari pendidikan penjajahan Belanda (KNIL), hasil dari pendidikan penjajahan Jepang (PETA), dan hasil dari euphoria perjuangan bersenjata borjuis kecil dalam revolusi nasional. Yang dominan dari mereka adalah hasil dari dua yang belakangan; yang pertama, bila pun masuk ke dalam struktur kekuasaan bersama dua yang belakangan, kehilangan elan gagasan-gagasannya—dengan demikian hilang pula elan kekuasaannya—terbuang atau adaptatif. Dalam proses revolusi nasional, tentara-tentara didikan KNIL—yang sedikit banyak membawa konsep tentara profesional masyarakat borjuis (dengan begitu maklum akan keinginan tata-tertib masyarakat borjuis)—terbukti benar-benar tipis keimanan borjuisnya, hanyut dilibas banjir perasaan unggul perjuangan bersenjata ketika ber-versus dengan perjuangan diplomatik. Dan konsekwensinya protes dan tuntutannya: tentara pun harus berpolitik; tentara bukan alat politisi (sipil); tentara harus ada di jalan tengah (baca: dwifungsi ABRI); politisi sipil tidak bisa mengurus kemenangan revolusi nasional, kerjanya cuma bertengkar—demokrasi mereka anggap sebagai bertengkar; pertahanan rakyat semesta memerlukan struktur tentara yang bergandengan dengan struktur administrasi pemerintahan sipil; dan lain-lain, dan lain-lain, yang intinya, “Kami priyayi, yang karena itu dididik di sekolah perwira KNIL, punya kesempatan menjadi elit kekuasaan (tak mungkin terpikir oleh mereka menjadi borjuis). Itu lah alasan sebenarnya mengapa kami mendaftarkan diri untuk dididik di sekolah perwira KNIL, menjadi elit di tengah bangsaku yang melarat, kuno dan menjijikan, walau hanya menjadi perwira KNIL recehan (baca: kaki tangan kolonial), yang sebenarnya diajarkan untuk tidak boleh menjarah kehidupan sipil di luar tangsi karena hidupku hanya di sekeliling tangsi, atau ke luar tangsi bila ada perlawanan bangsaku yang tak bisa diatasi secara politik. Patut juga kau maklumi mengapa iman borjuisku lemah. Apa yang kau harapkan dari pendidikan kolonial. Masih kah kau harapkan aku diajarkan menghargai, takzim, akan tata tertib masyrakat borjuis seperti di Eropa, menghargai hak-hak manusia, sebagai individu sekalipun, yang menjadi landasan bagi demokrasi. Percaya kah kalian bahwa tak ada manipulasi kolonialisme terhadap demokrasi di bumi jajahan? Breidel, Schoolverbood, Digul adalah penghianatan terhadap ibu demokrasi Eropa. Dan tak pernah terbayang bawa kami, bangsa yang menjijikkan, bisa melawan kolonial dan memindahkan Eropa ke Indonesia. Tidak, kami tak pernah diajarkan punya keyakinan seperti itu. Komunis-komunis itu, juga Soekarno, yang punya keyakinan seperti itu, keyakinan melawan, namun mereka tak mengerti apa itu Eropa dan tak punya kepercayaan bahwa demokrasi Eropa adalah basis bagi kerakyatannya. Tidak, kami, KNIL, tak pernah diajarkan untuk punya keimanan seperti itu. Dan rasionalisasi Hatta bagi kami tak boleh menghapuskan dwifungsi ABRI―kami setuju pada Hatta karena bersamanya kami bisa menyingkirkan tentara-tentara gembel, yang sudah dan bisa condong ke komunis; Kami harus mendukung Hatta agar kami lah, yang berpendidikan tinggi, yang jadi pimpinan tentara; tapi kami juga mendukung kaum populis, agar kami jangan ditangsikan. Kami menang, kami tak ditangsikan. Namun kami tak berdaya di hadapan gembel-gembel PETA, yang jenderalnya jadi Panglima TNI. Namun lebih baik daripada tak berdaya di hadapan gembel-gembel tentara komunis. Kami kira adalah baik bekerjasama dengan gembel-gembel PETA.” Yang (sedikit) lulusan Breda apalagi, bahkan sudah tak bermakna sejak masa revolusi nasional, punah dilibas radikalisme populis borjuis kecil pra-borjuasi.
Kekalahan Rusia oleh Jepang tahun 1905, kemenangan-kemenangan Jepang di Asia dalam Perang Dunia kedua—semuanya memang terdengar sampai ke kabupaten-kabupaten—dan, terakhir, kemenangan Jepang dari Belanda di Indonesia, dianggap sebagai kemenangan Timur (Rakyat) atas Barat (penguasa/elit). Sorak-sorai jamuan kedatangan bagi sang pembebas, sejak dari pantai hingga ke pedesaan. Kaum miskin kota, gembel-gembel, rame-rame daftar jadi PETA. Yang mereka dapat di PETA: “Ayo, disiplin baja, disiplin baja—pelanggaran terhadap disiplin adalah aib yang harus dibayar siksaan fisik—jadi tentara, jadi tentara, karena tentara adalah penguasa negara sesungguhnya, bahkan penguasa negara Asia Timur Raya. Kita adalah saudara dan, kami, Jepang, sudah menjadi saudara tua kalian, pengusir penjajah dari tanah air kalian. Mari lah menjadi tentara, tentara bersama Asia Timur Raya. Jangan jadi tentara untuk rakyatmu seperti Supriyadi—Supriyadi menganggap saudara tuamu penipu. Disiplin, kekerasan, adalah ilmu bagi bangsamu. Masukkan rakyatmu dalam rumah kaca cacah jiwa, wadah-wadah sektoral perempuan, pemuda dan lain-lain dan lain-lain, agar bisa dipekerjakan dengan keras, diawasi dengan disiplin baja dan kekerasan, demi bangsamu—yang akan kami berikan kemerdekaannya—dan kejayaan Asia Timur Raya. Apalagi calon-calon pemimpin bangsamu (yang dijanjikan akan merdeka) merestuinya—ya, pasti mereka merestuinya karena, menurut mereka sendiri, menerima Jepang bukan lah kolaborasi tapi taktik (sambil menyelam minum air) karena Jepang tetap mengajarkan nasionalisme (baca: anti Barat), dan pimpinan perjuangan tak akan dibasmi Jepang. Ya, patuhi lah pimpinan perjuangan kalian, yang akan menerima kemerdekaan dari kami, yang merakyat (dengan memberi contoh bagaimana Romusha mencangkul), dan yang tabah menghadapi kematian ribuan Romusha dan perkosaan perempuan-perempuan Jugun Ianfu demi taktik.” Disiplin dan kekerasan di tangan gembel-gembel PETA hanya berlaku di dalam tangsi, di luar tangsi, ketika mengangkangi kehidupan sipil (baca: ketika berkuasa), hanya tinggal kekerasannya—bedakan antara disiplin borjuis dengan disiplin tentara PETA—sedangkan disiplinnya lekang oleh kenikmatan gelimang kekuasaan dan uang tanpa keringat, menjadi penguasa dan pemilik alat produksi dadakan, penerima oleh-oleh modal dari Barat dengan imbalan kado 3 juta bangkai dan ribuan buangan/penjara kaum kiri. Gerombolan bandit didikan PETA yang berseragam dan bersenjata ini lah yang terus menerus sukses mengangkangi negara, karena terus menerus juga sukses mewariskan watak banditnya ke generasi AMN/AKABRI, dan menempatkannya di daerah-daerah garongan, atau rumah-rumah sipilnya dwifungsi ABRI, yang semakin meluas semakin meluas saja. Buah tak jauh dari pohonnya; gerombolan bandit ini memang dikepalai oleh tentara didikan PETA yang sudah terbiasa menjadi koruptor, penyelundup dan rentenir bagi Tionghoa-Tionghoa pedagang—pada masa Orde Baru, sudah menjadi kebiasaan tentara menjadi rentenir atau penjual izin usaha, penjamin kemenangan tender, dan tukang pukul pedagang/industriawan Tionghoa. Bisa kah kita berharap mereka berpikiran untuk bertransformasi menjadi borjuis? Ketika mereka berusaha pun ternyata hampir seluruh perusahaannya mengalami kebangkrutan. Bisa kah kita berharap pada borjuis tentara dadakan ini? Menitip dendeng pada anjing. Sukses perwira-perwira KNIL mengkonseptualisasikan dan menggelar permadani merah dwifungsi ABRI di tahun kembalinya kita ke UUD-45, di tahun kediktatoran demokrasi terpimpin, merupakan warisan harta karun bagi gerombolan bandit didikan PETA ini. Perwira-perwira KNIL, Ibu pewaris kediktatoran ini, akhirnya dibunuh oleh Malin Kundang gerombolan bandit didikan PETA, bukan karena mereka lebih pro-Barat—Barat tidak pernah mewarisi dwifungsi ABRI—namun semata-mata karena perebutan kekuasaan di tentara demi, justru, rebutan oleh-oleh dari Barat, kemudian rebutan jarahan, tak lain tak bukan. Memang benar, bahwa untuk menghancurkan masyarakat pra-borjuis yang tenggelam dalam kediktaktoran pabrik retorika (nasionalis-populis) selumat-lumatnya, setandas-tandasnya, Barat harus tergantung pada tentara. Namun untuk membangun masyarakat borjuis maju—dalam muka kasih sosial-demokrat seperti di Eropa—sejarah Barat tak pernah mengajarkan bahwa itu bisa dikelola oleh dwifungsi ABRI. Tak juga bisa dipararelkan dengan sejarah fasisme. Senang atau tak senang, sudah diakui, oleh Barat sekali pun, semuanya dikelola borjuasi Tionghoa, yang diperas oleh senjata, seragam birokrat dan sentimen SARA/diskriminasi. Kekalahan demokrasi Tirto Adisuryo―oleh manipulasi kolonial Belanda, oleh pedagang-pedagang kelontongan muslim, dan oleh politisi-politisi begundal kolaborator Belanda―kekalahan demokrasi liberal 50-an―oleh Soekarno-Tentara-PKI―dituntaskan oleh dwifungsi Orde Baru dalam kondisi yang berbeda: demokrasi Tirtoadisuryo cenderung menggapai nasionalisme (yang masih meraba-raba, mengendus-endus) dan dalam lingkup modal kolonial di agrikultur; demokrasi liberal 50-an ada dalam lingkup borjuasi kere, kurus kering-kerontang, relatif kosong dari agen-agen modal asing, terutama setelah nasionalisasi; dwifungsi ABRI dibarengi modal yang skalanya lebih luas, baik dalam jumlah maupun dalam geografisnya, dan batas-batas rasionalisasi diversifikasi produknya lebih ke manufaktur, ekstratif, beserta infrastruktur penunjangnya, yakni finansial dan jasa-jasa lainnya[3], bukan ke agrikultur. Yang, semuanya itu, dalam logika historis, hanya bisa ditangani oleh borjuasi Tionghoa—Barat sadar itu, tak akan ia menghancurkannya, tak akan ia terseret oleh arus sentimen SARA. Karena itu wajar bila ada kesimpulan bahwa rencana kerusuhan SARA Mei, 1998, adalah bargain (baca: pemerasan) Soeharto pada Barat, yang sudah lama—sejak mengirim Carter—meminta Soeharto turun dengan secara terhormat. Barat sedar, sesedar-sedarnya, tak mungkin masyarakat borjuasi dalam skala modal yang besar dan yang terjalinan dengan sistim kapitalisme global yang luas dapat digardai dwifungsi ABRI. Namun Barat pun sedar-sedarnya bahwa gradualisme penghapusan dwifungsi ABRI adalah siasat untuk mengatasi anak-anak yang suka melempari rumah bila mainannya (yang membahayakan) dirampas, siasat untuk menekan resiko terhadap modal.
Yang hasil dari euphoria perjuangan bersenjata borjuis kecil dalam revolusi nasional, terutama sejak awal clash kedua, adalah borjuis kecil kota—terutama dari kaum miskin kota—dari tingkat kota-kota di sekeliling pusat propinsi (sebutannya sekarang), sedikit sekali dari pedesaan[4]. Setelah jenderal-jenderal (perwira-perwira) Naga Bonar dilikuidasi dan diintegrasikan kepada TNI, mereka kemudian hanya menjadi komandan-komandan kecil, tentara-tentara kroco berpangkat prajurit, sersan, paling tinggi rata-rata letnan. Sedangkan pangkat kapten sampai jenderal dikangkangi oleh tentara-tentara didikan PETA (kebanyakan) dan tentara-tentara didikan KNIL. Proses integrasi ini juga adalah proses kemenangan kepemimpinan tentara didikan PETA, disusul (di eselon dua) diduduki oleh gabungan dengan tentara-tentara didikan KNIL. Watak populis (terutama yang berasal dari laskar Komunis) menjadi basis bagi kebencian terhadap perwira-perwira bekas KNIL tersebut, apalagi dalam perjalanannya mereka lebih dekat kepada politisi sipil—itu artinya perjuangan diplomasi—ketimbang ke lapangan—angkat senjata. Legitimasi kepemimpinan tentara-tentara didikan PETA sebenarnya hanya berdiri di atas dua basis—berhasil mengurung dan mengusir tentara Inggris di Ambarawa dan menolak meletakkan senjata (lebih baik ke gunung) ketika ibukota Yogyakarta diduduki; plus tambahan serangan umum (lebih tepat sebagai serangan Yogya) 11 Maret. Sedangkan pertempuran 10 November, 1945, di Surabaya, yang sebenarnya merupakan perang modern internasional—dilihat dari persenjataan yang digunakan sekutu pada saat itu—yang lebih heroik, yang lebih bermakna “insureksi”, dan berhasil dimenangkan, tak pernah dijadikan titik tolak potensi penekan yang dapat membantu perjuangan diplomasi, dan juga tidak dijadikan basis bagi pengangkatan kepemimpinan tentara yang lebih bersih ketimbang tentara-tentara didikan KNIL dan PETA. Perjuangan bersenjata dalam kepemimpinan tentara-tentara didikan PETA dan KNIL kemudian hanya lah jadi kelompok-kelompok penggangu (tidak ampuh, lebih banyak lari) Belanda dan parasit-parasit pedesaan—mereka sudah terbiasa menjadi golongan istimewa yang tidak produktif, tidak ada doktrin produksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Metode perjuangan bersenjata yang menyatu dengan pergolakan massa seperti di Surabaya tak pernah menjadi doktrin dalam apa yang mereka namakan “TNI-Rakyat.” Tentara-tentara kaum miskin kota kemudian mulai diakomodir dalam apa yang tak bedanya dengan dwifungsi ABRI, menjadi tentara pembantu wedana/camat, tentara pembantu lurah dan sebagainya di atas pengabsyahan untuk membantu sipil menunjukkan pada dunia internasional bahwa administrasi Republik masih ada, masih jalan. Dalam euphoria revolusi nasional, tentara-tentara kaum miskin kota ini makin menjadi-jadi pragmatismenya, sektarianismenya, kekakuannya (hitam-putih), dan kekerasannya. Perselisihan latarbelakang ideologis sebelum integrasi ke TNI selalu diakhiri dengan culik-culikan, kudeta-kudetaan, bunuh-bunuhan, dari mulai skala yang kecil sampai pembantaian Madiun, berlanjut terus sampai ‘60-an dan ’65. Bacaan-bacaannya pun banjir darah, tak ada yang namanya toleransi demokrasi, terlebih-lebih lagi, setelah integrasi ke TNI, tak ada bacaan TNI yang bisa berbicara tentang aturan/disiplin tentara dan demokrasi—bukan alasan untuk mengatakan tak ada bacaan dalam masa perang, bila kita lihat menjamurnya bacaan di kalangan pejuang sipil di masa perang. Problemnya adalah tak adanya integrasi (baca: kepatuhan) tentara ke dalam kehendak-kehendak sipil, mereka sudah terbiasa berkubang dalam anggapan sipil adalah kompromis, sipil lambat, sipil bertengkar terus, sipil lemah, tentara unggul dan tegas (baca: sebenarnya sektarian, pragmatis dan keras/berdarah). Hasilnya: dalam perang ini, berapa tentara Belanda yang mati ketimbang TNI yang mati? Jauh lebih banyak TNI yang mati; dalam revolusi nasional ini, berapa orang-orang Indonesia yang mati oleh Belanda ketimbang yang mati oleh orang-orang Indonesia sendiri? Lebih banyak yang oleh orang-orang Indonesia sendiri. Lebih baik dikatakan bahwa romusha-romusha ini mati karena ulah pemimpin-pemimpin bangsanya sendiri ketimbang oleh Jepang, karena itu tidak terjadi di negeri-negeri lain yang pimpinan-pimpinannya bukan kolaborator Jepang. Kasus Westerling pun membuktikan bahwa tentara-tentara itu kebanyakan sedang bersembunyi di pedesaan atau pinggiran kota. Kasus anarkisme Bandung Lautan Api dan hijrah ke Yogya membuktikan tentara sedang meninggalkan rakyatnya. Kemunculan politisi-politisi didikan Eropa tak pernah sampai berhasil mapan menanamkan aturan main toleransi demokrasi terhadap tentara-tentara borjuis kecil ini maupun pada politisi-politisi buatan dalam negeri, selalu dikalahkan, diganggu, disabot, dikudeta—misalnya, sabotase terhadap program front perjuangan, mereka tidak punya aturan main toleransi demokrasi, main culik, main tahan. Apalagi mereka yang terlibat di front perjuangan bukan lah atas komitemen (baca: pengabdian) programatik tapi atas (persis) oportunisme borjuis kecil, menjatuhkan prinsipnya setelah disogok jabatan, dan melepas tanggung jawab (baca: memfitnah) agar tidak disidangkan. Dalam vakum proses peralihan kekuasaan dari penjajahan, mereka ini lah yang merampoki, menjarah, memperkosa, dan membunuhi orang-orang Belanda atau yang mereka tuduh pro-Belanda. Tentara-tentara borjuis kecil yang berlumuran darah, koruptor—ingat prajurit korupsi bensin dan penyelundup—serta perampok/penjarah memberikan pertanyaan kepada kita makna kata “revolusi” dalam kalimat revolusi nasional; kemenangan tentara-tentara borjuis kecil ini (baca: bandit-bandit yang secara legal dipersenjatai), yang menjarah lorong-lorong kehidupan sipil, memberikan kembali pertanyaan kepada kita: sudah tuntas kah revolusi demokratik? Makna nasionalisme (yang dibalut populisme) tentara-tentara borjuis kecil di tanah jajahan―“kami bebaskan kalian, rakyat, dari kekejian penjajahan Belanda dan Jepang”―terbukti tak cukup membuat mereka takzim pada demokrasi.
Barat sadar itu semua akan menggangu modal—tahap awalnya memang masih protes melingkar terhadap pelanggaran hak-hak azasi manusia (protes terhadap pembantaian, pembuangan dan pembuian tahun ’65 datang belakangan, pura-pura dilupakan, itu pun sekadar basa-basi, suatu diskriminasi HAM)—karena itu generasi AMN dan AKABRI yang berhasil lulus “saringan” (yang sarat dengan KKN dan kriteria kepatuhan) diminta mengkuti program pelatihan di Amerika, yang nantinya akan diberi isian kurikulum hak azasi manusia. Disenangkannya Amerika oleh pengiriman tentara Indonesia dalam program kerjasama militer tersebut sekadar sebagai basa-basi diplomatik dan etalasi demokrasi, namun, sebenarnya, bukan atas kesadaran untuk mengamankan pengembangan masyarakat borjuis, menyelamatkan modal. Karenanya keberhasilannya diukur atas dasar kejagoan menindas lahan-lahan perlawanan yang makin lama makin banyak tersedia—perlawanan kaum intelektual, perlawanan mahasiswa, perlawanan kaum tani, perlawanan kelas buruh, perlawanan rakyat Maubere, perlawanan rakyat Papua, perlawanan rakyat Aceh[5]—bukan atas tolak ukur sogokan Bonapartis, bukan sogokan sosial-demokrat.
2. Kaum teknokrat pro-Barat. Di tahun 1965, masih tersisa teknokrat pro-Barat peninggalan masa revolusi nasional. Pengertian pro-Barat mereka bermakna: lebih condong ke sosial-demokrat Eropa. Mereka tak pernah terpakai pada masa revolusi nasional, dilibas populisme anti-Barat. Apa yang diperbuat ibu Eropanya? Tak ada. Mereka dikhianati ibu Eropanya sendiri— di Indonesia, modal Eropa memang lebih pengecut. Mereka berpaling pada demokrasi-liberal Amerika, ibu yang lebih mengasihinya. Itulah mengapa, bagi teknokrat yang lebih berani, mereka mau diuji dalam gerakan separatis, sebagai ujian bagi adopsi mereka oleh Ibu Amerikanya. Ditinggalkannya rumah akedemiknya di tanah tercinta untuk menyongsong ibu adopsi barunya, tanpa sedu sedan, apalagi karena ia telah menitipkan bayi-bayinya—yang ternyata lebih moderat dan penakut—di rumah akedemiknya, Universitas Indonesia). Bayi-bayi itu masih sayup-sayup (karena sembunyi-sembunyi) mendengarkan lagu-lagu teknokrasi Amerika. Bisa saja kita tak perlu bersyakwasangka bahwa kehati-hatian mereka itu adalah cermin kepengecutan mereka, bila saja kita menyisakan belahan nurani kita bagi bisikan-bisikan pikiran positif: mereka sedang menguji militansinya dalam menumpuk gandum-gandum keyakinan akan kebenaran teknokrasi Amerika dalam gudang-gudang Mesir yang bernama profesor summa cum laude. Di tahun ’65, bapak tentaranya lah yang memberinya pekerjaan di perusahaan bangsa. Dalam perjalanan perusahaan, ketika menghadapi dwifungsi ABRI, tak bisa lagi ia mengadu pada ibu Amerikanya, tak pernah digubris. Satu-satunya tempat ia mengadu adalah ibu spiritual akedemiknya: “Ya ibu akedemikku, teganya engkau melepasku dengan bekal rumus yang tak cukup. Ternyata aku hanya lah murid-murid taman kanak-kanak dalam memecahkan rumus ‘modernisme liberal plus dwifungsi’ ABRI.” Itu adalah suara kejujuran intelektual; dan ini lah suara pelacur intelektual: “Ya ibu Akedemikku, tak apa lah tak kau beri bekal yang cukup, karena tak berhasil pun aku memecahkan rumus itu, aku tetap menerima hadiah sekadarnya. Tak usah kau beri aku gelar, akan kuberi sendiri gelarku: pemenang harapan. Lebih terhormat dari gelar pelacur intelektual.” Teka-teki rumus itu pun sebenarnya masih menghasilkan teka teki lainnya, yakni “over produksi”—tanda kutip adalah pertanyaan: mengapa over produksi menghasilkan kemiskinan. Dan, walaupun “over produksi” menghasilkan kemiskinan—karena penerimaan/daya beli masyarakat rendah (baca: upah rendah, jaminan sosial kesehatan/pendidikan/transportasi rendah, subsidi rendah, dan itu artinya kreativitas masyarakat juga rendah)—tak mungkin ada penurunan harga bila tak ingin pengembalian (revenue) bagi kapitalis menurun (membangkrutkan perusahaan) karena, seperti kita semua mahfum, agama mereka adalah: penanaman, penananaman, penanaman modal lagi untuk mepercanggih teknologi, modal dalam fixed capital harus semakin meningkat (organic composition of capital harus semakin meningkatkan teknologi modern) demi mengalahkan saingan-saingannya. Untuk mempertahankan keseimbangan harga, agar tak menurunkan revenue, apalagi setelah pembelian teknologi baru, kapitalis tak mungkin menuntut pada negara/PBB[6] untuk menetapkan kebijaksanaan penurunan harga secara umum/massal (dalam batas nasional sekali pun). Bila pun dipaksakan, maka kapitalis harus menerima dengan sukarela (?) interval kepatuhan seluruh kapitalis yang sedang dijaga polisi-polisi ekonomi. Atau apakah kepatuhan seluruh kapitalis itu bisa serentak, sehingga tidak perlu menunggu interval (baca: krisis)? Pertanyaan tentang nilai tukar yang setara di dalam negeri dengan hasil produktivitas luar negeri adalah pertanyaan politik—tentang perjuangan di tingkat internasional—dan pertanyaan ekonomi—bagaimana memaksimalkan sebera pun hasil-hasil pertukaran yang tidak setara (berupa teknologi tinggi) itu agar bisa dijadikan basis kemandirian (secara bertahap) produktivitas nasional berteknologi tinggi—dan pertanyaan budaya—kecintaan/pengabdian akan budaya kerja, budaya ilmiah, budaya demokrasi, dan budaya keadilan. Namun, kenyataannya, mereka mengambil jalan pragmatis, jalan tambal-sulam, mengemis dukungan finansial dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pada rentenir-rentenir dunia (lihat catatan kaki No. 1).
3. Borjuasi Tionghoa. Bukan main. Tak pernah lekang kekagumanku atas isi sejarah hidup mereka: perjuangan hidup di segala zaman, di tengah-tengah pemeras bersenjata, berseragam birokrat dan berselubung sentimen SARA.[7] Ini yang menyulitkan mereka ditransformasikan menjadi aset revolusi. Para pejuang anti-diskriminasi yang hanya berkesimpulan bahwa akar dari diskrininasi tersebut semata-mata adalah seratusan kebijaksanaan pemerintah yang diskriminatif, tanpa melihat kesejarahan tentara—berujung dalam dwifungsi ABRI—yang memblokade toleransi demokrasi, adalah GOBLOK. Jalan keluar affirmative policy seperti di Malaysia—yang landasannya tetap saja rasis dan anarkime terhadap tenaga produktif—adalah keGOBLOKan lainnya: menghentikan laju para pelomba, menarik kembali sang pelomba yang sudah menang, untuk menarik garis start kembali. Menarik untuk mendengarkan kekesalan borjuis pribumi—lebih keras disuarakan oleh borjuis kecilnya—“Bila pun (sebenarnya tidak ada kata “pun”) ada persamaan dengan cina-cina[8] itu, tetap saja mereka yang akan menguasai ekonomi, karena mereka lah yang sudah dan akan menguasai jaringan bahan mentah/setengah jadi/jadi, arus distribusi (pemasaran) dan jalur teknologi. Tak akan rela mereka menyerahkan jaringan, arus dan jalur Singapur, Malaysia, Hong Kong, Taiwannya (kenapa tak ditambahkan Jepang dan Barat) kepada kita, Mereka malah akan semakin menggila dalam persamaan.” Kekesalan yang hanya bisa dijawab oleh konsep bahwa “mereka” dan “kita” harus hidup dalam pengkondisian toleransi demokrasi: sentralisasi ditribusi (yang akan menekan konsep pemasaran sampai ke titik nol) dan tenaga produktif. Dalam masa penuntasan revolusi demokratik, sentralisasi tersebut harus untuk dirasionalisasikan, diefensiensikan dan dikontrol rakyat efektivitasnya. Bila kemudian orang-orang Tionghoa ini yang menang, bahkan bila pun mereka nanti yang akan memimpin bangsa ini, kenapa tidak. Kenapa kalian tidak rela. JAWAB SEKARANG JUGA, agar segera tuntas, paling tidak dalam pikiranmu, agar adil sejak dalam pikiran.
Latar belakang historis mereka lebih ke condong ke mereka yang dibawa oleh merkantilisme/kolonialisme Inggris dan Belanda; Inggris membawanya ke Sumatera (terutama bagian timur) dan Kalimantan (dari Borneonya Malaysia dan Brunei), serta Belanda membawanya ke pesisir Jawa. Selain itu Portugis membawanya ke Timor Timur. Yang di Cirebon lebih cepat terintegrasi karena kemudian bernaung pada yang menjadi salah satu penguasa feodal Islam. Ada juga mereka yang langsung dibawa oleh bangsawan-bangsawan Tionghoa seperti yang di Semarang. Namun sebagian besar (terutama yang di pesisir, dan yang kemudian bergerak ke bagian dalam kepulauan, yakni para pedagang keliling) adalah mereka yang bisa digolongkan budak-budak merkantilis, kuli-kuli perusahaan-perusahaan merkantilis, dan para pedagang kelontongan perantara merkantilis―yang kemudian menjadi penguasa kolonial). Kekalahan raja-raja Jawa oleh merkantilisme dan kolonialisme mendesak mereka menjadi raja-raja pedalaman, menjadi raja-raja kampung, yang sudah tidak menguasai laut lagi, menjadi agraris sampai ke sumsum tulang belakang budayanya. Ekonomi pesisir adalah perdagangan besar merkantilis Eropa, perdagangan dan industri kelontongan orang-orang Tionghoa, orang-orang Arab, dan orang-orang Jawa Islam. Keuletan, kerajinam, disiplin baja, dan keluwesan mereka lah—misalnya ketika memperkenalkan barter, kredit, renten dan ijon saat masuk ke daerah dalam dan pedalaman—yang membuat mereka setahap demi setahap menguasai ekonomi perdagangan eceran, terutama setelah mereka melakukan persatuan-persatuan modal di atas basis klan, saudara, kampung asal, dan pertemanan. Kemajuan mencolok, terutama di daerah pesisir utara Batavia (Jakarta), mengkhawatirkan penguasa Belanda (baca: VOC, perusahaan merkantilis Belanda). 1740, kekhawatiran ini diselesaikan oleh pembantaian massal orang-orang Tionghoa di Batavia Utara. Musnah kah mereka? Tidak. Pada Akhir abad 19 sampai awal abad ke 20 saja mereka adalah penulis-penulis novel dalam bahasa lingua franca[9] pertama (lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa mendirikan bank sendiri (lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa mendirikan sekolah sendiri (lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa memiliki koran sendiri (lebih dahulu dari “pribumi”)[10], sudah bisa bersatu dan menggunakan alat boykot (sebelum “pribumi” mengenalnya) terhadap monopoli Belanda—ternyata Belanda pun memang tergantung pada kaki tangan perantaranya ini. Mereka juga memberikan contoh nasionalisme dan modernisme bagi “pribumi” ketika mereka menyebarkan atmosfir nasionalisme Boxer Rebellion ke kalangan orang-orang Tionghoa konservatif. Mereka yang mulai masuk ke pedalaman memberikan basis bagi masuknya desa dalam jalur distribusi dan pemasaran kota, dan memberikan basis bagi perkawinan campuran, serta memberikan basis bagi keterlibatan mereka dalam revolusi nasional—mereka adalah pemasok-pemasok, penyelundup-penyelundup logistik dan persenjataan revolusi nasional melalui tongkang-tongkang dan kapten-kapten Tionghoa yang bekerja di kapal-kapal dagang Belanda. Perkembangan positif ini dihancurkan kembali oleh si rasis Soekarno dengan PP 10[11]—ada kah perlawanan resmi dari kaum demokrat atau PKI terhadap PP 10 ini? TIDAK ADA. Kecuali pribadi Pram, yang membuat ia dijebloskan ke penjara. (Setelah PP 10 ini lah keluar berbagai macam kebijaksanaan diskriminatif, yang diteruskan dan diperbanyak oleh Orde Baru.) Pedagang-pedagang “pribumi” dan Arab, yang kalah saingan, mulai saling menghasut kecemburuan mereka yang dibalut sentimen SARA—pembentukan ronda anti-cina pedagang-pedagang batik Jawa-Muslim; 1920, pembantaian massal (banyak dengan cara penyembelihan) yang dipimpin/dihasut oleh pedagang-pedagang Jawa Muslim di Kudus. Cara ini, kemudian menjadi solusi orang-orang “pribumi” dalam melampias kemarahannya terhadap kekalahan dan kemiskinan, berkali-kali terjadi baik dalam masa Soekarno maupun masa Orde Baru. Bagi penguasa Belanda dan Orde Baru cara ini adalah upaya mencari kambing hitam dalam mengalihkan perhatian orang-orang “pribumi” terhadap problem rielnya—saat batas-batas kesadaran massa (terhadap penyebab kekalahan dan kemiskinannya) cenderung mengarah/mendekati ke penguasa. Sekarang ini, Yahudi bukan lagi pemilik tunggal kreativitas progrom. Tumpul kah kemampuan ekonomi orang-orang Tionghoa oleh PP 10? TIDAK, sekali lagi, TIDAK. Dengan mengalirnya orang-orang Tionghoa ke kota, ekonomi Kota seperti mendapat tambahan enerji, tambahan tenaga produktif dalam mengelola jalur bahan mentah/setengah jadi/jadi, arus pemasaran dan jalur teknologi. Mati kah sentimen SARA? Tidak. Cuma dipindahkan ke kota-kota. Karena tidak semua orang-orang Tionghoa itu kaya dan pedagang maka, walaupun mereka hidup dalam atmosfir diskriminatif, serta karena PKI―yang lebih cenderung ke Maoisme, dan merupakan partai yang kuat―mereka mau terlibat dalam aktivitas politik, diakomodir sebagai anggota PKI atau dalam ormas yang dipengaruhi PKI, BAPERKI. Bahkan mereka bisa masuk dalam jajaran pimpinan partai dan kabinet Soekarno. Tahun ’65, adalah penjara dan pembunuhan bagi orang-orang Tionghoa PKI dan BAPERKI, serta tawaran untuk kembali ke RRT (Sekarang RRC). Barat khawatir pemaksaaan/pengusiran orang-orang Tionghoa; Barat khawatir tidak punya agen-agen bagi modalnya. Soeharto pun tentu akan khawatir bila kaki tangan pengelola modalnya, Liem dan Bob Hasan, terusir.[12] Babak baru ’65 adalah takdir historis bagi rezeki mereka, senang atau tidak senang. Kepercayaan Barat/Jepang dan pemerintah, bahkan individu-individu tentara dan birokrat, terhadap orang-orang Tionghoa untuk menjadi agen-agen dan pengelola modalnya tetap tak terelakkan. Apalagi ketika bisa diintegrasikan dalam jalur-jalur dan jaringan Singapur, Hong Kong, Taiwan dan Jepang, mula-mula di perdagangan dan jasa, kemudian di industri manufaktur dan perbankan. Sektor ekstratif yang diisi oleh modal Barat (kemudian Jepang) setahap demi setahap dimasuki melalui jalur sebagai supplier dan sub-kontraktor, apalagi pada sektor ekstratif yang dikuasai negara, akselerasi masuknya lebih cepat. Dalam duapuluh tahun kekuasaan Orde Baru praktis seluruh sektor industri, jasa, perdagangan, asuransi dan keuangan, dari yang ringan sampai yang berat, dari yang berteknologi rendah sampai yang tinggi, dari yang asli sampai yang palsu, semuanya dikuasai orang-orang Tionghoa. Bahkan kriminalitas tingkat tinggi dalam perbankan, keuangan dan narkoba dikuasai mereka bekerjasama dengan kaki tangan tentara, birokrat dan bandit. Solusi terhadap peningkatan, perluasan akselerasi dan volume modal di tengah-tengah pemeras bersenjata, berseragam birokrat dan berselubung sentimen SARA adalah: kenaikan harga dan penyelundupan—Ditjen Bea Cukai adalah salah satu markas besar koruptor. Sebagai suatu sistim, coba integrasikan, sandingkan, solusi tersebut dengan solusi borjuis dalam meningkatkan super profit-nya, surplus value-nya―menekan atau memperlambat kenaikan upah real buruh. Hasilnya: rendahnya real income masyarakat di tengah-tengah kelimpahan, over produksi. RASIALIS SEJATI tak membutuhkan rasionalisasi historis, toleransi demokrasi, apalagi keadilan.
4. Borjuasi “pribumi”. Kenapa harus dibedakan dengan borjuasi Tionghoa, sehingga harus ada penjelasan? Perbedaannya paling-paling dalam hal bahwa borjuasi kelontongan pribumi akan lebih cepat selesai sekaratnya, lebih cepat matinya, karena sebagian besar dari mereka bukan lah bagian dari jaringan formal —berdasarkan persetujuan dengan dan bantuan dari—borjuasi besarnya (baik yang “pribumi”, Barat, maupun yang Tionghoa). Mereka hidup dalam belantara hutan survival of the fites: “Kita sih tinggal tunggu mati saja. Semua ujung-ujungnya di Cina, yang punya modal. Pemerintah juga ng’ga bantu kita,” adalah keluhan borjuis kelontongan pribumi. Sedangkan borjuasi kecil Tionghoa merupakan jaringan formal borjuasi besarnya, dibantu pengadaan barang dan permodalannya, merupakan kaki tangan borjuasi besarnya. Sedangkan perbedaan non-ekonomis antara borjuasi “pribumi” dengan borjuasi Tionghoa adalah: borjuasi besar “pribumi” sarat dengan sentimen rasialis. Kebencian terhadap kroni lebih condong pada kebencian karena Soeharto lebih dekat kepada borjuasi Tionghoa—borjuasi “pribumi” seperti Soeharto ternyata bisa lebih dekat kepada mereka, tidak rasis. Dalam perkembangan formasi borjuasi, ada hal yang penting juga untuk dicatat: meningkatnya borjuasi-borjuasi muda, terutama anak-anak keluarga Soeharto, kerabatnya, teman-temannya dan anak-anak pejabat, yang lebih bisa bekerjasama dengan borjuasi Tionghoa.
5. Angkatan ’66 dan kelanjutan lainnya. Pram tak mau memberikan komentar untuk angkatan ’66, tak bernilai, katanya. Patut dimaklumi, langsung tidak langsung, mereka juga bertanggung jawab atas pembantaian 3 juta manusia, pemenjaraan, dan pembuangan ribuan anggota PKI, simpatisannya, bahkan terhadap orang-orang yang tak tahu menahu. Namun ada sisi lain yang perlu dikomentari: bagaimana “calon demokrat” ini tak berdaya di hadapan tentara. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa kanan di bawah naungan bekas Partai Sosialis, PNI-kanan, partai-partai Islam dan partai kiri yang berkhianat. Dalam demokrasi terpimpin, dengan derajat yang berbeda, mereka mendengar sayup-sayup, membaca tanggung-tanggung bocoran-bocoran harapan-harapan Barat, modernisme, demokrasi liberal dan sosial-demokrasi. Termasuk juga di dalamnya adalah bocoran kediktatoran Stalinisme, yang mereka persiskan dengan demokrasi terpimpin. Demokrasi sayup-sayup, demokrasi tanggung-tanggung tersebut adalah: Barat “bebas dan modern,” dalam kecupepetan/kesalahpahaman pengertian mereka, bukan dalam kebijakkan pengertian Barat. Mungkin saja agak tertolong, atau menjadi harta karun untuk memeriksa Orde Baru nantinya, bila saja sense sosial-demokrasi mereka tidak tertekan oleh nafsu sayup-sayup, nafsu tanggung-tanggung melahap “bebas dan modern”. Sejak awal, demokrasi (baca: “bebas dan modern) mereka sudah diuji di hadapan bangkai (banyak yang tanpa kepala dan isi perut) 3 juta manusia dan pemenjaraan/pembuangan manusia (tanpa pengadilan). Bila kita pahami bahwa bocoran demokrasi tersebut berasal dari Amerika, adalah tidak masuk akal “kebebasan dan kemodernan” mereka menyetujui pelanggaran terhadap kemanusian Eropa barbar atau Eropa fasis. Atau memang ada teori universal dan ahistoris yang mengatakan bahwa demokrasi Amerika, yang sarat dengan kepentingan modal dan anti-komunisme, akan dimanipulasi begitu sampai ke tanah negeri dunia ketiga, seperti manipulasi liberalisme dalam kolonialisme? Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa kesatria “kebebasan dan kemodernan” yang sedang sekarat, kalah secara politik dan ideologi baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa suci, bersih dari pekerjaan agitasi-propaganda, bersih dari pengorganisiran massa, bersih dari pekerjaan mobilisasi massa. Suci dan bersihnya borjuis kecil. Mereka mahasiswa-mahasiswa cengeng ketika menghadapi gempuran ideologi dan politik kelompok lain, mencari gantungan dari unsur penindas yang lebih kuat, kelompok menggempur, tentara. Suci, bersih dan cengengnya borjuis kecil. Sebenarnya, sejak sebelum ’65, demokrasi mereka sudah sayup-sayup dan tanggung-tanggung, ketika, sebagai orang kalah yang mengadu, mereka membudak pada tentara. Dalam kalkulasi mereka, bukan pendalaman dan pengabdian pada demokrasi itu sendiri yang akan mempersembahkan piala “kebebasan dan kemodern,” tapi puja puji dan dorongan/perlindungan bagi karirnya dari tentara. Mereka dan tentara adalah kemesraan sejoli yang riang gembira, bahagia, tapi norak (excited): sorak-sorai mahasiswa pembawa tukang pukul tentara yang pandai/keji; sorak-sorai tentara yang membawa legitimator mahasiswa yang bodoh/keji. Pada waktu itu, tentara akan mendapat kesulitan bila tidak mendapat legitimasi rakyat atas tindakannya, itu lah sebabnya, dengan perlindungannya, ia turunkan budak-budak mahasiswanya untuk memprovokasi rakyat turun ke jalan—rakyat yang sedang miskin, yang pragmatis. Setelah itu, tentara bersama mahasiswa dan pemuda yang paling kanan membantai saudara-saudaranya sendiri, sampai 3 juta bangkai—sekali lagi, banyak yang tanpa kepala dan isi perut. Selain itu, makna mahasiswa yang paling kanan adalah segera, setelah lulus, mereka mengemis-ngemis mengetuk-ngetuk pintu-pintu kabinet, pintu-pintu birokrasi-birokrasi tinggi, pintu-pintu tender pemerintah, agar diperbolehkan masuk ke dalamnya. Dengan kata lain, mengemis mengetuk pintu-pintu belas kasih tentara untuk apa yang mereka sembah-sembah: demokrasi sayup-sayup dan tanggung-tanggung, mimpi “bebas dan modern” si borjuis kecil dalam kapitalisme kering kerontang. Mereka bodoh dan keji. Ada juga yang naif: itulah mereka yang sadar bahwa sedemikian mudahnya upaya pengembangan demokrasi—hasil kapitalisme kering kerontang—digagalkan tentara; itulah mereka yang pada tahun ’74 di belakang layar mendukung MALARI (namun salah perhitungan—mereka pikir MALARI akan menang.). Mendukung demokrasi karena harapan menang (tanpa berkeringat dan beresiko), bukan mendukung demokrasinya itu sendiri. Oportunis sejati: sejak itu tak ada dukungan lagi buat demokrasi―walaupun pemaknaan demokrasi sudah semakin maju―karena tak ada lagi harapan menang di benak mereka. Segelintir dari mereka, bersama-sama dengan segelintir pelaku-pelaku MALARI dan gerakan mahasiswa ’78, masuk dunia akedemik dan LSM, selebihnya menjadi birokrat, teknokrat dan kapitalis kelontongan.[13] Seperti habis gelap terbit lah terang, ketika melihat menjamurnya LSM dan munculnya sedikit propagandis-propagandis akedemik—yang baru menggondol gelar “ilmu-ilmu kemanusiaan yang demokratik dan pro-rakyat”. Digantungkannya harapan kaum muda pada mereka; berduyun-duyun kaum muda diserap LSM-LSM, berduyun-duyun kaum muda sowan pada akedemisi-akedemisi “kerakyatan (baca: sosial-demokrat)”. Namun, ternyata, habis terang redup lah terang; karena demokrasinya terbatas, demokrasi tanpa kiri/komunisme, masih demokrasi di sisi tentara, demokrasi tanpa massa, demokrasi tanpa perebutan kekuasaan oleh rakyat, demokrasi tanpa radikalisme, demokrasi tanpa militansi, demokrasi tanpa politik, hening, redup.[14] Namun, keredupan ini patut dimaklumi: keberhasilan menghancurkan gerakan MALARI ’74 dan gerakan mahasiswa ’78, dianggap oleh rejim Orde Baru sebagai moment konsolidasi bagi mereka untuk lebih dalam menindas oposisi, baik dalam bentuk ideologi—pembangunan, P4, demokrasi Pancasila, demokrasi Timur, demokrasi terbatas, demokrasi bertanggungjawab, demokrasi bukan liberal bukan komunis, musyawarah mufakat bukan voting, kekeluargaan, gradualisme, kesederhanaan, tepo seliro, dan lain-lain dan lain-lain, yang makin mempertajam pencarian dialektika “Apa yang sebaliknya dari semua itu—maupun dalam bentuk struktur politik penindasan—perluasan struktur intelejen, perluasan dualisme struktur dwifungsi ABRI, korporatisme terhadap seluruh sektor masyarakat, cengkraman lebih dalam terhadap birokrasi pegawai negeri dan dunia pendidikan/akedemis, syarat-syarat hidup yang lebih ketat terhadap media massa[15]. Selain itu, juga redup karena sogokan beberapa tahun saja bom minyak. Keredupan ini menggelisahkan kaum muda, terutama mahasiswa-mahasiswa yang tak diserap LSM dan kasak-kusuk dengan oposisi elit. Kegelisahan ini sebenarnya cerminan dari ditampungnya (oleh mereka) tetes-tetes bocoran Barat (baca: alternatif Barat bagi Dunia Ketiga)—yang sangat sulit sekali didapatkan—dalam bentuk populisme, sosial-demokrasi, dan skenario ideologi low intensity conflict-nya LSM.[16] Tetes-tetes bocoran Barat yang lebih sulit lagi didapat—dan ini hanya bisa didapat melalui orang-orang yang baru saja selesai belajar dari luar negeri atau/dan mengoreki sisa-sisa literatur lama yang dijuali pegawai-pegawai kejaksaan ke loakan—adalah bacaan-bacaan progresif/revolusioner. Bocoran Barat yang patut diperhitungkan sebagai basis radikalisme—setelah bercampur dengan warisan kekerasan populisme Indonesia—juga adalah kebebasan (yang menyebabkan borjuis kecil, terutama yang lapisan bawahnya, bertambah muak pada kemunafikan tata-tertib sisa-sisa feodal kaum birokrat dan tentara) atau liberalisme dalam entertainment barat, yang sarat violence, vulgar dan profane. Kaum muda 80-an, yang menerima bocoran iman progresif/revolusioner, di atas warisan populisme dan radikalisme borjuis kecil (baca: liberalisme), itu lah yang setahap demi setahap bisa membuka ruang demokrasi dengan AKSI MASSA—tentu saja setelah melambaikan salam perpisahan dengan metode-metode LSM dan kaum kiri moderat. AKSI MASSA mulai diterima dan meluas ke segala sektor masyarakat sebagai ALAT perjuangannya, beserta wadahnya, figurnya, korannya dan sebagainya—apalagi elit-elit politik dan PDI-P belum turun ke gelanggang politik (ekstra-parlementer) untuk memanipulasi massa, kebanyakan masih menjadi kaum kolaborator atau gradualis—walaupun kaum muda masih sangat muda untuk sanggup menerima represi rejim Orde Baru dalam menghalangi kaum muda memiliki alat-alat politiknya sendiri. Pembentukan PRD tidak dilihat sebagai jalan keluar oleh pragmatisme[17] kesadaran palsu massa. Namun demikian gerakan kaum muda ini lah yang sanggup membuka peluang dijatuhkannya Soeharto, dan elit-elit dari partai politik mainstream hanya lah benalu, parasit tak tahu malu—jangankan mengajak kaum muda dalam pertspektif pemerintahan mendatang, berterima kasih pun tidak. Walau setelah kejatuhan Soeharto terbuka juga ruang yang lebih luas bagi peserta-peserta politik mainstream untuk memanipulasi kesadaran palsu massa; namun keterbukaan itu sendiri mulai memecah dukungan massa pada manipulator-manipulator lainnya, misalnya kini dukungan bukan saja pada PDI-P tapi juga pada PKB dan PAN; dan namun bersamaan dengan itu juga propaganda kesadaran sejati dari mahasiswa dan PRD mendapatkan momentum, potensi, bagi perluasannya.
6. Partai-partai politik. Partai-partai politik sisa-sisa (yang tersaring) pemilu pertama setelah kemerdekaan tentu saja akan makin tak bisa belajar demokrasi saja setelah dekrit kediktatoran demokrasi terpimpin―pertarungan partai-partai politik diselesaikan oleh kediktatoran, yang bersandar pada tentara dan juga, justru, pada PKI. Dan tentara mendapatkan landasan untuk menggelar permadani merah dwifungsi ABRI. Sepanjang sejarah revolusi nasional (dengan perang kemerdekaan), jalan tengah, dwifungsi ABRI, selalu mengendap-ngendap di gang-gang gelap terorisme, bukan di boulevard demokrasi―yang tak akan mengijinkannya hidup. Serangan populisme pra-borjuis dan nasionalisme begitu gencar dan uletnya, sejak awal abad 20 tak pernah padam, dengan segala macam cara, dengan teror dan (rencananya akan ditutup) dengan demokrasi liberal, namun dijegal oleh kediktatoran demokrasi terpimpin.[18] Kekalahan dan kemenangan di cengkraman demokrasi terpimpin keduanya tak syah. Serangan-serangan (kini) nasionalis-kiri dan komunis—yang mendorong partai-partai Islam dan partai sosial-demokrasi ke sudut kekalahan politik dan ideologinya—dihadapkan pada serangan balik legitimate: “Kami sedang berhadapan dengan kediktatoran.” Perlawanan ideologinya: membocorkan “Kebebasan dan modernisme”; dan perlawanan politiknya: memprovokasi, bersama CIA, pemberontakan dalam tubuh tentara dengan memanipulasi separatisme. Provokasi tentara memperkeras kediktatoran, pemberontakan Islam, gerakan separatis—yang tentu saja mengundang keterlibatan Barat dengan legitimasinya: melawan kediktatoran. Pra-borjuasi kurus kering yang sedang sekarat ini sedang mencari picu lonceng kematiannya, tentara tentu saja malaikat pencabut nyawanya. Tentara mengerti itu: “Harus sekarang juga, sebelum komunis berubah pikiran, sebelum komunis merubah jalan parlementernya menjadi mempersenjatai diri—dapat dibayangkan bila jalan ekstra parlementernya (dengan 3 juta anggota dan 10 juta sipatisan) adalah perjuangan bersenjata. Apa kah benar mereka bisa mengambil jalan ekstra parlementer, ada kah latihan untuk itu? Ideologi, politik, ekonomi, dan sekaligus oknum-oknum pra-borjuis kurus kering ini dilumat habis, demi rasionalisasi akselerasi (yang lebih cepat) dan peluasan modal yang lebih gigantik, masa lalu pra-borjuis kurus kering ini sama sekali tak berguna. Namun ada yang luput dari pelumatan: dwifungsi ABRI dan kesadaran sisa-sisa feodal―dwifungsi ABRI yang bergandengan dengan sisa feodal akan menggerogoti modal. Nampaknya, sebagai toleransi terhadap Dunia Ketiga, modal acuh tak acuh saja terhadap status liberalisme yang didepak ke luar sistim. Liberalisme luar sistim ini sampai sejauh ini memang tidak bisa menyentuh hati politik kaum “demokrat” sekalipun. [Namun tidak demikian bagi hati, tangan dan kaki politik kaum muda—di tangan mereka liberalisme kemudian menjadi karcis politik (legalisasi) dan GERBANG ideologi (kebebasan) bagi revolusi demokratik yang bisa mengemban kepentingan buruh-tani.] Itulah mengapa, terutama setelah fusi partai-partai tahun ’73, tak bisa diharapkan ada alternatif pelawan—namun, bagi rakyat, siapa lagi, selain partai-partai yang ada, yang menguasai alat-alat propaganda? Fusi partai-partai itu sendiri merupakan upaya rejim Orde Baru untuk meniadakan kemandirian partai-partai dan menyulitkan kehesivitas politiknya. Sehingga makin menjadi-jadi lah anggapan strategi gradualis di kepala orang-orang partai—formulasi politiknya selalu diganggu variabel-variabel: “Marah kah tentara? Tertutup kah nanti arena politik legal kami (yang hanya diijinkan tentara)?” Ini yang membuat mereka sulit keluar dari kubangan lumpur-hisap moderasi. Karena itu, momentum 27 Juli selalu diarahkan untuk menyerang sesama anggotanya yang radikal, yang dikhawatirkan akan menutup arena politik legal mereka, walaupun mereka sadar sesadar-sadarnya bahwa dalang dibelakang itu adalah rejim Orde Baru—namun logika massa bergerak ke arah lain, menuntut serangan langsung pada kediktatoran, kesadaran anti-kediktatorannya benar-benar tersinggung. Tapi apa yang bisa diharapkan dari pragmatisme massa yang tidak bisa memiliki alternatif lain—baik dari segi programatik maupun dari segi strategi-taktiknya; demikian juga yang terjadi pada pemilu ’97; demikian juga yang terjadi pada pemilu ’99. Senang tidak senang—dan mayoritas massa senang—mereka rela dibawa, dipimpin dalam gradualisme. Itu lah mengapa hapusnya dwifungsi ABRI akan membuka perspektif formula politik sesejati-sejatinya, karena variabel tentara akan hilang dalam kalkulasi/formula politik mereka. Bila tidak, seandainya pun mereka berkuasa—apalagi GOLKAR masih No.2—kalkulasi/formula politik tersebut akan tetap menjadi ayat-ayat suci mereka; dilihat dari basis historis watak mereka, dan bila dwifungsi ABRI tetap dipertahankan, kekuasaan yang mereka pegang tetap tak akan memberanikan mereka bersandar pada dekrit formal pembubaran dwifungsi ABRI—dan, memang, apakah bisa dwifungsi ABRI ditutup oleh dekrit formal. Dan bisa kah mereka bersandar pada cara lain: kekuatan massa? Kemenangan mereka—yakni pertama, tetap diizinkan bermain dalam arena politik legal (selain karena tekanan massa, juga karena toleransi tentara, setelah kasak-kusuk dengan tentara di hotel-hotel); kedua, cap sebagai kaum reformis sehingga memudahkannya memenangkan pemilu—semata-mata membenalui, memparasiti, mengambil untung dari usaha penjatuhan Soeharto oleh mahasiswa dan kaum miskin perkotaan (sayangnya kaum miskin perkotaan ini tidak terpimpin sehingga dapat dimanipulasi ke anarkisme). Namun, dengan hancurnya fusi, terbentuknya formasi baru partai-partai, bisa kah nanti, ketika formasi partai-partai ini (terutama PDI-P, PKB dan PAN) dihadapkan pada problem-problem rakyat? Tentu saja mereka akan dianggap oleh rakyat sebagai setali tiga uang, sehingga rakyat akan memalingkan sandarannya pada partai alternatif?

Dilihat secara dialektik, TAHAP PERTAMA YANG HARUS DILAKUKAN oleh calon partai alternatif adalah: bisa kah partai alternatif tersebut memperluas dan memperkuat alat-alat politiknya, alat-alat propagandanya.

[1] Wasekjen I KPP-PRD.
[2] Setelah Soeharto jatuh, anarkisme seperti itu akan sulit diulangi karena akan menggangu basis akumulasi dan jalinan modal dunia yang oleh Barat sudah dianggap “mapan” pada kontruksinya, tinggal dievolusikan surplus value-nya. Apa yang dilakukan setelah kejatuhan Soeharto semata-mata merupakan momentum bagi restructuring dan penetapan formasi baru tenaga produktif dan pemilikan modal—yang tentu saja dihendaki dengan bergairah oleh Barat karena memang super profitnya sudah menggangu kontinuitas sosial—apakah itu melalui utak-utik kebijaksanaan moneter/fiskal, melalui pukulan politik moderat (pemilu), atau melalui ideologi reformasi (clean government dan supremasi hukum). Namun, tindakan radikal dalam menangani rencana tersebut akan menggangu produktivitas (baca: penghisapan surplus value) modal-modal lama dan akan menggangu jalinan sistim modal global, paling tidak Amerika, Jepang, Jerman, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura. Jadi mereka harus berpikir bagaimana membuat jedah waktu (interval) agar jangan ada perpindahan modal seketika dan salah kaprah—tidak boleh dibangkrutkan dan tidak boleh ada diversivikasi produksi dahulu—dan agar produksi serta distribusi harus tetap jalan. Bagi mereka tak ada jalan lain: rekapitalisasi pusat-pusat modal lama—bank-bank lama. Nampaknya tidak ada keberanian untuk mengambilalih saja sisa-sisa kebangkrutan modal keuangan, jaringan tenaga produktif dan distribusi borjuis lama untuk diserahkan pada borjuis baru (lagipula, siapa? Adi Sasono? Yang terbukti gagal. Atau borjuis kelontongan yang selama ini mengeruk-ngeruk tong sampah sisa-sisa/ceceran kroni Soeharto?). Rekapitalisasi bukan lah penyuntikan modal untuk membentuk formasi kepemilikan modal yang baru seketika, terlalu riskan bagi mereka, juga bagi barat―caranya: borjuis lama diminta untuk selalu berkonsultasi atau meminta rekomendasi Bank Dunia; menaikan suku bunga bank untuk mengurangi peredaran dan perluasan uang agar tidak menurunkan harga barang-barang over produksi; yang lainnya, Jaringan Pengaman Sosial (JPS) dan ekstensifikasi tenaga kerja di sektor-sektor publik, yang pada intinya merupakan pamungkas “roselvelt Deal” guna menghadapi over produksi, yang ternyata gagal, dan sejak diperkenalkan pun gagal; yang lainnya lagi, subsidi, yang kemudian dihentikan Barat karena uang bantuan Barat harus digunakan sedapat mungkin untuk urusan ekonomi, bayar bunga hutang, dan uang negara (dari pajak) hanya boleh digunakan untuk biaya manjemen, tidak boleh menggangu harga barang-barang over produksi. (Kita akan kembali pada permasalahan ini nanti.)
[3] Nanti kita akan bicarakan bagaimana ideologi industri dalam jasa parawisata—terutama hiburan (entertainment)—jasa pendidikan dan jasa komunikasi berjasa mendobrak garda-garda ideologi tentara, terutama oleh kalangan muda.
[4] Ingat, ungkapan “pergi ke front”, atau kongkritnya pergi ke desa, adalah perginya orang-orang kota ke desa demi revolusi nasional, dan biasa disebut laskar-laskar rakyat, baik dari Islam, komunis, maupun nasionalis.
[5] Perlu diberi perhatian, tak terjadi perlawanan dari kelas borjuis, walaupun sebenarnya sudah bisa menghitung adanya ekonomi biaya tinggi dalam sistim ini, sistim yang super profit-nya tidak real karena sarat dengan biaya-biaya yang tak menambah value added. Sungguh, persis, dengan kekecewaan terhadap terhadap kelas borjuis dalam revolusi demokratik Jerman melawan monarki (1848), juga dalam revolusi demokratik Rusia melawan monarki (Februari, 1917).
[6]Atau meminta pada kaki tangan PBB/modal seperti Bank Dunia, IMF, Bank-bank regional, CGI, AFTA, NAFTA, APEC dan segala macam lembaga-lembaga dunia yang mengatur pagu harga, kuota produksi dan distribusi.
[7] Basis hidup sentimen SARA justru diskriminasi itu sendiri—dan argumen diskriminasi adalah pemerasan dan kecemburuan, bukan sebaliknya. Mereka menjadi kambing hitam sampai ke tulang sumsumnya. Pada masa kuno, argumen rasialis adalah perbudakan dan penaklukan daearah lain; rasialisme Hiteler adalah kecemburuan dan impian (baca: subyektivitas) keunggulan ras; rasialisme Amerika Utara adalah perbudakan legal hanya bagi kulit hitam—agar (karena hitamnya itu) bila kabur dapat dengan mudah ditangkap kembali. Sangat tidak masuk akal juga argumen ras/diskriminasi itu didasarkan pada kata”minoritas.” Minoritas dalam kosep apa? Kosep jumlah populasi? Tidak. Mereka adalah penduduk ketiga terbanyak, setelah suku Jawa dan suku Sunda. Konsep pribumi dan non-pribumi? Tidak. Mereka adalah bagian dari migrasi orang-orang Indocina, Asia Tenggara lainnya dan Cina Selatan, yang sudah bercampur baur, atau bagian dari orang-orang (bersama-sama orang-orang “Keling” dan Melayu) yang dibawa oleh merkantilisme dan kolonialisme Portugis, Spanyol Inggris dan Belanda. Tidak ada bukti antropologis/arkeologi bahwa orang-orang Indonesia asli adalah kelanjutan survival apa yang dinamakan “manusia Jawa” homo sapiens—nampaknya mereka punah. Atau atas dasar bahwa klaim terhadap pemilikan republik merdeka tidak berlaku bagi mereka karena tak banyak dari mereka yang turut berjuang dalam revolusi nasional. Sumbangan mereka terhadap kemenangan republik sebenarnya juga dalam taraf krusial (akan kujelaskan nanti). Nasionalisme menjijikan. Dan mengapa argumen ini tidak diberlakukan pada orang-orang arab atau orang-orang Papua? Argumen keunggulan ras memang tidak mungkin rasional, anti-historis, menjijikkan.
[8] Kata Cina dalam konsep masa Orde Baru adalah rasis.
[9] Makna historis lingua franca (sebagai bahasa pasar) sarat dengan petualangan, exposure, jalur dan jaringan perdagangan dengan segala tenaga produktifnya, sarat progesivitas.
[10] Pada tahun 1905-an saja mereka sudah memiliki 15 terbitan.
[11] Peraturan untuk mengeluarkan orang-orang Tionghoa dari desa. Perlawanan mereka diselesaikan dengan kekerasan tentara—dipaksa, diseret, dipukuli, dibunuh, dan dikamp konsentrasikan di markas-markas tentara. Sebenarnya ini menunjukkan kemampuan/survival (leading) orang-orang Tionghoa dalam kapitalisme kering kerontang.
[12] Seperti juga setelah kejatuhan Soeharto, Barat khawatir bila konglomerat-konglomerat Tionghoa dilikuidasi secara radikal, mereka malah dibantu dengan proyek rekapitalisasinya IMF dan Bank Dunia.
[13] Memang terdapat perbedaan yang cukup penting antara gerakan mahasiswa MALARI, 1974, dengan gerakan mahasiswa ’78; 1974, 9 tahun kekuasaan Orde Baru—kekuasaan baru (yang menjanjikan demokrasi dan pembangunan), yang masih mencari legitimasi atas apa yang diperbuatnya—masih memberikan ruang/kesempatan pada pers untuk mengungkapkan secara samar-samar korupsi (apalagi didahului sejumput gerakan moral anti-korupsi pada tahun 1972, yang melibatkan angkatan ’66 kategori naif itu) kolusi, nepotisme, keistimewaan modal asing (terutama Jepang), bergugurannya borjuis kelontongan dalam negeri, kecenderungan jurang kaya-miskin yang mulai nampak lebih tegas, pengerukan sumber daya alam tanpa batas dan sebaginya dan sebagainya. Itulah mengapa agitasi gerakan ini bisa didengar dan bahkan dihadiri oleh massa yang semakin hari semakin meluas—ini lah pula jebakan yang membuat angkatan ‘66 yang naif mulai terdorong untuk mendukungnya secara sembunyi-sembunyi, ada harapan menang di benak mereka. Oportunis tulen. Perluasan ini pula yang mendorong sebagian kecil (saja) unsur tentara mencari kesempatan memancing (secara sembunyi-sembunyi) di air keruh, memberikan toleransi bagi perluasan agitasi gerakan. Keterlibatan unsur tentara ini yang membangkitkan penyakit lama angkatan ’66 untuk mendorong gerakan mahasiswa—yang memang lemah iman (pengetahuan) sejarahnya tentang tentara—bergabung dengan salah satu seksi pimpinan intelejen tentara. Angkatan ’66 sekali lagi membuat dosa sejarah lagi—menganggap sejarah telah banyak merubah watak tentara. Selain itu, sebab mengapa generasi gerakan tahun ’74 masih bayi buta terhadap watak tentara, adalah karena pers memang tidak bisa menembus batas blokade toleransi—yang memang diberikannya juga secara terbatas oleh tentara—yang dapat membongkar isi perut tentara, walaupun berita-berita tentang isi perut tentara masih ada di tangan para pelaku sejarah yang masih segar bugar. Ribuan massa bergulir menyeret 1 juta lebih massa lainnya mengelilingi luar pagar kampus-kampus, seperti mengemis kepemimpinan mahasiswa, namun ditolak mentah-mentah oleh mahasiswa—bayi buta yang tak nyaman, masih tak biasa, oleh kebisingan massa. Massa dan mahasiswa bergerak sendiri-sendiri, massa dengan keliarannya, mahasiswa dengan ketololannya, hanya bersatu hanya di Jalan (protokol) Thamrin—tak di jalan-jalan lainnya—dan selesai di pasar transaksi jual-beli dengan tentara, massa dijual murah pada tentara. Adalah mengagumkan juga bahwa, walaupun gerakan mahasiswa ’78 berada pada situasi yang lebih sulit, ruang demokrasi lebih sempit, namun agitasi-agitasinya—dan kini mulai lebih mengenal kegunaan banyak selebaran dan pamflet—bisa membongkar kejahatan KKN (Soeharto) dan keterlibatan tentara dalam kehidupan sipil. Itulah mengapa programnya sudah cenderung menjatuhkan kekuasaan Soeharto dan penghapusan salah satu trilogi pembangunan—samar-samarnya tuntutan pencabutan dwifungsi ABRI. Itulah pula sebabnya mengapa gerakan mahasiswa ’78 sangat hati-hati terhadap keterlibatan tentara. Selain itu, mereka juga sangat hati-hati terhadap keterlibatan angkatan ’66, hanya seksi mahasiswa moderat saja dari gerakan ini yang membuka diri terhadap keterlibatan segelintir angkatan ’66—penangkapan (unsur angkatan ’66) pada tahun ’74 nampaknya membuat jera mereka, dan bahkan beberapa dari mereka menjadikan gerakan ’74 ini menjadi tiket untuk karir mereka (belajar ke luar negeri, menjadi pengusaha, atau masuk dalam birokrasi). Angkatan ‘78 juga mulai menghargai keterlibatan massa, baik dalam bentuk bantuan makanan dan dana dari penduduk sekeliling kampus, maupun advokasi terhadap kaum tani (terutama di Jawa Barat). Namun keterlibatan massa ini masih dianggap sebagai penambah kekuatan pukulan saja, bukan dianggap sebagai unsur yang pemilik sah kekuasaan yang sadar atau harus disadarkan—nampaknya sejarah belum menyuapi pemahaman seperti ini pada bayi-bayi yang baru melek. Pengkhianatan waktu untuk meledakkan gerakan—lebih dahulu diledakkan, yang seharusnya bulan Maret—oleh unsur moderat tersebut membuat gerakan mahasiswa ’78 tak memiliki resistensi terhadap serangan tentara ke dalam kampus. Setelah selesainya gerakan mahasiswa ’78, sekali lagi, segelintir mahasiswa yang masih punya sedikit idealisme diserap oleh “gerakan” LSM atau meneruskan pelajaran ke luar negeri, sedangkan yang lainnya menjadi kaum oportunis seperti pendahulu-pendahulunya, masuk birokrasi dan jadi borjuis kelontongan yang selalu mengangai tender-tender pemerintah. Dalam kadar yang berbeda, kedua gerakan tersebut memiliki persamaannya: tuntutan clean government, modernisme dan demokrasi terbatas (masih gamang memahami kata Rakyat—dengan R besar).
[14] Di tahun 80-an, hanya ada dian (api kecil) kritik populisme LSM (yang sedang menjamur) dan pijar protes (yang cepat sekali matinya) dari kaum demokrat-liberal, semuanya sangat hati-hati sekali.
[15] Seperti kita tahu, Gerakan Malari ’74 ditutup oleh breidel 14 surat kabar.
[16] Seperti kita tahu sendiri, dengan jatuhnya Soeharto, terbukti bahwa jalan keluar Barat (baca: neo liberalisme) harus mengadakan tawar-menawar dengan populisme dan sosial-demokrasi. Dalam rejim dwifungsi ABRI, rejim totaliter, ketiga anak kandung Barat tersebut harus saling bertengkar. Bila kehendak populisme dan sosial-demokrasi yang dituruti, biaya sogokannya tak bisa ditanggung; bila kehendak neo-liberalisme yang dituruti, maka harus ada peredam yang sanggup menghentikan (secara sukarela) rengekan-rengekan populisme dan sosial-demokrasi. Bila tidak? Untuk kasus Indonesia, penindasan macam apalagi yang bisa meredam kecenderungan kerusuhan kecemburuan sosial—lazimnya amarah rakyat yang tidak boleh dipimpin oposisi. Lebih mahal lagi biayanya.
[17] Pragmatisme adalah akibat dari kesadaran palsu, atau tak adanya kontrol dari kesadaran sejati, bukan sebaiknya. Pragmatisme adalah refleksi kelelahan massa akan penghisapan dan penindasan, yang ingin segera mencari jalan keluarnya, ingin segera mendapatkan wadah perjuangannya, ingin segera mendapatkan figurnya, pendeknya ingin segera mendapatkan alat-alat politiknya; contohnya, kasus manipulasi konsep “arus bawah”—yang sebenarnya hanya lah tuntutan demokratisasi internal partai dalam tubuh PDI-P—yang kemudian di kepala massa menjadi “suara wong cilik”. Pemilihan Megawati—yang makin terbukti moderat, anti-demokrasi dan pro-Barat—sebagai simbol/figur perlawanan adalah pragmatisme massa; dengan demikian sudah jelas mengapa pragmatis massa kemudian memilih Pemilu dan memilih PDIP, PKB dan PAN; dan pragmatisme massa juga yang menyebabkan massa tak sanggup melawan money politic dan intimidasi GOLKAR sehingga GOLKAR menjadi pemenang kedua dalam pemilu. Namun, perlawanan massa pada 27 Juli 1996, dan kesanggupan massa—walau dalam wadah PPP, tak peduli mereka massa PDIP—berperang dengan tentara dalam pemilu 1997, bisa kah disebut sebagai pragmatisme yang tidak menguntungkan pembukaan ruang demokrasi, peningkatan militansi/radikalisme massa, dan latihan bagi perlawanan umum massa? Apalagi tak ada wadah alternatif yang dapat dibesarkan/dipopularkan oleh momentum tersebut.
[18] Aturan main serangan yang disepakati oleh kaum nasionalis dan kaum populis yang salah kaprah: mencampakkan demokrasi (karena ada embel-embel “liberal”. Padahal rejim Orde Baru pun sebenarnya menggigil ketakutan pada embel-embel “liberal” ini). Kaum nasionalis dan kaum populis seperti kacang lupa kulit, bahwa legitimasi dan kehidupannya kembali adalah ditentukan secara syah oleh pemilu demokrasi liberal, mendapat vonis not guilty—demikian juga kelangsungan partai-partai Islam dan kematian partai sosial-demokrat. Upaya mencari kemenangan secara anarkis—menindas hakikat obyektif sejarah revolusi demokratik—dan Machiavelis, memberikaankan jalan bagi tentara untuk keluar dari gang-gang gelap terorismenya.

0 komentar: