10 Agustus 2007

Dunia Lain yang Alternatif Terbukti Bisa

… bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus memberikan kekuasaan pada si miskin, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi. Itulah satu-satunya cara mengakhiri kemiskinan. (Pidato tahunan Hugo Chávez Frias, Presiden Republik Bolivarian Venezuela,
Gedung Parlemen, 14 Januari, 2005)
Dunia saat ini sudah tidak mampu membahagiakan mayoritas orang, bahkan menghancurkan kemanusiaan. Degradasi yang terjadi di segala aspek kehidupan (ekonomi, sosial, politik, budaya dan lingkungan) adalah bencana kemanusiaan yang paling besar memakan korban di penghujung abad 20 dan awal abad 21. Cita-cita kemajuan peradaban rakyat seluruh dunia yang dicanangkan dalam deklarasi universal PBB; dalam resep-resep Negara Kesejahteraan; dan globalisasi neoliberal, kehilangan mujarabnya dihadapan realitas kehidupan dunia di awal abad 21 ini.

Namun, tentu saja, banyak persoalan yang sepertinya mustahil ternyata dapat dipecahkan, layaknya tak ada kenyataan di dunia ini yang tidak dapat dirubah.

I. Dunia Tempat Kita Hidup Saat Ini

Dunia di dalam globalisasi neoliberal saat ini—tak seindah cita-cita dalam Millenium Development Goals (MDG’s)—tidak bisa mengatasi kematian 11 juta balita miskin setiap tahunnya. Dunia seperti itu yang menyebabkan 1,3 milyar orang hidup kurang dari $1/hari, dan 3 milyar orang hidup dengan $2/hari; 1,3 milyar orang tak punya akses terhadap air bersih; 3 milyar orang tak punya akses terhadap sanitasi; serta 2 milyar orang tak punya akses terhadap listrik.

Seharusnya, hampir 3 milyar jiwa tenaga produktif kaum muda yang berusia di bawah 25 tahun dapat memberi manfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Namun, 85% kaum muda tersebut hidup tidak produktif di negeri-negeri yang miskin teknologi dan industrinya. Dan ironisnya, negeri termiskin justru memiliki persentase kaum muda paling tinggi.

Bahkan Amerika Serikat, tempat dimana globalisasi neoliberal dilahirkan (melalui konsensus Washington), tak kuasa mengusahakan akses kesehatan dasar bagi 45 juta rakyatnya yang sebagian besar Afro-Amerika, padahal AS memiliki akses terhadap teknologi kesehatan terbaru dengan sistem terapi tercanggih. Sehingga angka kematian bayi Afro-Amerika dua kali lebih tinggi dari warga kulit putih AS.

Dunia tempat kita hidup sekarang memberikan kesempatan lebih besar pada 50 individu terkaya untuk berpendapatan melebihi keseluruhan pendapatan 416 juta rakyat termiskin, dan memberi lebih banyak keleluasaan pada beberapa ratus milyuner dunia untuk memiliki kekayaan sama dengan 2,5 milyar orang-orang termiskin di dunia.

Dunia yang tak berperasaan ini juga lebih memilih membelanjakan hingga dua trilyun dolar setiap tahunnya untuk kebutuhan militer daripada akses kesehatan bagi 8 juta lebih kaum perempuan yang menderita sakit jangka panjang akibat komplikasi kehamilan, dan 500.000 di antaranya mati melahirkan setiap tahunnya.

Inilah dunia di mana brutalitas dan kekuasaan modal menang, dengan ratusan basis militernya di seluruh dunia, melalui Bank Dunia, IMF, WTO dan pemerintah-pemerintah pro globalisasi neoliberalnya. Inilah model dunia yang mereka tawarkan sebagai solusi untuk memeratakan pembangunan dan memberikan solusi bagi kemiskinan.

II. Imperialisme AS, yang Tak (Lagi) ‘Maha Kuasa’

Sejak jatuhnya rejim-rejim Komunis, Washington telah memperluas pengaruhnya terhadap bekas-bekas negeri Komunis, dari Baltik ke Eropa Timur hingga Balkan dan terus menuju Asia Tengah, Selatan dan Tenggara melalui perang, invasi dan berbagai operasi rahasia. ‘Kerajaan’ AS meliputi hampir 50% dari 500 MNC (Multi-National Cooperation) dan Bank-bank tebesar dunia, 120 basis militer di seluruh dunia dan ratusan misi-misi militernya.

Namun, di mana-mana dominasi kekuasaan imperialisme AS sedang ditentang dan dilawan, membuatnya tak lagi ‘Maha Kuasa’. Karena kekuasaan dunia tidaklah ‘unipolar’, maka ‘kerajaan’ AS pun tidaklah selamanya ‘Maha Esa’. Di Irak, pemerintahan baru kolaborator AS terus-menerus memanen perlawanan gerakan rakyat dengan lebih dari 30 konflik bersenjata setiap harinya, demikian halnya yang terjadi di Afganishtan.

Di Amerika Latin, proyek-proyek kekuasaan AS dikalahkan di Venezuela dan Bolivia. Perlawanan rakyat meningkat sangat pesat dalam menentang upaya dominasi imperialisme AS lewat ALCA (Kawasan Perdagangan Bebas Amerika-FTAA), mengalahkan dua kudeta yang diskenariokan oleh AS di Venezuela, melawan “Plan Colombia”, dan menjatuhkan Sanchez de Losada di Bolivia akibat privatisasi gas yang dilakukannya.

Dampak dari perluasan ‘kerajaan’ AS akhirnya menggerogoti ekonomi domestiknya dan dukungan politiknya, seiring dengan meningkatnya angka kematian prajurit dan defisit anggarannya—sementara belanja sosial dan lapangan kerja industri domestik semakin berkurang.

III. Rakyat Menghendaki Dunia Lain yang Alternatif

Gelombang perlawanan rakyat (di seluruh dunia) terhadap globalisasi neoliberal (imperialisme) juga semakin meningkat. Perangkat-perangkat globalisasi seperti IMF, Bank Dunia, WTO, Paris Club, AFTA, NAFTA, APEC, G8, dan sebagainya serta paket-paket kebijakan penyesuaian strukturalnya mulai terus menerus mendapat penolakan gerakan sosial internasional. Forum-forum dunia di mana para penggagas globalisasi neoliberal secara rutin bertemu dan membicarakan metode-metode pembagian dunia sesuai kebutuhan mereka, terus mendapatkan serangan-serangan demonstrasi massif.

Setelah pertemuan WTO di Seattle tahun 1999, gerakan sosial di dunia mulai bangkit kesadarannya terhadap kejahatan globalisasi neoliberal. Perlawananpun terus berlanjut di berbagai forum WTO, G8, APEC, AFTA dan sebagainya. Sejak saat itu slogan “Another World is Possible” begitu melekat dalam kesadaran gerakan sosial internasional. Berbagai forum sosial dunia menjadi ajang kampanye bagi kebutuhan sebuah dunia baru yang lebih baik, adil, maju dan manusiawi.

Dunia lain tersebut saat ini sedang diperjuangkan oleh gerakan sosial di seluruh dunia dengan berbagai metode dan strateginya. Musuh utamanya juga sudah semakin jelas, yakni neoliberalisme, dan berpotensi menyatukan rakyat yang menjadi korban kejahatannya. Tanpa memandang agama, suku, wilayah dan bahasa, mayoritas rakyat sedunia sudah disatukan oleh penderitaan, kemiskinan, keterbelakangan, ketergantungan yang sama akibat dominasi kekuasaan modal barat (terlebih AS) yang merenggut harkat, martabat dan kemerdekaan umat manusia.

Berbagai perdebatan di seputar model alternatif sudah ramai dibicarakan. Dari model alternatif yang reformatif hingga revolusioner, dengan metode ‘kekuasaan dari bawah’, demokrasi partisipatoris, pengganggaran partisipatif, pemanfaatan ruang elektoral hingga gerilya bersenjata. Terlepas dari perbedaan masing-masng metode, satu hal yang semakin tak dapat dihindari adalah bahwa perubahan (yang sejati) menghendaki persatuan dan jalan pengambilalihan kekuasaan dari tangan pemerintah-pemerintah pro-neoliberal demi sebuah kekuasaan yang kerakyatan; dengan berbagai cara yang selayaknya.

Fidel Castro dalam sebuah pidatonya menegaskan, bahwa dunia saat ini amat sangat menghendaki persatuan, seminimum apapun. Bila tak mau kita wujudkan, maka kita tak akan mendapatkan apapun.

IV. Amerika Latin Memberikan Alternatif

Boleh dikata, Amerika Latin (selanjutnya disingkat: AL) adalah pusat perlawanan terhadap imperialisme paling massif dan paling bertahan di dekade ini. Terlebih lagi, situasi objektif di AL memang cukup “matang” bagi transformasi sosial. Semua indikator ekonomi dan sosial utama menunjukkan tanda-tanda negatif. Jika kita ambil contoh realistis kemiskinan dengan ukuran pendapatan $5/hari saja, lebih dari 70% rakyat AL hidup dalam kemiskinan dan 40%-nya (dengan ukuran pendapatan $2/hari) hidup melarat. Di Argentina, hampir 60% rakyat hidup miskin dan 1/3nya melarat. Brazil, yang terus mengalami resesi dalam tiga tahun belakangan ini sudah membayar utangnya lebih dari $60 milyar, dengan memotong anggaran untuk perumahan, kesehatan, pendidikan dan pembaharuan agraria (baik oleh pemerintahan Cardoso maupun Lula). Ketimpangan sosial semakin lebar diseluruh AL; di bawah program-program pengetatan anggaran yang dilakukan Brazil, Argentina, dan Mexico, lapisan atas masyarakat diuntungkan lewat pajak dan pengupahan yang lebih rendah (murah).

Dalam dua dekade pelaksanaan agenda neoliberalisme di AL, satu dekade terakhirnya berbuah krisis, berdampak paling parah terhadap kaum tani dan kaum tak bepekerjaan. Dan bagian masyarakat yang paling tertindas, terdiskriminasi, dan termiskin di anak benua ini adalah masyarakat suku asli Indian yang bermatapencaharian sebagai petani.

Situasi obyektif ekonomi tersebut tidak melenggang di ruang hampa politik—ditanggapi oleh pengalaman perjuangan yang tak berjeda. Dalam kurun waktu lima tahun, setidaknya terjadi sepuluh kali pergolakan massa (uprising) berskala besar yang melibatkan jutaan rakyat yang aktif. Beberapa pergolakan yang bisa disebut di sini antara lain; di Venezuela tahun 2001 dan 2002 (untuk menggagalkan boikot para penguasa minyak dan kudeta terhadap Chávez yang disponsori AS); di Argentina (2001); di Peru (2002); Bolivia pada tahun 2000, 2003 dan 2005; dan di Ekuador pada tahun 2000 serta 2005. Dalam waktu sepuluh tahun, empatbelas presiden telah disingkirkan oleh pergolakan rakyat tersebut. Jumlah ini hanya mewakili ribuan aksi lainnya yang terjadi di seluruh AL yang, dalam kurun waktu belakangan, diiringi dengan kualitas tuntutan yang terus meningkat.

Perluasan kesadaran anti-imperialisme selain dilandasi oleh kejahatan imperialisme yang merugikan langsung kepentingan sehari-hari mayoritas rakyat AL, juga oleh begitu bengisnya diskriminasi, eksploitasi, dan korupsi, yang dilakukan elit-elit pejabat pemerintah dan pengusaha pro-AS. Di Bolivia, para petani koka melawan pembasmian budidaya koka yang diperintahkan oleh AS; dan mereka juga berhasil melawan privatisasi gas, minyak serta air. Di Venezuela, terkonsolidasinya prajurit-prajurit progressif awal 1980-an (yang dipimpin oleh Chávez) hingga pemberontakan 1992 untuk melawan kekuasaan Carlos Andres Perez yang neoliberal, salah satunya disebabkan oleh ketimpangan sosial dan korupsi pejabat-pejabat pemerintahan yang luar biasa.

James Petras, mantan Profesor Sosiologi pada Universitas Binghamton, New York, USA, menggolongkan perjuangan rakyat di AL ke dalam empat gelombang gerakan dengan karakternya masing-masing. Gelombang pertama, pada fase akhir 1950an hingga awal 1970-an, dimulai dengan kesuksesan Revolusi Kuba dan diakhiri dengan kekalahan kaum populis serta sosialis—dimulailah era kediktatoran militer di kerucut bagian paling selatan benua AL; Gelombang kedua berpusat di Amerika Tengah, dimulai dengan Revolusi Sandinista Nicaragua pada tahun 1979 dan diakhiri dengan kekalahan elektoralnya di tahun 1990—era terkonsolidasinya rezjim-rejim boneka AS di Nicaragua, Guatemala, dan El Salvador; Gelombang ketiga dimulai di akhir 1990-an dan berakhir pada tahun 2002, perpaduan antara gerakan rakyat dan koalisi dengan partai-partai atau pemimpin-pemimpin populis gadungan; Gelombang keempat, yang sedang memperoleh momentumnya, terus menerus saling-mengkonsolidasikan gerakan sosial-politik di seluruh AL, termasuk koalisi kaum tani-indian-pengangguran (kaum miskin kota)-kaum buruh dalam aktivitas ektra-parlementer.

Perkembangan ini makin mengenalkan AL sebagai mata air referensi alternatif sekaligus pengalaman revolusioner modern yang tiada habisnya, sejak usai perang dingin. AL adalah kawasan Dunia Ketiga yang pertama kali berjibaku dengan neoliberalisme. Di kawasan ini pula, varian-varian ideologi kerakyatan berkembang dinamis. Mulai dari teologi pembebasan sampai filosofi pendidikan yang membebaskan (Paulo Freire), dari Revolusi Rakyat bersenjata ala FARC Kolombia, gerilyawan Maoist Arah Kemilau (Sendero Luminoso), penganggaran partisipatif ala Brazil, hingga Revolusi Bolivarian Hugo Chávez.

Sebagai “benua revolusi”, seperti pernyataan Fidel Castro, AL saat ini telah menjadi basis penting bagi perubahan peta politik dunia di abad 21. Walau proses perubahan politik dan perkembangan gerakan rakyat di sejumlah negeri di AL mengalami pasang surut, namun perkembangannya dari hari kehari semakin mengindikasikan kegagalan ideologi neoliberal dan awal kekalahan imperialisme AS. Kemajuan ini juga dicapai berkat keberhasilan gerakan memanfaatkan ruang demokrasi untuk meluaskan pengaruh politiknya. Apalagi, Revolusi Sosialis Kuba 1959 mampu bertahan sebagai katalisator bagi masa depan perjuangan rakyat AL.

Peran Progressif Kuba, Venezuela, dan Bolivia

Kini, bersama Kuba, Venezuela mulai memimpin perubahan di AL lewat kebijakan-kebijakan yang bertolak belakang dengan resep-resep penyesuaian struktural ala IMF dan Bank Dunia. Pada prinsipnya, bercermin dari keberhasilan Kuba dan Venezuela, syarat-syarat awal dan utama untuk keluar dari ‘lingkaran setan’ kemiskinan dan ketergantungan akibat kejahatan neoliberalisme adalah: pertama, demokrasi (partisipasi aktif rakyat) untuk meluaskan kesadaran (ideologi) kolektif melawan imperialisme; kedua, penguasaan sumber-sumber pembiayaan negara; ketiga, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan darurat (mendesak) rakyat untuk meningkatkan tenaga produktif (human capital) nya, dan keempat: program-program peningkatan teknologi (force of production).

Pertama, perluasan kesadaran untuk melawan kejahatan neoliberalisme adalah landasan bagi perubahan sebuah dunia yang alternatif. Secara umum, rakyat AL sudah memenuhi kriteria ini. Kehendak mendesak rakyat atas keadilan ekonomi dan politik (perlawanan terhadap penyingkiran/diskriminasi ras); penolakan terhadap ALCA; penguasaan kekayaan alam; penyediaan lapangan pekerjaan, redistribusi tanah dan permodalan bagi pertanian, sudah semakin sulit ditawar lagi. Ini pula yang menjadi ukuran bagi dukungan, mobilisasi hingga perlawanan terhadap pemimpin-pemimpin pemerintahan yang ada, sekaligus menjadi ikatan persatuan antar gerakan rakyat. Penolakan terhadap penandatangan ALCA di Mar del Plata, Argentina, tahun lalu, adalah bukti penguatan dan perluasan ikatan antar gerakan dan gerakan anti imperialisme di AL.

Partisipasi demokratik rakyat semacam itu begitu dinamis terjadi di Venezuela dan Bolivia saat ini, serta selama puluhan tahun sudah teruji di Kuba. Lingkaran-lingkaran Bolivarian, komite-komite misi sosial, dewan-dewan perencanaan lokal/komunitas, persatuan serikat-serikat buruh, melalui serangkaian referendum rakyat, terus dimajukan dalam bentuk mobilisasi-mobilisasi sosial mempertahankan proses Revolusi Bolivarian Venezuela dari berbagai ancaman imperialisme AS. Di Bolivia, militansi dan mobilisasi serikat-serikat buruh, para petani koka, dan kaum miskin kota El Alto mampu menjatuhkan Sanchez de Losada dan Carlos Mesa serta mendudukkan Evo Morales sebagai pemimpin pemerintahan untuk merealisasikan nasionalisasi perusahaan minyak.

Dalam derajat tertentu, Brazil, khususnya organisasi-organisasi rakyat di Porto Alegre, cukup berhasil meluaskan partisipasi rakyat dalam konsep penganggaran partisipatif (participatory budgeting). Rakyat memobilisasi dirinya untuk mempertahankan (khususnya) hak ekonomi dan sosialnya. Namun sayangnya, Partai Buruh Brazil di bawah Lula, yang mengadopsi konsep ini, justru tidak berkehendak memajukan partisipasi rakyat lebih jauh. Ratusan kaum buruh dan rakyat tak bepekerjaan di represi dan ditembaki dalam beberapa aksi demonstrasi melawan kecenderungan neoliberalisme pemerintahan Lula.

Kedua, penguasaan sumber-sumber pendapatan negara oleh pemerintah. Tujuannya adalah merebut kedaulatan ekonomi dari raksasa-raksasa modal AS, untuk dipergunakan bagi kemajuan tenaga produktif dan kesejahteraan rakyat. Setahun setelah menang revolusi 1959, pemerintah Fidel Castro menasionalisasi kilang-kilang minyak AS, Texaco dan Exxon, serta Shell milik Belanda, juga menasionalisasi seluruh industri pokok—termasuk 382 perusahaan dalam negeri—sektor perbankan swasta asing dan dalam negeri. Demikian halnya yang dilakukan pemerintah Hugo Chávez di akhir tahun 2001, dan Evo Morales di 1 Mei, 2006.

Program-program semacam nasionalisasi, pengambilalihan hingga pemberlakukan pajak yang tinggi bagi investasi dan royalti pendapatan perusahaan-perusahaan asing, adalah program-program yang sangat ditakuti oleh imperialisme. Sejak tahun 1977, sekitar 50 persen perusahaan-perusahaan raksasa di Venezuela memiliki “ikatan” dengan modal AS. Itulah sebabnya AS naik pitam ketika Hugo Chávez merenasionalisasi PDVSA (Perusaaan Minyak Venezuela) di akhir tahun 2001 dan (AS) mulai memimpin konsolidasi oposisi untuk menjatuhkan Chávez. Seperti halnya Eisenhower terhadap Kuba pasca nasionalisasi tahun 1960.

Penguasaan sumber-sumber pendapatan yang penting bagi negara menjadi landasan bagi terwujudnya program-program mendesak rakyat. Di Venezuela, tak kurang dari $2milyar rata-rata pertahun [tahun 2006 bahkan mencapai 4,5 milyar dollar (sekitar 40,5 Trilyun rupiah)] dialokasikan pemerintah [dari keuntungan minyak dan juga dari Dana Pembangunan Nasional (FUNDEN)] untuk program-program sosial (seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, kredit, dan pelatihan kerja).

Ketiga, pemenuhan kebutuhan mendesak rakyat sebagai landasan peningkatan tenaga produktif (Human Capital) nya. Kebutuhan-kebutuhan mendesak tersebut meliputi kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan perumahan (layak pangan, sandang, dan papan). Kuba adalah negeri miskin yang bebas buta huruf dan sehat (mampu menyediakan dana Rp. 1.800.000/orang per bulan untuk jaminan kesehatan gratis). Demikian halnya Venezuela, program-program kesehatan gratis Barrio Adentro I dan II, pendidikan gratis Robinson I dan II, serta Ribas dan Sucre adalah upaya pemerintah memasalkan kesehatan dan pendidikan untuk rakyat.

Keempat, program peningkatan teknologi/tenaga produktif untuk melepaskan ketergantungan dari neoliberalisme. Tentu saja dunia alternatif yang kita inginkan tak mungkin berupa dunia yang kembali pada tradisionalisme masa lalu, ia merupakan sebuah dunia yang modern, efektif dan menyejahterakan. Program semacam itu bukanlah program jangka pendek yang hasilnya bisa dengan cepat dirasakan.

Venezuela baru saja menetapkan sebuah misi baru yakni Misi Ciencia (science) dengan program yang sedang berjalan antara lain: penyediaan perangkat lunak gratis, dan komputerisasi tingkat dasar di seluruh sekolah dasar.

Venezuela juga membangun pabrik-pabrik petrokimia, bekerja sama dengan Iran; mendirikan stasiun hidroelektrik di La Vuettosa; membangun jalan bawah tanah di Los Teques; mendirikan tenaga pembangkit termoelektrik; teknologi penerbagan; laboratorium dengan sistim analisa-ultra-mikro; peralatan-peralatan elektroterapi, hidroterapi, mekanikal terapi, gimnasium, terapi okupasional, defektologi, pelatihan hambatan berbicara, podologi; alat penyulingan gula; pendirian pabrik-pabrik traktor; penggilingan benih; mesin pembajak; pabrik truk, kendaraan; mesin mekanik penggali; bis, kesemuanya sudah dan akan diproduksi di dalam negeri.

Keempat syarat-syarat di atas tentu saja bertentangan dengan resep-resep Washington Consensus. Seperti halnya pelipatgandaan anggaran sosial, yang oleh IMF disebut pemborosan; nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang oleh IMF dianjurkan untuk diprivatisasi; aturan-aturan ketat bagi investasi dan liberalisasi, serta pajak progressif, yang oleh IMF dianjurkan untuk dibuat fleksibel dan ‘bebas’.

Untuk itu Hugo Chávez kemudian menegaskan bahwa alternatif bagi masa depan kemanusiaan di dunia adalah sosialisme (yang menurut istilahnya adalah Sosialisme Abad 21). Dalam pidato pertamanya sebagai presiden Bolivia, Morales menyatakan: “Chávez tidak sendiri, rakyat AL mendukungnya. Inilah sebuah kenyataan baru.” Evo Morales Aymar menyusun kabinet pemerintahannya dengan komposisi sejumlah aktivis gerakan rakyat di dalamnya. Pemerintahan ini juga langsung membangun kerja sama dengan Venezuela dalam hal perminyakan, serta dengan Kuba dalam program pendidikan dan kesehatan, untuk memenuhi kebutuhan rakyat Bolivia.

Kemajuan tersebut, secara langsung maupun tidak langsung, turut menyebarluaskan sentimen populis pada rakyat maupun calon-calon pemimpin Amerika Latin selanjutnya. Olanta Humala, walaupun kalah dari Alan Garcia, mampu memobilisasi dukungan 22% suara (kebanyakan dari mayoritas rakyat miskin Peru); Michelle Bachelet (Chile) juga menggunakan sentimen serupa; pun Lopez Obrador dari Mexico, yang kalah tipis dari lawannya, Felipe Calderon—yang dianggap mewakili kelompok kaum kaya Meksiko. Aliansi Kuba, Venezuela, dan Bolivia memberikan efek domino yang sangat signifikan bagi negeri-negeri Amerika Latin lainnya.

Efek Domino Kolaborasi Kuba, Venezuela dan Bolivia

Bersama Kuba dan Bolivia, Venezuela terus mengkonsolidasikan dan mengkongkritkan potensi-potensi perlawanan pemerintah negara-negara AL terhadap imperialisme. Kemenangan di Mar del Plata, Argentina, menjadi saksi keberhasilan Chavez dan Castro mengkonsolidasikan penolakan terhadap FTAA sekaligus mendeklarasikan ALBA—the Bolivarian Alternative for the Americas (Alternatif Bolivarian untuk Rakyat Amerika). ALBA adalah alternatif kerja sama AL melawan intervensi pasar bebas imperialis AS. Lula, Kirchner, dan Guiterrez berhasil ‘didorong’ menandatangani kesepakatan tersebut.
Kehadiran ALBA, meski masih pada tahap kampanye alternatif, sudah berhasil memagari pimpinan-pimpinan kiri-populis AL yang ragu-ragu untuk bergerak menuju prinsip-prinsip saling melengkapi (ketimbang berkompetisi), solidaritas (ketimbang dominasi), kerja bersama (ketimbang eksploitasi) dan penghormatan kedaulatan rakyat (menggantikan kekuasaan korporasi) bagi kemajuan tenaga produktif negeri-negeri yang lebih miskin, sekaligus menjadi kekuatan tandingan bagi imperialis AS.

Kuba dan Venezuela memelopori bentuk kerja sama tersebut, lewat metode pertukaran dokter dengan minyak; operasi mata gratis bagi penduduk miskin Venezuela ke Kuba setiap minggu—Mission Milagro. Kemudian bentuk ini diluaskan menjadi pertukaran minyak dengan bahan makanan dan pertanian [bahkan sudah mencapai pertukaran bijih besi kualitas tinggi (ore) dan bauksit dengan nikel]; dokter dengan mesin-mesin produksi; bantuan modal untuk pengembangan energi minyak—namun bukan dengan jalan memprivatisasikannya ke korporasi minyak—dan penjualan minyak murah. Kerjasama ini mulai melibatkan Ekuador, Argentina dan Brazil (Petrosur), Colombia dan Paraguay. Semuanya bertujuan demi kemajuan tenaga produktif ekonomi rakyat di AL.

Pemerintah Chávez juga berhasil masuk dan mengubah orientasi MERCOSUR—Argentina-Brazil-Paraguay-Uruguay—dari sekadar blok perdagangan (minyak) yang mengejar profit. Chavez berkata; “Kita membutuhkan MERCOSUR yang memprioritaskan kepentingan rakyat. Kita membutuhkan MERCOSUR yang setiap hari harus bergerak semakin menjauh dari model integrasi korporasi elitis yang kuno, yang hanya mengejar keuntungan finansial namun melupakan kaum buruh, anak-anak, dan martabat hidup manusia.”

Minyak Venezuela memang menjadi sumber dana bagi kemajuan AL saat ini. Petro Caribe dibangun untuk menyediakan minyak yang murah untuk rakyat di wilayah Karibia, dan rencana membangun Petro America yang menyatukan perusahaan-perusahaan energi milik negara di seluruh AL. Termasuk membayarkan hutang Argentina kepada IMF sebesar $2,4 milyar agar “Argentina segera mengakhiri ketergantungannya kepada IMF”. Chávez juga menggagas pembentukan sebuah alternatif lembaga keuangan melawan IMF dan WB, yakni Bank of the South (Bank Selatan), agar negeri-negeri AL dapat meminjam dana tanpa terikat kebijakan-kebijakan neoliberal yang dipaksakan Washington.

Dalam bidang budaya, sebuah stasiun televisi regional Telesur, diluncurkan 24 Juli, 2005, bersamaan dengan peringatan hari lahir ke 222 Simon Bolivar. Telesur bertujuan menghancurkan hegemoni propaganda AS di seluruh benua ini. (Telesur adalah sebuah perusahaan pertelevisian bersama antara Venezuela, Argentina, Kuba dan Uruguay, yang selama 24 jam penuh melakukan siaran sejak akhir Oktober tahun lalu). Direktur informasi Jorge Botero, menjelaskan: “Dunia yang unipolar ini, di mana semua orang berkiblat ke utara dengan hormatnya, yang berakhir pada pembudakan, harus segera diakhiri. Bagi kami, cakrawala sesungguhnya terbentang lebih luas daripada yang dilihat dari Washington, dan karena itulah moto kami adalah ‘Utara Kami adalah Selatan’.”

Arah Angin Perubahan

Itulah pertanyaan besar bagi semua kalangan yang mengikuti perkembangan di AL dari luar. Kekuatan progressif berharap perubahan yang sedang terjadi terus menjauh dari pengaruh-pengaruh neoliberal, terutama dengan dimotori oleh para pemimpin ‘populis-kiri’ terpilih. Sementara kekuatan kanan mulai kalang kabut dan cemas. Sebagian dari mereka mulai menyalahkan pemerintah AS karena “mengabaikan AL dan lebih memperhatikan Timur Tengah”, serta menyesalkan pemerintahan-pemerintahan pro neo-liberal di AL karena melakukan “reformasi ekonomi yang setengah-setengah”—padahal karena reformasi ekonomi semacam itulah rakyat AL menjadi semakin miskin.

Arah perkembangan ke depan ditentukan oleh empat faktor utama berikut: pertama, sejarah karakter dan program masing-masing pemimpin ‘kiri’ terpilih; kedua, kemajuan tenaga produktif untuk menjalankan program-program alternatif di luar syarat-syarat kapitalisme; ketiga, peran pemerintah Venezuela, Kuba, dan Bolivia; dan keempat penguatan serta perluasan gerakan politik rakyat di masing-masing negeri.
Sejarah karakter pemimpin-pemimpin ‘populis-kiri’ yang dipercaya rakyat tersebut berbeda-beda. Misalnya, pemerintahan Lula da Silva di Brazil walau banyak disebut sebagai pemerintahan kiri-tengah atau sosial demokrat, namun kebijakan-kebijakan ekonominya anti-buruh dan rakyat miskin. Pujian Washington, IMF dan Bank Dunia terhadap reformasi ekonomi Brazil yang pro neoliberalisme, harus dicatat sebagai basis historis yang buruk, termasuk membentuk “Sahabat Venezuela” demi menggalang dukungan bagi referendum untuk menghentikan Chávez dari jabatannya di pertengahan tahun 2004. Sementara Nestor Kirchner di Argentina mencapai satu-satunya prestasi ‘terbaik’nya dengan menolak pembayaran lebih dari $140 miliar hutang kepada IMF—yang sebagian kemudian dicicil hingga lunas oleh Pemerintah Hugo Chávez. Namun ada juga Tabare Vazquez, yang tak berhasil didorong oleh demonstrasi rakyat untuk menolak pembayaran hutang luar negeri yang sangat besar.

Bagaimana dengan Lucio Gutierrez (Ekuador) dan Alejandro Toledo (mantan Presiden Peru)? Keduanya dinilai sebagai pemimpin AL yang paling tidak populer di negerinya masing-masing karena mendukung agenda ALCA (FTAA). Gutierrez paling sering menghadapi pemogokan-pemogokan umum di negerinya, dan Toledo terbukti ditinggalkan rakyat pada pemilu Juli lalu.

Sementara untuk Veronica Michelle Bachelet di Cili, cukup jelas bahwa jauh lebih besar harapan ketimbang kenyataan. Walaupun sebenarnya Bachelet berasal dari keluarga yang mendukung pemerintahan Sosialis Salvatore Allende pada 1970-an awal, yang turut ditindas oleh diktator Pinochet. Situasi ini melahirkan simpati, sekaligus harapan bahwa Bachelet dapat menjadi ‘Allende Baru’ bagi Chili. Tapi, seperti pendahulunya, Richardo Lagos, program-program Bachelet masih dalam batas-batas ‘toleransi’ AS.

Terakhir Meksiko, dengan Manuel Lopez Obrador, yang janji program-programnya dianggap mendekati harapan Hugo Chávez, dan yang nyaris memenangkan pemilihan presiden Meksiko, juga memberikan harapan bagi masa depan AL.

Sosialisme Abad 21

Jatuh bangunnya gerakan adalah hal biasa dalam sejarah AL, namun kuatnya gelombang radikalisme menunjukkan bahwa kebangkitan kali ini tidak akan mudah dihancurkan.

Di pembuka abad ini, gerakan rakyat AL—gerakan tani, buruh, kaum miskin tak bepekerjaan, mahasiswa progressif—berhasil mewujudkan persatuan yang bermanfaat. Ini merupakan pelajaran berharga bagi gerakan progressif di seluruh dunia, ketika eksistensi, sektarianisme, dan kompromi yang merugikan, menjadi duri sandungan bagi pembangunan persatuan. Dari perjuangan sektoral dan lokal, gerilya bersenjata di gunung dan perkotaan, perjuangan keserikatburuhan dan hak-hak pengelolaan tanah, dari jalanan hingga gedung parlemen, semuanya semakin mengarah pada perjuangan untuk membangun dan mengkongkritkan model alternatif untuk menggantikan model kekuasaan neoliberal yang sudah bangkrut, menuju sosialisme abad 21.

Revolusi Bolivarian Venezuela sudah menyebarkan kilau bagi perubahan sejati di seluruh AL. Kemajuannya semakin mendiskreditkan model ‘alternatif’ yang ramah dan fleksibel terhadap neoliberalisme. Semakin nyata, kuat dan luas persatuan gerakan, akan semakin nyata, kuat dan luas pula program-program menuju perubahan sejati, sebuah dunia baru yang alternatif, yang tak hanya di AL, bahkan di seluruh dunia.

V. Kepentingan Rakyat Indonesia

Indonesia merupakan negeri yang luas dan kaya akan sumber daya alam. Sebagai sesama anggota OPEC pemerintah Indonesia dan Venezuela sudah memiliki hubungan sejak lama. Namun, ironisnya, Indonesia yang kaya sumber daya alam dan bahan mentah, saat ini merupakan salah satu negeri dengan tingkat kemiskinan lebih dari 40% dan ketergantungan impor yang sangat tinggi, termasuk pengimpor minyak bumi dan bahan makanan. Resep-resep ekonomi yang dijalankan pemerintah Indonesia, sejak Soeharto hingga kini, adalah resep ekonomi neoliberalisme Bank Dunia dan IMF, sehingga memperdalam kesengsaraan rakyat.

Keragaman budaya, tenaga kerja, dan kekayaan sumber daya alam seharusnya menjadi landasan bagi kemajuan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu rakyat Indonesia membutuhkan cermin jalan keluar atas persoalan kemiskinan dan ketergantungannya. Dan cermin dalam bentuk ekonomi, politik, sosial, dan budaya, yang alternatif, dapat diperoleh dari Amerika Latin.

Adanya blokade dan ketidakobjektifan informasi mengenai wacana/ pemikiran/paradigma alternatif di Amerika Latin, khususnya Venezuela, Kuba dan Bolivia, oleh media-media yang dominan di internasional sangat menghambat perluasan wacana alternatif di tanah air.

Oleh karena itu, sudah saatnya, para akademisi, aktivis-aktivis gerakan sosial, individu-individu yang resah terhadap situasi negeri ini, untuk belajar lebih keras sekaligus bertindak lebih maju dan berani, demi masa depan kemanusiaan nusantara tercinta.***

Sumber:

1. Zely Ariane, Bangkitnya Sosialisme di Amerika Latin, Feature Koran Tempo dalam tiga edisi;
8, 9, dan 10 Juni, 2006;
2. Zely Ariane, Hugo Chávez Berhasil Melawan AS, Pikiran Rakyat, 26 Mei, 2006; (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/052006/-26/0903.htm);
3. James Petras, Present situation in Latin America, 6Juni, 2003;
4. James Petras, U.S.’s ratings of Latin American regimes, 2 Juni, 2003;
5. James Petras, Imperialism and Resistance in Latin America, 6 November, 2003;
6. James Petras, Empire Building and Rule: U.S. and Latin America, 25 Juni, 2003;
7. Zely Ariane, Memerangi Kemiskinan ala Venezuela, Sinar Harapan, 8 Oktober, 2005 (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0510/08/opi02.html);
8. Pidato Dr. Fidel Castro Ruz, Presiden Republik Kuba, di Aula Magna Universitas Havana 17 November, 2005;
9. Tabloid Pembebasan, Edisi VI tahun II Maret 2003;
10. http://www.globalissues.org/TradeRelated/Facts.asp;
11. http://news.bbc.co.uk/1/hi/talking_point/3055286.stm;
12. http://www.economist.com/media/pdf/LulaInterview.pdf;
13. www.prd-online.or.id;
14. www.venezuelanalysis.com

0 komentar: