18 Agustus 2007

Kebutuhan untuk Membangun Dewan Mahasiswa sebagai Alat Politik di Kampus

Gusti Galuh Ratna Sari*


Situasi nasional dan deindustrialisasi
Memburuknya situasi sosial di negara-negara berkembang saat ini sangat terkait dengan krisis yang dialami oleh imperialisme, keterpurukan negara-negara berkembang ini adalah ekses dari penerapan agenda neoliberalisme sebagai jalan keluar dari krisis imperialisme. Neoliberalisme sama sekali tidak mau menyisakan sedikitpun ruang bagi rakyat untuk bisa mencari penghidupannya, segala aspek ia kuasai dan ia gunakan semaksimal mungkin untuk menambah akumulasi capital meski dengan mengorbankan milyaran rakyat di dunia.
Program-program neoliberalisme yang dijalankan pemerintah kita atas keinginan imperialisme ini menghasilkan deindustrialisasi secara nasional (matinya produktifitas rakyat secara massal) dan kebangkrutan negara karena tidak memiliki sumber pemasukan yang maksimal, betapa tidak, neoliberalisme memprivatisasi semua hajat hidup publik (komunikasi, perhubungan, pertambangan dan industri-industri lain), memberikan upah buruh yang rendah dan mencabut subsidi-subisidi yang sangat vital bagi perkembangan produktivitas rakyat (pendidikan, kesehatan, bahan bakar dll). Ditengah situasi dimana semua barang dan akses sangat mahal, rakyat juga tidak diberikan kesempatan untuk berproduksi. Konsekwensi logisnya adalah krisis kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, meluasnya kemiskinan dan ketidakmampuan rakyat dalam memberdayakan dirinya untuk bangkit menjadi sebuah bangsa yang besar dihambat oleh pemerintah kita sendiri. Subsidi energi (BBM, listrik, gas, air), pendidikan, kesehatan, perumahan, telekomunikasi adalah penting untuk pertumbuhan dan perkembangan kapital sosial sebagai prasyarat untuk membangun industrialisasi nasional yang modern.
Pencabutan subsidi terhadap pendidikan yang bahkan sudah diatur dalam konstitusi sebanyak 20% saja tetap tidak mau direalisasikan oleh pemerintah, pemerintah juga secara sembarangan melakukan privatisasi terhadap istitusi-institusi sekolah dan kampus dengan menggunakan legitimasi RUU BHP dan UU sisdiknas yang tendensinya sangat anti rakyat(komersialisasi), kurikulum yang anti realitas serta menempatkan pelajar dan mahasiswa sebagai calon buruh-buruh murah yang kembali pada kepentingan imperialisme itu lagi.

Hasil dari kemerosotan kesejahteraan rakyat secara umum serta kebijakan anti rakyat dari pemerintah ini tentunya juga berdampak langsung kepada system dan kehidupan pendidikan yang kini menjadi problem pokok yang dihadapi mahasiswa sekarang. System pendidikan yang dibangun sedemikian rupa mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan kepada level yang sangat rendah, kurikulum yang anti realitas dan system pendidikan monologis atau dalam istilah Paulo friere disebut sebagai pendidikan gaya bank juga masih dominan dalam dunia pendidikan kita. Rendah dan minimnya sarana infrastruktur pendidikan juga merupakan persoalan yang berawal dari lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan infrastruktur yang cukup dan memadai untuk peserta didik, ditambah lagi dengan adanya privatisasi dimana pengelolaan pendidikan diserahkan kepada pihak swasta, akan menambah deretan potret buram dunia pendidikan yang akan berakibat pada melambungnya biaya kuliah yang tidak bisa terjangkau oleh mayoritas rakyat.


Jalan keluar dalam aspek pembiayaan untuk pembangunan produktifitas rakyat

Bagaimana mengatasi persoalan mahasiswa yang tidak terlepas dari problem keseluruhan rakyat ini? Untuk membangun bangsa yang besar dan produktif, kita harus mampu memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki terutama modal untuk pembangunan basis produktifitas rakyat itu sendiri. Maka dari itu maksimalisasi untuk pembiayaan mengharuskan kita untuk segera mengambil sikap dengan merebut kembali industri pertambangan (estratif) kita yang sudah jatuh ketangan asing melalui nasionalisasi dan berani mengupayakan penghapusan hutang walaupun harus dilakukan secara sepihak karena selain hasilnya hanya dinikmati para koruptor terutama soeharto dan kroninya, beban utang luar negeri ini juga sangat membebani APBN dan selalu menjadi alasan pemerintah untuk mengatakan “kas negara sedang kosong sehingga tidak ada alokasi untuk subsidi kebutuhan rakyat”. sedangkan legitimasi negara dalam bentuk perundang-undangan untuk mempraktekkan neoliberalisme dunia pendidikan ini maka UU, RUU, PP atau Permen yang tidak berpihak pada peserta didik harus ditolak dan dicabut.

Apa yang harus dilakukan

Sistem perpolitikan yang timpang didalam kampus, misalnya antara birokrat dan mahsiswa bukanlah suatu hal yang kebetulan, situasi ini sudah sedemikian rupa dibuat untuk membatasi ruang gerak mahasiswa untuk bisa secara legal memperjuangkan hak-hak sejatinya. Maka dari itu metode perjuangan yang dapat dilakukan oleh mayoritas mahasiswa yang selama ini terus diposisikan sebagai sasaran kebijakan adalah dengan membangun kekuatan yang diisi oleh individu dan organisasi mahasiswa yang bersama-sama dengan intelektual progresif yang juga sudah melihat adanya kebutuhan untuk mendapatkan posisi tawar yang ideal bagi mayoritas untuk menghadapi arogansi dari birokrat sebagai agen neoliberal dilingkungan kampus. Dengan adanya pemahaman bahwa mayoritas (mahasiswa) adalah sejatinya decision maker maka kebutuhan untuk membangun sebuah alat politik mahasiswa yang solid, terstruktur dan memiliki kapasitas yang ideal adalah satu kemendesakan, dimana situasi ini menjadikan dewan mahasiswa sebagai harga mati untuk pembukaan ruang demokrasi yang sejati di dalam kampus dan alat politik yang paling memiliki kapabilitas dalam mengkampanyekan program-program kerakyatan lainnya yang sejatinya adalah bagian dari kepentingan dunia pendidikan itu sendiri.

Long Live Socialism!!!

*Dept Hubungan Intenasional LMND





Hilangkan Keraguan

Oleh : Ade Oriza Rio

Hanya rakyat yang mau merdeka bisa merdeka
Tilak

Didunia ini, tak ada satu mahlukpun yang mau melepaskan kemapanannya secara sukarela. Terlebih, bagi mereka yang kemapananya didapat melalui cara-cara yang menindas. Status quo harus dipertahankan walau bagaimanapun caranya. Tidak bisa tidak, perlawanan harus dilakukan. Kemapanan penindas harus digulingkan secara paksa. Tentunya ini adalah tugas semua elemen gerakan termasuk gerakan mahasiswa. Kekuasaan, harus segera direbut. Harus !. Namun mampukah gerakan mahasiswa menjalankan tugasnya tersebut ?

Tentang Gerakan Mahasiswa

Indonesia, pada awalnya lebih mengenal nama gerakan pemuda jika dibandingkan dengan gerakan mahasiswa. Pada masa sebelum kemerdekaan misalnya terdapat organisasi-organisasi pemuda seperti jong java dan jong celebes yang kemudian memprakarsai terjadinya sumpah pemuda. Namun, pada masa kemerdekaan, tepatnya pada masa demokrasi liberal dimana berdiri banyak partai, mahasiswa mendapatkan peranan politiknya. Hal ini terjadi karena terbentuknya organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke partai politik. Misalnya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafiliasi ke PNI, Concentratie Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang berafiliasi ke PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS) yang berafiliasasi ke PSI dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berafiliasi ke Masyumi. Hal ini mungkin terjadi karena politik pada saat itu memang merasuk kesetiap lini kehidupan termasuk kehidupan kampus.

Sesuai dengan situasi politik nasional, dimana terjadi polarisasi kekuasaan antara Angkatan Darat (AD), Soekarno, dan PKI. Didalam gerakan mahasiswapun terjadi polarisasi, yaitu GMNI dan CGMI sebagai organisasi mahasiswa pendukung pemerintah dan HMI bersama GMS menjadi organisasi mahasiswa yang beroposisi terhadap pemerintah. PSI dan Masyumi sendiri tersingkir dari panggung politik nasional karena pilihan reaksionernya menjalankan gerakan separatis ( PRRI dan Permesta) setelah kalah bersaing melalui panggung resmi melawan PNI dan PKI. HMI dan GMS yang merupakan asuhan Masyumi dan PSI yang bagai “ anak ayam kehilangan induk “ kemudian menyatukan dirinya dengan gerakan kelompok militer reaksioner. Hasilnya adalah HMI bersama GMS dan kelompok mahasiwa lainnya berhasil mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ( KAMI ) yang kemudian aktif berdemo menekan pemerintah dengan Tritura[1]nya sampai kejatuhan Soekarno / rezim orde lama pada tahun 1966. Kelompok mahasiswa yang “menang” inilah yang menjadi generasi pertama gerakan mahasiswa yang kemudian menyatakan dirinya sebagai kaum intelek murni dan menganggap berpolitik adalah penghianatan kaum intelektual[2]. Mahasiswa hanya berpolitik jika kondisi sudah benar-benar gawat dan setelah “menang” maka mahasiswa harus kembali ke”pertapaan”nya yaitu kampus. Anggapan ini kemudian menghasilkan semboyan kembali kekampus. Betapa munafik melihat mereka yang pada awalnya berafiliasi dengan partai politik yaitu PSI dan Masyumi menyuarakan semboyan kembali kekampus. Depolitisasi dan deideologi terhadap mahasiswa dimulai dari titik ini.Bagaimana dengan gerakan Mahasiswa hari ini ?

Setidaknya, ada 4 penyakit yang diidap oleh elemen gerakan mahasiswa hari ini. Pertama, adanya sektarianisme yang kental dalam beberapa organisasi mahasiswa sekarang. Mereka menyerang keyakinan organisasi mahasiswa lain tanpa mau membuka ruang dialog, diskusi apalagi debat. Sikap ini membuat rasa persatuan diantara mahasiswa menjadi sangat lemah. Masing-masing akan menonjolkan eksisitensinya masing-masing. Merasa paling hebat didalam perjuangan dengan menonjolkan prestasinya masing-masing. Akibatnya, sektor mahasiswa menjadi sektor yang amat rapuh jika digunakan untuk menghantam penguasa.

Kedua, semakin hilangnya kredibilitas gerakan mahasiswa baik dimata rakyat maupun dimata mahasiswa sendiri. Hal ini terjadi karena banyaknya oknum-oknum didalam gerakan mahasiswa yang memanfaatkan gerakan untuk kepentingannya pribadi. Sebut sajalah bisnis menyewakan demonstran bagi penguasa yang perlu menaikkan opini. Mahasiswa dan massa rakyat yang lain menjadi bingung membedakan mana massa aksi bayaran dan mana massa aksi yang revolusioner sehingga mengambil sikap pukul rata terhadap semua massa aksi.

Ketiga, adanya pandangan bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan moral dan bukannya gerakan politik. Melihat sekilas kebelakang, tampak jelas bahwa ini adalah tradisi warisan angkatan 66.Kegiatan berpolitik mahasiswa, terbelenggu oleh pikiran mahasiswa itu sendiri yang masih menganggap bahwa “khittah” gerakan mahasiswa adalah gerakan moral dan sebatas agen perubahan masyarakat saja. Padahal, apa yang mereka lakukan selama ini sebagai bentuk kepedulian mereka misalnya seperti demo menolak impor beras, menolak naiknya harga bahan bakar minyak adalah satu kegiatan berpolitik. Politik berasal dari asal kata “policy” yang artinya kebijakan. Bukankah dengan kegiatan mereka tadi mereka berusaha mempengaruhi “policy” pemerintah alias berpolitik ?. Hanya saja menurut penulis, cara berpolitik mereka tidaklah profesional bahkan cenderung sia-sia. Memposisikan diri sebagai pengawas sosial dari pemerintah dan membatasi diri sekedar sebagai gerakan moral dan gerakan agen perubahan sosial sama saja dengan berteriak di tengah samudra dimana tak seorangpun dapat mendengar. Sayangnya, kelompok mahasiswa yang mengaku revolusioner, menolak jalan parlementariat justru melakukan praktek ini. Mereka sekaligus merayu, membujuk, merajuk dan mengancam parlemen untuk memenuhi tuntutan mereka. Terus menerus memilih merespon kebijakan pemerintah ketimbang memilih menjadi pembuat kebijakan sendiri dengan bertarung melalui partai politik. Suatu sikap yang tidak konsisten

Keempat, adanya pandangan bahwa gerakan mahasiswa harus dimulai dari kebutuhan mahasiswa sendiri. Logikanya, mahasiswa harus sadar akan hak-haknya dan memperjuangkan hak-haknya tersebut sebelum mahasiswa berjuang bersama-sama dengan sektor yang lain memperjuangkan kebutuhan bersama. Gerakan multisektoral hanya dilakukan melalui front-front yang terus dibangun setiap ada momentum namun selalu kemudian bubar lagi. Gerakan multisektoral yang kuat dalam wadah partai politik belum dirasa perlu untuk dibangun. Pandangan politik jauh kedepan masih dikalahkan oleh perjuangan front untuk merebut konsesi-konsesi. Ekonomisme yang reformis telah mengalahkan kebutuhan gerakan revolusioner yang paling penting yaitu partai politik. Lebih buruk lagi, jika berhasil memenangkan satu konsesi. Muncul heroisme yang tidak perlu didalam gerakan mahasiswa. Mahasiswa menjadi mengagung-agungkan jalan ekonomisme reformis dan mengagung-agungkan prestasinya mendulang konsesi. Menjadi kecanduan terhadap konsesi-konsesi namun lupa akan kebutuhan yang lebih mendasar. Tengok saja terbitan masing-masing. Kaya akan catatan prestasi ketimbang analisa dan perdebatan ideologis.

Gunanya Partai Politik

Dalam situasi seperti saat ini, kekuatan-kekuatan politik yang ambil bagian dalam kekuasaan pemerintahan tidak berpihak kepada rakyat. Presiden, wakil presiden, menteri-menteri, dan partai-partai besar yang berhasil meraup suara rakyat tidak memperjuangkan apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Yang mereka butuhkan hanya legitimasi rakyat melalui pemilu sehingga setiap kali kampanye selalu memberikan janji yang muluk- muluk. Rakyat dengan demikian belum menjadi subjek politik melainkan objek politik partai-partai besar. Tampak jelas oleh kita kebijakan-kebijakan pemerintah semakin menyengsarakan rakyat.

Untuk membuat rakyat menjadi subjek politik, rakyat membutuhkan alat politik alternatif yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan strategisnya. Alat politik tersebut adalah partai politik. Partai politik adalah wadah paling kuat yang dapat menampung semua sektor menjadi sebuah gerakan poltik multisektor. Partai politik, dapat memimpin massa dan mendidik massa sehingga memiliki kesadaran revolusioner dalam berjuang. Partai politik melalui kampanye-kampanye program yang disusun oleh semua sektor rakyat akan mampu mengikis kesadaran kompromis dan reformis menjadi kesadaran yang revolusioner[3]. Sebagai sebuah partai politik maka sudah tentu kepentingannya adalah merebut posisi berkuasa dalam pemerintahan sehingga bisa menjalankan program-program yang sesuai dengan kebutuhan rakyat. Namun berkuasa bukan menjadi tujuan akhir. Berkuasa hanyalah sarana untuk dapat menjalankan program-program yang berpihak kepada rakyat. Walaupun tidak ada harapan untuk menang, paling tidak rakyat harus ikut berperan melalui partai untuk menunjukkan independensinya serta mengukur kekuatan sendiri[4]. Disini, parlemen diubah dari alat kebohongan penguasa menjadi alat partisipasi rakyat. Inilah yang disebut melakukan aktivitas parlementer revolusioner

Namun, Partai tidak boleh hanya dikuasai dan dimiliki oleh segolongan elit, tetapi harus dimiliki oleh seluruh rakyat. Partai juga harus menghalau dua penyakit; menghalau ekononomisme yang hanya ribut soal konsesi sehingga menjadi reformis dan menghalau anarko sindikalisme yang menolak politik sehingga berujung pada amuk-amukan saja dengan menolak semua otoritas, yang secara membabi buta ingin membubarkan negara dengan sekali pukul, tanpa paham bahwa pada hakikatnya negara harus diberikan bentuk revolusioner dan digunakan untuk mematahkan perlawanan borjuasi untuk sementara waktu. Negara nantinya akan menghilang bersamaan dengan lenyapnya kelas-kelas, fungsi politik negara akan digantikan fungsi adsministrasi saja yang menjaga kebutuhan masyarakat. Jadi tunggu apalagi ?. Hilangkan keraguan, Segera Rebut Kekuasaan!







[1] Tri Tuntutan Rakyat yaitu bubarkan PKI, bersihkan pemerintah dari unsur PKI dan turunkan harga
[2] Lebih dikenal dengan nama angkatan 66. Tokohnya yang populer dan bahkan sempat difilmkan biografinya saat ini adalah Soe Hok Gie. Selain itu juga ada Fahmi Idris yang sekarang duduk didalam kabinet SBY-JK sebagai Menteri Perindustrian.
[3] Misalnya, Maurice Sibelle dalam Kaum Revolusioner dan Parlemen mengatakan : Salah satu hambatan terbesar untuk menyadarkan kelas pekerja tentang kemungkinan revolusi sosialis adalah karena kelas pekerja sudah terbuai/terbius oleh impian dan janji-janji yang ditanamkan ke benak mereka dari hari ke hari oleh penguasa kapitalis. Pengaruh/impian tersebut demikian mendalam dan meluas di kalangan kelas pekerja – yakni impian bahwa dengan atau melalui lembaga-lembaga demokrasi borjuis, terutama parlemen, kelas pekerja dapat mempertahankan/memperjuangkan dan memajukan kepentingan-kepentingan atau tuntutan-tuntutan mereka. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa kaum sosialis tidak dapat menghancurkan pengaruh/impian tersebut, yang telah begitu tertanam sedmikian mendalam di benak kelas pekerja, hanya dengan memblejeti/membongkar impian tersebut. Sebaliknya, untuk meyakinkan massa kelas pekerja bahwa parlemen hanya lah merupakan alat kaum borjuis, harus lah didukung oleh alasan-alasan atau argumen-argumen yang kuat dengan didukung oleh pengalaman-pengalaman kelas pekerja itu sendiri. Atau, dengan kata lain, massa kelas pekerja harus lah mengalami sendiri praktek-praktek perjuangan dalam menuntut kepentingannya di hadapan parlemen, sehingga mereka dapat menguji atau melihat sendiri keterbatasan-keterbatasan (baca: ketidakmampuan) parlemen dalam memenuhi segala macam kepentingan yang ada dalam aktivitas kelas pekerja. Setelah kelas pekerja yakin akan ketidakmampuan parlemen borjuis dalam memenuhi kepentingannya, maka mereka akan memiliki keteguhan dalam menghancurkan sistim parlemen borjuis tersebut, sehingga akan ada upaya untuk menggantikannya dengan lembaga-lembaga politik yang benar-benar demokratik


[4] Engels dalam kata pengantar Class Struggle in France menulis, Benarkah hak pilih universal tidak memberikan sebuah keuntungan dibandingkan sebelumnya, karena dengan itu memungkinkan kita dapat menghitung kembali jumlah anggota setiap


3 tahun sekali dan, melalui lembaga reguler, peningkatan suara, secara cepat dan bersamaan dapat meyakinkan kelas pekerja akan kemenangan yang bermakna pemusnahan oposisi mereka serta, selain itu, dapat menjadi alat propaganda utama; juga dapat mengingatkan kembali akan kekuatan kita, dan menyodorkan pada kita satu parameter tersendiri bagi tindakan-tindakan kita; selain itu, menyelamatkan kita dari ketidakyakinan yang bebal, seperti halnya suatu kedunguan yang tak tertolongkan –untuk memuntaskan/melengkapi penjelasan di atas, maka tolak ukurnya adalah dukungan politik, dan sejauh ini memang telah terlihat. Agitasi pemilu dapat menjadi alat untuk berhubungan dengan massa, yang masih jauh dari kita; mengerahkan/memanfaatkan seluruh lembaga untuk mempertahankan pendapat-pendapat dan tindakan-tindakan kita dihadapan rakyat dan, lebih jauh lagi, hal itu akan membekali wakil-wakil kita di parlemen dengan suatu platform dalam berhadapan dengan lawan kita di parlemen dan kepada massa yang "hilang," juga kita bisa memperoleh wewenang dan kebebasan lainnya ketimbang sekadar di media ataupun forum-forum pertemuan. ***
*)Anggota LMND Jakarta, Ketua PAPERNAS Depok

15 Agustus 2007

TOLAK KOMERSIALISASI KAMPUS

Oleh : Elang Riki Yanuar*

Namanya Widya, mahasiswa semester satu angkatan 2006, Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Widya dan puluhan kawannya yang lain harus menerima kenyataan pahit tak lagi mampu kuliah karena di droped out (DO). Penyebabnya bukan karena mereka pengguna narkoba atau melakukan tindakan indisipliner, tapi karena masalah klasik : BIAYA!. Widya telat membayar uang kuliah.

Kebijakan rektorat memang mengharuskan barang siapa yang telat membayar SPP dengan alasan apapun tanpa pengecualian (termasuk sakit dan belum punya uang) harus siap menerima sanksi tidak dapat mengikuti semester berikutnya. Jika mahasiswa diatas semester dua agar tidak dianggap mengundurkan diri maka terpaksa mengambil cuti kuliah. Sedangkan bagi yang semester satu (mahasiswa baru) maka statusnya secara otomatis gugur studi alias droped out (Surat Pembaca SINDO 10 Februari 2007).

Bisa dipastikan, Widya dan puluhan kawannya yang lain terpaksa angkat kaki dari kampus akibat kebijakan kampusnya yang tidak manusiawi itu. Lihat bagaimana hukuman bagi mahasiswa tak mampu lebih berat atau setara dengan mahasiswa pengguna narkoba, tawuran atau berbuat tindak kriminal. Kampus menjadi hampir sama dengan “rumah bordil”, yang bisa masuk dan menikmati isi di dalamnya hanya yang memiliki uang. Karena sama dengan rumah bordil, kampus pun penuh sesak dengan orang-orang yang siap memperbudak dirinya demi uang.

Widya pastinya tak sendirian, selain Widya masih banyak jutaan orang yang tak mampu meneruskan kuliahnya atau tak mampu mengenyam bangku perguruan tinggi. Kampus Widya pun tak sendirian. Hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia mematok tarif selangit bagi mahasiswa nya atau kampus yang menerapkan kebijakan yang tidak demokratis, diskriminatif dan tidak berpihak kepada orang miskin. Dunia pendidikan memang hakim yang paling kejam dan tak adil bagi status sosial seseorang.

Badai neo-liberalisme yang menghantam dunia pendidikan ikut menjauhkan orang miskin mendapatkan pendidikan khususnya perguruan tinggi. Privatisasi yang menjadi salah satu program kebijakan neo-liberalisme menjelma menjadi kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan penjualan berbagai asset pemerintah, termasuk perguruan tinggi. Privatisasi kampus berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga layak dilepas pemerintah. Otonomi kampus inilah yang menjadi landasan kampus memungut biaya semaunya. Belum lagi menerapkan kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya yang otoriter dipaksakan kepada mahasiswa.

Maka tak heran jika perguruan tinggi berlomba-lomba menetapkan harga tinggi dengan dalih untuk peningkatan mutu dan kualitas. Padahal tidak selamanya peningkatan mutu dan kualitas diikuti harga yang mahal.
Lalu bagaimana nasib rakyat miskin ditangan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Nampaknya nasib rakyat miskin untuk mendapatkan pendidikan tak akan berubah. Karena isi RUU BHP adalah melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi dan tentunya komersialisasi yang hebat. Lembaga pendidikan yang sebelumnya tidak diperbolehkan melakukan kegiatan bisnis, sebagai BHP diperbolehkan melakukan kegiatan yang mendatangkan keuntungan, sepanjang laba yang diperoleh diinvestasikan untuk peningkatan mutu pelayanan yang diberikan.
Dalam pasal 7 RUU BHP soal Pendanaan dan Kekayaan secara terang dipaparkan bahwa pendanaan awal Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHPT) murni berasal dari masyarakat dan Badan Hukum Perguruan Tinggi. Dijelaskan juga pada ayat 1, dana untuk investasi awal, pengembangan, dan operasi Perguruan tinggi didapat dari masyarakat lewat dana hibah dari dalam dan luar negeri. Di samping itu, Badan Hukum Perguruan Tinggi juga diberi beban untuk menggalang dana lewat aneka usaha.

Pasal 7 ayat 5 menerangkan juga bahwa tugas pemerintah hanya sebatas memberikan bantuan dalam bentuk hibah. Bantuan ini disebut sebagai dana kompetisi, bukan dana rutin, dan bersifat TIDAK WAJIB. Artinya sudah cukup jelas RUU BHP menguatkan lepasnya tanggung jawab negara terhadap pendidikannya. Lantaran sudah otonom, lembaga pendidikan berstatus BHPT dipastikan bakal menjadikan siswa didik sebagai ladang mengeruk dana. Perguruan tinggi di luar negeri juga berstatus otonom. Namun, berbeda dengan Indonesia, di luar negeri pemerintah tidak mencoba lepas tangan. Malaysia misalnya, pemerintah Malaysia tetap membiayai 90 persen biaya pendidikan kendati perguruan tinggi di Malaysia berstatus otonom.
Van Hoof & Van Wieringen dalam suatu konferensi pendidikan tinggi Eropa mengatakan, jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi Negara tersebut akan terhambat.

Dampak buruk dari privatisasi dan komersialisasi kampus juga hilangnya solidaritas sosial. Misalnya, jika seseorang kuliah di fakultas kedokteran dengan membayar Rp 250 juta-1 miliar, apa motivasi mereka setelah lulus? Pasti mencari uang agar modal mereka saat kuliah kembali. Itu sebabnya sangat sulit mencari dokter yang peduli dengan orang miskin.

Kita harus belajar dari Negara yang sangat peduli dengan dunia pendidikan seperti di Kuba atau Venezuela. Presiden Venezuela Hugo Chavez pernah mengatakan, “Jika kita (pemerintah) ingin menyejahterakan rakyat miskin maka berilah rakyat miskin kekuatan. Dan kekuatan itu bernama pendidikan. Maka berilah rakyat miskin pendidikan” ***

*) Anggota LMND Jakarta, Sekretaris Papernas Jakarta Pusat

TIDAK CUKUP BOS TAPI PENDIDIKAN GRATIS!

Belum lama ini ribuan guru dari berbagai daerah turun ke jalan melakukan demonstrasi. Tuntutannya seperti biasa, mereka meminta pemerintah benar-benar menganggarkan 20% anggaran untuk pendidikan. Dari anggaran 20% ini mereka berharap kesejahteraan mereka diperhatikan dan tentu saja akan membawa mereka yang tak pernah menikmati bangku sekolah atau yang putus sekolah bisa kembali ke sekolah.

Dulu dengan tuntutan yang sama usaha para guru dan tentunya aktivis gerakan kerakyatan pernah menuai hasil. Setelah sekian lama berdemonstrasi, akhirnya permohonan untuk menguji UU No. 13/2005 tentang APBN kepada Mahkamah Agung (MK) dikabulkan. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pemerintah harus segera menganggarkan angka sebesar 20 persen dari APBN untuk pendidikan.

Keputusan ini jelas bukan hal yang baru. Karena seperti pada undang-undang lainnya tercantum dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, "Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".

Selain itu juga undang-undang yang katanya menjadi landasan negara kita, UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), "Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah WAJIB membiayainya".

Hak rakyat di dunia pendidikan kembali dipertegas di Ayat (4) yang isinya "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional".

Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "Setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu TANPA DI PUNGUT BIAYA".

Namun sayang, amanat undang-undang ini belum mampu menggugah kepedulian SBY-KALLA terhadap jutaan rakyat yang tak mampu sekolah. SBY-KALLA hanya menganggarkan sebesar 90,10 triliun atau 11,8% dari total APBN 2007 sebesar 763,4 triliun.

Jadi tak usah bingung jika kita dihadapkan dengan realitas jumlah anak putus sekolah juta anak yang masih tinggi (sekitar 4,5 juta) yang membuat rasio partisipasi pendidikan penduduk Indonesia baru sebesar 68,4% dan tingkat pendidikan Indonesia rata-rata hanya sampai SMP. Lalu jumlah anak jalanan di 12 kota Indonesia 75 ribu jiwa, dan di Jakarta sendiri 40 ribu anak jalanan yang tak bersekolah. Jika tidak dikembalikan ke sekolah, maka anak putus sekolah tingkat dasar ini berpotensi menjadi buta aksara kembali. Khusus untuk perempuan, lebih rendahnya tingkat melek huruf dikarenakan kondisi budaya yang kurang berpihak pada kaum perempuan, bahkan untuk sekadar memperoleh pendidikan SD saja.

Selain itu masih ada sekitar 14,6 juta penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. Indonesia bahkan tertinggal dari negara-negara yang masih berkecamuk konflik seperti Palestina yang tingkat partisipasi pendidikannya mencapai 81,2 persen.

Pemberitaan tersebut masih harus dilengkapi dengan gambaran tentang bagaimana masih terdapat sekitar 20.500 sekolah SD hingga SMA dalam kondisi rusak berat, 75-80% (7-8 orang dari setiap 10 orang) pelajar setingkat SD sampai SMA putus sekolah dan 60% (6 orang dari setiap 10 orang) pelajar setingkat SMU tak mampu melanjutkan ke bangku kuliah yang akhirnya terpaksa harus bekerja seadanya atau jadi pengangguran.

Di DKI Jakarta sendiri misalnya, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, jumlah penduduk DKI Jakarta pada 2005 mencapai 9,04 juta. Dari jumlah tersebut, tujuh persen di antaranya atau sama dengan 675.718 jiwa tergolong dalam kelas keluarga miskin. Jumlah itu lebih tinggi dari data 2004 yang tercatat empat persen atau setara dengan 314.702 jiwa.

Sementara berdasarkan pendataan 2006, jumlah keluarga miskin tercatat 160.480 keluarga dengan perincian 93.967 keluarga tergolong miskin dan sangat miskin serta 66.513 keluarga tergolong hampir miskin. Dari jumlah total 160.480 keluarga tersebut, sejumlah 55.249 di antaranya tinggal di Jakarta Utara serta 30.320 tinggal di Jakarta Barat.

Keluarga miskin yang tinggal di Jakarta Timur tercatat 39.768, sejumlah 22.723 tinggal di Jakarta Pusat, sedangkan 11.377 keluarga tinggal di Jakarta Selatan. Untuk Kabupaten Kepulauan Seribu tercatat 1.043 keluarga miskin. Kondisi kemiskinan itu tentunya berpengaruh terhadap kemampuan anak-anak dari keluarga miskin tersebut untuk melanjutkan sekolah.

Pertanyaan selanjutnya adalah akan berubahkah data-data rakyat miskin ini jika pemerintah benar-benar menganggarkan 20% APBN untuk pendidikan. Apakah anggapan bahwa tingkat kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan akan ikut terangkat pula jika anggaran 20% ini benar-benar diberikan kepada rakyat? Atau sudah berkurangkah beban rakyat miskin dengan di berikannya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi siswa yang tak mampu?. Jawabannya tentu saja TIDAK!

Mengapa tidak? Karena jika kita kalkulasikan dari APBN 2007 saja misalnya, maka 20% anggaran dengan asumsi total APBN mencapai 550 sampai 660 trilyun rupiah, maka anggaran 20 persen itu sama dengan 120 trilyun rupiah. Anggaran ini jelas belum mampu untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.

Di DKI Jakarta sendiri sejak 2005 telah mendapatkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang bersumber dari APBN. Konsepnya adalah pemerintah pusat memberikan anggaran kepada pemerintah daerah yang digunakan untuk membantu siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, baik swasta maupun negeri.

Seperti kita ketahui, Bantuan Operasionalisasi Sekolah (BOS) adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh SBY-KALLA pasca menaikkan harga BBM sebanyak dua kali yang membuat melonjaknya daftar orang miskin. BOS merupakan kebijakan yang mengilusi rakyat bagi masyarakat karena pencitraannya bisa menjadikan sekolah gratis. Padahal, layaknya kebijakan bantuan langsung tunai (BLT), program ini merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk meredam bangkitnya perlawanan rakyat akibat pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM).

BOS sudah di berikan tapi seperti yang dipaparkan oleh riset yang dilakukan ICW justru menunjukkan semakin menggilanya pungutan-pungutan yang dilakukan pihak sekolah pada tingkat SD dan SMP. SPP memang telah dihilangkan lewat bantuan pemerintah berupa BOS, tapi pungutan tetap ada. Artinya BOS tidak menjamin siswa mampu belajar dengan tenang tanpa ada bayang-bayang biaya. Belum lagi jika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa departemen pendidikan nasional adalah departemen ke dua setelah departemen agama dalam hal peringkat korupsi.

Untuk itu yang perlu kita catat, realisasi anggaran 20% untuk pendidikan adalah tuntutan awal dalam perlawanan kita terhadap pengingkaran hak rakyat miskin yang dilakukan oleh SBY-KALLA. Anggaran pendidikan yang mampu menjangkau seluruh rakyat agar mampu berpartisipasi dalam pendidikan merupakan tuntutan yang harus terus diperjuangkan. Perjuangan menuntut realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% harus terus kita tuntut dalam aksi-aksi massa sampai pendidikan benar-benar gratis, layak dan berkualitas untuk rakyat.

Vladimir Lenin, pemimpin Rusia bahkan pernah berkata “Berhemat-hematlah berekonomi dalam hal apa pun, kecuali untuk keperluan pendidikan.”. Itulah mengapa program pendidikan cuma-cuma alias gratis bagi rakyat menjadi salah satu program revolusi demokratik dalam negara bercorak sosialistik. Karena marxisme memang menempatkan pendidikan sebagai salah satu syarat terpenting bagi kelanjutan, serta peningkatan kualitas reproduksi sosial setiap generasi manusia. Pengetahuan merupakan hal yang sangat vital bagi manusia untuk mengembangkan kemampuan produksi sosialnya.

Coba saja tengok negara bercorak sosialistik seperti Kuba dan Venezuela yang memberikan pendidikan gratis untuk seluruh warga negaranya. Pemerintah Kuba memang memandang pendidikan merupakan bagian terpenting dalam mempertahankan revolusi Kuba. Rakyat mempunyai hak yang sama dalam mengakses pendidikan dan negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan. Akses yang sama ini diwujudkan dalam bentuk pendidikan gratis bagi seluruh rakyatnya. Sehingga tidak mengherankan, Kuba sekarang menempati posisi teratas di dunia untuk angka melek huruf dan angka rata-rata sekolah per kapita.

Pendidikan gratislah salah satu hal yang akan membawa negara kita lepas dari jeratan krisis kemiskinan. Pendidikan gratis dan berkualitas lah solusi yang nyata ketika kita dihadapkan pada banyaknya rakyat miskin terlempar dari bangku pendidikan. ***
Elang Riki Yanuar
*) Anggota LMND Jakarta, Sekretaris Papernas Jakarta Pusat

MEMBANGUN, BUKAN MENGGUSUR*

Tak perlu menunggu tsunami, gempa dan musibah lainnya, atau tak perlu di demo rakyatnya dengan jumlah massa yang besar, Presiden Venezuela Hugo Chavez memberikan perumahan khusus untuk mereka yang miskin dengan prioritas fasilitas kesehatan yang lebih terjamin. Sesaat setelah terpilih menjadi presiden, Chavez menetapkan undang-undang reformasi kepemilikan tanah dengan membatasi hak milik tanah bahkan penyitaan pada perusahaan real estate yang membuat lahan pertanian menjadi tidak produktif dan hanya menguntungkan si pemilik modal.

Hal yang sama diberlakukan di Kuba. Presiden Kuba, Fidel Castro membangun perumahan untuk warga miskin dengan jumlah rumah lebih besar dari jumlah penduduk sehingga tidak ada penduduk yang harus tinggal di jalanan.

Jangan bandingkan dengan negara kita. Rumah-rumah untuk rakyat baru dibangun setelah datangnya musibah seperti tsunami, longsor, gempa bumi dll. Parahnya lagi uang untuk membangun rumah bagi para korban musibah itu ada yang didapat dari pinjaman utang luar negri yang tentu saja ujung-ujungnya rakyat juga yang harus menanggung utang tersebut.

Bukannya membangun rumah untuk rakyat pemerintah lebih sering menggusur rumah rakyatnya yang dianggap merusak keindahan kota. Lahan-lahan kosong lebih suka dilelang untuk perusahaan real estate daripada membangun rumah untuk rakyatnya yang menggelandang di jalanan sehingga dianggap sebagai pengganggu ketertiban umum bahkan mengotori pemandangan perkotaan. Bukan hanya para gelandangan dan pengamen yang ‘ditertibkan’, pedagang kaki lima pun juga diusir dari tempat mereka mencari nafkah seperti di sekitar kampus dan tempat lainnya.

Penggusuran yang sudah menjadi acara tahunan Pemda atas nama Pembangunan dan kota tanpa pemukiman kumuh dibenarkan oleh Perda No. 11 Th 1988 tentang ketertiban umum; Perda No. 18 tahun 2002 tentang ketertiban, kebersihan dan keindahan (K3); dan Perda No. 1 Th 1996 tentang kependudukan, sudah terbukti sama sekali tidak memberi solusi terhadap permasalahan rakyat miskin di Jakarta. Penggusuran rumah rakyat seringkali tidak diimbangi dengan penyediaan rumah pengganti yang lebih layak, sehat bagi rakyat yang tergusur.
Rumah jelas merupakan salah satu kebutuhan paling pokok bagi manusia. Juga merupakan hak warga negara untuk mendapatkannya selain pendidikan dan kesehatan. Itu sebabnya pemimpin-pemimpin yang dicintai rakyat miskin seperti Fidel Castro, Hugo Chavez, Evo Morales bahkan Ahmadinejad menitikberatkan fokus perhatiannya pada pendidikan, kesehatan dan perumahan untuk rakyat miskin.

Sayangnya di negara kita rumah masih dianggap sebagai kebutuhan yang tidak pokok. Oleh karena itu, wajar kalau sampai sekarang masih banyak warga masyarakat terutama di perkotaan yang tinggal di tempat-tempat kumuh, seperti di pinggir sungai yang kalau musim hujan tiba keberadaan rumah tersebut sering menjadi kambing hitam penyebab banjir.

Pertumbuhan penduduk yang disikapi dengan solusi pragmatis bahkan sadis ini jelas mengorbankan jutaan rakyat miskin yang jumlahnya kini melebihi seratus juta orang. Menurut pemikir besar Karl Marx, pertumbuhan penduduk yang tinggi bukan karena kecenderungan biologis, tapi lebih merupakan konsekuensi dari moda produksi kapitalis. Karena kapitalisme membutuhkan jumlah ‘penduduk yang bekerja’ pada tingkat tertentu yang memungkinkannya mengeruk untung yang lebih besar.

Persoalan kependudukan seperti kemiskinan, migrasi ke perkotaan, munculnya kelas gelandangan, juga bukanlah produk dari pertumbuhan penduduk alami tapi karena menjalarnya kapitalisme. Dan menurut Karl Marx, ini “merupakan hukum umum mutlak dari akumulasi kapitalis”. Jadi bisa dikatakan solusi penggusuran, operasi yustisia bagi rakyat bukan solusi yang paling mujarab mengatasi pertumbuhan atau arus perpindahan penduduk.

Pemerintah SBY-KALLA jelas tidak menunjukkan kemauan politik untuk memfasilitasi rakyat miskin yang marjinal. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap perumahan untuk rakyat berpenghasilan menengah ke bawah membuat persentase atau jumlah kekurangan rumah terus bertambah dari tahun ke tahun.

Di DKI Jakarta saja jumlah penduduk tahun 2004 mencapai 10 juta jiwa (dengan pertumbuhan penduduk 1,4 persen per tahun). Kebutuhan rumah akibat pertumbuhan itu sebanyak 35.000 unit per tahun.

Itu artinya, DKI Jakarta harus membangun 35.000 rumah baru per tahun. Jumlah ini belum termasuk rumah untuk penduduk yang masih menumpang pada orang tua, pengangguran di rumah kontrakan (kost), gelandangan, dan sebagainya. Bisa dibayangkan berapa total rumah yang mesti dibangun hanya di wilayah DKI Jakarta saja. Belum lagi jika pada tahun 2025 diprediksi jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 273,65 juta jiwa.

Program-program yang diadakan pemerintah untuk membangun perumahan untuk rakyat pun masih sulit direalisasikan. Alasan yang diungkapkan melulu masalah tidak adanya anggaran sehingga sulitnya menjalankan program perumahan untuk rakyat. Di satu sisi, kemampuan daya beli masyarakat masih rendah akibat kondisi ekonomi dan politik nasional yang belum stabil sehingga alokasi dana untuk perumahan dan permukiman melalui APBN makin terbatas akibat terlalu banyak membayar utang luar negri.

Presiden Bolivia, Evo Morales membangun rumah untuk rakyat miskin dari dana alokasi nasionalisasi perusahaan pertambangan yang dimanfaatkan untuk membangun perumahan untuk orang miskin. Hasil dari nasionalisasi industri pertambangan yang diperuntukan untuk rakyat miskin juga dilakukan oleh Hugo Chavez. Untuk itu nasionalisasi industri pertambangan hanya akan bisa dinikmati oleh rakyat miskin jika dipimpin oleh presiden yang berpihak kepada rakyat miskin dan anti imperialisme seperti Hugo Chavez, Fidel Castro dan Evo Morales. Bukan pemimpin yang berkarakter kuli imperialis seperti SBY-KALLA.

Sudah saatnya anggaran negara tidak lagi digunakan hanya untuk lawatan pejabat ke luar negri, tunjangan yang tidak penting dan membayar utang luar negri. Tapi anggaran negara harus digunakan untuk kepentingan rakyat miskin di bidang pendidikan, kesehatan dan membangun rumah untuk rakyat miskin, bukan menggusur rumah rakyat miskin. ***
*Elang Riki Yanuar
Anggota LMND IISIP Jakarta

Nasionalisasi Industri Pertambangan untuk Pendidikan dan Kesehatan Gratis*

Fenomena bunuh diri atau percobaan bunuh diri anak-anak Sekolah Dasar (SD) di beberapa tempat seperti Kebumen, Tegal, Pemalang, Garut dengan alasan malu karena menunggak uang sekolah, atau karena orang tuanya tidak mampu membelikan buku baru atau seragam sekolah. Dan realitas prostitusi di dalam kampus adalah gambaran miris dunia pendidikan di Indonesia. Tidak berhenti disitu, gambaran lain adalah grafik peningkatan putus sekolah di berbagai daerah yang sangat besar, di Sumatera Selatan misalnya pada tahun ajaran 2004/2005 Sebanyak 9.055 pelajar SD dan SMP putus sekolah. Di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur Lebih dari 71 ribu anak putus sekolah. Di Kabupaten Garut, pada tahun 2004 sedikitnya ada 1.761 siswa SD/MI dan 664 siswa SMP/MTs mengalami putus sekolah. Untuk perguruan tinggi, mirisnya kondisi pendidikan ditunjukkan dari menurunnya jumlah peserta mahasiswa baru. Pada tahun 2004 peserta seleksi penerimaan mahasiswa baru turun sekitar 4 persen (336.707 peserta) dibandingkan tahun 2003 sebanyak 350.306 peserta. Tahun 2005 menurun lebih parah mengalami penurunan sebesar 7,5 persen atau sekitar 311.000-an peserta.

Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari rendahnya pendapatan masyarakat klas menengah – bawah disatu sisi. Disisi lain, pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara justru diserahkan pada beban individu masing-masing. Diberbagai kampus negeri-yang dahulu terkenal sebagai kampus bagi rakyat, saat ini justru hanya dapat dinikmati oleh mahasiswa-mahasiswa dari klas atas. Sedangkan calon mahasiswa yang berasal dari klas bawah terpaksa melupakan mengecap pendidikan bergengsi di kampus-kampus terkenal tersebut. Dan itu baru biaya dasar kuliah, belum termasuk harga buku ataupun pembiayaan bagi kerja praktek , praktikum. Biaya pendidikan menjadi sangat membengkak.

Padahal di beberapa negara, beban pendidikan tidak diletakkan pada individu tetapi diletakkan pada beban negara. Sebab, negara sangat membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas untuk menjalankan negara, bahkan mengolah hasil kekayaan yang dimiliki.

Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK), sebenarnya telah memutuskan agar anggaran pendidikan dinaikkan hingga sebesar 20% dari APBN. Tetapi ini tidak dijalankan oleh Pemerintah SBY-Kalla. Meski Pemerintahan SBY-Kalla melalui Mendiknas Bambang Sudibyo usai peringatan Hardiknas di Depdiknas mengumbar janji akan menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007 ditinjau dari logika ekonomi tetap tidak akan mungkin dijalankan apabila politik anggaran Pemerintah lebih ditekankan pada pembayaran utang luar negeri. Lihat saja besaran rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2006 untuk pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp. 76,629 Triliun atau 2,5% dari PDB, meningkat 0,3% dari APBN 2005. Sedangkan pembayaran cicilan utang pokok luar negeri sebesar 2,1% dari PDB. Lebih besar dari alokasi anggaran untuk kesehatan yang besarannya sekedar 0,4% dari PDB dan Pendidikan 1,4% dari PDB. Berbeda halnya di Cuba, anggaran pendidikan sudah di gratiskan oleh Pemerintahan Cuba, sebab anggaran pendidikan di Cuba sangat besar, sekitar 8% dari PDB atau 2% diatas anjuran anggaran pendidikan Unesco. Peneliti di Barat masih tak habis pikir bagaimana negara miskin seperti Cuba, dengan pendapatan per-kapita $2.800 (ppp) dapat menyaingi standar pendidikan negara-negara imperialis seperti Amerika Serikat ($37.800), Canada ($29.700) atau Inggris Raya ($27.700), terutama dalam hal akses pendidikan yang menyeluruh dan setara. Dalam bidang kesehatan, di Cuba angka kematian bayi bisa ditekan menjadi 5,2 per 1000 kelahiran dan harapan hidup meningkat menjadi 75 tahun (di Indonesia harapan hidup pada tingkat 66 tahun). sekitar 524.000 anak-anak antara 3-9 tahun mendapatkan vaksin polio dan dengan jumlah dokter sebanyak 70.000 orang untuk 12 juta penduduk atau 1 dokter untuk 600 orang (di Indonesia jumlah dokter 34.000 melayani 220 Juta penduduk).

Indonesia sesungguhnya dapat menyaingi Cuba, bahkan melebihi standarisasi Cuba dari segi kuantitas dan kualitas pendidikan. Sebab, Indonesia memiliki syarat-syarat kekayaan alam yang luar biasa, yang tidak dimiliki oleh Cuba. Indonesia memiliki banyak kekayaan, Minyak, Tambang, Gas Alam, Perkebunan, bahwa tenaga kerja. Dan banyak hal yang dimiliki Indonesia tidak dimiliki oleh Cuba. Dari segi ekonomi, pendapatan per kapita Indonesia ($3200) saja masih di atas Kuba. Tapi justru Cuba mampu menjalankan pendidikan dan kesehatan Gratis. Cuba dapat melakukan hal ini sebab, Revolusi Cuba berhasil membangun pemerintahan populis yang dapat mensentralisasi kekayaan alam untuk kepentingan rakyat Cuba.

Melihat pengalaman negara lain.

Melihat pengalaman dari Cuba, pada tahun 1959, revolusi rakyat Cuba yang dipimpin oleh Fidel Castro, melakukan nasionalisasi perusahaan tambang Freeport Sulphur yang pada tahun itu baru saja produksi perdana biji nikel. Bahkan program nasionalisasi ini dilakukan oleh pemerintahan Castro terhadap seluruh perusahaan-perusahaan asing. Sejak itulah pemerintahan Cuba dapat memberikan pendidikan dan kesehatan gratis terhadap rakyatnya.

Selain itu, Hugo Chavez Frias, Presiden Populis Venezuela, setelah kemenangannya dalam pemilu tahun 1998 melakukan program nasionalisasi terhadap perusahaan minyak PDVSA. Sejak penerapan nasionalisasi tersebut Pemerintahan Venezuela menggratiskan pendidikan dan mendirikan sekolah-sekolah Bolivarian yang menyediakan makan dua kali sehari bagi murid-muridnya. Saat ini tercatat sudah 3000 sekolah Bolivarian terbangun dan sekitar 1,5 juta rakyat masuk dalam sekolah-sekolah gratis tersebutBahkan pemerintahan Venezuela akan memperluas Universitas-Universitas Bolivarian agar orang-orang yang tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi dapat mengikutinya. Dalam program kesehatan, secara gratis pemerintah venezuela menyelenggarakan operasi mata untuk penyakit katarak secara gratis dan setiap tahunnya 100.000 orang mendapatkan operasi gratis ini. Membangun sistem kesehatan gratis yang massal dan mendatangkan 15.000 lebih dokter Cuba untuk meningkatkan mutu kesehatan bagi rakyat miskin di Venezuela.

Diluar Venezuela dan Cuba, Evo Morales, Presiden Bolivia, memajukan programnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dari memperbesar production sharring (bagi hasil produksi) menjadi nasionalisasi perusahaan minyak dan gas alam di Bolivia.

Jika dilihat dari jumlah kekayaan alam, Indonesia, ditunjukkan dari pendapatan dari Pajak penghasilan Migas dalam APBN 2005, sekitar 6,8% dari PDB, dan 5,2% dari Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk Migas. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sektor minyak, gas dan hasil tambang lainnya memiliki kontribusi yang besar terhadap pemasukkan negara. Pemasukkan yang seharusnya bisa jauh lebih besar dan jauh lebih dapat dinikmati oleh publik. Tetapi sejauh pembagian hasil yang kecil (25% untuk negara dari setiap hasil produksi perusahaan-perusahan asing) maka tetap tidak akan signfikan kontribusinya terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Terlebih sangat besarnya Capital Flight (larinya modal ke luar negeri) akibat besarnya pembayaran utang luar negeri dan pembayaran surat utang negara.

Belajar dari pengalaman Cuba, Venezuela, dan Bolivia, maka menasionalisasi perusahaan-perusahaan pertambangan, minyak dan gas alam merupakan suatu keharusan mendesak. Sebab, kekuatan kekayaan rakyat Indonesia terletak pada sektor-sektor tersebut. Dan kapitalisme internasional justru bercokol dan menghisap pada sektor-sektor itu. Dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan tersebut maka harapan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya pendidikan dan kesehatan gratis dapat diwujudkan.

Mampukah kita?

Meski ini mendesak, tapi pada umumnya, para intelektual-intelektual pro pasar bebas selau bersikap negatif terhadap hal ini. Bahkan acap kali menentang program populis ini.dengan pernyataan bahwa sarjana-sarjana kita belum mampu mengambil alih perusahaan-perusahaan besar tersebut ataupun alasan moralis lainnya. Padahal Soekarno sendiri setelah revolusi 1945 sering mengkampanyekan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang mayoritas dimiliki oleh Belanda dan Jepang.Justru pada saat jumlah kampus teknik dan sarjana-sarjan kita masih sedikit.

Saat ini kampus-kampus yang memberikan pendidikan mengenai geologi, pertambangan, geofisika, lingkungan, perminyakan sudah banyak tersebar di beberapa kota besar dan dengan jumlah mahasiswa yang banyak. Ini saja sudah menjadi satu acuan bahwa kita mampu untuk menjalankan alih tekhnologi sendiri. Tidak lagi ditangan multinational corporation..

Apa yang harus dilakukan?

Program Nasionalisasi Industri Pertambangan dan Migas untuk pendidikan dan kesehatan gratis tidaklah dapat dilakukan oleh LMND sendiri. Tugas sejarah ini haruslah dijalankan bersama-sama oleh kelompok demokratik dan rakyat. Maka Front Persatuan Gerakan Rakyat merupakan jawaban yang paling untuk dalam kepentingan untuk melaksanakan program ini. Front Persatuan ini haruslah kuat dan terstruktur secara nasional. Tidak bisa lagi perjuangan dengan alat yang terpecah-pecah (Fragmentatif). Sebab musuh rakyat, Imperialisme, dan bonekanya Pemerintahan SBY-JK, sangat kuat dan terstruktur rapi. Front Persauan harus melakukan kerja-kerja bersama dalam mengkampanyekan program nasionalisasi industri pertambangan agar rakyat semakin memahami bahwa nasionalisasi industri pertambangan merupakan jawaban bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Agar rakyat semakin paham bahwa hal ini mendesak. Maka Front persatuan harus membangun posko-posko pendudukan perusahaan tambang dan migas. Posko pendudukan ini dibangun di kampus-kampus, di kampung-kampung sehingga rakyat mendapatkan tempat untuk berdiskusi, bertanya mengenai pentingnya program ini dijalankan secara konsisten.

Alat-alat propaganda seperti koran, selebaran reguler, spanduk, poster, pamflet harus disebar sebanyak-banyak baik di kampung-kampung maupun di kampus-kampus. Semakin banyak yang menerima, maka akan semakin banyak yang tertarik untuk berdiskusi, bertanya, mengerti dan akhirnya menjadi kekuatan inti untuk melakukan kerja politik bersama.

Panggung-panggung seperti seminar, diskusi publik, debat kampus, hingga debat kampung harus kita bangun agar semakin banyak yang mengerti sifat darurat dari program ini. Selain, agar kelompok-kelompok yang belum bersepakat dapat memahami hal penting dari program ini.

Pendudukan-pendudukan seperti yang pernah dilakukan oleh rakyat Cuba, Venezuela, Bolivia bahkan oleh rakyat Papua dan masyarakat Bojonegoro patut untuk dicontoh. Aksi pendudukan tersebut harus dilakukan baik di kantor-kantor perusahaan industri tambang dan migas maupun di pabrik-pabrik mereka. Dan Front Persatuan sebagai alat alternatif untuk terus memimpin program mendesak ini.

Paulus Suryanta Ginting
Sekretaris Jendral
Eksekutif Nasional
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)

Pengenalan Neo-Liberalisme

Neo-liberalisme adalah variasi dari liberalisme klasik di abad 19 ketika Inggris dan imperialisme lainnya menggunakan ideologi kompetisi pasar dan perdagangan bebas untuk menyetujui kapitalisme di negara mereka sendiri dan negeri jajahan mereka di seluruh dunia. Pemberontakan di negeri-negeri Utara oleh buruh industri dan para pengangguran di tahun 1930-1940an dan di negeri-negeri Selatan di tahun 1940-1950an dalam perjuangan anti kolonial untuk mengakhiri liberalisme klasik dan kolonialisme pada umumnya. Akan tetapi usaha-usaha ini menggunakan ide aliran keynesian, yaitu digunakannya manajemen pemerintah pada upah dan tawar-menawar bersama (collective bargaining) sebagai subsidi pada industri untuk mendukung pertumbuhan produktivitas dan ide welfare state dengan tidak diakuinya upah dan campuran isue antara pemberontakan dan pembangunan untuk untuk melawan koloni baru.

Dalam waktu kurang dari 30 tahun, lingkaran kerja internasional dari buruh, perempuan, mahasiswa, petani dan pro-lingkungan memberontak pada tahun 1960-an dan 1970-an mengakhiri Keynesian dan digantikan oleh Neo-liberalisme. Buruh memperlambat pertumbuhan produktivitas dan menaikkan upah dan keuntungan, hal ini telah memutuskan kerja yang semata-mata mengejar produktivitas dan keuntungan pada akhir perang dunia ke II. Perempuan berjalan ke depan menolak kekuasaan patriarkhi di dalam rumah dan berjuang untuk mendapatkan akses dan pendapatan serta hak menentukan nasib sendiri. Mahasiswa, seringkali mencontoh sikap ibu mereka, mengubah kewenangan di sekolah dan di pemerintah dengan menuntut hak-hak untuk menyokong kepentingan mereka sendiri dan tidak dikirimkannya mereka ke perang imperialis. Petani berjuang untuk menjaga dan meng-klaim kembali kepemilikan tanah mereka dan mencegah dipekerjakan paksa dengan upah rendah, resiko kerja yang tinggi di kota yang terasing. Kelompok pecinta lingkungan mengubah definisi kapitalis dan eksploitasi alam sebagai obyek/lainnya/sumber alam dan mencari yang baru dan menciptakan hubungan yang lebih harmonis dengan semua elemen di seluruh dunia yang memiliki kewajaran dan secara tetap dibangun kembali.

Setelah diserang dari berbagai sisi, maka pada akhirnya struktur dari Keynesian jatuh. Dalam perspective sejarah, Neo-liberalisme dapat dilihat sebagai response terakhir dari kapitalis pada kekuatan rakyat untuk menghancurkan bentuk eksploitasi sebelumnya dan mengagendakan sendiri perubahan sosial. Neo-liberalisme muncul dan dikenal meluas seperti yang terjadi di Amerika Latin ketika krisis hutang luar negeri meledak di tahun 1982 dimana Mexico mengumumkan tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya atas hutang LN-nya. Tampak dengan naiknya bunga pinjaman (dikemudikan oleh American Federal Reserve Board's Campaign against global inflation----lembaga yg dibentuk utk kampanye melawan inflasi global, seperti atas upah), runtuhnya produksi dunia dan perdagangan membuat tidakmungkin naiknya nilai mata uang asing dan Mexico dan negara-negara lain terancam kegagalan atas pinjaman luar negerinya.

Dalam responnya, IMF dan bank dunia melihat pada unsur kepemimpinan, menuntut adanya penggantian kebijakan berorientasi pada pasar di mana negara sebelumnya menerapkannya dan kemudian menggantinya dengan pendekatan pembangunan sebagai bagian dari persyaratan jaminan hutang. Pemerintah local apakah dengan penghargaan atau sakit yang tersembunyi -gembira dan menyepakatinya. Kebijakan ini mencampur apa yang telah diimplementasikan di negara-negara penghutang akan tetapi berbeda sedikit dengan inti dari orientasi secara umum dari kebijakan kapitalis di manapun di dunia ini di mana term ''neo-liberalisme'' dapat melayani cukup baik sebagai gambaran umum sekarang ini. Seperti beberapa penjahat Neo-liberalisme telah mempunyai banyak nama lain atau alias: Reaganomics, Thatcherism, supply-side economics, monetarism, new classical economics, shock therapy dan structural adjustment. Persoalannya bukan pada alias tapi para kapitalis pembuat kebijakan dan pembelanya dalam periode ini sangat antusias untuk mengikutsertakan kerakusan dan keuntungan dan memutarbalikan pada rakyat pekerja dan miskin. Mereka adalah pro bisnis, pro keuntungan, anti upah, dan anti kebijakan berpihak pada buruh dan mulai bicara sebagai ''perang kelas baru''. Kelakuan mereka mengingatkan kepada kelakuan yang memprovokasi pengaduan kemarahan dewi asmara sebagai pengganti rakyat, dalam Kamus Lusiads :

Sepertinya mereka bertugas, dulunya untuk menyalurkannya pada rakyat miskin, Cinta Tuhan dan mendermakan kepada semua umat manusia, Dulu mereka dalam cinta.Kekuatan dan kekayaan membuat mereka tiada menunjukkan keadilan dan integritas. Benar bagi mereka berarti tirani yang jelek, Kekerasan, kekerasan tanpa tujuan. Mereka membuat hukum untuk kepentingan raja dan diijinkan untuk diselewengkan pada rakyat.(camoes)
Dalam semua samarannya, Neo-liberalisme sebagai ideology ataupun strategi. Ideologi dari neo-liberalisme adalah pemujaan pasar dan subordinasinya semua kehidupan pada tuntutannya, termasuk pada pemerintah, para individu dan alam. Neo-liberalisme sebagai strategi meliputi swastanisasi (privatisasi), pemotongan bantuan makanan dan perumahan, melipatgandakan penjara, perayaan hukuman mati, memecah belah serikat buruh, memagari tanah, upah rendah, keuntungan lebih tinggi, terorisme keuangan, menggantikan orientasi ekspor-dengan pembangunan impor, mobilitas kapital bebas, memecah belah imigran, menonjolkan rasisme, anti gerakan feminis, mengintensif-kan perang intesitas terhadap petani, dan mempercepat komodifikasi alam atas nama kebebasan, efisiensi dan keuntungan. Seharusnya kebijakan tidak membuat marah tidak hanya dewi asmara, tetapi semua orang laki-laki dan perempuan yang percaya institusi social seharusnya diperluas untuk kesejahteraan semua masyarakat dan bumi untuk semua bukan untuk kekuasaan dan kesejahteraan beberapa orang saja.***

Meninjau Kembali Peran Negara Terhadap Dunia Pendidikan

Oleh : Elang Riki Yanuar

Masih lekang kah dalam ingatan kita ketika mengikuti upacara bendera saat pembacaan undang-undang dasar 1945 di sekolah. Disitu tertulis jelas bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan rakyatnya. Artinya sudah sangatlah jelas, setiap warga negara di Indonesia berhak menikmati pendidikan agar kelak menjadi seorang manusia yang cerdas dan berguna untuk bangsanya. Sungguh sebuah cita-cita mulia yang dulu diperjuangkan oleh para pejuang kemerdekaan kita dahulu.

Dari sini juga kita bisa mengerti mengapa para pejuang kemerdekaan kita menempatkan pendidikan sebagai suatu yang penting bagi suatu negara. Karena pendidikan memang merupakan cermin kualitas peradaban di suatu bangsa. Bahkan kini di lingkungan masyarakat pendidikan juga menjadi sebuah tolak ukur tentang kehidupan dan tingkah laku seseorang. Jika seseorang melakukan tindak kriminal seperti perampokan, pencurian dll, maka dengan mudah nya orang akan membuat anggapan bahwa orang yang melakukan tindakan kriminal itu tak memiliki pendidikan atau berpendidikan rendah. Meski anggapan ini tidak sepenuhnya benar, tapi kita tak bisa menafikan jika tingginya tingkatnya kriminalitas juga diikuti dengan rendahnya tingkat pendidikan yang diterima rakyat miskin.

Para pejuang kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan Ki Hajar Dewantara mungkin juga tak akan mengira jika cita-citanya menjadikan manusia Indonesia yang cerdas kini sangat sulit diwujudkan oleh penerusnya. Tak ada lagi sekolah-sekolah rakyat yang dulu dibuat oleh Tan Malaka dan Ki Hadjar Dewantara untuk warga pribumi yang miskin agar mampu mengakses pendidikan. Mungkin para pejuang revolusi kemerdekaan kita akan menangis jika melihat semua orang mencibir sekolah-sekolah murah yang dianggap tak memiliki kualitas. Karena pendidikan hanya diperuntukan untuk para orang yang mampu saja.

UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4).

Anggaran Pendidikan untuk tahun 2007 naik menjadi 14,7 persen atau Rp 43,489 trilyun. Anggaran Pendidikan di rejim SB-KALLA semula hanya 6,6 persen pada tahun 2004, telah dinaikkan menjadi 9,3 persen pada tahun 2005 dan 12 persen pada tahun 2006. Ini menjadi bukti ketidakpedulian rejim SBY-KALLA terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Sebagai perbandingan, seperti ditulis Media Indonesia (3/4/06), anggaran mahasiswa standar nasional untuk Strata Satu adalah 18,1 juta rupiah per mahasiswa per tahun, atau sama dengan 72 trilyun pertahun. Di Malaysia, anggaran untuk mahasiswa mencapai 114 juta rupiah per mahasiswa per tahun. Peran negara untuk bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan gratis, ilmiah, modern dan kerakyatan masih sangat jauh untuk diwujudkan. Karena minimnya alokasi anggaran untuk pendidikan akibatnya pendidikan menjadi terlalu mahal untuk ekonomi rakyat miskin.

Pendidikan berubah menjadi sebuah lahan bisnis yang memiliki prospek yang tinggi untuk meraih keuntungan. Fungsi sekolah masa lalu yang mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai "korban penindasan".

Maka jangan heran jika Human Development Index (HDI) Indonesia jauh dari negara-negara di dunia. Kita berada di posisi 111 dari 175 negara. Malahan kita sudah ditinggalkan oleh negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand bahkan Vietnam untuk kualitas sumber daya manusia. Kita jauh di bawah mereka, Singapura (25), Brunei (33), Malaysia (58), Thailand (76), dan Filipina (83).

HDI merupakan ukuran keberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi suatu bangsa. Implikasinya, HDI yang tinggi menunjukkan keberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Sebaliknya, HDI yang rendah menunjukkan ketidakberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi suatu negara.

Berdasarkan Laporan UNDP, Human Development Indeks Indonesia terus melorot semenjak 1975. Data ini menunjukkan HDI Indonesia mengalami kemunduran terutama sejak 1996. Kecenderungan penurunan HDI ini utamanya untuk komponen angka kematian bayi dan angka bebas buta huruf di antara penduduk dewasa. Ini mengindikasikan kualitas manusia kita tidak berkembang-berkembang dari tahun 1974, bahkan terus melorot. Data ini juga berarti kualitas manusia Indonesia masih rendah.

Adalah tanggung jawab negara untuk memberikan pendidikan gratis dan mudah dijangkau rakyat miskin. Pemerintah harus segera memprioritaskan anggaran pendidikan ketimbang untuk membayar utang luar negeri. Karena jeratan utang luar negeri nampak semakin menyengsarakan, terutama setelah krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1997. Dan akumulasinya, kini utang luar negeri kita mencapai US$ 80 miliar, dengan angsuran pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri mencapai sepertiga APBN. Anggaran utang luar negeri inilah yang lebih difokuskan oleh rejim SBY-KALLA. Masih di diktenya rejim SBY-KALLA oleh kepentingan IMF membuat rejim SBY-KALLA makin jauh mendahulukan kesejahteraan rakyat miskin. Karena pendekatan ala IMF ini lah yang telah menghasilkan biaya sosial ekonomi, bahkan politik, yang makin menyengsarakan rakyat Indonesia.

Tetapi kenaikan anggaran ini juga harus diikuti dengan sistem anggaran yang berpihak pada kepentingan publik, misalnya prinsip alokasi, distribusi, pengawasan, dan akuntabilitas yang tinggi. Karena sudah bukan isapan jempol belaka jika Departemen Pendidikan adalah salah satu departemen yang rawan korupsi. Pengawasan yang transparan ini agar anggaran pendidikan langsung dirasakan oleh rakyat miskin yang memang memiliki hak untuk mendapatkan akses pendidikan dari negara. Mungkin kita harus belajar pengalaman sejumlah seperti Cina dan Vietnam dalam upaya-nya mempertahankan pendidikan di tengah serangan pasar bebas. Atau di Venezuela dengan sekolah bolivarian nya dan seperti di Kuba yang telah mencapai keberhasilan penting dalam hal kesejahteraan, terutama dalam hal pendidikan yang bermutu dan gratis bagi rakyatnya, sehingga menyaingi standar kesejahteraan negara-negara kapitalis.***

Dari dulu Sekolah Cuma buat Orang Kaya

Oleh : Safrezi Fitra
Pendidikan telah dikenal di indonesia sejak abad 15-16, pada zaman kerajaan sriwijaya, dengan adanya sekolah budha. Namun dari semenjak dikenal adanya sekolah tersebut sampai sekarang, adalah sama bahwa yang bisa mengenyam bangku sekolah hanya orang-orang terpilih. Pendidikan yang diberikan pada masa itu selain untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, juga untuk melanggengkan kekuasaan raja dan keturunannya. Ilmu pengetahuan yang diajarkan adalah tentang sistem pemerintahan, strategi perang, strategi penguasaan sumber-sumber ekonomi, sastra dan budaya, serta berbagai pengetahuan lain untuk mempertahankan kekuasaan raja. Karena itulah maka yang bisa mendapatkan pendidikan tersebut hanyalah keluarga, kerabat serta keturunan raja. Rakyat biasa tidak akan mungkin mendapatkan kesempatan yang sama dalam penyaluran pengetahuan. Rakyat biasa hanya bisa mendapatkan pengetahuan tentang apresiasi budaya, misalkan tarian rakyat, wayang, dll. Pendidikan tersebut bisa didapatkan rakyat bukanlah hasil pemberian raja kepada rakyatnya, namun merupakan wujud pemberontakan rakyat terhadap sistem budaya saat itu yang terkesan “pilih kasih” dan hanya memanfaatkan rakyat untuk kegiatan produksi dan untuk tetap mempertahankan keberadaan kekuasaan raja saat itu.
Masuknya penjajahan asing di Indonesia, tidak memberikan perubahan apa-apa terhadap pendidikan rakyat. Walaupun pemerintahan kolonial Belanda melaksanakan program pendidikan melalui “politik etis”. Tetap saja sekolah tidak ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan bangsa Indonesia. Pemerintah belanda mendirikan sekolah adalah semata-mata untuk memperoleh tenaga kerja rendahan yang akan mengoperasionalkan pabrik dan perkebunan modern, serta mengisi pos administrasi pemerintahan kolonial Belanda. Sekolah-sekolah yang ada pun hanya bisa dinikmati oleh sebagian golongan saja, sesuai dengan tingkatan status sosial pemerintahan kolonial, antara lain hanya orang Belanda, Eropa, golongan Indo, priyayi pribumi (tuan tanah), dan golongan Asia Timur Jauh.
Kemudian berbagai sekolah pun dibuka, mulai dari sekolah keguruan sampai kejuruan. Tahun 1852 berdiri sekolah guru (kweekschool) pertama di solo. Disusul kemudian dengan sekolah sejenis di Bukit Tinggi (1856), Probolinggo dan Bandung (1866), Tanah Batu (1862). Sekolah Dokter Jawa (1851), Sekolah Mantri Cacar (1849). Sekolah lainnya kemudian didirikan di Tondano (1873), Ambonia (1874), Banjarmasin (1875), Makasar (1876), Padang Sidempuan (1879), dan di daerah Indonesia Timur.
Akhir abad 19 dan awal abad 20 Sekolah tinggi mulai dibuka. Tahun 1892 didirikan Sekolah Pamong Praja (Hoofdenschool), kemudian diganti menjadi Opleiding School Vor Inlandsche Ambtenaaren (OSVIA) pada tahun 1900 di Magelang. Tahun 1902 didirikan STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) yang kemudian menjadi NIAS (Nederlandsche Indische Artsen School) tahun 1913dan GHS (Geneeskundige Hoge School) yang merupakan cikal bakal berdirinya Fakultas kedokteran. Kemudian disusul dengan berdirinya Rechts School tahun 1922 kemudian berubah menjadi Rechthoogen School tahun 1924 sebagai awal mula dari Fakultas Hukum UI. Di Bandung tahun 1920 didirikan Technische Hoge School yang kemudian menjadi ITB, sedangkan di Bogor didirikan Landsbouwkundige Facuteit pada 1941, yang sekarang disebut IPB.
Sama halnya dengan sekolah tinggi, sekolah-sekolah dasar pun didirikan tetap masih bersifat elitis hanya untuk orang kaya dan bangsawan, diantaranya ELS (Europeesche Lagere School) dan Holandsch Chinesche School (HCS) pada jenjang pendidikan dasar. MULO (Meer Uitgebreid Lager Oderwijs) pada jenjang SLTP, sedangkan ditingkatan SLTA ada AMS (Algemeene midlebare School) dan HBS (Hogere Burger School. Sedangakan rakyat jelata pada saat itu hanya mendapatkan pendidikan sekolah pribumi angka 2 yang kemudian ditutup pada tahun 1929 karena krisis malaise.
Pada zaman tersebut, kurikulum pendidikan yang ada harus disesuaikan dengan kurikulum pandidikan negeri Belanda. Karena itulah, lulusan-lulusan pribumi dapat melanjutkan studinya ke negeri Belanda, namun tetap dengan kriteria tertentu yang tentunya sangat diskriminatif dan hanya orang-orang tertentu saja yang mendapatkan kesempatan tersebut. Selain karena faktor diskriminasi, penyebab dari terbatasnya peluang mendapatkan pendidikan bagi rakyat pribumi adalah karena biaya pendidikan yang sangat mahal. Untuk sekolah menengah seperti MULO saja dikenakan biaya sebesar 5,60 fl (gulden) atau pada masa sekarang setara dengan Rp. 672.000 /bulan, apalagi pada sekolah tinggi, untuk membayar kuliah per tahun seorang mahasiswa harus mengeluarkan biaya kuliah sebesar 300 fl atau pada masa sekarang sama dengan 36 juta rupiah.
Menyadari bahwa pemerintahan kolonial Belanda sangatlah diskriminatif dalam penyelenggaraan pendidikan, maka sebagian dari kaum pribumi berinisiatif untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi yang terbuka bagi masyarakat luas. Sebagai contoh pada tahun 1919 didirikan Sekolah Serikat Islam oleh Tan Malaka, Zending, dll. Tahun 1922 Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, yang memberikan pendidikan budi pekerti dan semangat kebangsaan, tahun 1928 KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Karena banyaknya sekolah-sekolah untuk rakyat pribumi ini didirikan, Akhirnya pemerintahan kolonial memberlakukan Onderweer Ordonantie pada tahun 1932 yang merupakan salah satu produk hukum yang bertujuan menutup semua sekolah yang tidak disubsidi dan dianggap liar oleh pemerintahan kolonial. Namun tetap saja, hal ini bukan menjadi suatu halangan dan tidak menyurutkan semangat kaum pribumi untuk mendirikan sekolah bagi rakyat jelata.
Karena telah dibekali pendidikan dan ilmu pengetahuan, kaum muda terpelajar semakin sadar akan penindasan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda, yang kemudian turun dan berbaur di tengah-tengah rakyat untuk kemudian mengobarkan kesadaran dan semangat perlawanan terhada penjajah asing. Keterlibatan kaum muda terpelajar ini dapat dilihat dari bangkitnya Pergerakan nasional yang dipelopori oleh kaum muda, selain itu andil pemuda juga sangat besar dalam sejarah lahirnya organisasi-organisasi politik di Indonesia, serta juga mampu membangkitkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air melalui “Sumpah Pemuda” tahun1928, hingga peranannya dalam proses menuju proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Dari sisi pendidikan, ruang masuk untuk mendapatkan pendidikan tersebut dari dulu sampai sekarang adalah sama, yaitu sekolah hanya untuk orang kaya, atau hanya orang-orang pilihan yang bisa bersekolah. Jika pun ada sekolah murah pasti kualitasnya sangatlah buruk dan sangat tidak memadai. Yang membedakan adalah jika zaman kolonial, kaum muda yang dengan berbekal sedikit ilmu pengetahuan dapat memperjuangkan pendidikan yang harusnya merata untuk segala macam golongan tanpa diskriminasi. Sekarang banyak kaum terpelajar yang telah memiliki segudang ilmu pengetahuan malah hanya dikonsumsi untuk dirinya sendiri, bukan malah mengabdikan ilmunya untuk bangsa dan negara serta dapat membagi ilmunya pada masyarakat, misalkan dengan memperjuangkan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat, pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis sesuai yang telah diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan aturan paling pokok bagi bangsa ini.

12 Agustus 2007

DRAFT KONSEP DEWAN MAHASISWA

Perbedaan issue yang dibawa oleh kelompok-kelompok mahasiswa saat ini menyiratkan kepada kita akan sebuah perpecahan dalam gerakan mahasiswa. Polarisasi atau perbedaan kutub dalam kegiatan berorganisasi adalah hal yang wajar, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mencapai demokrasi sejati dan kemenangan rakyat diperlukan organisasi-organisasi sentral disetiap sektor (mahasiswa, buruh, maupun petani) yang mampu mewadahi aspirasi dan kepentingan sektor masing-masing.

Mengapa Mahasiswa Butuh Organisasi Sentral Kampus ?
1. Kegiatan kurikuler dan ekstra-kurikuler mahasiswa berada ataupun menggunakan fasilitas-fasilitas kampus, sehingga diperlukan kerja-kerja koordinasi yang maksimal hanya dapat tercapai melelui sebuah organisasi sentral.
2. Kepentingan mahasiswa dan pengelola kampus (rektorat) seringkali bertentangan seperti untuk urusan SPP, penggunaan fasilitas dan sumber daya kampus, ataupun kurikulum yang digunakan. Dengan adanya organisasi sentral kampus kepentingan-kepentingan mahasiswa seluruh kampus dapat diperjuangkan.
3. Berkat kemajuan-kemajuan kebudayaan manusia (iptek, kemasyarakatan, politik, dsb), masyarakat manusia semakin berkembang kearah pembentukan masyarakat yang mengatur dirinya sendiri (self-governed society), dan organisasi sentral mahasiswa adalah alat untuk mewujudkan masyarakat baru ini didalam kampus.

Watak Organisasi Mahasiswa Seperti Apa yang Dibutuhkan ?
1. Melibatkan massa mahasiswa baik secara perwakilan maupun langsung.
2. Dapat menjadi alat perjuangan sektoral ataupun politik didalam ataupun diluar kampus.
3. Representasi nyata aspirasi massa, dalam arti kehendak massa yang telah dimenangkan didalam organisasi juga dilaksanakan dengan penuh konsistensi.
4. Sentralisasi dari seluruh kekuatan sosial politik dan aktivitas-aktivitas sehingga kesatuan gerak dan tindakan dapat terjadi, dan sentralisasi ini dibangun atas prinsip-prinsip demokrasi yaitu : mayoritas diatas minoritas, penghargaan atas perbedaan pendapat dan keberadaan kelompok minoritas dan perdebatan-perdebatan ilmiah dan cermat dalam setiap pengambilan keputusan.

Struktur Organisasi yang Memenuhi Watak Organisasi
1. Adanya wadah-wadah aktivitas massa, baik kurikulerataupun ekstra-kurikuler, yang didalamnya aktivitas mahasiswa dapat terkoordinasi dan terorganisasi ditingkat paling kecil : kelompok diskusi ataupun kelompok kegiatan lainnya ditingkat jurusan dan pembentukan kelompok-kelompok aktivitas ini adalah hak setiap mahasiswa (kebebasan berorganisasi).
2. Adanya wadah-wadah yang lebih besar untuk mengkoordinasikan kelompok-kelompok aktivitas tadi ditingkat jurusan. Wadah ini memiliki fungsi yang sama dengan himpunan mahasiswa jurusan, namun ia memiliki perbedaan karena sebagai sentral kegiatan mahasiswa (kelompok-kelompok aktivitas) dan wadah-wadah ini bersifat perwakilan (dewan) dari kelompok-kelompok aktivitas mahasiswa jurusan.
3. Ditingkat fakultas dan universitas juga harus ada dewan-dewan yang lebih tinggi wewenangnya karena harus memfasilitasi kepentingan-kepentingan mahasiswa dari berbagai jurusan (untuk tingkat fakultas) dan juga dari berbagai fakultas (untuk tingkat universitas).
4. Dalam sebuah kota dibentuk juga wadah perwakilan (Dewan Mahasiswa tingkat kota) yang bertugas untuk mengkoordinasikan dewan-dewan mahasiswa universitas, dan tetap terintegrasi dengan dewan-dewan sektoral lainnya.


Konsep-Konsep Wakil Mahasiswa
1. Seorang wakil mahasiswa dalam dewan mahasiswa jurusan ditunjuk langsung oleh massa kelompok aktivitasnya, dengan syarat bahwa kelompok tersebut memenuhi kriteria yang diakui bersama (misalkan jumlah massa anggota melalui petisi dukungan) atau terlibat dalam pembentukan dewan mahasiswa jurusan, dan wakil mahasiswa tersebut sewaktu-waktu dapat di-recall oleh kelompoknya.
2. Dewan mahasiswa fakultas terdiri dari wakil-wakil dewan-dewan jurusan dan wakil-wakil kelompok-kelompok aktivitas yang anggota-anggotanya dari berbagai jurusan (misalnya unit kegiatan mahasiswa tingkat fakultas).
3. Dewan mahasiswa universitas terdiri dari wakil-wakil dewan-dewan fakultas dan wakil-wakil kelompok-kelompok aktivitas yang anggota-anggotanya dari berbagai fakultas (misalnya unit kegiatan mahasiswa tingkat universitas).

Penyatuan Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif
1. Didalam dewan mahasiswa tingakat jurusan, fakultas dan universitas dibentuk kelompok kerja pelaksana (komite eksekutif) yang dipilih dari dan oleh anggota-anggota dewan yang bertugas menjalankan keputusan-keputusan dewan diantara dua masa persidangan dewan ditingkatnya dan tunduk kepada dewan yang lebih tinggi.
2. Komite eksekutif ini kira-kira mirip dengan badan eksekutif mahasiswa yang sekarang ada disenat-senat mahasiswa hanya saja ia dikontrol langsung oleh massanya dan perwakilan-perwakilan dewan lainnya, dan segala kebijakan-kebijakan yang dijalankannya adalah kebijakan-kebijakan yang diputuskan dewan dan yang tidak bertentangan dengan kebijakan dewan dan dewan ditingkat atasnya, jika ada kebijakan-kebijakan yang melampaui batasan-batasan kebijakan dewan sebelumnya haruslah diadakan persidangan dewan sesuai tingkatnya dan memberitahukan melalui perwakilannya dengan segera kedewan diatas tingkatnya.
3. Komite eksekutif ini dapat dibentuk departemen-departemen, jika dibutuhkan, yang disesuaikan dengan kelompok-kelompok aktivitas yang ada dibawahnya, namun ditingkat kota departemen-departemen yang ada haruslah menjamin berjalannya kerja-kerja aksi, pendidikan dan bacaan, serta sebuah koran organisasi ditingkat kota.***

10 Agustus 2007

Situasi Nasional

Kita Masih Terjajah, SBY-JK Masih Konsisten Sebagai Mandor.
Maret 2006-tidak sampai 24 jam sebelum Menlu AS, Condoleezza Rice, mendarat di Jakarta, ExxonMobil
[1]- diumumkan sebagai kepala operator eksplorasi Cepu. Korporasi yang dikabarkan ‘membantu’ pendanaan kampanye George W. Bush sebesar 2,8 juta dollar AS[2] untuk terpilih sebagai presiden pada tahun 2004, telah disahkan oleh rejim SBY-JK sebagai pemilik kekayaan minyak bumi Rakyat Indonesia sebesar 2,6 miliar barel (atau mendekati separuh cadangan minyak Indonesia seluruhnya)[3]. Bulan September 2006, giliran salah satu komprador terbesar bagi kaum imperialisme yang sekaligus menjabat sebagai RI 2, Jusuf Kalla, yang ‘melawat’ ke AS untuk menemui tuannya- Penguasa AS dan Vice President ExxonMobil. Agenda sejati mereka hanya satu: kelanjutan operasi ExxonMobil di ladang gas Natuna[4]- sumber gas terbesar bagi ExxonMobil dan juga Dunia. Setelah menimbulkan suara-suara sumbang menyangkut ketidak adilan kontrak bagi hasil Natuna selama puluhan tahun, Bush pun dirasa perlu berkunjung ke Indonesia[5] untuk memastikan agar ‘semuanya baik-baik saja’. Seorang mandor yang baik tentu akan patuh kepada tuannya, begitupun SBY-JK. Exxon hanya salah satu dari puluhan MNC pertambangan (migas dan mineral) yang bercokol di tanah air.
Seminggu setelah dikunjungi Bush, SBY disertai beberapa menteri berangkat ke Jepang untuk mengunjungi tuan mereka yang lainnya. Di negara yang 62 korporasinya menguasai 40,7% bisnis global dan 18,3% laba global ini
[6], mereka menemui tuan-tuannya dari tujuh perusahaan dan organisasi perdagangan di Jepang[7]. Agenda ‘penting’ mereka pun tak jauh beda dari sebelum-sebelumnya: kepatian ekspor gas dari Indonesia untuk korporasi-korporasi Jepang. Hasil pertemuan tersebut pun telah dapat diterka sebelumnya, RI menjamin pasokan gas untuk Jepang sampai tahun 2010 dan 2011[8]. Penanda tanganan kontrak ini dilakukan tanpa pernah menyesali kolapsnya beberapa industri pupuk[9] di tanah air akibat kekurangan pasokan gas, ataupun langkanya gas di tanah air untuk suplai sektor energi (listrik), manufaktur, dan rumah tangga. Saking ‘bernafsu’nya[10] untuk mengekspor gas, pemerintah akhirnya ‘terlanjur’ menandatangani beleid yang menyebutkan bahwa 75% hasil produksi gas kita haruslah diekspor- sisanya baru untuk konsumsi domestik. Akibatnya jelas, Pertamina lagi-lagi harus memenuhi kebutuhan gasnya dengan mengimpor dari Oman dan Qatar[11].
Pertamina, sebagai industri ekstraktif migas milik negara, sampai saat ini sangat lah lemah secara posisi penguasaan sumber daya alam.Tabel di bawah
[12] mungkin dapat merepresentasikan kenyataan tersebut.

Kemampuan Pertamina untuk memproduksi minyak bumi hanya sebesar 0,04% (43,6 ribu barel dibagi 1,146 juta barel) dari total keseluruhan produksi minyak bumi Indonesia. Alih-alih mendesak adanya alih teknologi dalam pengelolaan kekayaan migas di hulu (up stream), untuk memperkuat industri migas nasional, pemerintah malahan mensahkan UU Migas No. 22 tahun 2001 yang mengebiri wewenangnya
[13] dalam pengelolaan industri hilir (down stream). Janganlah heran jika harga BBM harus dinaikkan dua kali tahun 2005 kemarin (Maret dan Oktober). Bukanlah suatu kebetulan jika SPBU asing pertama milik SHELL[14] mulai dioperasikan sebulan setelah kenaikan harga BBM Oktober 2005[15]. Alasan lemahnya kemampuan (baca: teknologi) manusia Indonesia untuk mengelola ini lah yang sangat sering digunakan pemerintah untuk menghindar dari program sejati kita: nasionalisasi industri pertambangan. Argumen ini bersifat paradoksial mengingat minimnya perhatian pemerintah selama ini terhadap sektor peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia (baca: pendidikan dan kesehatan). Sikap pro imperialis secara gamblang diucapkan oleh SBY pidatonya di pembukaan Forum Investasi regional Indonesia 2006 di Jakarta tanggal 2 November 2006 kemarin yang mengungkapkan bahwa rejimnya tidak akan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing[16]. Hal ini membuktikan rejim SBY-JK dengan sangat ‘tulus’ menjalankan tugasnya sebagai mandor kaum imperialis (dalam mengeruk kekayaan alam Indonesia).
Dibayarnya sisa utang IMF oleh antek Berkeley sekaligus arsitek keuangan RI, Sri Mulyani, sebesar 6,95 miliar dolar AS (69,5 triliun rupiah) dalam dua tahap
[17] dilakukan untuk mengilusi massa Rakyat agar seakan-akan Indonesia telah berhasil lepas dari cengkeraman IMF. Penggembar-gemboran pelunasan utang IMF tersebut sangat sering dirias dengan sentimen kehormatan bangsa (yang semu) ataupun kelegaan berlebihan (yang salah kaprah, mengingat jumlah utang pada IMF hanya 5,2% dari total keseluruhan utang) [18] oleh propagandis-propagandis (baca: ekonom-ekonom) neoliberal di dalam negeri. Pernyataan Sri Mulyani, tentang kritikannya terhadap kebijakan-kebijakan titipan IMF dan Bank Dunia di banyak negara berkembang selama ini, di ‘drama’ yang mempertemukan Bank Dunia dan IMF 19 September 2006 di Singapura[19] pun perlu dipertanyakan lagi. Mantan petinggi IMF Asia ini seharusnya sadar bahwa esensi pengucuran utang luar negeri khas IMF adalah pemaksaan resep penyesuaian struktural ekonomi (Structural Adjustment Program/SAP)[20] model neoliberal di negara kreditur. Suatu resep (baca: program) yang memaksa negara kreditur menerapkan kebijakan-kebijakan neoliberal di negaranya masing-masing- yang konsekuensinya adalah peningkatan akumulasi kemiskinan di negara bersangkutan. Setidaknya, jika memang konsisten dengan kritikan pada resep IMF selama ini, langkah yang paling konkret paska pelunasan utang seharusnya adalah mencabut kembali seluruh kebijakan pemerintah yang senafas dengan SAP- tidak hanya sekedar meluncurkan kritik yang membangun terhadap IMF ataupun Bank Dunia.
Ilusi ini harus segera disingkap. Yang harus dilakukan sebenarnya bukanlah pelunasan utang ataupun penyicilan utang (beserta pembayaran bunganya), melainkan penghapusan utang najis (odious debt)
[21]. Sebagai gambaran betapa tersiksanya kita oleh kewajiban pelunasan utang[22], cicilan pokok dan bunga uutang luar negeri setara dengan 30-40% dari total pendapatan pajak (APBN 2005). Jika ditambahkan dengan beban bunga hutang obligasi rekapitalisasi perbankan, yang sekarang ini melalui program privatisasi/divestasi (ini juga kebijakan yang muncul sebagai syarat pencairan hutang) dimana 40% bank nasional sudah dikuasai asing, maka beban pembayaran utang setiap tahunnya menghabiskan anggaran setara lebih dari setengah pendapatan pajak nasional. Karena itu sangatlah tepat thesis yang mengatakan bahwa utang merupakan instrumen utama[23] yang digunakan imperialis untuk mempertahankan akses bahan baku murah di negara lain, terutama negara-negara berkembang. Untuk menutupi hutangnya kepada negara-negara maju, negara-negara berkembang tersebut saling berlomba memacu ekspornya ke negara- negara maju. Akibatnya terjadi kejenuhan pasar, sehingga harga komoditas tersebut semakin tertekan yang berdampak pada penurunan pendapatan produsen (misalnya, petani) di negara berkembang. Sementara negara-negara maju yang terletak di belahan utara menikmati surplus dan produk harga murah dari negara berkembang.
Sikap yang ditunjukkan rejim, terus membiarkan kaum imperialis/penjajah berkuasa atas kepentingan utama mereka di tanah kita: kekayaan energi (migas dan mineral) dengan alasan kita harus mentaati kontrak kerja sama yang telah dibuat (kepercayaan) ataupun belum saatnya manusia Indonesia mengelola kekayaan alamnya sendiri- karena belum mampu; terus menerapkan kebijakan-kebijakan neoliberalisme dengan argumen utama: krisis anggaran- yang tak lain disebabkan oleh besarnya pembayaran utang dan obligasi perbankan setiap tahunnya (tapi tidak pernah berniat untuk menolak membayarnya); dan kesemua itu tetap konsisten dilakukan di tengah kemiskinan dan penderitaan massa Rakyat; tidak lah lain dari pada suatu sikap sejati rejim SBY-JK di balik topeng pseudo-populis
[24] dan moralisnya: konsisten memposisikan diri mereka sebagai agen (baca: mandor) imperialisme yang hanya menjadikan (baca: mengorbankan) Rakyat sebagai kuli di negerinya sendiri.

Membaiknya Makro Ekonomi : Penghancuran dan Penggadaian Industri Nasional
Angka-angka indikator makro ekonomi negara ini mulai menunjukkan arah yang positif- itu komentar ekonom-ekonom borjuis di tanah air. Pernyataan barusan bukannya tanpa dasar, karena datanya bisa disaksikan sendiri pada tabel di bawah paragraf ini. Baru sampai bulan Agustus, kecenderungan positif indikator makro ekonomi sudah mulai bergejala: angka inflasi cenderung menurun
[25], nilai ekspor meningkat[26], suku bunga mulai diturunkan[27], rupiah cenderung menguat dan stabil, sampai cadangan devisa mencapai tingkat tertinggi[28]. Namun, di balik keindahan data-data makro ekonomi kita, nyatanya sektor riil masih berjalan tertatih-tatih dan kemiskinan maupun pengangguran malah semakin merajarela. Beberapa ekonom borjuis yang lebih kritis bahkan memberikan penilaian bahwa kondisi sektor riil yang terutama diwakili oleh industri manufaktur kini sudah dalam menuju deindustrialisasi. Penurunan kinerja industri manufaktur di BEJ pada semester I 2006 menjadi bukti nyata bahwa terpuruknya sektor riil nasional bukan lagi sekedar wacana belaka[29].
Ironisnya, di saat sektor riil tertimpa beban luar biasa berat, sektor moneter ternyata tidak merasakan hal yang sama. Industri perbankan secara konsisten terus meningkat labanya dari Rp 1,5 triliun pada Januari 2006 menjadi Rp 15,8 triliun pada Mei 2006. Kontradiksi sektor riil-moneter tersebut bersumber dari kebijakan suku bunga tinggi dari Bank Indonesia (BI). Kebijakan suku bunga tinggi diyakini penentu kebijakan akan membuat tekanan inflasi mereda. Namun, tingginya BI rate, yang sejak diperkenalkan pertama kali pada 5 Juli 2005 telah mengalami lima kali kenaikan, membuat sektor riil lesu, perusahaan mengalami kebangkrutan, produksi terhenti, dan pengangguran meledak. Tingginya BI rate justru membuat sektor finansial terus menikmati keuntungan berlimpah tanpa kerja. Per Mei 2006, dana perbankan yang 'menganggur' tidak disalurkan ke sektor riil mencapai Rp 393 triliun, yang kemudian ditanam kembali di sektor finansial yaitu di SBI, SUN, dan instrumen lain
[30]. Keuntungan besar-besaran di sektor perbankan merupakan suatu kenyataan yang sangat pahit mengingat sebagian besar saham perbankan nasional dikuasai Temasek dan Farallon. Terdapat kesalah kaprahan yang disengaja oleh pemerintah dalam memanajemen perekonomian nasional- sektor keuangan yang dalam aktivitasnya seharusnya digunakan sebagai pendukung sektor riil malah diputar balikkan: sektor riil-lah yang menentukan imbal hasil di pasar keuangan.
Ciri utama deindustrialisasi (hancurnya sektor riil) adalah ditutupnya industri-industri yang mengakibatkan PHK massal. Data PDB yang dipublikasikan BPS menunjukkan pertumbuhan industri manufaktur non-migas, yang sampai saat ini menyerap sekitar 11 juta angkatan kerja, cenderung menurun hingga 3,36 persen pada triwulan II 2006
[31]. Angka ini paling rendah dibandingkan sektor-sektor lainnya. Bahkan, jika dirinci terdapat industri yang tumbuh negatif seperti industri perkayuan, kertas dan barang cetakan, semen serta industri logam dasar. Akibatnya jumlah perusahaan, khususnya industri padat karya, makin berkurang. Beberapa faktor utama penyebab terjadinya deindustrialisasi adalah dinaikkannya harga BBM[32], menurunnya pasokan energi[33], dibuka lebar-lebarnya keran impor barang konsumsi[34], dan diberlakukannya kebijakan suku bunga tinggi oleh BI[35]. Sedangkan hal klasik yang semakin memperburuk kondisi ini adalah soal maraknya pungutan liar, upeti, dan biaya ekstra dalam pengurusan investasi dan perdagangan dalam industri. Dari hasil survei yang dilakukan Mudrajad Kuncoro[36], alasan membayar pungli 55 persen dinyatakan untuk mempermudah jalan, 18 persen upeti kepada pejabat pemerintah daerah, dan 13 persen alasan keamanan. Dari hasil penelitian juga ditemukan, 24 persen penerima biaya ekstra semacam itu adalah polisi, 21 persen bea cukai, tiga persen departemen perhubungan, dan tiga persen pemda.
Dapat disimpulkan bahwa seluruh penyebab terjadinya deindustrialisasi di Indonesia adalah disengaja. Rejim SBY-JK sengaja menghancurkan industri nasional untuk semakin memudahkan penerapan kebijakan neoliberal. Dengan ditutupnya banyak industri, pemerintah akan bisa beralasan untuk memelas kepada pemodal asing untuk mau berinvestasi di Negara kita. Dengan banyaknya PHK akibat deindustrialisasi, pemerintah juga dapat membenarkan terjadinya praktek outsourcing dan buruh kontrak- yang disisi lain buruh pun telah kehilangan daya tawarnya akibat banyaknya pesaing (sesama pengangguran).


Salah satu contoh deindustrialisasi yang ‘disengaja secara blak-blakan’ oleh pemerintah adalah industri kerajinan rotan
[37] di awal tahun 2006 yang selama ini menjadi market-leader di pasaran internasional. Sekitar 70 sampai 80 persen pangsa pasar kerajinan rotan dunia didominasi rotan hasil olahan dari Indonesia. Mirip dengan gas, kayu rotan[38] yang merupakan bahan baku utama industri ini malah diprioritaskan pemerintah untuk diekspor ke Vietnam dan Cina[39]. Sebagai gambaran nyata terjadinya deindustrialisasi adalah beberapa penutupan perusahaan yang berhasil dihimpun periode Agustus-Noovember 2006: Sebanyak 1.123 karyawan pabrik ban PT Mega Safe Tyre Industri di Semarang, Jawa Tengah, terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK. “(Kompas, 2 Agustus 2006). PT Ishizuka Maspion Indonesia terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 380 karyawannya. Sekitar 50an perusahaan Maspion lainnya kini pun terancam (Kompas, 21 September 2006). Ditutupnya dua pabrik sepatu PMA Korea yakni PT Dong Joe Indonesia dan PT Spotec yang berdampak 10 ribu karyawan kehilangan pekerjaan (REPUBLIKA Senin, 27 Nopember 2006), dan lain-lain.
Rejim SBY-JK pun tidak jauh berbeda dari rejim Mega-Hamzah dalam penampakan watak neoliberalnya. Di tengah kekeruhan suasana (pengangguran, kemiskinan, kriminalitas) akibat berjalannya proses deindustrialisasi, rejim malahan ‘enak-enakan’ berencana menerapkan salah satu resep neoliberal: menggadaikan (baca: privatisasi) industri-industri nasional kita ke kaum imperialis. Tahun 2007 boleh dibilang, akan menjadi tahun privatisasi beberapa (sisa) industri perbankan nasional dan minimal 14 BUMN. Di saat itulah pemerintah akan melepaskan tanggung jawabnya dan merelakan terbangnya kapital (capital flight) dari Bank Negara Indonesia, Bank Mandiri, dan Bank Tabungan Negara. Sedangkan beberapa nama BUMN yang sudah pasti akan dijual adalah PT Jasa Marga, PT Adhi Karya, PT Wijaya Karya, PT Krakatau Steel, PT INTI, PT Cambrics Primissima, PT Askrindo, PT Rekayasa Industri, PT Industri Telekomunikasi Indonesia, 3 industri kertas nasional
[40] dan PT Indonesia Power[41].
Menteri Negara BUMN, yang juga mantan Direktur Keuangan Medco, mengungkapkan alasan privatisasi BUMN hanyalah untuk mencapai target bantuan dana ke APBN sebesar 3,3 triliun rupiah. Semua Industri Perbankan dan BUMN tersebut, katanya, akan semakin mudah dijual mengingat, argumentasinya pula, semakin menguatnya makro ekonomi Indonesia. Alasan yang sungguh tak dapat diterima akal sehat. Jika hanya persoalan membantu pendanaan APBN, PT Jasa Marga sendiri saja, sampai akhir tahun ini telah membukukan pendapatan 2,3 triliun rupiah
[42]. Pemerintah kita (yang mandor) sungguh-sungguh bermental budak. Bukannya membangun industri nasional yang masif dan massal (menyerap banyak tenaga kerja) untuk mengatasi krisis deindustrialisasi, rejim SBY-JK malah menjuali industri nasional yang sudah ada[43]. Padahal mayoritas BUMN yang akan diprivatisasi adalah industri vital yang kedepannya dapat menjadi fondasi industrialisasi nasional.
Semakin yakinlah di benak kita bahwa angka-angka indah ekonomi makro hanyalah ilusi sama sekali tidak berkaitan dengan tingkat kesejahteraan rakyat banyak. Demi sederet angka-angka indah, kesejahteraan rakyat dikorbankan (deindustrialisasi). Angka-angka itu pun malahan dijadikan legitimasi bagi rejim untuk melelang industri-industri vital milik negara (industri nasional) kepada kaum imperialis. Lengkap sudah-Rejim SBY-JK benar-benar pantas dinobatkan sebagai agen neoliberal no.1 di Indonesia.



Situasi Perlawanan Rakyat
Secara prinsipil, tidak ada perubahan dari analisa kita sebelumnya, tetapi ada perkembangan-perkembangan ekonomi politik yang dapat membuka jalan bagi rakyat untuk menemukan takdir sejarahnya. Popularitas rejim SBY-JK semakin menurun dihadapan rakyat. Kebijakan-kebijakan karitatif, seperti BLT, Gakin dll pada kenyataannya tak mampu meredam perlawanan rakyat. Begitu juga kebijakan-kebijakan lainnya, seperti revisi UUK 13, beras impor dll, mendapatkan perlawanan dari kaum buruh dan tani serta borjuis kecil progresif. Struktur birokrasi rejim SBY-JK yang tidak solid dan korup semakin membuka bobrok rejim ini. Ketidakpercayaan rakyat terhadap rejim SBY-Jk dan struktur birokrasinya ini sudah termanifestasi dalam bentuk-bentuk perlawanan yang radikal dan sporadis. Ditambah banyaknya bencana alam yang terjadi dua tahun belakangan ini yang tidak dapat ditangani oleh rejim SBY-JK dan jajaran birokrasinya semakin memperburuk popularitas SBY-JK. Walaupun demikian (banyak dan luasnya perlawanan rakyat), tak mampu menahan laju serangan imperialisme; penjualan blok-blok tambang, privatisasi perusahan-perusahan negara, sistem out-shoursing, penguasaan pasar dll terus berjalan, tak terusik. Begitu juga dengan jeratan hutang luar negeri yang terus menggrogoti keuangan negara lancar keluar dari APBN. Imperialisme betul-betul mendapatkan kebutuhan-kebutuhan pokoknya di negeri ini.
Disisi lain, perkembangan konstelasi politik borjuasi nasional dalam menyikapi penetrasi imperialisme terus terpolarisasi. Polarisasi sikap dan posisi politik borjuasi nasional akan terus mengkerucut sesuai dengan kadar politiknya masing-masing. Dan secara umum sampai sekarang terdapat beberapa posisi dan sikap;
· Partai-partai borjuis di parlemen: secara umum dapat disimpulkan, bahwa semua partai di parlemen adalah pendukung imperialisme. Secara politik PDI-P saat ini menempatkan dirinya sebagai partai oposisi terhadap rejim SBY-JK. Dan dalam sikap-sikap politik tertentu, sepertinya PDI-P menunjukan sikap anti imperialis; menolak impor beras dll. Real politiknya, bentuk-bentuk penolakan mereka hanya mencari panggung untuk menaikkan popularitas yang semakin menurun. Sebab pada saat mereka berkuasa, kebijakan sama juga diberlakukan. Begitu juga dengan PKS, yang kencang menyerang Amerika, bahkan melakukan mobilisasi ribuan massanya untuk melakukan solidaritas atas Palestina. Tapi, di parlemen, PKS selalu mengamini kebijakan-kebijakan ekonomi SBY-JK yang merupakan perpanjangan tangan dari imperialisme Amerika. Sudah dapat dipastikan, segala bentuk manuver politik yang dilakukan partai-partai tersebut, dimuarakan dalam kepentingan pemilu 2009. Dalam kepentingan itu juga, beberapa partai di parlemen (PDI-P, Golkar dan PKS) mencoba menjegal partai-partai baru untuk tidak terlibat dalam pemilu 2009, yaitu dengan berupaya menaikkan syarat-syarat formal peserta pemilu 2009. Secara tak langsung, ini adalah sikap anti demokrasi yang mereka ditunjukkan. Upaya untuk menaikkan syarat formal peserta pemilu 2009 terutama ditunjukkan PDI-P, yang sudah pasti akan menurun jumlah suaranya di pemilu 2009 karena perpecahan-perpecahan di internalnya. Begitu juga dengan PKS, yang sangat berkepentingan partai-partai islam lainnya bersatu dibawah benderanya.
· Borjuis Konservatif dan Moderat; sikap anti imperialisme justru ditunjukan oleh para pensiunan tentara (Wiranto, Tri Sutrisno dll). Sentimen nasionalisme mereka jadikan sebagai barang dagangan untuk menaikkan pamor dan investasi politik mereka, sekaligus sebagai upaya mengkubur dosa-dosa lamanya. Posisi mereka yang masih diterima luas (berpengaruh) dikalangan tentara aktif, menjadikan mereka memiliki bargain (posisi politik) yang kuat di mata borjuasi lainnya, maka tak heran bila banyak borjuis nasional lainnya memberikan dukungan politik. Sikap politik dari para pensiunan tentara yang telah muncul dan mendapat dukungan luas dari borjuis nasional lainnya adalah kembali ke UUD 45 dan Pancasila. Walau demikian, sejauh ini belum ada tindakan konfrontatif yang mereka lakukan. Berbeda dengan Amin Rais, yang cenderung memiliki keberanian dengan menunjukan sikap konfrotatif (karena sudah tidak memiliki lagi kaki di PAN) dengan rejim SBY-JK, terutama dalam kasus-kasus pertambangan. Tentu saja, baik para pensiunan tentara dan Amin Rais dapat dipastikan akan maju kembali dalam pemilu 2009 baik dengan alat-alat politik lama ataupun baru.
· Kaum Reaksioner: Kebrobokan struktur birokrasi SBY-JK mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh kaum reaksioner. Milisi-milisi sipil berkembang biak dengan cepat, juga aturan-aturan yang anti demokrasi (syariat islam) yang dijadikan peraturan resmi dalam bentuk perda sudah diterapkan dan dijalankan dibeberapa daerah, inilah kemenangan kaum reaksioner. PKS, sebagai salah satu unsur kaum reaksioner yang tampil legal, betul-betul mampu membuka ruang bagi kaum reaksioner lainnya untuk terus melakukan tindakan-tindakan refresif, seperti penyerangan Ahmadiyah, Lia Awiludin dan beberapa tempat ibadah telah menjadi korbannya, sebuah ancaman serius bagi demokrasi. Sentimen anti imperialisme (terutama Amerika) di kalangan kaum reaksionerpun cukup kuat, terutama Hizbutaher dan beberapa ormas lainnya. Tentu saja kadar anti imperialisme dan solusi yang mereka berikan bukan berdasarkan kesadaran programatik, tetapi sentimen keagamaan, hal ini bisa dilihat dari mobilisasi-mobilisasi yang mereka lakukan. Dari pengalaman pemilu 2004 tidak semua kaum reaksioner dapat bersatu dalam sebuah partai pemilu, begitu juga di pemilu 2009 nanti, kaum reaksioner tetap akan terpecah-pecah dalam beberapa partai islam, kecuali Hizbutaher yang memiliki garis politik anti parlemen dalam perjuangannya
· Kelompok/golongan Minoritas: Kebangkitan kaum reaksioner menimbulkan persoalan tersendiri bagi kelompok/golongan minoritas ini. Beberapa konsolidasi politik telah mereka lakukan sebagai upaya untuk mencegah meluasnya kekuatan kaum reaksioner, termasuk memaksimalkan Forum Lintas Agama. Isu utama yang mereka usung; demokrasi (Prularisme), isu ini mampu menyatukan beberapa unsur kaum minoritas. Secara politik, belum ada sikap tegas mereka terhadap penetrasi imperialisme di Indonesia, tetapi sebagian dari kelompok ini tak ada penolakkan terhadap program Tri Panji Persatuan Nasional. Dalam menyikapi pemilu 2009, beberapa tokohnya telah membuat alat politiknya sendiri; PKR, yang memiliki basis di jaringan Gereja Rakyat dan sebagian basis PDS. Akan tetapi belum dapat dikatakan bahwa PKR ini adalah refresentatif dari kaum minoritas, karena secara mayoritas kekuatan mereka masih tersebar dalam partai-partai sekuler, seperti PAN, PKB, PDI-P dan Golkar serta beberapa partai kecil
· Borjuis kecil: Yang banyak tergabung dalam LSM ini semakin menunjukan watak sejatinya; Oportunis. Perkembangan LSM saat ini sangat pesat, hampir disetiap kota/kabupaten dapat dipastikan berdiri sebuah LSM. Baik yang memiliki jaringan dengan nasional, internasional ataupun hanya LSM Lokal. Secara umum, banyak LSM yang menyatakan anti imperialisme. Akan tetapi, dalam real politiknya, posisi-posisi politik yang muncul justru berbasiskan pada kepentingan LSM tersebut, sesuai dengan kucuran dana yang mereka peroleh dari fundingnya masing-masing. Beberapa tokoh LSM yang memiliki kesadaran politik yang lebih maju, membangun sebuah partai politik (PPR). Akan tetapi, dukungan dari LSM-LSM lainnya sangatlah minim. Mereka memilih tetap bermain dengan alatnya masing-masing karena jauh lebih menguntungkan. Dalam pengalaman pemilu 2004 lalu, banyak tokoh-tokoh LSM ini melakukan bloking dengan partai-partai besar untuk semakin menguatkan posisi politik mereka.

Kaum gerakan sendiri masih terfragmentasi dan disibukkan dengan kemunduran-kemunduran organisasinya akibat penetrasi imperalisme, terutama di sektor buruh dan tani. Perlawanan rakyat yang terus meluas ini tak di iringi dengan kesadaran pembangunan front di kaum gerakan. Sehingga perlawanan-perlawanan tersebut tidak dapat menjadi panggung (mimbar/ajang) untuk memperluas kesadaran maju massa maupun memunculkan tokoh-tokoh dari kaum gerakan sendiri. Penerimaan kaum gerakan terhadap program Tripanji sendiri masih sangat lemah. Secara programatik memang tidak ada penolakkan, akan tetapi dalam tindakan-tindakan politiknya (baik aksi ataupun bentuk-bentuk propaganda lainnya) masih berdasarkan kasus-kasus sektoral atau teritorial, dan tidak ada arah politik terhadap program Tripanji. Begitu juga penerimaan di media-media borjuis, media massa borjuis masih belum dapat menilai keuntungan bagi kepentingan (modal dan politik) mereka, sehingga pemberitaan terhadap program Tripanji masih sangat minim. Bahkan beberapa media, seringkali memberitakan aksi-aksi radikal sebagai black propaganda untuk menyudutkan gerakan rakyat sendiri. Berikut perkembangan gerakan rakyat saat ini:
Hancurnya industri nasional dan diberlakukannya sistem buruh kontrak menjadikan serikat-serikat buruh kehilangan massanya. Serikat-serikat buruh di sibukkan dengan kerja-kerja advokasi anggotanya yang terus menerus di ancam PHK dan kemerosotan tarap hidupnya. Hanya pada momentum-momentum politik tertentu saja (terutama dalam merespon kasusnya), kaum buruh dapat termobilisasi. Walaupun demikian, ada kemajuan yang cukup signifikan dalam aspek persatuan kaum buruh dan penerimaan terhadap program Tri Panji Persatuan Nasional dalam sebuah wadah front (ABM).
Lain halnya dengan kaum tani, kemunduran serikat-serikat tani saat ini tak lepas dari belum adanya kesatuan pandangan dikalangan para aktifis serikat tani dan adanya intervensi dari LSM-LSM yang berkepentingan menjadikan kaum tani sebagai “massa dagangannya” serta kekalahan-kekalahan aksi perebutan tanah yang dengan sendirinya menghancurkan serikat-serikat tani tersebut. Posisi kaum tani yang dihancurkan oleh penetrasi imperialisme ini (karena kekalahan modal, tekhnologi dan sistem pertanian), menempatkan kaum tani sebagai kaum urban di perkotaan yang bekerja secara musiman, hal ini pula yang menyulitkan pengorganisasian kaum tani.
Gerakan mahasiswa sendiri yang selama ini menjadi sektor termaju dalam penerimaan kesadaran politik, terpukul mundur jauh kebelakang. Gerakan mahasiswa terjebak dengan kepentingan-kepentingan, dan belum mampu keluar dari politik para seniornya (politik ke’i), ditambah dengan adanya perubahan sistem pendidikan yang meminimalisir mahasiswa bergabung dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan (ekstra maupun intra), sehingga menyulitkan organ-organ mahasiswa melakukan pembasisan. Kemunduran gerakan mahasiswa ini dapat dilihat dari keberadaan organisasi-organisasi mahasiswa 98 yang hanya tinggal papan nama, tak ada lagi kemampuan mobilisasi.
Berbeda dengan kaum miskin kota, yang terus terorganisasikan kedalam serikat-serikat ataupun paguyuban-paguyuban berdasarkan sektor (pekerjaan) ataupun teritori. Setelah UPC kehilangan kepercayaan dari massanya, banyak serikat/paguyuban kaum miskin kota yang berdiri sendiri dan berjuang dengan berbasiskan pada kasusnya saja. Dan banyak dari serikat/paguyuban tersebut mensubordinasikan dirinya kedalam partai-partai besar atau kelompok-kelompok tertentu sebagai taktik untuk melindungi dirinya. Selain SRMK, dapat dikatakan saat ini tak ada lagi serikat/paguyuban yang berjuang diluar kasusnya, kecuali serikat-serikat pengamen yang (biasanya) intergal pengorganisirannya dengan organisasi-organisasi mahasiswa ekstra kampus.
Sedangkan gerakan kebudayaan masih berkutat dalam persoalannya sendiri (berkarya baik dalam bentuk individual ataupun komunitas) yang memiliki kecenderungan ekslusif, walaupun begitu, banyak karya-karyanya yang memiliki keberpihakan terhadap rakyat.
Begitu juga dengan gerakan perempuan yang masih berkutat dengan persoalan-persoalan gender dan KDRT. Para aktifis perempuan masih belum mau melepaskan dirinya dari baju ke-LSM-annya dalam membangun gerakan perempuan, hal ini mengakibatkan sangat minim terbangunnya organisasi-organisasi perempuan. Dari pengalaman pemilu 2004, di keseluruhan sektor, sikap dan posisi terhadap pemilu justru menguat di sektor perempuan (walau tidak berbentuk dalam sebuah gerakan) terutama dengan isu kuota 30%.




[1] sebuah perusahaan multi nasional (MNC) yang bergerak dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi migas yang keuntungan per 2005 nya sebesar 36,2 miliar dolar AS (362 triliun rupiah).
[2] Republika, 15 Maret 2006
[3] Cadangan minyak kita sampai saat ini (yang terlacak) adalah sebesar 4,6 miliar barel. Produksi ExxonMobil diperkirakan mencapai 170 ribu barel per hari- bandingkan dengan konsumsi minyak bumi Indonesia yang berjumlah 1,089 juta barel per hari. Bagi hasil Ladang Cepu adalah 85 persen untuk negara, 15 persen untuk ExxonMobil (tampak ideal bukan?). Tapi sayang sekali pembagian tersebut dilakukan setelah dikurangi biaya eksplorasi dan eksploitasi (recovery cost) yang dibebankan kepada negara. Sebagai informasi, Exxon mematok biaya 360 juta dolar AS per tahun untuk pengelolaan Cepu.
[4] Dalam amandemen kontrak kerja sama (PSC) tahun 1995, Exxon memperoleh hak bagi hasil 100%. Pihak Indonesia 0%. Negara hanya mendapat pemasukan dari pajak. Pola bagi hasil semacam ini tak pernah terjadi di blok migas lain. Sebelum amandemen itu (sejak tahun 1973), bagi hasilnya 76% untuk Exxon, 24% untuk Indonesia.
[5] Kunjungan Bush ke Bogor tanggal 20 November 2006 kemarin ‘disambut’ meriah oleh kaum gerakan dengan satu nafas: anti-imperialisme AS.
[6] Jepang merupakan peringkat tertinggi dalam hal jumlah bisnis, korporasi AS tertinggi dalam hal laba nya- mencapai 39,2% laba global (.Frederick F. Clairmont)
[7] Yaitu, Motoyuki Oka (president/CEO Sumitomo), Osamu Watanabe (chairman/CEO Jetro), Kyaosuke Sinozawa (gubernur Japan Bank International Corporation/JBIC), Eizo Kobayasi (president/CEO Itochu), Kunihiko Matsuo (chairman Inpex), Kenichi Yonezawa (president/CEO LNG Jepang), dan Gempachiro Aihara (executive vice president Mitsui).
[8] Kompas, 29 November 2006
[9] Pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM) dan Aceh ASEAN Fertilizer (AAF) adalah contoh nyata.
[10] Nafsu ini seakan mendapat alasan logis dengan kenyataan tingginya harga gas internasional. Sekitar 7 dollar AS per MMBTU (juta meter British thermal unit) sedangkan harga gas di dalam negeri berkisar antara 3-5 dollar AS per MMBTU.
[11] Tentu saja dengan harga internasional (Majalah Trust No.3 Tahun V, 6-12 November 2006)
[12] Diambil dari website kedutaan AS (http://www.usembassyjakarta.org/petro2003/ch1-Crude%20Oil.pdf)
[13] Atau dengan kata lain: meliberalkan
[14] Petronas pun mengikuti di tahun 2006- yang tentu saja akan disusul MNC-MNC migas lainnya.
[15] Tempo Interaktif, 12 Oktober 2006
[16] Bisnis Indonesia, 3 November 2006
[17] Suara Pembaruan, 9 Oktober 2006
[18] hanya 6,95 miliar dolar dari total keseluruhan 131,8 miliar dolar AS (1.318 triliun rupiah) Utang Luar Negeri
[19] Kompas, 20 September 2006
[20] Program tersebut terdiri dari kebijakan "kencangkan ikat pinggang" dan pangkas defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kemudian menghilangkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan pemangkasan subsidi pada sektor sosial yang tidak ‘produktif’. Program lain yang harus dijalankan pemerintah adalah menurunkan inflasi dengan mengontrol pertumbuhan peredaran uang dengan menaikkan suku bunga yang memukul dunia usaha dan melakukan privatisasi aset negara untuk membiayai defisit APBN. Sikap donor internasional di bawah payung CGI terutama Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) juga menuntut pemerintah untuk mempercepat agenda SAP yang tidak lain adalah agenda IMF.
[21] Dalam kasus Indonesia, Oudious Debt yang dimaksud disini adalah seluruh pinjaman luar negeri yang dikorupsi selama masa pemerintahan Soeharto. Seorang Profesor Ekonomi dan Politik di Northwestern University, Jeffrey Winters, menyebutkan bahwa hingga krisis ekonomi 1997, utang Indonesia yang layak disebut odious debt sedikitnya US$30 miliar, dimana US$10 miliar dari Bank Dunia, sisanya dari ADB, serta lembaga multilateral dan bilateral lainnya. Oudious debt, Iligitimate debt, Criminal debt sesungguhnya sudah diyakini oleh seluruh negara-negara bahkan oleh lembaga-lembaga keuangan Internasional. World Bank dalam article on agreement juga sudah menyebutkan hal itu. Sehingga Hair cut atas Oudious debt, Iligitimate debt, Criminal debt sesungguhnya memiliki nilai kebenaran umum, atau kelegalan umum.
[22] Rasionalitas tuntutan untuk penghapusan hutang pada dasarnya terletak pada semakin besarnya angsuran pokok dan bunga hutang yang harus dibayar oleh Indonesia. Sementara kemampuan mereka untuk membayarnya, dari sisi anggaran atau cadangan devisa, cenderung semakin terbatas. Akibatnya, di tengah-tengah kesenjangan ekonomi yang semakin menganga secara internasional, negara-negara dunia ketiga cenderung semakin terjepit antara melayani kepentingan modal internasional atau memenuhi kewajiban mereka kepada rakyatnya masing-masing. Kenyataan tersebut diperparah oleh sejumlah fakta lain seperti: (a) keterlibatan negara-negara kreditor dalam memompa pemberian utang, termasuk dengan cara-cara manipulatif; (b) pembuatan utang oleh sebuah rejim diktator dan korup, yaitu yang bermuara pada lahirnya konsep hutang najis (odious debt); dan (c) dialaminya krisis ekonomi oleh negara-negara kapitalis pinggiran tersebut.
[23] Bisa pula disimbolkan sebagai alat pemaksa ataupun senjata
[24] Populis setengah-setengah
[25] Akibat pemberlakukan sistem mata uang ketat; menaikkan suku bunga setinggi-tingginya.
[26] Ekspor CPO, mineral, kayu, migas, dan rotan. Semuanya bahan mentah industri! Sangat disayangkan data tentang menurunnya impor bahan baku dan bahan penolong 8,75 persen pada Januari-Maret 2006 (Bali Post, 5 Mei 2006), padahal data tersebut merupakan salah satu indikator deindustrialisasi Indonesia.
[27] Dengan pertimbangan perekonomian (angka inflasi) sudah mulai stabil
[28] Kado dari pahlawan devisa (TKI).
[29] Fakta-fakta lapangan tentang kehancuran sektor riil akan lebih disoroti setelah paragraf ini.
[30] Republika, 10 Agustus 2006
[31] Republika, Senin, 27 Nopember 2006
[32] Sejak 2003. Memukul hampir seluruh sektor industri, terutama yang menggunakan diesel (solar) sebagai sumber energi.
[33] Memukul sektor industri yang menggunakan listrik ataupun gas sebagai sumber energi.
[34] Terutama dari Cina dan India
[35] Dipaparkan di paragraf sebelumnya
[36] Seorang ekonom dari UGM (Kompas, 28 November 2006)
[37] sampai akhir bln Juli 2005, sudah ada sekira 60.000 buruh rotan yang kehilangan pekerjaanya.
[38] Indonesia merupakan penghasil rotan terbesar di dunia
[39] Melalui penerbitan Permenperdag No 12/2005
[40] PT Pabrik Kertas Padalarang, PT Pabrik Kertas Blabak dan Pabrik Kertas Basuki Rahmat
[41] www.indonesia.go.id
[42] Majalah Trust No.3 Tahun V, 6-12 November 2006
[43] Setidaknya melakukan reformasi di dalamnya: birokrasi dan korupsi.