10 Agustus 2007

Masyarakat Indonesia Revolusi Indonesia (MIRI)


Bab. I. Rakyat Indonesia Bisa Merubah Nasibnya

I. 1. Sejarah Gerakan Rakyat yang Dikhianati Elit Politik

Emas dan rempah-rempah; barang dagangan yang diburu Eropa (ke mana pun) dan di jual di Eropa. Itu lah impian ekspedisi Vasco da Gama (dari negeri Portugis) tahun 1469; itu lah hasrat di balik penaklukan Malaka tahun 1511; itu lah daya dorong penjelajah Spanyol masuk ke Nusantara di tahun 1512; Itu lah nafsu Belanda masuk lebih jauh lagi: mendaratkan Cornelis de Houtman di Banten, 1596; mendirikan kongsi dagang VOC (Verenidge Oost Indische Compagnie), tahun 1602; dalam waktu singkat kapital dagang Belanda menguasai Nusantara Banten dikuasai, mengontrol pintu barat Nusantara; Makasar dikuasai, mengontrol wilayah timurnya; kekuasaan raja‑raja feodal Jawa diruntuhkan, dipaksa membayar contingent (pajak natura). Dan, akhirnya, memang, merkantilisme harus ditinggalkannya, diubah menjadi kolonialisme (Tahun1800) dan, raja-raja Jawa: sekadar begundal, antek, birokrat dan legitimator kolonial. Interupsi Inggris (Rafffles) dan Belanda-kaki tangan-Prancis (Daendles) hanya lah rebutan di antara pelahap Nusantara. Nusantara, SELATAN, tak menang berlawan, digulung berbagai kekuatan pelahap, UTARA.


Modal dan kolonialisme. Adalah modal bertangan negara penjajah, apalagi compagnie (VOC) bangkrut. Wajah modal dan kolonialisme adalah: penindasan Diponegoro; landrente (pajak tanah)—yang menyuburkan renten, ijon; poenale sanctie (dan hukum perburuhan primitif lainnya) culturstelsel (tanam paksa)—mobilisasi paksa tenaga-tenga produktif (manusia, tanah, sapi, kerbau, kuda, gerobak, kapal, pelabuhan, pabrik, rodi, corvee labour). Ternyata, kolonialisme (tangan besi) tanam paksa merupakan jalan keluar bagi kebangkrutan Belanda—akibat korupsi compagnie; akibat perang Dipinegoro; akibat perang pemisahan (Belgia) dari Belanda; dengan modal minim menghasilkan kemakmuran rakyat Belanda, sampai-sampai kaum pengusahanya (terutama pedagangnya) dalam sekejap makmur dan bertumbuhan bagai jamur di musim hujan, pesta pora kemakmuran tanam paksa; dan bayaran kaum terjajah atas kemakmuran penjajah: tanah hilang, padi/palawija hilang, kelaparan, nyawa hilang, tanam mayat. Bahkan, sampai-sampai, pengusaha-pengusaha negeri penjajah mendapat tambahan kemenangan monarki konstitusional/parlementer; itu artinya, dalam parlemen: mereka lebih gampang menuntut/memenangkan hak peng-“usaha”-an tanah jajahan, berbagi untung dengan monopoli negara Belanda, dalam perkebunan, perdagangan hasil-hasil perkebunan, kemudian meningkat ke minyak, jasa angkutan, perbankan, dan sebagainya. Tapi tak mungkin percepatan/peningkatan/perluasan kekuasan modal berpijak di tengah penduduk jajahan yang kurus kering, bodoh dan bergelimpangan mati karena tanam paksa; modal ini masih membutuhkan (lebih banyak) buruh, yang bisa baca-tulis/terampil, yang harus disebar (terutama) ke seluruh pelosok tanah perkebunan Nusantara, dan yang beririgasi baik. Dengan topeng kemanusiaan (beserta puji-pujiannya) Politik “Etika”, dihaturkan lah persembahan “balas budi” kaum penjajah berupa program Transmigrasi, Pendidikan, dan Irigasi. Jadi, jadi lah barang-barang dagangan (terutama dari perkebunan) milik penjajah; beserta buruh-buruhnya, beserta tani-taninya, beserta kaum terdidiknya, beserta modernisasinya, dan (tak bisa tidak) beserta pencerahan kesadaran dan tindakan politik kaum terjajah—kesadaran membaca, berorganisasi, kursus, rapat, demonstrasi, mogok, pertemuan umum, persatuan, forum, debat, polemik, Mahardika/mardika, perpecahan, persekongkolan, kerahasiaan dan, akhirnya, pemberontakan, revolusi, di hamparan kepercayaan pan-Islamisme, Sosial-Demokrasi, Sosialisme, Komunisme, nasionalisme, dan Islam-Komunis. Terlebih-lebih revolusi di Cina (di bawah Sun Yat Sen), kebangkitan kaum terpelajar Turki, dan Revolusi Rusia (Oktober, 1917) memberi pengaruh pada kesadaran kaum terdidik negeri jajahan. Namun, untuk sementara, GAGAL mengusir penjajah; hasilnya 3B (Buang/Digul, Bui, Bunuh), larangan pertemuan, pemecatan (dari sekolah; sebagai pegawai).

I. 1. A. Bergerak lah Hasrat Merdeka

Pergerakan nasional modern Indonesia diawali dengan kemunculan serikat buruh¾awalnya SS Bond tahun 1905; kemudian Boedi Oetomo (1905) dan Syarikat Dagang Islam/Syarikat Islam (SDI/SI) (1911/1912)—yang tak belum sanggup mengemban hasrat merdeka dalam programnya; kemudian ISDV (1914) dan Perserikatan Komunist Hindia (PKI)—yang secara signifikan sudah sanggup mengemban hasrat merdeka dalam programnya dan mencoba mewujudkannya bersama rakyat.


Perjuangan pembebasan dalam menentang penjajahan mencapai puncaknya pada pemberontakan nasional 1926/1927, yang berakhir dengan kegagalan. Sekitar 13.000 pejuang dipenjara, dibuang ke Boven Digul, dan dibunuh oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu sebab utama kegagalan tersebut adalah ketidakmampuan kaum demokrat-radikal dalam mengkonsolidasikan kekuatan‑kekuatan potensial rakyat, sehingga kaum demokrat-radikal tak memiliki kekuatan dalam menghadapi aparat militer Pemerintah Kolonial.
Kegagalan perlawanan 1926/1927 tak menyurutkan hasrat untuk merdeka, perjuangan ternyata bergerak maju. Pada tahun 1927/1929 berdiri Partai Nasional Indonesia (PNI) di bawah pimpinan Ir. Sukarno. PNI berwatak kerakyatan dan garis massa. Sisa‑sisa kaum progresif yang masih hidup lalu bergabung dengan PNI, yang dianggap sebagai alat untuk melawan penjajahan. Dukungan yang luas atas PNI membuat penguasa harus mengirim para aktivis PNI ke penjara, termasuk Sukarno. Aktivitas revolusioner yang dilakukan oleh kaum demokrat-radikal tetap dilanjutkan dengan gerakan bawah tanah. Di bawah kondisi yang represif, terbitan dan pertemuan gelap lainnya terus dijalankan.


Ketika fasisme mulai merambah Eropa dan Asia, kesetiaan perjuangan kemerdekaan tetap terjaga terus-menerus. Kaum demokrat-radikal kembali mengkonsolidasikan kekuatan‑kekuatan rakyat dengan membentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di bawah pimpinan Amir Sjarifudin. Pada tahun 1939, Gerindo bersama-sama Parindra dan PSII membangun suatu front bersama untuk menghadapi fasisme. Front tersebut bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). kaum demokrat-radikal menggunakan GAPI sebagai alat untuk menentang fasisme sekaligus untuk melawan kolonialisme.


Perang Dunia ke-II adalah perang kaum penjajah. Pada tahun 1939, Perang Dunia ke-II meletus saat Jerman, di bawah Hitler, menyerbu Polandia. Jepang kemudian menyerbu Hindia Belanda dan mengusir kekuasaan Belanda¾menggantikannya dengan pemerintahan administrasi militer. Kerja paksa (romusha) diberlakukan untuk membangun infrastruktur perang¾seperti pelabuhan, jalan raya, dan lapangan udara¾tanpa diupah. Serikat buruh dan partai politik dilarang. Yang diperbolehkan berdiri hanya lah organisasi boneka buatan pemerintah militer Jepang seperti PETA, Keibodan dan lain sebagainya.


Walaupun kaum demokrat-radikal mengalami jatuh-bangun dalam perjuangannya, namun garis perjuangan melawan fasisme tetap dipertahankan. Kaum demokrat-radikal, melalui organisasi‑organisasi pergerakan bawah tanah, mulai membentuk Gerakan Anti‑fasis (Geraf), Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom), dan sebagainya. Amir Sjarifudin, sebagai orang yang paling setia melawan fasisme ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 1943. Di lain pihak, sebagian besar kaum priyayi justru mengambil praktek politik kompromi, konsesi, dan kolaborasi terhadap fasis Jepang; sementara kaum demokrat‑liberal terpaksa harus menjalankan taktik politik kooperasi dengan pemerintahan militer Jepang.


I. 1. B. Revolusi Agustus 1945

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno‑Hatta yang masih ragu‑ragu pada hasrat merdeka rakyat berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kekosongan kekuasaan yang disebabkan oleh kekalahan Jepang dalam PD II, sementara pasukan sekutu belum datang. Momentum kekosongan kekuasaan negara ini yang membuat proklamasi bisa dibacakan, berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi pada tahun 1945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidak lah boleh sebagai pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang Indonesia.


Namun, Revolusi pembebasan nasional tahun 1945-1949 ternyata gagal menghasilkan demokrasi yang sejati bagi rakyat. Hal ini disebabkan karena kekuatan rakyat yang diorganisir oleh kaum demokrat-radikal gagal mengambil kepemimpinan dalam perjuangan pembebasan nasional.


Revolusi Agustus 1945-1949 memang berhasil mengusir kekuatan fasis Jepang dan menghalau si penjajah Belanda yang berusaha untuk menjajah kembali dengan bantuan sekutu (melalui tangan Inggris). Dan, sebenarnya, Pada masa-masa ini lah, dengan diawali perang rakyat 10 November 1945, terbukti bahwa hasrat rakyat untuk merdeka bisa diwujudkan dalam bentuk perlawanan rakyat semesta yang radikal dan militan. Namun, lagi-lagi elit politik mengkhinatinya: melicinkan jalan menuju persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 2 November, 1949. Dengan adanya persetujuan KMB, penjajah Belanda memperoleh konsesi di lapangan ekonomi, politik, militer, dan kebudayaan.

I. 1. C. Penumpulan Kekuatan Rakyat

Gerakan rakyat bangkit kembali. Dalam periode 1950-1960-an, kekuatan rakyat mengalami perkembangan yang signifikan. Adu argumentasi dan mobilisasi aksi-aksi massa dan rapat-rapat akbar semakin mempolarisasikan kekuatan-kekuatan politik ke dalam dua kubu; pro dan anti penjajah (dalam bentuk baru, imperialisme). Dalam adu argumentasi dan mobilisasi, kekuatan pro-penjajah tak mampu menandingi kekuatan anti-penjajah, merasa pasti kalah, sehingga mereka mengandalkan kekuatan tentara yang, dalam menyelesaikan adu kekuatan tersebut hanya memiliki rumus: represi, penindasan. Apalagi, fungsi parlemen berhenti saat dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli, 1959 adalah ironi bahwa PKI, bersama militer, mendukungnya. Namun, pada hakekatnya, peristiwa tersebut merupakan pertanda ketidakmampuan elit politik dalam memanfaatkan Trias-Poltika dan kegagalan menciptakan mesin-mesin politik rakyat yang sejati yang merupakan wadah, alat untuk meningkatkan kesadaran dan mobilisasi rakyat; saat itu, mesin‑mesin politik elit takluk di hadapan aparat dan birokrasi warisan kolonial yang bernama tentara. Ia merupakan puncak dari akumulasi kekuatan tentara. Padahal, tentara Indonesia—yang cikal bakalnya dari rakyat—berhasil dikooptasi oleh pimpinan‑pimpinan tentara regular yang berlatarbelakang KNIL (bentukan Belanda) dan PETA (bentukan Jepang).

I. 1. D. Penjajahan Bentuk Baru, Imperialisme

Sehubungan dengan campur tangan imperialis, sejarah Indonesia memiliki aspek yang unik. Perang Dunia II menghancurkan signifikansi posisi Belanda sebagai negeri imperialis. Jepang tak hanya sekadar menduduki Indonesia, tapi juga menghancurkan basis modal ekonomi dan hegemoni politik Belanda, terlebih-lebih negeri Belanda sendiri diduduki Jerman dan dijadikan ajang peperangan. Belanda tak bisa memulihkan martabat politiknya di Indonesia, walalupun ia turut serta dalam peperangan melawan Jepang. Walhasil, setelah kemerdekaan, kehadiran kepentingan ekonomi Belanda belum bisa dipulihkan sepenuhnya, tak terdapat dominasi mutlak ekonomi Belanda terhadap Indonesia. Apalagi, pada tahun 1957‑58, kehadiran ekonomi Belanda mutlak amblas digulung nasionalisasi oleh Sukarno, hasil-hasil nasionalisasi tersebut diserahkan pada tentara.


Dan, saat itu, apa pun penyebabnya, kehancuran ekonomi Belanda di Indonesia tak digantikan oleh dominasi ekonomi neo‑kolonial Inggris atau pun Amerika. Sementara itu, karena ketidakmampuannya untuk bersaing, Indonesia sendiri tak bisa memanfaatkan ruang yang tersedia baginya.


Sebagai negeri yang baru merdeka, Indonesia hanya memiliki pengusaha (atau tuan tanah) yang secara ekonomi dan politik lemah. Di samping itu, tak ada pengusaha asing yang secara ekonomi dan politik dominan. Walaupun Indonesia merupakan bagian Dunia Ketiga yang dikuasai dan diperas oleh sistim imperialis, sebagaimana juga negeri‑negeri Dunia Ketiga lainnya; akan tetapi IMPERIALIS TIDAK PUNYA AGEN—apakah itu boneka atau pun sekutu—YANG AMPUH, KAMI ULANGI, AMPUH di negeri ini.


Di sudah lama terdapat pertentangan historis antara kapitalis yang BERSENJATA dengan yang TAK BERSENJATA. Di dalam tentara pun terjadi pemilahan di kalangan jendral‑jendral yang berpolitik¾yang satu mewakili kepentingan kapitalis bersenjata; dan yang lainnya mewakili kepentingan Angkatan Bersenjata sebagai suatu institusi. (Sampai sekarang, kedua faktor tersebut masih ada. Inilah persoalan yang harus dihadapi oleh generasi kapitalis paska tahun 1965, yakni menghadapi para kapitalis dari kalangan oligarki kerabat dekat Istana, dalam hal ini pemerintahan Suharto.) Pertentangan historis tersebut akhirnya dapat diselesaikan, dimenangkan oleh mereka yang paling dominan dalam penggulingan kekuasan Sukarno (dan para pendukungnya) di tahun 1965‑66. Penghancuran fisik gerakan rakyat yang sadar politik HANYA LAH satu‑satunya jalan untuk memperoleh keunggulan politik. Oleh karena itu terdapat kebutuhan untuk selalu mengintip setiap kebangkitan gerakan yang berbau kerakyatan.


Hal yang pertama‑tama harus ditekankan adalah bahwa kapitalis bersenjata, sebagai suatu fraksi kelas, sesungguhnya belum banyak makan asam‑garam. Pada akhir tahun '50‑an, berlangsung dua proses:


Pertama, tumbuhnya kelompok kapitalis bersenjata yang, secara sosiologis, barisan depannya adalah Suharto. Menyebut Suharto, karena kelompoknya lah, sepanjang yang bisa ditemukan, yang pertama‑tama memiliki bank dan perusahaan ekspor‑impor sendiri, serta yang menjalin kontak‑kontak luar negerinya sendiri, seperti dengan Malaysia.


Kedua, semakin tersingkirnya kepemimpinan tentara yang cenderung ingin membebaskan diri dari kepemimpinan politik para pengusaha (dan para pendukungnya) yang lemah dan terpecah‑belah. Nasution dan lain‑lainnya mulai mengklaim KEPEMIMPINAN POLITIK atas negeri ini. Perwira tentara seperti Nasution tidak lah bermaksud membuat negara mandiri, akan tetapi ingin diterima sebagai pemimpin politik oleh kekuatan‑kekuatan sosial sejenis yang didukung oleh partai‑partai konservatif unggulan. Oleh karena itu, di masa Orde Baru, ia lebih dekat hubungannya dengan partai‑partai lama kapitalis tak bersenjata, ketimbang dengan para kapitalis yang berasal dari kerabat dekat pelaku‑pelaku utama yang telah mengambil alih kekuasaan konstitusional Sukarno sebagai Presiden pada tahun 1965‑1966.


Pada masa itu, hal tersebut menciptakan tekanan kepada Angkatan Bersenjata agar mewakili kepentingan kekuatan-kekuatan tradisional konservatif. Tapi, Angkatan Bersenjata berada dalam posisi yang tidak mampu berjuang sendiri dalam menghadapi oposisi kaum demokrat-radikal. Mereka malah bersaing dengan kepemimpinan tradisional konservatif, yakni partai‑partai yang terpecah‑belah dan tak berkemampuan. Yang jelas, mereka juga tak bisa bersekutu dengan gerakan buruh‑tani. Situasi tersebut membawa mereka masuk ke dalam aliansi dengan Sukarno. Faksi Soeharto, dengan kekuatan KOSTRAD‑nya, berhasil mengambilalih kepemimpinan dalam operasi kontra gerakan. Momentum yang berhasil diambil ini kemudian bisa dipertahankan oleh Soeharto, yakni dengan cara memainkan sekutu‑sekutu sipilnya (termasuk demonstrasi‑demonstrasi mahasiswa pada tahun 1966) dalam mensukseskan pembantaian 3 juta-an manusia.

I. 1. E. Penggulingan Soeharto dan Reformasi (Total) yang Dikhianati

Gerakan rakyat bangkit, bangkit, dan bangkit kembali. Hanya setelah kurang dari 10 tahun, tepatnya tahun 1974, kekuatan Orde Baru sudah kehilangan keabsyahannya di mata rakyat¾sejuta lebih rakyat turun ke jalan menolak dan melawannya; atau, mereka yang sadar¾bahwa betapa mudahnya upaya pengembangan demokrasi dan modernisasi digagalkan tentara¾bergerak lagi menolak dan melawan Orde Baru. GAGAL.
Namun, 4 tahun kemudian, gerakan tahun 1978 bergerak lagi melawan dan menohok langsung kekuasaan Orde Baru. Dan, gerakan tahun 1978, sekali lagi, selesai dengan kegagalan.[1]
Seperti habis gelap terbit lah terang; saat kaum muda tahun 1980-an dan 1990-an bergerak lagi.[2] (Namun, keredupan ini patut dimaklumi: keberhasilan menghancurkan gerakan MALARI ’74 dan gerakan mahasiswa ’78, dianggap oleh rejim Orde Baru sebagai moment konsolidasi bagi mereka untuk lebih dalam menindas oposisi, baik dalam bentuk ideologi penindasnya¾pembangunan; P4; demokrasi Pancasila; demokrasi Timur; demokrasi terbatas; demokrasi bertanggungjawab; demokrasi bukan liberal bukan komunis; musyawarah mufakat bukan voting; kekeluargaan; gradualisme; kesederhanaan; tepo seliro, dan lain-lain dan lain-lain¾maupun dalam bentuk struktur politik penindasnya¾perluasan struktur intelejen; perluasan dualisme struktur dwifungsi ABRI; korporatisme/integralisme terhadap seluruh sektor masyarakat; cengkraman lebih dalam terhadap birokrasi pegawai negeri dan dunia pendidikan/akedemis; syarat-syarat hidup yang lebih ketat terhadap media massa. Selain itu juga redup karena sogokan beberapa tahun saja bom minyak.) Keredupan ini menggelisahkan kaum muda.
Kaum muda tahun 1980-an dan tahun 1990-an¾yang menerima iman demokrat-radikal¾ini lah yang setahap demi setahap bisa membuka ruang demokrasi dengan AKSI MASSA. Sehingga AKSI MASSA mulai diterima dan meluas ke segala sektor masyarakat sebagai ALAT perjuangannya. Gerakan kaum muda ini lah yang sanggup membuka peluang dijatuhkannya Soeharto, elit-elit politik dan partai politik “terkemuka” hanya lah menjadi benalu tak tahu malu¾jangan kan mengajak kaum muda dalam pemerintahannya, berterima kasih pun tidak, secangkir teh manis pun tak disuguhkan saat kaum muda ada dalam penjara Orde Baru.
Setelah kejatuhan Soeharto, terbuka lah ruang yang lebih luas bagi peserta-peserta politik “terkemuka” untuk memanipulasi kesadaran palsu massa, namun keterbukaan itu sendiri mulai memecah dukungan massa pada manipulator-manipulator lainnya (misalnya, dukungan bukan saja dihaturkan rakyat pada PDI-P tapi juga pada PKB, PAN, bahkan GOLKAR “Baru”. Namun, bersamaan dengan itu juga, agitasi-propaganda untuk menyadarkan rakyat atas kebrokbrokan elit politik pimpinannya (sehingga rakyat akan berkesadaran sejati) memiliki potensi, memperoleh momentumnya.
SEGERA HARUS DILAKSANAKAN, DIWUJUDKAN. Kesulitan pelaksanaannya¾karena harus menghadapi penindasan pemerintahan Megawati dan sekutu-sekutunya, adalah persoalan teknis-taktik, yang tak boleh menjatuhkan prinsip untuk meningkatkan kesadaran rakyat akan kekuatannya sendiri. Kapan lagi saatnya; Semulia-mulianya manusia, dilihat dari manfaatnya bagi sesamanya.

I. 2. Rakyat Harus Berkehendak Mengambil Jalan Keluar

I. 2. A. Karena Rakyat Yang Berdaulat; Bukan Elit Politik

Silih berganti kekuasaan ditapaki oleh elit politik di negeri ini, dan silih berganti pula kegagalan harus ditelan. Kegagalan dalam mengenyahkan sisa-sisa lama (Orde Baru); kegagalan dalam mengkukuhkan sistem masyarakat dan ketatanegaraan baru; dan kegagalan menghasilkan kebijakan yang bisa menyejahterakan rakyat, bebas dari penghisapan/penindasan modal serta militerisme.
Perubahan pada tahun 1998, pada dasarnya, atau seharusnya, merupakan perubahan untuk menghancurkan sistim kediktatoran, untuk mendirikan sistem yang demokratik. Kelompok sosial manapun yang, pada masa Orde Baru, tak memiliki kejahatan, atau tidak turut serta dalam struktur kekuasaan, baik secara ekonomi maupun secara politik, punya kepentingan terhadap perubahan tersebut―yang, dengan ideologi dan program-programnya, dalam derajat tertentu, mendapat persetujuan dari rakyat.
Kenyataannya sekarang: sisa kediktatoran tetap berdiri kokoh dan kesejahteraan rakyat makin merosot. Penyebabnya: pertama, faktor historis kelemahan elit politik Indonesia yang pengecut, opurtunis, dan plin plan, sehingga reformasi (total) tak sampai ke tujuannya. Apa yang mereka sisakan sekadar ketidapuasan rakyat. Kedua, kelemahan subyektif gerakan demokrasi yang, walaupun dalam kadar tertentu, telah memiliki kesadaran yang lebih maju dalam menyikapi Orde Baru, namun tak sanggup merebut dan membangun alat-alat politiknya―terutama organisasi persatuan (front)―untuk menyebarkan kesadaran maju secara massal kepada rakyat, sehingga mampu membongkar propagadanda palsu dari elit politik “terkemuka”.
Banyak catatan tentang ketidakmampuan pemerintahan Megawati—yang berujung pada kerapuhan dan pembusukan sistem masyarakat (termasuk ketatanegaraannya) Indonesia. Beberapa ketidakmampuan yang penting untuk digaris-bawahi adalah:
Pertama, sejak Pemilu 1999, Megawati dan PDI-P, memang tak memiliki program untuk membersihkan sisa-sisa lama (Orde Baru); itu lah mengapa Legislatif, Yudikatif, dan pemerintahannya masih beraroma Orde; dan tak sanggup menghadapi kejahatan-kejahatan lama Orde Baru dalam bidang ekonomi, politik dan kemanusiaan. Kejahatan Orde baru terhadap bapaknya dan partainya pun tak pernah disinggung-singgung.
Kedua, bahwa pemerintahan Megawati tak sanggup memenuhi kebutuhan kesejahteraan yang mendesak dari rakyat, karena kebijakan ekonominya membudak pada kepentingan penjajah melalui IMF, WB dan sebagainya. Itu lah mengapa, sesuai dengan kehendak penjajah (dalam wujud Letter of Intent) pemerintahan Megawati tak segan-segan memotong subsidi barang-barang kebutuhan pokok rakyat seperti subsidi bahan bakar minyak; tarif dasar telpon, listrik; subsidi pupuk; dan sebagainya; belum lagi, masalah-masalah lain seperti pengangguran, kenaikan harga-harga, produktivitas sektor riil nasional dan lain sebagainya; selain itu, pemerintahan Megawati tak berkemampuan menolak kehendak tuntutan lembaga-lembaga internasional (kaki tangan modal besar) untuk menjuali aset-aset negara (baca: harta-harta rakyat) yang sangat pokok (menguasai hazat hidup orang banyak) semurah-murahnya dan secepat-cepatnya (melalui kebijaksanaan swastanisasi dan divestasi). Sehingga kita tak akan sanggup lagi memobilisasi tenaga-tenaga produktif untuk membangun perekonomian nasional yang modern dan mandiri; juga, pemerintahan Megawati bertanggungjawab atas hancurnya kemampuan ekonomi rakyat/nasional karena pemerintahannya membuka selebar-lebarnya pintu bangsa ini bagi cengkeraman keunggulan modal dan pasar asing (melalui kebijaksanaan deregulasi modal dan liberalisasi pasar).
Ketiga, dalam situasi pemerintahannya digugat sampai ke tingkatan suksesi secepat mungkin, pemerintahan Megawati bukannya memperbaiki diri dan bekerjasama dengan unsur-unsur yang tulus dan memiliki program yang baik tapi, malahan, mencoba menyogok dan bekerjasama dengan unsur-unsur oportunis dan keji dalam hal ini tentara, karena tentara menawarkan penindasan terhadap terhadap issue suksesi tersebut. Bahkan, sebagai Ketua PDI-P, ia tak sanggup mencegah kader-kadernya agar tak melakukan kekerasan terhadap oposisi.
Karena itu, PRD mengajak seluruh rakyat dan kelompok demokrat untuk menyiapkan pemerintahan alternatif―yang, tentu saja, untuk tujuan yang berbeda dengan kelompok-kelompok yang kemaruk kekuasaan. Perbedaan antara kedua kelompok itu terletak pada program-programnya, tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Pihak yang pertama memunculkan isu-isu suksesi untuk ambisi kekayaan dan kekuasaan; sedang kelompok demokrat-radikal membawa program-program penuntasan reformasi total yang akan direncanakan, dikerjakan oleh dan demi kepentingan rakyat sendiri.
Dalam sejarahnya, kemampuan rakyat Indonesia untuk melawan penghisapan/penindasan telah terbukti ampuh, namun saat rakyat berkehendak mengambil jalan keluarnya sendiri, elit politiknya selalu menggagalkan dan menyabotnya. Karena itu, cukup sudah, mulai sekarang rakyat harus memiliki kekuatannya sendiri dalam arti sistim masyarakatnya (termasuk ketatanegaraannya) yang dapat mengawasi pimpinan-pimpinan yang dipilihnya sendiri.
Dalam situasi sekarang, rakyat harus segera melahirkan sebuah kebudayaan yang maju, dan meninggalkan budaya apatis atau pasrah pada kehendak kaum penindas. Ketergantungan terhadap elit politik tradisional yang mencelakakan—seperti yang telah dilakukan pada pemilihan umum 1999 lalu—sudah saatnya ditinggalkan. Proses politik yang berlangsung selama ratusan tahun telah membentuk watak elit politik Indonesia menjadi pengecut, tidak setia, oportunis, dan bermental budak, sehingga tak bisa lagi dipercaya untuk membawa rakyat keluar dari krisis dan kesulitan-kesulitannya.
Hilangnya kepercayaan terhadap elit politik tak seharusnya menyebabkan rakyat hilang harapan dan menjadi apatis. Rakyat akan sanggup keluar dari situasi tersebut, apabila rakyat mulai percaya pada kemampuan sendiri, mulai mengorganisasikan diri, dan menentukan program-program untuk kepentingan bersamanya (rakyat). Kita harus memberikan jawaban YA!, terhadap setiap pertanyaan tentang kesanggupan rakyat menjalankan pemerintahan sendiri. Kita harus menyatakan TIDAK!, pada setiap keraguan kaum elit yang congkak, yang selalu menempatkan rakyat pada posisi pasif, menunggu, dan menerima segala kehendak mereka. Disamping itu, konsolidasi dan mobilisasi kekuatan-kekuatan rakyat adalah syarat mutlak untuk membangun sebuah tatanan masyarakat yang baru. Perubahan tidak akan terjadi tanpa keterlibatan aktif dari mayoritas rakyat—buruh, petani, kaum miskin kota, mahasiswa, dan intelektual berpikiran maju.

I. 2. B. Program dan Strategi-Taktik

Pemerintahan Megawati sudah gagal, maka rakyat—yang sedang berlawan ini harus membuat pilihan selanjutnya. Pilihan pemerintahan seperti apakah yang paling baik bagi rakyat? Pendeknya, rakyat membutuhkan pemerintahan pengganti (alternatif) dari pemerintahan yang ada sekarang, yang sama sekali baru, yang mampu memobilisasikan keterlibatannya dalam memutuskan berbagai hal. Menyusun program-program untuk mengatasi persoalan dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga tahu apa yang harus dikerjakan/diselesaikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang sebenarnya. Atau, secara sederhana, bagaimana merubah kata-kata retorik, bual-bualan, para elit politik dan kaum intelektual anti-rakyat tentang pemerintahan dari Rakyat, oleh Rakyat, dan untuk Rakyat (mengutip Abraham Lincoln), menjadi sebuah praktek yang nyata.
Pemerintahan pengganti (alternatif) yang lahir dari organisasi-organisasi perlawanan rakyat adalah jalan keluar utama dari situasi yang menjerat sekarang. Kami menyebutnya “Pemerintahan Rakyat Miskin”! Kami memilih kata-kata “Rakyat Miskin” dengan dua alasan: pertama, mempertegas kembali fakta bahwa di dalam masyarakat Indonesia terdapat lapisan masyarakat yang saling diuntungkan dan lapisan masyarakat yang disingkirkan, dimiskinkan. Dan, kami, partai Rakyat Demokratik, dengan tegas, dan dengan segala pun akibatnya terhadap keselamatan kami pribadi, memihak lapisan masyarakat yang disingkirkan, dimiskinkan dan, dengan begitu, kami bersuka cita bila rakyat miskin bisa memiliki pemerintahan yang berpihak kepadanya bahkan, kemudian, mampu memerintah dirinya sendiri. Dan dalam fase sekarang, rakyat pekerja (buruh, petani, kaum miskin kota, mahasiswa, dan intelektual berpikiran maju) semakin terancam kehidupan sosial-ekonomi-politik dan idealismenya saat menghadapi lapisan masyarakat pemilik modal besar (nasional dan internasional) beserta perangkat-perangkat kekerasannya.

I. 2. B. 1. Perluasan perlawanan disertai dengan pembangunan struktur organisasi-organisasi rakyat

Untuk membangun sebuah bentuk pemerintahan oengganti (alternatif) yang bisa mengkonsolidasikan dan memobilisasikan keterlibatan rakyat, serta sanggup menjalankan program-program kerakyatan, disyaratkan adanya situasi berlawan dari massa RAKYAT TAK BOLEH PASIF. Bahwa kesadaran rakyat untuk pasif adalah kesadaran yang salah, palsu. Rakyat dan lapisan masyarakat yang berkesadaran maju harus saling-bantu untuk saling-mencerahkan, sehingga, tanpa paksaan (karena sudah tercerahkan) rakyat bisa aktif melawan dan membangun.
Dalam kesehariannya (dalam situasi yang normal) rakyat berada dalam kungkungan kebohongan kaum penghisap dan penindasnya. Kaum penindas menggunakan peralatannya seperti lembaga-lembaga pendidikan, media massa, kesenian, parlemen, pemerintahan, dan lain sebagainya, bahkan dengan kekerasan untuk menghambat pencerahan kesadaran rakyat, agar rakyat menerima (sukarela atau dengan paksaaan) kekuasaan kaum penghisap dan penindasnya. Dalam kondisi kehidupan yang normal, massa rakyat luas adalah korban pasif dari penghisapan dan penindasan yang cenderung mengisi pikiran rakyat dengan gagasan: bahwa perlawanan dan pemerintahan rakyat miskin adalah hal yang tidak mungkin, tak berguna; dan bahwa musuh rakyat begitu kuat dan begitu susah untuk dikalahkan. Padahal, kesadaran atau ideologi yang paling bahaya adalah bagi perkembangan kebudayaan dan peradaban umat manusia adalah: tak bisa melawan, tak bisa membangun cita-cita, atau tak bisa berusaha.
Namun situasi itu akan berbalik dalam sebuah situasi yang berlawan, yakni situasi untuk melakukan tindakan bersama guna mempertahankan, memperjuangkan hak-haknya, dan memperbaiki nasibnya. Melalui aksi massa lah maka kaum tertindas mulai memecah kebisuan dan perilaku budak yang telah tertanam sejak lahir. Situasi perlawanan ini pula yang akan meningkatkan ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem kekuasaan yang berlaku, sehingga tawaran-tawaran tentang bentuk-bentuk pemerintahan pengganti (alternatif) menjadi lebih nyata bagi rakyat: menanamkan kepercayaan akan kekuatan sendiri, sebagai perombak struktur kekuasaan yang lama dan pembangun struktur kekuasaan yang baru.
Saat ini begitu banyak landasan, basis, yang tersedia untuk mengembangkan aksi-aksi dengan tuntutan kesejahteraan (kenaikan harga-harga kebutuhan, upah, PHK, lapangan pekerjaan, harga komoditi pertanian yang merosot karena liberalisasi, tanah, dan lain sebagainya). Aksi-aksi sektoral yang sudah terjadi secara spontan harus didorong menjadi aksi-aksi multisektor, dan sekaligus menaikan tuntutan-tuntutan bersama.
Perlawanan yang terjadi harus diikuti dengan pembangunan struktur (sekretariat-sekretariat) organisasi-organisasi perjuangan, baik pada level sektoral ataupun multi-sektoral. Struktur (sekretariat-sekretariat) organisasi-organisasi tersebut harus dimunculkan secara terbuka kepada massa luas, sehingga dapat menjadi efektif dalam menjangkau, berkomunikasi, menggalang, dan memimpin perjuangan massa, apalagi bila rakyat memiliki terbitan, koran, atau media massa-nya sendiri. Struktur organisasi rakyat ini lah, baik secara sektoral, multi-sektoral, maupun teritorial, yang akan menjadi cikal bakal struktur pemerintahan rakyat miskin.
Selain melawan dan menuntut, setahap demi setahap, secepatnya, rakyat juga harus belajar mencari jalan keluarnya sendiri, sehingga kesanggupan rakyat untuk memperoleh jalan keluar dan memerintah dirinya sendiri menjadi nyata serta lebih bisa dipercaya¾tak seperti bual-bualan oposisi elit sekarang ini.

I. 2. B. 2. Pembangunan persatuan-persatuan (front-front) demokratik (mulai dari tingkat lokal sampai nasional, bahkan internasional) dengan landasan kesamaan program-program (platform) demokratisasi.

Dalam membangun dan memperluas persatuan, Platform demokratisasi baik dalam bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, militer, dan lain sebagainya merupakan landasan ikrar-kesetiaan untuk menuntaskan program-program untuk menyelesaikan, mengatasi, persoalan-persoalan mendesak rakyat (Lihat Bab.II). Yang tak bisa diselesaikan oleh pemerintahan sekarang; persatuan demokratik juga merupakan perangkat organisasional yang bisa memajukan dan memperluas syarat-syarat demokrasi guna membangun masyarakat yang modern, adil dan makmur. Yang tak bisa diberikan oleh pemerintahan sekarang. Karena pembangunan masyarakat yang modern sekali lagi, maknanya: adil dan makmur tanpa demokrasi adalah omong kosong; karenanya, wadah persatuan demokratik harus terus menerus didorong maju tak boleh ada unsur-unsur konservatif yang memboikotnya agar merupakan dan menjadi perwujudan organisasi dan struktur pemerintahan rakyat, sejak cikal bakal hingga terus menerus disempurnakan oleh demokrasi. (Lihat juga Lampiran I tentang kritik Partai Rakyat Demokratik terhadap persatuan oposisi: Mengapa Persatuan Oposisi Sulit Berkembang; dan Bagaimana Memajukannya.)


I. 2. B. 3. Pembangunan cikal bakal (embrio) pemerintahan rakyat miskin baik berdasarkan sektor-sektor, multi-sektor masyarakat, maupun berdasarkan teritorialnya.

Sejak sekarang, rakyat harus belajar untuk membangun struktur pemerintahannya dan belajar memerintah dirinya sendiri. Rakyat harus memiliki wadah untuk melatih dirinya dalam menjalankan aktifitas pemerintahan sendiri karena wadah tersebut merupakan wadah untuk kegiatan legislatif, eksekutif, sekaligus yudikatif rakyat. Dengan demikian, rakyat bisa membandingkannya sekaligus bisa mengkritik dan menuntut terhadap pemerintahan yang dipimpin elit politik (yang anti rakyat). Selain itu, dengan sendirinya akan terjadi pembusukan terhadap struktur pemerintahan lama (baik legislatifnya, eksekutifnya, maupun yudikatifnya)atau, dengan kata lain, pemerintahan lama menjadi tak relevan, tak bermanfaat bagi rakyat.
Proses pemilihan individu-individu yang akan bertugas dalam pemerintahan rakyat miskin tersebut dilakukan melalui pemilahan umum yang melibatkan massa rakyat sekitarnya, baik sebagai pemilih maupun sebagai yang dipilih. Anggota-anggotanya bersifat individual, apakah ia mencalonkan dirinya sendiri atau dikirim oleh organisasi-organisasinya.
Seperti dikatakan sebelumnya, pemerintahan ini harus lah demokratik dan semaksimal mungkin melibatkan partisipasi rakyat. Tahap awal pembentukan cikal bakalnya bisa dimulai dari basis-basis massa yang berlawan. Karena, seperti dikatakan sebelumnya, dalam perlawanan tersebut lah lahir kesadaran baru untuk menerima ide-ide baru yang bisa merubah keadaan. Pemerintahan seperti ini harus lah berinduk sampai pada tingkat nasional sehingga tidak menjadi lokalis, atau tidak memiliki kekuatan politik dalam menjawab persoalan-persoalan nasional.

I. 2. B. 4. Mengajak masyarakat luas di berbagai teritorial dan organisasi untuk terlibat dalam membentuk dan memajukan pemerintahan rakyat miskin dengan memanfaatkan berbagai media.

Cikal bakal pemerintahan rakyat miskin yang terbentuk harus dideklarasikan, sehingga berita tersebut bisa menyebar ke seluruh pelosok. Setiap organisasi massa (yang berpartisipasi mengirimkan anggotanya bersifat individu) dalam proses pembentukannya, harus aktif mengkampanyekannya. Semakin meluas pembangunan cikal bakal pemerintahan rakyat miskin tersebut, maka semakin kuat pula tawar-menawar politik rakyat.
Bisa saja terjadi: sebelum pemerintahan rakyat miskin disempurnakan, atau masih merupakan cikal bakal, perlawanan persatuan oposisi demokratik (baik secara parlementer atau ekstra parlementer) berhasil menggantikan pemerintahan lama. Bila demikian, maka pemerintahan baru tersebut harus lah didorong menjadi pemerintahan koalisi demokratik yang, secara administratif atau organisasional, harus mampu menyempurnakan strutur pemerintahan rakyat miskin, baik dilihat dari sektor, multi-sektor, masyarakatnya maupun secara teritorial basis masyarakatnya. Bahkan, pembangunan pemerintahan koalisi demokratik sudah merupakan program atau tahapan politik yang sangat mendesak.

***
LAMPIRAN I:

Mengapa Persatuan Oposisi Sulit Berkembang; dan Bagaimana Memajukannya

Kritik Terhadap Persatuan Oposisi
Dari beberapa kali aktifitas bersama Koalisi Nasional (KN) terlihat bahwa keseriusan untuk bersatu yang tercermin dalam tindakan-tindakan bersama yang sudah disepakati masih terdapat banyak kelemahan. Misalnya, ketidakseriusan untuk mensukseskan mobilisasi-mobilisasi dalam vergadering (rapat umum) kota di Jabotabek (Priok, Karawang dan di beberapa kampus di Jakarta) sebagai pra kondisi untuk vergadering tanggal 23 Pebruari. Padahal, ketidakseriusan tersebut memiliki konsekuensi bagi kemaksimalan vergadering tanggal 23 Pebruari dan juga perluasan struktur KN sendiri di Jabotabek yang, bahkan, bisa mempengaruhi sukses tidaknya perluasan struktur KN secara nasional. Sebenarnya, bila struktur KN bisa diperluas, KN memiliki keunggulan dalam (perspektif) perjuangannya ketimbang persatuan oposisi sektoral dan multi sektoral lainnya yang semakin marak belakangan ini. Setelah mendeklarasikan (keunggulan) program-programnya yang begitu erat dengan kebutuhan rakyat selanjutnya strategi-taktik perluasan struktur seharusnya merupakan kebutuhan mutlak bagi KN agar mampu menjadi wadah dan kekuatan nyata membuka partisipasi aktif massa bagi oposisi terbuka untuk melawan penguasa yang anti rakyat. KN telah mengawali perjuangannya dengan cerdik, berani, setia terhadap kebutuhan rakyat, yakin akan kebenaran program-program perjuangannya (lihat manifesto deklarasinya) dan, terlebih-lebih, cukup berhasil disosialisasikan di beberapa kota besar.
Kelemahan serupa juga terlihat dari aktifitas mobilisasi massa daerah ke Jakarta yang, sebenarnya, bisa dijadikan pemicu untuk mengangkat, merealisasikan, potensi (positif) strategi-taktik bahwa panggung nasional KN 1) merupakan agenda kerja yang dapat menguji kemampuan untuk memaksimalkan mobilisasi massa, dan 2) sekaligus merupakan ajang sosialisasi yang, pada tahap awal, lebih mudah dan lebih polular bila diselenggarakan di Jakarta untuk mengokohkan, mempermudah, fondasi terbangunnya cabang-cabang KN di daerah. Apalagi, saat ini, sedang ada kegairahan politik yang tinggi di kalangan elemen-elemen oposisi untuk bersatu, baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah. Salah satu sebabnya adalah, misalnya, karena individu-individu, ormas-ormas, partai-partai yang terlibat dalam KN tak mampu (bahkan, sepertinya, tak berkeinginan) untuk mengajak kawan-kawannya, mendiskusikan dan menginstruksikan cabang-cabangnya di daerah untuk membantu suksesnya mobilisassi dan pembentukan cabang-cabang KN di daerah; padahal, langkah seperti itu merupakan agenda yag paling minimal dan moderat.
Padahal, beberapa perkembangan politik menyediakan kondisi obyektif (potensi) yang akan memudahkan terbangun perluasan struktur persatuan oposisi yang, bila dilihat dari kekuatan rejim saat ini, baik dilihat secara parlementer (cara pemilu) maupun secar ekstra parlementer (mobilisasi massanya), (persatuan oposisi) merupakan kebutuhan mutlak bagi tahap perjuangan saat ini. Dukungan ratusan buruh Elaine, yang datang ke kantor KN, merupakan ujian terhadap kemampuannya menjadi wadah, alat perjuangan rakyat, dan juga memperlihatkan dukungan yang semakin luas bagi KN. Di saat krisis ekonomi yang makin akumulatif ini, puluhan, ratusan, bahkan ribuan pabrik, yang buruh-buruhnya mengalami penindasan berpotensi besar menggelorakan kembali perlawanan kaum buruh; juga potensi perlawanan buruh-buruh BUMN—yang sebelum-sebelumnya telah menyiapkan kondisi bagi partisipasi aktifnya dalam perjuangan. Proses likuidasi aset-aset ekonomi nasional, yang lebih banyak disebabkan karena penjajahan negeri-negeri pemodal besar, yang sedang mengambil solusi terhadap krisis global dengan neoliberalisme, dan kebijakan penguasa, dalam derajat tertentu bisa menarik kapitalis menengah dan kecil ke dalam kancah perjuangan. Hal itu telah terlihat dalam sikapnya terhadap kenaikan harga BBM, TDL, telpon, privatisasi, dan divestasi. Demikian juga massa dari kaum tani, dimana-mana wadah-wadah kaum tani mulai mengeluarkan ancaman bahwa jika liberalisasi impor pangan tidak dihentikan akan segera melancarkan perlawanan. Di sektor mahasiswa derajat politisasi perjuangannya terus meningkat. Dan, dalam waktu yang kurang dua bulan, hampir seluruh elemen moderat pun sudah meneguhkan sikapnya: menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Dan semua harapan tersebut hanya mungkin dengan menjatuhkan penguasa yang anti rakyat. Unsur-unsur perjuangan baru telah muncul, tapi lemah dalam kepemimpinan dan perspektif, itu lah yang harus menjadi landasan pengolahan lebih lanjut untuk perluasan kepeloporan perjuangan Koalisi Nasional.
Jika semangat persatuan telah menjadi kesimpulan sebagai kebutuhan bersama elemen-elemen oposisi, sudah seharusnya manifestasi semangat itu menjadi tindakan-tindakan politik yang nyata sesuai dengan tingkat kebutuhan perjuangan yang diperlukan. Hal ini akan bermakna: KN harus mengusahakan dirinya menjadi poll of attraction (mimbar rakyat); bagaimana KN mampu berinisiatif membuka panggung-panggung politik di nasional (vergadering, konferensi pers, seminar, aktif memperluas kampanye perluasan strukturnya, dan sabar berbicara pada organisasi-organisasi pro-kerakyatan lainnya serta ke tokoh-tokoh oposisi dan intelektual pro-rakyat. Panggung-panggung politik KN juga harus diperluas ke kota-kota lain, di desa-desa, di pabrik-pabrik, di kampus-kampus dan sebagainya. Dan dari semua itu, harus sanggup memanen hasil panggung politik menjadi struktur mobilisasi massa, SEKRETARIAT-SEKRETARIAT, CABANG-CABANG, RANTING-RANTING KN. Kebutuhan yang demikian hanya bisa dipenuhi jika seluruh elemen-elemen yang tergabung dengan KN berkemampuan menjalankan keputusan-keputusan politik bersama dengan konsekuen, militan dan penuh dedikasi. Partai Rakyat Demokratik telah meneguhkan sikapnya bahwa seluruh aktifitas organisasi sekuat-kuatnya akan mengabdi pada TERBANGUNNYA PERSATUAN oposisi progresif yang mampu menjadi alat perjuangan politik (yang BERKEMAMPUAN) bagi rakyat.

Peluang-Peluang
1. Saat ini telah muncul unsur-unsur baru yang berpikiran dan bertindak maju dalam perjuangannya. Jika satu tahun yang lalu hanya beberapa organisasi yang mempelopori (secara radikal) program penjatuhan Mega-Hamzah dan kebutuhan perspektif pemerintahan baru. Saat ini perspektif tersebut telah meluas ke banyak organisasi lain, misalnya organisasi-organisasi mahasiswa, terutama organisasi-organisasi mahasiswa radikal yang lahir dalam kancah perjuangan menjatuhkan Suharto 1998-1999, serikat-serikat buruh (potensinya besar namun belum mengalami perluasan yang cukup signifikan), parpol-parpol, LSM-LSM dan sebagainya. Sehingga persatuan multi sektor sebagai wadah persatuan bagi oposisi telah menjadi kebutuhan. Berbagai persatuan multi sektor telah muncul, misalnya Front Perjuangan Rakyat Miskin (FPRM), KN, Front Ampera dan sebagainya. Situasi sekarang ini juga mendorong maju berbagai konsolidasi front sektoral lainnya seperti BOKMM (Barisan Oposisi Kaum Muda-Mahasiswa), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia, KAPB (Komite Anti Penindasan Buruh) dan lain-lain;

2. Hubungan saling mempengaruhi faktor-faktor di atas dengan akumulasi krisis telah meluaskan perlawanan spontan massa rakyat. Seluruh lapisan sosial bisa dikatakan sudah bergerak. Perkembangan ini menandai munculnya satu common platform (yang relatif solid paska kejatuhan Suharto) dalam gerakan: menguatnya sentimen anti penjajahan oleh modal besar (Barat dan agen-agen lokalnya); sentimen anti kenaikan harga; dan sentimen penjatuhan Mega-Hamzah (yang telah dianggap rakyat sebagai agen modal besar Barat). Berbagai kebijakan anti rakyat pemerintahan Mega-Hamzah telah melahirkan satu tarikan politik bagi unsur-unsur baru yang lebih moderat untuk menaikan kualitas tuntutannya hingga menyuarakan tuntutan mundur bagi Mega-Hamzah. Tidak sampai satu bulan, BEM se-Indonesia telah menaikan tuntutan dari reformasi kebijakan kenaikan harga, korupsi, divestasi dan privatisasi menjadi tuntutan mundur Mega-Hamzah. BEM se-Indonesia hingga saat ini menjadi kekuatan yang memiliki jaringan dan mobilisasi paling luas di sektor mahasiswa. Hambatan bagi BEM se-Indonesia adalah tuntutan mundur tanpa perspektif pemerintahan baru yang progresif, sehingga menyediakan basis bagi penyelewengan oleh kaum reformis gadungan (di parlemen maupun ekstra parlemen)—upaya yang berhasil dalam menjatuhkan Gus Dur seharusnya menjadi pelajaran: bahwa pemerintahan Mega-Hamzah merupakan konsukensi logis aliansi yang pragmatik. (Kondisi obyektif yang dahulu memudahkan penjatuhan Gus Dur sekarang tak tersedia: dahulu GOLKAR, PDI-P, PPP, Fraksi Reformasi dan unsur-unsur lainnya di parlemen yang anti Gus Dur—yang mencari kekuasaan dan kekayaan semata—bisa menggunakan alat parlemen untuk secara “konstitusional” menjatuhkan Gus Dur; Selain itu, tentara sikapnya telah jelas, juga berkepentingan menjatuhkan Gus Dur. Sekarang, Apakah kita, sebagai oposisi, harus mengharapkan lagi ampuhnya alat parlemen—yang kuncinya ada di tangan GOLKAR¾dan dukungan tentara? Atau tujuan apa yang kita kerjakan sekarang ini, sebagai oposisi, hanya lah sekadar untuk mengakumulasi potensi popularitas agar dukungan suara dari rakyat dalam Pemilu 2004 jatuh ke partai kita. Bila kita, sekali lagi, sebagai oposisi, tidak maju bersama sebagai satu partai dalam Pemilu 2004, sangat kecil kemungkinannya mengharapkan dukungan suara yang besar karena, tentunya, dukungan suara rakyat akan terpecah-pecah, fragmentatif—apalagi partai-parati penguasa dan partai-partai konservatif lainnya bisa memainkan pemilu bagi kepentingan partai-partainya—kecuali, seperti di Filipina, pemilu bisa dikawal oleh kekuatan mobilisasi massa agar tidak dipermainkan oleh partai-partai penguasa dan partai-partai konservatif. Bila tak ada perubahan dalam strategi-taktik oposisi, dan seandainya pun, kemudian partai-partai oposisi berhasil meningkatkan dukungan suara rakyat¾yang tentunya tak akan signifikan untuk mengeliminir sisa-sisa kekuatan lama¾itu artinya merupakan usaha gradualis yang akan mengorbankan rakyat, membiarkan rakyat lebih lama lagi menunggu perubahan dalam himpitan hidup yang sangat keji;

3. Solusi parlementarian bagi kebutuhan pemerintahan alternatif sudah terbukti gagal total. Selain itu kemungkinan kolaborasi ekstra parlemen dan parlementer seperti dalam kasus penjatuhan Gus Dur hampir mustahil terjadi. Saat itu, mayoritas elit parlemen, juga tentara memang sudah bersepakat menjatuhkan Gus Dur, gerakan ekstra parlemen hanyalah menjadi embel-embel legitimasi politik semata. Hal itu pun menghasilkan kualitas demokrasi yang jauh lebih buruk dari rejim sebelumnya, jadi perspektif kolaborasi ekstra parlemen dengan titik tekannya pada solusi parlementarian hakekatnya cenderung khianat. Seluruh elit penguasa di parlemen saat ini cenderung memilih jalan aman, kritisisme terhadap pemerintah dari sejumlah elit parlemen lebih pada upaya menaikan kualitas konsesi kekuasaan dari pemerintah Mega-Hamzah, maksimal resuffle kabinet dan atau kerjasama saling menutupi kejahatan dari masing-masing faksi elit penguasa atau aksi cuci diri bagi sejumlah politisi), minimal investasi politik untuk Pemilu 2004;

4. Tentara jelas pada posisi mengamankan keberlangsungan Pemerintahan Mega-Hamzah. Hal yang sungguh wajar mengingat begitu pengecutnya karakter demokrasi dari Mega-Hamzah, sehingga berbagai kepentingan politik tentara diberi keleluasaan, bahkan dilindungi. Tentaraisme yang ditandai dengan meluasnya represi dan menguatnya posisi politik tentara semakin menjadi hambatan bagi perjuangan rakyat. Namun berbagai penghalang demokrasi formal yang berhasil didesakkan oleh gerakan pada saat penjatuhan Suharto membuat segala manifestasi tentaraisme akan terus mendapat resistensi yang kuat dari rakyat. Tidak ada langkah yang tepat untuk mengeliminir represi kecuali melawannya dengan cara memperhebat rapat-rapat akbar, mobilisasi-mobilisasi dan perluasan persatuan;

5. Bukan menolak strategi-taktik parlementarian; tapi, pada saat ini, strategi-taktik parlementarian membutuhkan tekanan dari kekuatan oposisi (yang bersatu) dan massa yang lebih kuat. Namun, tampaknya, sebagian elemen oposisi masih meyakini strategi kolaborasi-taktik di atas. Kekalahan Partai Keadilan dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), mungkin juga sebagian elemen BEM dalam memanfaatkan strategi parlementarian untuk menjatuhkan Mega-Hamzah, juga kekalahan Partai Keadilan (PK) dalam revisi UU Pemilu¾yang sengaja diformat untuk menguntungkan partai-partai konservatif di parlemen dan mematikan partai-partai kecil¾pada derajat tertentu, menjadi penyebab mereka akan habis-habisan menggerakan mobilisasi massa ekstra parlemen. Namun potensi mobilisasi massa lebih diabdikan pada memecah kesatuan kepentingan mayoritas elit parlemen dan tentara, sehingga pada intinya mereka masih mempercayai transisi parlementarian sebagai solusi. Jadi bukan meletakan solusi dengan pembentukan pemerintahan alternatif melalui metode-metode parlementarian (yang ditekan oleh kekuatan oposisi-bersatu dan massa yang lebih kuat) dan ekstra parlemen. Sepanjang kualitas programatiknya masih mengangkat tuntutan-tuntutan demokratik dan penghancuran sisa-sisa lama, kecenderungan oposisi yang semacam itu masih memberi dampak positif bagi pengkondisian perkembangan gerakan. Perkembangan gerakan progesif lah yang akan terus mengikis segala kecenderungan yang semacam itu. Bila perkembangan gerakan progresif semakin menentukan, maka batas-batas moderasi akan semakin terdesak ke belakang;

6. Unsur radikal dari organisasi mahasiswa masih minoritas. Namun komite-komite mahasiswa baru kembali bermekaran seperti situasi menjelang kejatuhan Suharto. Namun unsur-unsur radikal baru, juga yang moderat¾terutama diluar jaringan BEM se-Indonesia—menyediakan potensi yang sangat besar. Bagi KN, pengolahan lebih lanjut unsur-unsur baru (dalam gerakan mahasiswa itu) adalah dengan mengaktifkan panggung-panggung politik KN di kampus-kampus yang bisa diinisiatifi oleh elemen-elemen mahasiswa yang tergabung di dalam KN. Terlebih bagi seluruh elemen gerakan mahasiswa radikal, perluasan jaringannya mutlak mensyaratkan pengolahan unsur-unsur baru tersebut. Panggung-panggung politik yang mendesak dikerjakan adalah segera menggelar vergadering di ruang tertutup atau terbuka (bila mengizinkan) di kampus-kampus di seluruh nasional (terutama kampus besar di kota-kota besar), mendirikan sekretariat-sekretariat bagi jaringan gerakan mahasiswa radikal (bisa memanfaatkan fasilitas kampus, mendirikan sekretariat darurat namun reguler, atau juga mendirikannya di perkampungan-perkampungan mahasiswa di sekitar kampus). Jika hal yang semacam itu dilakukan, maka akan ada peningkatan signifikan unsur-unsur dinamis di sektor mahasiswa, baik wadah-wadah perlawanannya, kualitas kepeloporannya, dan persatuan-persatuan di kalangan mahasiswa sendiri;

7. Pengolahan lebih lanjut potensi-potensi yang muncul dari unsur-unsur baru dalam perjuangan adalah landasan, pijakan, bagi KN untuk semakin meneguhkan keyakinan bahwa KN berkemampuan menjadi alat perjuangan sejati bagi rakyat. Unsur-unsur baru, baik itu komite-komite mahasiswa yang bermunculan, serikat-serikat buruh, ormas-ormas rakyat lainnya, intelektual, LSM-LSM, dan tokoh politik ekstra parlemen yang pro-kerakyatan menyediakan potensi-potensi bagi perkembangan KN ke depan, dan merupakan potensi bagi penggabungan-penggabungan oposisi yang lebih luas lagi sehingga setahap-demi setahap akan bergerak lebih maju lagi. Misalnya, KN dituntut untuk menunjukkan keberpihakan yang tegas terhadap penindasan yang dialami oleh kelas buruh, dan sesungguhnya KN berkemampuan untuk menjadi alat perjuangan bagi buruh, hal yang sudah cukup jelas dalam manifesto KN. Demikian juga keberpihakan terhadap kaum tani dan nelayan yang sudah resah dimana-mana, dan berpotensi besar untuk terlibat dalam kancah perjuangan;

8. Walaupun kemampuan mobilisasi dari KN belum ampuh-teruji, namun sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar. Hampir semua organisasi-organisasi progresif yang telah terlatih, teruji dan militan dalam pergerakan berdiri di pihak KN. Dan KN memiliki unsur-unsur dan program-program yang lebih maju ketimbang persatuan oposisi lainnya¾hanya PK, KAMMI dan BEM lah yang memiliki struktur mobilisasi yang relatif lebih luas dan teruji. Kecenderungan model Ciganjurisme-nya akan menjadi kelemahan mendasarnya tapi, bila ada perubahan strategi-taktiknya, mereka akan menyediakan potensi penggabungan-penggabungan oposisi baru yang bisa lebih maju lagi. Jadi, Tergantung sejauh mana elemen yang lebih maju mempeloporinya;

9. Oleh karena itu, meneguhkan semangat persatuan oposisi, yang nyata-nyata menjadi kebutuhan mutlak bagi pergerakan, harus lah terus diuji, menuntut militansi, dan terus diprofesionalkan. Agenda sempit masing-masing elemen yang tergabung dalam Koalisi Nasional harus dikesampingkan. Sebaliknya, secara dialektik, setiap perkembangan Koalisi Nasional akan menjadi basis perkembangan dari setiap elemen-elemen yang tergabung di dalam KN. Bahkan hingga kemungkinan yang paling moderat sekali pun, misalnya bila peluang ekstra parlementer gagal dimanfaatkan secara efektif, atau rakyat belum bisa terbangkitkan dan masih terilusi, bahwa solusi persoalan-persoalan mendesak bisa diselesaikan secara parlementarian, Pemilu 2004, KN lah alat yang paling efektif bagi oposisi progresif untuk mengintervensi momentum tersebut guna memajukan kesadaran rakyat: memajukan KN sebagai partai peserta pemilu;

10. Sudah cukup, jangan biarkan rakyat—yang karena selama 30 tahun lebih ditindas Orde Baru dan tak mendapatkan pendidikan politik—salah memilih pemimpin negaranya (baik dalam legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

HIDUP PERSATUAN NASIONAL !!!







[1] Memang terdapat perbedaan yang cukup penting antara gerakan tahun 1974 dengan gerakan tahun 1978; kurang dari 10 tahun kekuasaannya, 1974, Orde Baru¾yang menjanjikan demokrasi dan pembangunan, serta yang masih mencari pengabsyahan rakyat atas apa yang diperbuatnya¾masih memberikan ruang/kesempatan pada pers untuk mengungkapkan secara samar-samar kolusi, korupsi, nepotisme, keistimewaan modal asing (terutama Jepang), bergugurannya pengusaha kelontongan dalam negeri, kecenderungan jurang kaya-miskin yang mulai nampak lebih tegas, pengerukan sumber daya alam tanpa batas dan sebaginya dan sebagainya. Itulah mengapa agitasi gerakan tersebut bisa didengar dan bahkan dihadiri oleh massa yang semakin hari semakin meluas. Ribuan massa yang, kemudian, bergulir menyeret 1 juta lebih massa lainnya mengelilingi luar pagar kampus-kampus, mengemis kepemimpinan mahasiswa. Adalah mengagumkan juga bahwa, walaupun gerakan tahun 1978 berada pada situasi yang lebih sulit, dengan ruang demokrasi yang lebih sempit, namun agitasi-agitasinya¾yang mulai lebih mengenal kegunaan banyak selebaran dan pamflet¾bisa membongkar kejahatan KKN (Soeharto) dan keterlibatan tentara dalam kehidupan sipil. Itulah mengapa programnya sudah cenderung menjatuhkan kekuasaan Soeharto dan penghapusan trilogi pembangunan. Itulah pula sebabnya mengapa gerakan tahun 1978 sangat hati-hati terhadap keterlibatan tentara. Mereka juga mulai menghargai keterlibatan massa, baik dalam bentuk bantuan makanan dan dana dari penduduk sekeliling kampus, maupun advokasi terhadap kaum tani (terutama di Jawa Barat). Namun keterlibatan massa ini masih dianggap sebagai penambah kekuatan pukulan saja, bukan dianggap sebagai unsur yang pemilik sah kekuasaan.
[2] Di tahun 80-an, hanya ada dian (api kecil) kritik populisme LSM (yang sedang menjamur) dan pijar protes (yang cepat sekali matinya) dari kaum demokrat-liberal, sangat hati-hati sekali.

0 komentar: