15 Agustus 2007

TIDAK CUKUP BOS TAPI PENDIDIKAN GRATIS!

Belum lama ini ribuan guru dari berbagai daerah turun ke jalan melakukan demonstrasi. Tuntutannya seperti biasa, mereka meminta pemerintah benar-benar menganggarkan 20% anggaran untuk pendidikan. Dari anggaran 20% ini mereka berharap kesejahteraan mereka diperhatikan dan tentu saja akan membawa mereka yang tak pernah menikmati bangku sekolah atau yang putus sekolah bisa kembali ke sekolah.

Dulu dengan tuntutan yang sama usaha para guru dan tentunya aktivis gerakan kerakyatan pernah menuai hasil. Setelah sekian lama berdemonstrasi, akhirnya permohonan untuk menguji UU No. 13/2005 tentang APBN kepada Mahkamah Agung (MK) dikabulkan. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pemerintah harus segera menganggarkan angka sebesar 20 persen dari APBN untuk pendidikan.

Keputusan ini jelas bukan hal yang baru. Karena seperti pada undang-undang lainnya tercantum dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, "Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".

Selain itu juga undang-undang yang katanya menjadi landasan negara kita, UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), "Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah WAJIB membiayainya".

Hak rakyat di dunia pendidikan kembali dipertegas di Ayat (4) yang isinya "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional".

Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "Setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu TANPA DI PUNGUT BIAYA".

Namun sayang, amanat undang-undang ini belum mampu menggugah kepedulian SBY-KALLA terhadap jutaan rakyat yang tak mampu sekolah. SBY-KALLA hanya menganggarkan sebesar 90,10 triliun atau 11,8% dari total APBN 2007 sebesar 763,4 triliun.

Jadi tak usah bingung jika kita dihadapkan dengan realitas jumlah anak putus sekolah juta anak yang masih tinggi (sekitar 4,5 juta) yang membuat rasio partisipasi pendidikan penduduk Indonesia baru sebesar 68,4% dan tingkat pendidikan Indonesia rata-rata hanya sampai SMP. Lalu jumlah anak jalanan di 12 kota Indonesia 75 ribu jiwa, dan di Jakarta sendiri 40 ribu anak jalanan yang tak bersekolah. Jika tidak dikembalikan ke sekolah, maka anak putus sekolah tingkat dasar ini berpotensi menjadi buta aksara kembali. Khusus untuk perempuan, lebih rendahnya tingkat melek huruf dikarenakan kondisi budaya yang kurang berpihak pada kaum perempuan, bahkan untuk sekadar memperoleh pendidikan SD saja.

Selain itu masih ada sekitar 14,6 juta penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. Indonesia bahkan tertinggal dari negara-negara yang masih berkecamuk konflik seperti Palestina yang tingkat partisipasi pendidikannya mencapai 81,2 persen.

Pemberitaan tersebut masih harus dilengkapi dengan gambaran tentang bagaimana masih terdapat sekitar 20.500 sekolah SD hingga SMA dalam kondisi rusak berat, 75-80% (7-8 orang dari setiap 10 orang) pelajar setingkat SD sampai SMA putus sekolah dan 60% (6 orang dari setiap 10 orang) pelajar setingkat SMU tak mampu melanjutkan ke bangku kuliah yang akhirnya terpaksa harus bekerja seadanya atau jadi pengangguran.

Di DKI Jakarta sendiri misalnya, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, jumlah penduduk DKI Jakarta pada 2005 mencapai 9,04 juta. Dari jumlah tersebut, tujuh persen di antaranya atau sama dengan 675.718 jiwa tergolong dalam kelas keluarga miskin. Jumlah itu lebih tinggi dari data 2004 yang tercatat empat persen atau setara dengan 314.702 jiwa.

Sementara berdasarkan pendataan 2006, jumlah keluarga miskin tercatat 160.480 keluarga dengan perincian 93.967 keluarga tergolong miskin dan sangat miskin serta 66.513 keluarga tergolong hampir miskin. Dari jumlah total 160.480 keluarga tersebut, sejumlah 55.249 di antaranya tinggal di Jakarta Utara serta 30.320 tinggal di Jakarta Barat.

Keluarga miskin yang tinggal di Jakarta Timur tercatat 39.768, sejumlah 22.723 tinggal di Jakarta Pusat, sedangkan 11.377 keluarga tinggal di Jakarta Selatan. Untuk Kabupaten Kepulauan Seribu tercatat 1.043 keluarga miskin. Kondisi kemiskinan itu tentunya berpengaruh terhadap kemampuan anak-anak dari keluarga miskin tersebut untuk melanjutkan sekolah.

Pertanyaan selanjutnya adalah akan berubahkah data-data rakyat miskin ini jika pemerintah benar-benar menganggarkan 20% APBN untuk pendidikan. Apakah anggapan bahwa tingkat kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan akan ikut terangkat pula jika anggaran 20% ini benar-benar diberikan kepada rakyat? Atau sudah berkurangkah beban rakyat miskin dengan di berikannya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi siswa yang tak mampu?. Jawabannya tentu saja TIDAK!

Mengapa tidak? Karena jika kita kalkulasikan dari APBN 2007 saja misalnya, maka 20% anggaran dengan asumsi total APBN mencapai 550 sampai 660 trilyun rupiah, maka anggaran 20 persen itu sama dengan 120 trilyun rupiah. Anggaran ini jelas belum mampu untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.

Di DKI Jakarta sendiri sejak 2005 telah mendapatkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang bersumber dari APBN. Konsepnya adalah pemerintah pusat memberikan anggaran kepada pemerintah daerah yang digunakan untuk membantu siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, baik swasta maupun negeri.

Seperti kita ketahui, Bantuan Operasionalisasi Sekolah (BOS) adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh SBY-KALLA pasca menaikkan harga BBM sebanyak dua kali yang membuat melonjaknya daftar orang miskin. BOS merupakan kebijakan yang mengilusi rakyat bagi masyarakat karena pencitraannya bisa menjadikan sekolah gratis. Padahal, layaknya kebijakan bantuan langsung tunai (BLT), program ini merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk meredam bangkitnya perlawanan rakyat akibat pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM).

BOS sudah di berikan tapi seperti yang dipaparkan oleh riset yang dilakukan ICW justru menunjukkan semakin menggilanya pungutan-pungutan yang dilakukan pihak sekolah pada tingkat SD dan SMP. SPP memang telah dihilangkan lewat bantuan pemerintah berupa BOS, tapi pungutan tetap ada. Artinya BOS tidak menjamin siswa mampu belajar dengan tenang tanpa ada bayang-bayang biaya. Belum lagi jika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa departemen pendidikan nasional adalah departemen ke dua setelah departemen agama dalam hal peringkat korupsi.

Untuk itu yang perlu kita catat, realisasi anggaran 20% untuk pendidikan adalah tuntutan awal dalam perlawanan kita terhadap pengingkaran hak rakyat miskin yang dilakukan oleh SBY-KALLA. Anggaran pendidikan yang mampu menjangkau seluruh rakyat agar mampu berpartisipasi dalam pendidikan merupakan tuntutan yang harus terus diperjuangkan. Perjuangan menuntut realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% harus terus kita tuntut dalam aksi-aksi massa sampai pendidikan benar-benar gratis, layak dan berkualitas untuk rakyat.

Vladimir Lenin, pemimpin Rusia bahkan pernah berkata “Berhemat-hematlah berekonomi dalam hal apa pun, kecuali untuk keperluan pendidikan.”. Itulah mengapa program pendidikan cuma-cuma alias gratis bagi rakyat menjadi salah satu program revolusi demokratik dalam negara bercorak sosialistik. Karena marxisme memang menempatkan pendidikan sebagai salah satu syarat terpenting bagi kelanjutan, serta peningkatan kualitas reproduksi sosial setiap generasi manusia. Pengetahuan merupakan hal yang sangat vital bagi manusia untuk mengembangkan kemampuan produksi sosialnya.

Coba saja tengok negara bercorak sosialistik seperti Kuba dan Venezuela yang memberikan pendidikan gratis untuk seluruh warga negaranya. Pemerintah Kuba memang memandang pendidikan merupakan bagian terpenting dalam mempertahankan revolusi Kuba. Rakyat mempunyai hak yang sama dalam mengakses pendidikan dan negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan. Akses yang sama ini diwujudkan dalam bentuk pendidikan gratis bagi seluruh rakyatnya. Sehingga tidak mengherankan, Kuba sekarang menempati posisi teratas di dunia untuk angka melek huruf dan angka rata-rata sekolah per kapita.

Pendidikan gratislah salah satu hal yang akan membawa negara kita lepas dari jeratan krisis kemiskinan. Pendidikan gratis dan berkualitas lah solusi yang nyata ketika kita dihadapkan pada banyaknya rakyat miskin terlempar dari bangku pendidikan. ***
Elang Riki Yanuar
*) Anggota LMND Jakarta, Sekretaris Papernas Jakarta Pusat

0 komentar: