15 Agustus 2007

MEMBANGUN, BUKAN MENGGUSUR*

Tak perlu menunggu tsunami, gempa dan musibah lainnya, atau tak perlu di demo rakyatnya dengan jumlah massa yang besar, Presiden Venezuela Hugo Chavez memberikan perumahan khusus untuk mereka yang miskin dengan prioritas fasilitas kesehatan yang lebih terjamin. Sesaat setelah terpilih menjadi presiden, Chavez menetapkan undang-undang reformasi kepemilikan tanah dengan membatasi hak milik tanah bahkan penyitaan pada perusahaan real estate yang membuat lahan pertanian menjadi tidak produktif dan hanya menguntungkan si pemilik modal.

Hal yang sama diberlakukan di Kuba. Presiden Kuba, Fidel Castro membangun perumahan untuk warga miskin dengan jumlah rumah lebih besar dari jumlah penduduk sehingga tidak ada penduduk yang harus tinggal di jalanan.

Jangan bandingkan dengan negara kita. Rumah-rumah untuk rakyat baru dibangun setelah datangnya musibah seperti tsunami, longsor, gempa bumi dll. Parahnya lagi uang untuk membangun rumah bagi para korban musibah itu ada yang didapat dari pinjaman utang luar negri yang tentu saja ujung-ujungnya rakyat juga yang harus menanggung utang tersebut.

Bukannya membangun rumah untuk rakyat pemerintah lebih sering menggusur rumah rakyatnya yang dianggap merusak keindahan kota. Lahan-lahan kosong lebih suka dilelang untuk perusahaan real estate daripada membangun rumah untuk rakyatnya yang menggelandang di jalanan sehingga dianggap sebagai pengganggu ketertiban umum bahkan mengotori pemandangan perkotaan. Bukan hanya para gelandangan dan pengamen yang ‘ditertibkan’, pedagang kaki lima pun juga diusir dari tempat mereka mencari nafkah seperti di sekitar kampus dan tempat lainnya.

Penggusuran yang sudah menjadi acara tahunan Pemda atas nama Pembangunan dan kota tanpa pemukiman kumuh dibenarkan oleh Perda No. 11 Th 1988 tentang ketertiban umum; Perda No. 18 tahun 2002 tentang ketertiban, kebersihan dan keindahan (K3); dan Perda No. 1 Th 1996 tentang kependudukan, sudah terbukti sama sekali tidak memberi solusi terhadap permasalahan rakyat miskin di Jakarta. Penggusuran rumah rakyat seringkali tidak diimbangi dengan penyediaan rumah pengganti yang lebih layak, sehat bagi rakyat yang tergusur.
Rumah jelas merupakan salah satu kebutuhan paling pokok bagi manusia. Juga merupakan hak warga negara untuk mendapatkannya selain pendidikan dan kesehatan. Itu sebabnya pemimpin-pemimpin yang dicintai rakyat miskin seperti Fidel Castro, Hugo Chavez, Evo Morales bahkan Ahmadinejad menitikberatkan fokus perhatiannya pada pendidikan, kesehatan dan perumahan untuk rakyat miskin.

Sayangnya di negara kita rumah masih dianggap sebagai kebutuhan yang tidak pokok. Oleh karena itu, wajar kalau sampai sekarang masih banyak warga masyarakat terutama di perkotaan yang tinggal di tempat-tempat kumuh, seperti di pinggir sungai yang kalau musim hujan tiba keberadaan rumah tersebut sering menjadi kambing hitam penyebab banjir.

Pertumbuhan penduduk yang disikapi dengan solusi pragmatis bahkan sadis ini jelas mengorbankan jutaan rakyat miskin yang jumlahnya kini melebihi seratus juta orang. Menurut pemikir besar Karl Marx, pertumbuhan penduduk yang tinggi bukan karena kecenderungan biologis, tapi lebih merupakan konsekuensi dari moda produksi kapitalis. Karena kapitalisme membutuhkan jumlah ‘penduduk yang bekerja’ pada tingkat tertentu yang memungkinkannya mengeruk untung yang lebih besar.

Persoalan kependudukan seperti kemiskinan, migrasi ke perkotaan, munculnya kelas gelandangan, juga bukanlah produk dari pertumbuhan penduduk alami tapi karena menjalarnya kapitalisme. Dan menurut Karl Marx, ini “merupakan hukum umum mutlak dari akumulasi kapitalis”. Jadi bisa dikatakan solusi penggusuran, operasi yustisia bagi rakyat bukan solusi yang paling mujarab mengatasi pertumbuhan atau arus perpindahan penduduk.

Pemerintah SBY-KALLA jelas tidak menunjukkan kemauan politik untuk memfasilitasi rakyat miskin yang marjinal. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap perumahan untuk rakyat berpenghasilan menengah ke bawah membuat persentase atau jumlah kekurangan rumah terus bertambah dari tahun ke tahun.

Di DKI Jakarta saja jumlah penduduk tahun 2004 mencapai 10 juta jiwa (dengan pertumbuhan penduduk 1,4 persen per tahun). Kebutuhan rumah akibat pertumbuhan itu sebanyak 35.000 unit per tahun.

Itu artinya, DKI Jakarta harus membangun 35.000 rumah baru per tahun. Jumlah ini belum termasuk rumah untuk penduduk yang masih menumpang pada orang tua, pengangguran di rumah kontrakan (kost), gelandangan, dan sebagainya. Bisa dibayangkan berapa total rumah yang mesti dibangun hanya di wilayah DKI Jakarta saja. Belum lagi jika pada tahun 2025 diprediksi jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 273,65 juta jiwa.

Program-program yang diadakan pemerintah untuk membangun perumahan untuk rakyat pun masih sulit direalisasikan. Alasan yang diungkapkan melulu masalah tidak adanya anggaran sehingga sulitnya menjalankan program perumahan untuk rakyat. Di satu sisi, kemampuan daya beli masyarakat masih rendah akibat kondisi ekonomi dan politik nasional yang belum stabil sehingga alokasi dana untuk perumahan dan permukiman melalui APBN makin terbatas akibat terlalu banyak membayar utang luar negri.

Presiden Bolivia, Evo Morales membangun rumah untuk rakyat miskin dari dana alokasi nasionalisasi perusahaan pertambangan yang dimanfaatkan untuk membangun perumahan untuk orang miskin. Hasil dari nasionalisasi industri pertambangan yang diperuntukan untuk rakyat miskin juga dilakukan oleh Hugo Chavez. Untuk itu nasionalisasi industri pertambangan hanya akan bisa dinikmati oleh rakyat miskin jika dipimpin oleh presiden yang berpihak kepada rakyat miskin dan anti imperialisme seperti Hugo Chavez, Fidel Castro dan Evo Morales. Bukan pemimpin yang berkarakter kuli imperialis seperti SBY-KALLA.

Sudah saatnya anggaran negara tidak lagi digunakan hanya untuk lawatan pejabat ke luar negri, tunjangan yang tidak penting dan membayar utang luar negri. Tapi anggaran negara harus digunakan untuk kepentingan rakyat miskin di bidang pendidikan, kesehatan dan membangun rumah untuk rakyat miskin, bukan menggusur rumah rakyat miskin. ***
*Elang Riki Yanuar
Anggota LMND IISIP Jakarta

0 komentar: