15 Agustus 2007

Dari dulu Sekolah Cuma buat Orang Kaya

Oleh : Safrezi Fitra
Pendidikan telah dikenal di indonesia sejak abad 15-16, pada zaman kerajaan sriwijaya, dengan adanya sekolah budha. Namun dari semenjak dikenal adanya sekolah tersebut sampai sekarang, adalah sama bahwa yang bisa mengenyam bangku sekolah hanya orang-orang terpilih. Pendidikan yang diberikan pada masa itu selain untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, juga untuk melanggengkan kekuasaan raja dan keturunannya. Ilmu pengetahuan yang diajarkan adalah tentang sistem pemerintahan, strategi perang, strategi penguasaan sumber-sumber ekonomi, sastra dan budaya, serta berbagai pengetahuan lain untuk mempertahankan kekuasaan raja. Karena itulah maka yang bisa mendapatkan pendidikan tersebut hanyalah keluarga, kerabat serta keturunan raja. Rakyat biasa tidak akan mungkin mendapatkan kesempatan yang sama dalam penyaluran pengetahuan. Rakyat biasa hanya bisa mendapatkan pengetahuan tentang apresiasi budaya, misalkan tarian rakyat, wayang, dll. Pendidikan tersebut bisa didapatkan rakyat bukanlah hasil pemberian raja kepada rakyatnya, namun merupakan wujud pemberontakan rakyat terhadap sistem budaya saat itu yang terkesan “pilih kasih” dan hanya memanfaatkan rakyat untuk kegiatan produksi dan untuk tetap mempertahankan keberadaan kekuasaan raja saat itu.
Masuknya penjajahan asing di Indonesia, tidak memberikan perubahan apa-apa terhadap pendidikan rakyat. Walaupun pemerintahan kolonial Belanda melaksanakan program pendidikan melalui “politik etis”. Tetap saja sekolah tidak ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan bangsa Indonesia. Pemerintah belanda mendirikan sekolah adalah semata-mata untuk memperoleh tenaga kerja rendahan yang akan mengoperasionalkan pabrik dan perkebunan modern, serta mengisi pos administrasi pemerintahan kolonial Belanda. Sekolah-sekolah yang ada pun hanya bisa dinikmati oleh sebagian golongan saja, sesuai dengan tingkatan status sosial pemerintahan kolonial, antara lain hanya orang Belanda, Eropa, golongan Indo, priyayi pribumi (tuan tanah), dan golongan Asia Timur Jauh.
Kemudian berbagai sekolah pun dibuka, mulai dari sekolah keguruan sampai kejuruan. Tahun 1852 berdiri sekolah guru (kweekschool) pertama di solo. Disusul kemudian dengan sekolah sejenis di Bukit Tinggi (1856), Probolinggo dan Bandung (1866), Tanah Batu (1862). Sekolah Dokter Jawa (1851), Sekolah Mantri Cacar (1849). Sekolah lainnya kemudian didirikan di Tondano (1873), Ambonia (1874), Banjarmasin (1875), Makasar (1876), Padang Sidempuan (1879), dan di daerah Indonesia Timur.
Akhir abad 19 dan awal abad 20 Sekolah tinggi mulai dibuka. Tahun 1892 didirikan Sekolah Pamong Praja (Hoofdenschool), kemudian diganti menjadi Opleiding School Vor Inlandsche Ambtenaaren (OSVIA) pada tahun 1900 di Magelang. Tahun 1902 didirikan STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) yang kemudian menjadi NIAS (Nederlandsche Indische Artsen School) tahun 1913dan GHS (Geneeskundige Hoge School) yang merupakan cikal bakal berdirinya Fakultas kedokteran. Kemudian disusul dengan berdirinya Rechts School tahun 1922 kemudian berubah menjadi Rechthoogen School tahun 1924 sebagai awal mula dari Fakultas Hukum UI. Di Bandung tahun 1920 didirikan Technische Hoge School yang kemudian menjadi ITB, sedangkan di Bogor didirikan Landsbouwkundige Facuteit pada 1941, yang sekarang disebut IPB.
Sama halnya dengan sekolah tinggi, sekolah-sekolah dasar pun didirikan tetap masih bersifat elitis hanya untuk orang kaya dan bangsawan, diantaranya ELS (Europeesche Lagere School) dan Holandsch Chinesche School (HCS) pada jenjang pendidikan dasar. MULO (Meer Uitgebreid Lager Oderwijs) pada jenjang SLTP, sedangkan ditingkatan SLTA ada AMS (Algemeene midlebare School) dan HBS (Hogere Burger School. Sedangakan rakyat jelata pada saat itu hanya mendapatkan pendidikan sekolah pribumi angka 2 yang kemudian ditutup pada tahun 1929 karena krisis malaise.
Pada zaman tersebut, kurikulum pendidikan yang ada harus disesuaikan dengan kurikulum pandidikan negeri Belanda. Karena itulah, lulusan-lulusan pribumi dapat melanjutkan studinya ke negeri Belanda, namun tetap dengan kriteria tertentu yang tentunya sangat diskriminatif dan hanya orang-orang tertentu saja yang mendapatkan kesempatan tersebut. Selain karena faktor diskriminasi, penyebab dari terbatasnya peluang mendapatkan pendidikan bagi rakyat pribumi adalah karena biaya pendidikan yang sangat mahal. Untuk sekolah menengah seperti MULO saja dikenakan biaya sebesar 5,60 fl (gulden) atau pada masa sekarang setara dengan Rp. 672.000 /bulan, apalagi pada sekolah tinggi, untuk membayar kuliah per tahun seorang mahasiswa harus mengeluarkan biaya kuliah sebesar 300 fl atau pada masa sekarang sama dengan 36 juta rupiah.
Menyadari bahwa pemerintahan kolonial Belanda sangatlah diskriminatif dalam penyelenggaraan pendidikan, maka sebagian dari kaum pribumi berinisiatif untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi yang terbuka bagi masyarakat luas. Sebagai contoh pada tahun 1919 didirikan Sekolah Serikat Islam oleh Tan Malaka, Zending, dll. Tahun 1922 Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, yang memberikan pendidikan budi pekerti dan semangat kebangsaan, tahun 1928 KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Karena banyaknya sekolah-sekolah untuk rakyat pribumi ini didirikan, Akhirnya pemerintahan kolonial memberlakukan Onderweer Ordonantie pada tahun 1932 yang merupakan salah satu produk hukum yang bertujuan menutup semua sekolah yang tidak disubsidi dan dianggap liar oleh pemerintahan kolonial. Namun tetap saja, hal ini bukan menjadi suatu halangan dan tidak menyurutkan semangat kaum pribumi untuk mendirikan sekolah bagi rakyat jelata.
Karena telah dibekali pendidikan dan ilmu pengetahuan, kaum muda terpelajar semakin sadar akan penindasan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda, yang kemudian turun dan berbaur di tengah-tengah rakyat untuk kemudian mengobarkan kesadaran dan semangat perlawanan terhada penjajah asing. Keterlibatan kaum muda terpelajar ini dapat dilihat dari bangkitnya Pergerakan nasional yang dipelopori oleh kaum muda, selain itu andil pemuda juga sangat besar dalam sejarah lahirnya organisasi-organisasi politik di Indonesia, serta juga mampu membangkitkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air melalui “Sumpah Pemuda” tahun1928, hingga peranannya dalam proses menuju proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Dari sisi pendidikan, ruang masuk untuk mendapatkan pendidikan tersebut dari dulu sampai sekarang adalah sama, yaitu sekolah hanya untuk orang kaya, atau hanya orang-orang pilihan yang bisa bersekolah. Jika pun ada sekolah murah pasti kualitasnya sangatlah buruk dan sangat tidak memadai. Yang membedakan adalah jika zaman kolonial, kaum muda yang dengan berbekal sedikit ilmu pengetahuan dapat memperjuangkan pendidikan yang harusnya merata untuk segala macam golongan tanpa diskriminasi. Sekarang banyak kaum terpelajar yang telah memiliki segudang ilmu pengetahuan malah hanya dikonsumsi untuk dirinya sendiri, bukan malah mengabdikan ilmunya untuk bangsa dan negara serta dapat membagi ilmunya pada masyarakat, misalkan dengan memperjuangkan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat, pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis sesuai yang telah diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan aturan paling pokok bagi bangsa ini.

0 komentar: