15 Agustus 2007

Meninjau Kembali Peran Negara Terhadap Dunia Pendidikan

Oleh : Elang Riki Yanuar

Masih lekang kah dalam ingatan kita ketika mengikuti upacara bendera saat pembacaan undang-undang dasar 1945 di sekolah. Disitu tertulis jelas bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan rakyatnya. Artinya sudah sangatlah jelas, setiap warga negara di Indonesia berhak menikmati pendidikan agar kelak menjadi seorang manusia yang cerdas dan berguna untuk bangsanya. Sungguh sebuah cita-cita mulia yang dulu diperjuangkan oleh para pejuang kemerdekaan kita dahulu.

Dari sini juga kita bisa mengerti mengapa para pejuang kemerdekaan kita menempatkan pendidikan sebagai suatu yang penting bagi suatu negara. Karena pendidikan memang merupakan cermin kualitas peradaban di suatu bangsa. Bahkan kini di lingkungan masyarakat pendidikan juga menjadi sebuah tolak ukur tentang kehidupan dan tingkah laku seseorang. Jika seseorang melakukan tindak kriminal seperti perampokan, pencurian dll, maka dengan mudah nya orang akan membuat anggapan bahwa orang yang melakukan tindakan kriminal itu tak memiliki pendidikan atau berpendidikan rendah. Meski anggapan ini tidak sepenuhnya benar, tapi kita tak bisa menafikan jika tingginya tingkatnya kriminalitas juga diikuti dengan rendahnya tingkat pendidikan yang diterima rakyat miskin.

Para pejuang kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan Ki Hajar Dewantara mungkin juga tak akan mengira jika cita-citanya menjadikan manusia Indonesia yang cerdas kini sangat sulit diwujudkan oleh penerusnya. Tak ada lagi sekolah-sekolah rakyat yang dulu dibuat oleh Tan Malaka dan Ki Hadjar Dewantara untuk warga pribumi yang miskin agar mampu mengakses pendidikan. Mungkin para pejuang revolusi kemerdekaan kita akan menangis jika melihat semua orang mencibir sekolah-sekolah murah yang dianggap tak memiliki kualitas. Karena pendidikan hanya diperuntukan untuk para orang yang mampu saja.

UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4).

Anggaran Pendidikan untuk tahun 2007 naik menjadi 14,7 persen atau Rp 43,489 trilyun. Anggaran Pendidikan di rejim SB-KALLA semula hanya 6,6 persen pada tahun 2004, telah dinaikkan menjadi 9,3 persen pada tahun 2005 dan 12 persen pada tahun 2006. Ini menjadi bukti ketidakpedulian rejim SBY-KALLA terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Sebagai perbandingan, seperti ditulis Media Indonesia (3/4/06), anggaran mahasiswa standar nasional untuk Strata Satu adalah 18,1 juta rupiah per mahasiswa per tahun, atau sama dengan 72 trilyun pertahun. Di Malaysia, anggaran untuk mahasiswa mencapai 114 juta rupiah per mahasiswa per tahun. Peran negara untuk bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan gratis, ilmiah, modern dan kerakyatan masih sangat jauh untuk diwujudkan. Karena minimnya alokasi anggaran untuk pendidikan akibatnya pendidikan menjadi terlalu mahal untuk ekonomi rakyat miskin.

Pendidikan berubah menjadi sebuah lahan bisnis yang memiliki prospek yang tinggi untuk meraih keuntungan. Fungsi sekolah masa lalu yang mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai "korban penindasan".

Maka jangan heran jika Human Development Index (HDI) Indonesia jauh dari negara-negara di dunia. Kita berada di posisi 111 dari 175 negara. Malahan kita sudah ditinggalkan oleh negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand bahkan Vietnam untuk kualitas sumber daya manusia. Kita jauh di bawah mereka, Singapura (25), Brunei (33), Malaysia (58), Thailand (76), dan Filipina (83).

HDI merupakan ukuran keberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi suatu bangsa. Implikasinya, HDI yang tinggi menunjukkan keberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Sebaliknya, HDI yang rendah menunjukkan ketidakberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi suatu negara.

Berdasarkan Laporan UNDP, Human Development Indeks Indonesia terus melorot semenjak 1975. Data ini menunjukkan HDI Indonesia mengalami kemunduran terutama sejak 1996. Kecenderungan penurunan HDI ini utamanya untuk komponen angka kematian bayi dan angka bebas buta huruf di antara penduduk dewasa. Ini mengindikasikan kualitas manusia kita tidak berkembang-berkembang dari tahun 1974, bahkan terus melorot. Data ini juga berarti kualitas manusia Indonesia masih rendah.

Adalah tanggung jawab negara untuk memberikan pendidikan gratis dan mudah dijangkau rakyat miskin. Pemerintah harus segera memprioritaskan anggaran pendidikan ketimbang untuk membayar utang luar negeri. Karena jeratan utang luar negeri nampak semakin menyengsarakan, terutama setelah krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1997. Dan akumulasinya, kini utang luar negeri kita mencapai US$ 80 miliar, dengan angsuran pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri mencapai sepertiga APBN. Anggaran utang luar negeri inilah yang lebih difokuskan oleh rejim SBY-KALLA. Masih di diktenya rejim SBY-KALLA oleh kepentingan IMF membuat rejim SBY-KALLA makin jauh mendahulukan kesejahteraan rakyat miskin. Karena pendekatan ala IMF ini lah yang telah menghasilkan biaya sosial ekonomi, bahkan politik, yang makin menyengsarakan rakyat Indonesia.

Tetapi kenaikan anggaran ini juga harus diikuti dengan sistem anggaran yang berpihak pada kepentingan publik, misalnya prinsip alokasi, distribusi, pengawasan, dan akuntabilitas yang tinggi. Karena sudah bukan isapan jempol belaka jika Departemen Pendidikan adalah salah satu departemen yang rawan korupsi. Pengawasan yang transparan ini agar anggaran pendidikan langsung dirasakan oleh rakyat miskin yang memang memiliki hak untuk mendapatkan akses pendidikan dari negara. Mungkin kita harus belajar pengalaman sejumlah seperti Cina dan Vietnam dalam upaya-nya mempertahankan pendidikan di tengah serangan pasar bebas. Atau di Venezuela dengan sekolah bolivarian nya dan seperti di Kuba yang telah mencapai keberhasilan penting dalam hal kesejahteraan, terutama dalam hal pendidikan yang bermutu dan gratis bagi rakyatnya, sehingga menyaingi standar kesejahteraan negara-negara kapitalis.***

0 komentar: