11 Oktober 2007

Tanggung Jawab Partai Alternatif

Oleh : Paulus Suryanta G*

Landasan

Ekonomi:


Pelaksanaan kebijakan Neoliberalisme sepenuh-penuhnya oleh Pemerintahan SBY-JK justru membawa kondisi perekonomian Indonesia sebagai salah satu Negara yang menjalankan “Resep Ekonomi” Washington Konsensus, justru terjerembab dalam jurang krisis ekonomi yang semakin dalam. Kenyataan social-ekonomi saat ini membuktikan bahwa pandangan-pandangan Milton Friedman dan Frederich Von Hayek bahwa akan adanya kesetaraan persaingan yang sempurna dalam wilayah tingkat-permainan (level of playing field) dimana semua pemilik komoditas seimbang (Konvergensi) justru beranjak pada ketidaksetaraan persaingan dalam berbagai tingkat permainan (Divergensi). Sehingga globalisasi modal, barang dan jasa menjadi tidak terglobalkan. Melainkan dimonopoli oleh segelintir pemilik modal besar. Akhirnya, pandangan pertumbuhan dengan Tricle Down Effect (Efek tetesan air kebawah) menjadi hanya sekedar mimpi belaka.


Membengkaknya penetrasi Kapital Asing—yang tidak bergerak dalam sector riil—melainkan dalam Fortopolio, pasar saham dan surat obligasi membuka peluang pergerakan modal secara liar karena tidak adanya sistem keuangan yang kuat dan ketat. Situasi ini akan mengakibatkan ketidakstabilan neraca capital nasional.


Sejak keruntuhan sistem kurs tetap ala Bretton Woods pada awal 70an. Dan dimulainya sistem kurs mengambang/bebas (freely floating system). Modal dan sistem keuangan telah terintegrasi secara internasional. Menuntut kebijakan liberalisasi keuangan pada komponen: Liberalisasi Domestik dan Internasional. Dimana liberalisasi domestic menuntut keaktifan kekuatan-kekuatan pasar dengan mengurangi peran Negara di sector keuangan. Sedangkan, Liberalisasi keuangan internasional menuntut penghapusan control dan regulasi tentang penanaman (inflows) dan pelarian(outflows) modal. Dengan komponen kunci, antara lain: a. Deregulasi suku bunga. b. Penghapusan control kredit. c. Swastanisasi bank dan instiusi keuangan milik Negara. d. pembebasan jalan masuk sector swasta, bank-bank dan institusi keuangan asing kedalam pasar keuangan dalam negeri. e. liberalisasi lalu lintas devisa. Dengan mengizinkan devisa lintas batas Negara. Dewasa ini, pasar keuangan global telah bergerak melampaui fungsi awalnya: memfasilitasi perdagangan dan penanaman modal lintas Negara. Pasar keuangan tidak lagi sekedar mekanisme untuk menyediakan tabungan bagi investasi sector produksi, justru kurang berkait dengan arus sumber daya riil dan investasi jangka panjang sector produksi. Maka, Penetrasi Hot Money tidak bergerak pada sector riil, melainkan pada saham dan surat berharga yang tidak memberikan kontribusi positif bagi pembangunan Industri Nasional. Terlebih lagi, penetrasi Foreign Direct Investment yang diharapkan sebagai ujung tombak ekonomi pasar (bagi penganut mazhab liberalism) yang sangup mendongkrak perekonomian nasional berbanding terbalik dengan tingkat penetrasi Foreign Fortopolio Investment yang justru menggelembung.


Jika ditilik secara historis, berkembangnya sistem kurs bebas dan membengkaknya aliran capital pendek di berbagai negeri merupakan imbas dari tidak berkembangnya sector real. Modal-modal yang ada tidak ditanamkan kepada berbagai industry barang dan jasa. Karena dianggap tidak memberikan keuntungan yang signifikan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dengan factor rendahnya daya beli masyarakat. Melimpahnya barang-barang (overproduksi) dan spekulan produk (barang) yang memainkan pasar dalam kepentingan sepihak ditambah dengan rendanya tingkat pembelian konsumen telah membawa kapitalis internasional dan local untuk bermain dalam arena pasar valuta asing, portofolio, surat obligasi, dan derivatif modal. Situasi ini membuat kuat-lemahnya kurs mata uang suatu Negara menjadi ajang permainan investor modal. Dan mereka mendapatkan keuntungan besar (pelipatgandaan capital) tanpa adanya proses produksi. Keharusan siklus kapitalisme dan kegilaannya untuk meraup keuntungan maksimal justru membawa kapitalis finance pada jurang kehancurannya.
Baik krisis yang terjadi di Meksiko (Efek Tequila), di Chili, dan Devaluasi Bath di Thailand akibat sistem kurs bebas dan outflows capital. Telah berhasil menggeret krisis-krisis di berbagai negeri di Indonesia. Penarikan modal besar-besaran dari negara maju dan sebaliknya dari negara berkembang ke negara maju telah mengakibatkan ketidakstabilan nilai tukar mata uang negara-negara berkembang. Ketiadaan sistem pertahanan dalam sistem keuangan, mengakibatkan kehancuran industry real karena industry di negara-negara berkembang membutuhkan bahan mentah, energy dan teknologi dari luar. Yang kesemua itu harus dibeli dengan kurs dollar. Pelipatgandaan satu mata uang disatu sisi dan kehancuran mata uang negara berkembang disisi lain telah mengakibatkan nilai suatu produk melambung tinggi diluar batas-batas kesanggupan daya beli masyarakat.


Kebijakan keuangan (politik anggaran) juga tidak menekankan pada pembangunan Industri Nasional dan syarat-syaratnya. Melainkan pendistribusian anggaran untuk pembayaran utang luar negeri, belanja barang, pembayaran surat obligasi perbankan, dan belanja militer. Hal ini mengakibatkan Negara tidak memiliki ketahanan keuangan nasional karena terlalu banyak modal yang lari keluar negeri (Capital Flights). Serta minimnya anggaran yang berorientasi membangun industri dan infrastrukturnya. Ditambah minimnya kehendak pemerintah untuk melakukan lobby internasional (seperti Nigeria) untuk mendapatkan pemotongan sebagian utang (Hair cut) dengan jalan mengungkapkan hutang haram (Oudious debt) ataupun memperjuangkan kenyataan indonesia sebagai negara Heavely Indebted Poor Country (HIPC). Memperjuangan perubahan standar HPIC ataupu melakukan penundaan pembayaran utang sementara (moratorium utang). Yang justru getol dilakukan oleh pemerintah adalah melaksanakan sepenuhnya program konversi utang (Debt Swapt) yang mana dananya berasal dari APBN akan tetapi orientasi pelaksanaannya tidak memiliki konsentrasi/fragmentatig sehingga kemaksimalan capaian program konversi utang tidak memberikan capaian maksimal bagi peningkatan kesejahteraan ataupun pendidikan.


Situasi ini, sebaliknya tidak dilakukan penanganan secara utuh oleh pemerintah melainkan justru meningkatkan Suku Bunga Indonesia, 8.75%. Hal ini justru tidak menguatkan posisi rupiah dengan meningkatnya mobilisasi dana untuk tabungan melainkan semakin menumpukkan ketidakmampuan debitor untuk membayar pinjamannya. Memang disatu sisi, peningkatan suku bunga Indonesia akan menarik capital (inflows) asing untuk masuk. Karena rendahnya Suku bunga di negara-negara maju. Tetapi tidak dalam Investasi real tetapi masuk dalam portofolio, valuta asing, obligasi, spekulan property, dan kredit konsumsi. Bahkan dibeberapa negara berkembang, peningkatan suku bunga dan liberalisasi arus invetasi memaksa negara tersebut membayar biaya sebesar 10-20% dari Produk Domestik Brutonya (PDB).


Liberalisasi Perdagangan yang dijalankan sepenuhnya oleh pemerintahan SBY-JK berdasarkan skenario lembaga perdagangan Internasional (WTO) mengakibatkan kehancuran industri tekstil dan produk tekstil serta produk-produk pertanian nasional yang wajib tidak diproteksi. Situasi ini terjadi pula pada industri jasa.Akibat terbesarnya adalah fenomena larinya modal (outflows) menengah (mid term capital) ke negara-negara yang memiliki tenaga kerja murah dan dengan tingkat daya beli yang relative sedang. Contoh, Industri tekstil dan Elektronik yang ditinggal lari pengusahanya. Dalam beberapa situasi juga terdapat pelarian modal (outflows) jangka panjang meski tidak terlalu banyak terjadi. Seperti Reebok.


Praktek spekulan industry energy (minyak, gas dan batubara) dan pembagian keuntungan yang kecil (Production Sharring) serta liberalisasi dalam struktur Industri Energi (Minyak, Gas, dan listrik) memberikan dampak yang sangat besar bagi pelipatgandaan biaya produksi dan distribusi industry barang dan jasa dalam negeri. Terlebih regulasi yang ada justru meliberalisasikan struktur industry energi, yang mengakibatkan terjadi persaingan di industry Hilir (membuat perusahaan negara tidak lagi memiliki kekuatan monopoli) bukannya membangun Industri Hulu dan Infrastruktur produksinya.


Ketiadaan kebijakan konsep dan pelaksanaan energi alternative secara cepat, murah dan modern mengakibatkan tingkat produktifitas tidak kunjung meningkat.
Pembengkakan keuangan (Buble Economic) dan liberalisasi perdagangan akan semakin memperdalam ketidaksanggupan daya beli dan deindustrialiasi. (Outflows short term capital) pelarian modal asing jangka pendek, akan diikuti oleh kehancuran nilai mata uang rupiah dan (outflows mid term capital) pelarian modal menengah yang ada dalam Industri real karena mahalnya biaya energy (dibeli dalam dollar), mahalnya pembelian barang mentah dan teknologi. Sehingga, kecenderungan krisis (seperti 98) berpotensi terjadi. Terlebih tidak adanya perbaikan struktur ekonomi nasional secara signifikan yang dapat menahan perilaku praktek spekulan modal besar. Dan kepatuhan pemerintah dalam menjalankan liberalisasi perdagangan barang dan jasa yang membuat kehancuran pasar dalam negeri, ditengah lemahnya lemahnya daya saing produk—karena rendahnya teknologi dan kualitas tenaga produktif.


Atas situasi ini, berbagai konsesi-konsesi Imperialis dan Agennya , baik dalam bentuk program MDG’s ataupun Askeskin, BLT, BOS, BOP tetap tidak dapat menaham gejolak perlawanan anti pendindasan Imperialisme. Sebab, pemerintahan agen Imperialis tidak memiliki cukup modal bagi konsesi-konsesi dan pengilusian itu. Belum lagi, ditambah budaya korupsi yang memanfaatkan kemiskinan rakyat sebagai alat memperkaya diri bagi kaum birokrat di negeri ini. Suara-suara sumbang karena penambahan biaya tetek bengek setelah adanya BLT, BOS, BOP merupakan kenyataan dimana praktek pencarian keuntungan sepihak masih menjadi budaya di negara ini.


Politik:


Situasi ini akan membuka peluang radikalisasi massa dengan karakter populisme, ekspresi atas penindasan terstruktur Imperialisme. Radikalisasi-radikalisasi yang berkembang pada situasi ini berada pada kondisi Ekonomis-Fragmentatif. Radikalisasi spontan-fragmentatif ini memiliki kandungan kesadaran Imperialisme meski belum sepenuhnya. Tetapi penindasan strukturalnya memudahkan gerakan-gerakan spontan tersebut sampai pada kesadaran anti imperialisme (tentu apabila diolah oleh kepeloporan politik).


Dalam situasi saat ini, penindasan Imperialisme dan Radikalisasi Spontan-fragmentatif gerakan buah dari penindasan tersebut telah memberikan kemajuan-kemajuan dikalangan Elit Politik (Borjuis) dalam menerima dan mengangkat program anti penjajahan asing. Situasi ini tidak dapat dilepaskan pula atas perkembangan tokoh, pemerintahan dan system alternative yang sedang berkembang di Amerika Latin ( Brazil, Bolivia, Cuba, Argentina, dan Venezuela). Keberanian-keberanian pemimpin negeri-negeri tersebut dalam menerapkan suatu kebijakan diluar pandangan mainstream memberikan inspirasi positif kepada kalangan elit. Tapi, memang kita tidak dapat melebih-lebihkannya hingga pada karakter penerimaan dan pelaksanaan programatik pada masa Soekarno. Elit Politik saat ini menerima pengaruh-pengaruh positif dari negeri-negeri tersebut dan menggunakannya dalam kepentingan mencari popularitas belaka dihadapan rakyat miskin yang tertindas. Hal ini harus dilakukan oleh seluruh blok dari elit (Borjuis) dalam kepentingan yang sejatinya iallah menjadi agen utama kapitalisme internasional. Dikarena beberapa Faktor politik yang mempengaruhinya: I. Paska Pemilu 2004, dalam peta politik nasional, tidak didapat sama sekali satu dominasi ekonomi-politik dari satu golongan elit borjuis yang memimpin. II. Polarisasi Politik-Ekonomi ini tidak dapat dilepaskan atas ketidaksanggupan Reformis-reformis gadungan untuk memimpin dan menguatnya kembali unsure-unsur kekuatan Orde baru (Golkar-Militer). Pada situasi ini ada beberapa hal yang harus dijalankan oleh Elit Borjuis agar dapat sepenuhnya menjadi agen utama Imperialisme di negeri in, yaitu: a. Mengeliminir perkembangan kekuatan politik alternative yang sedang berkembang.ini dilakukan untuk tidak menyulitkan posisi politik mereka pada pertarungan politik 2009. d. Mengeliminasi kekuatan borjuis dan alat politiknya melalui sistem politik yang mensyaratkan administratif formal. c. Membangun Blok Politik yang solid (Koalisi PDIP-Golkar+Militer) untuk memastikan proses pengeliminiran tersebut berjalan dan memastikan kemenangan kaki-tangan mereka di Provinsi/Kota/Kabupaten sebab penetrasi modal sudah bergerak semakin bebas dan dalam hingga pada teritori tersebut. Tentu saja atas nama Stabilitas dan Pluralisme, meski kedua hal yang menjadi landasan tersebut sangat kontradiktif untuk menjadi sebuah landasan Pijak. Posisi mereka ini tentu akan diamini oleh Imperialisme. Sebab, akan lebih mudah dan aman secara politik-ekonomi apabila kekuatan politik penguasa tidak terlalu fragmentatif. d. Metode politik ini tetap akan dibingkai atas nama Nasionalisme, Keutuhan Bangsa, slogan-slogan populis, dan stabilitas politik-ekonomi dan perlawanan terhadap Fundamentalisme Islam yang tengah berkembang. Hanya dengan slogan-slogan tersebut dominasi politik mereka akan memiliki dukungan politik secara besar-besaran dikalangan massa rakyat yang luas.

Paska penjatuhan Soeharto, ruang demokrasi sudah mulai terbuka. Meski tidak sepenuhnya terbuka secara lebar sebab sisa-sisa Orde Baru dan Militer hendak bangkit kembali. Dan upaya tarik menarik agar ruang demokrasi terbuka selebar-lebarnya; seluas-luasnya terjadi antara sisa Orba dan Militer disatu sisi melawan kelompok Demokratik (Gerakan Demkartik dan Borjuis Demokrat) disisi lain.


Hari ini, Ruang Demokrasi tersebut masih terbuka—meski tidak sepenuhnya dan masih sering diganggu oleh kelompok milisi sipil reaksioner (FPI, GPK, GEPAKO, FBR) yang menjadi kaki tangan Sisa Orba dan Militer. Tapi ruang demokrasi ini masih sangat formal dan proseduralis, penuh tipu muslihat hanya dalam kepentingan dominasi elit politik dan tuntutan Imperialisme bukan dalam perspektif demokrasi seluasnya dan kesejahteraan sebagai syarat membangun bangsa seutuhnya. Terlepas seperti itu situasinya, capaian-capaian hari ini merupakan hasil jerih payah perjuangan bertahun-tahun untuk membuka ruang demokrasi yang sebelumnya tertutup rapat. Adalah salah apabila tidak memanfaatkan ruang demokrasi (democratic space) atau justru meninggalkannya. Sebab, mungkin ruang demokrasi yang sudah terbuka saat ini (meski memiliki batasan) akan menyempit karena bangkitnya kekuatan sisa Orba dan Militer yang anti demokrasi. Maka sangat penting bagi seluruh Gerakan yang tersadarkan untuk memanfaatkan ruang demokrasi yang telah ada dalam tujuan membuka ruang demokrasi ini pada tingkat yang lebih luas lagi (baca:sepenuh-penuhnya) ataupun memanfaatkannya untuk mengkampanyekan program alternatif, membangun kekuatan politik alternatif dan mempopulerkan tokoh politik alternatif bagi rakyat (sebagaimana gerakan kiri dan nasionalis mempopulerkan Soekarno sebagai tokoh alternatif dalam Rapat Ikada)


Gerakan dan Kesadaran Massa


Memanfaatkan atau mengolah berbagai arena dan momentum sebagai konsekuensi kesetiaan dalam pelaksanaan prinsip (Teori) harus tetap melihat secara jernih kekuatan dan kelemahan subyektif gerakan dalam sudut pandang saat ini berdasarkan pengaruh historis. Dan dengan tetap melihat ancaman-ancaman yang akan menghambat tujuan: membuka sepenuhnya ruang demokrasi, propaganda program alternatif, dan melatih rakyat dan gerakan untuk dapat mewujudkan pemerintahan adil, demokratis dan sejahtera. Pada masa Orde Baru, berbagai persoalan muncul dan mempengaruhi gerakan hingga saat ini, yaitu: Deideoligisasi, Depolitisasi, Deorganisasi dan pengaburan ingatan sejarah. Dan lebih parahnya lagi menghancurkan kebudayaan progressif bangsa Indonesia yang terlahir dari sebuah pergulatan sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan (pra Ordebaru). Kondisi tersebut mempengaruhi kondisi gerakan, antara lain: Miskin terhadap Konsepsi Perjuangan (Program dan Strategi-Taktik), Kelemahan struktur organisasi, elitis/sektarian dan mobilisasi (radikalisasi) yang Fragmentatif (pecah-pecah) dan Spontan (ekonomis). Disamping itu, Gerakan Demokratik memiliki kekuatan hasil dari keterlibatannya dalam proses perjuangan bersama rakyat, yaitu:a. Aksi Massa telah menjadi budaya perlawanan bagi seluruh sektor masyarakat. b. Kesadaran anti Militerisme dan Orde Baru (belum sepenuhnya/total) masih terpatri dalam benak rakyat. c. ketidakpercayaan terhadap reformis gadungan akan sanggup membawa mereka pada kondisi adil, demokratis dan sejahtera, d. Ketidaksukaan terhadap kejahatan-kejahatan Milisi Sipil Reaksioner. e. Menggulingkan pemerintah daerah (Bupati, Lurah) dan memaksa koruptor ditangkap dengan metode-metode radikal (aksi massa) f. Penerimaan program anti penjajahan baru ataupun nasionalisme dalam tingkat awal diterima oleh kaum miskin, klas menengah dan elit politik (borjuasi).Meski dalam soal ini, Borjuasi tidak hendak memompa rasa nasionalisme tersebut menjadi bentuk perjuangan anti Imperialisme yang kongkrer, atau membangkitkan kembali National Character Building-yang sebelumnya ditekankan oleh Soekarno. Melainkan hanya pada upaya pencarian popularitas semata demi keuntungan politik pada pagelaran pemilu 2009. Itulah mengapa berbagai spanduk-spanduk pro rakyat miskin dan anti neoliberalisme banyak digelar oleh Partai-Partai Politik Borjuis, seperti yang dilakukan oleh PDIP. Seperti apapun karakter penerimaan dan pelaksanaan program elit politik pada masa sekarang ini memiliki keuntungan politik bagi gerakan untuk menggunakannya demi kepentingan perluasan kesadaran anti Imperialisme.


Kekuatan dan kelemahan tersebut harus dapat diolah sedemikian rupa dalam menghadapi ancaman yang tengah berkembang. Ancaman-ancaman tersebut antara lain: Pertama, menguatnya Sisa Ordebaru+Militerisme (kecenderungan) ditunjukkan dengan Koalisi PDIP-Golkar+Militer (potensi) untuk mendominasi peta politik nasional. Kepentingan utamanya tidak dapat dilepaskan dalam kepentingan untuk mengeliminasi borjuasi lainnya dan juga kelompok alternatif yang membahayakan secara politik dan ekonomi. Serta, kepentingan sejatinya untuk menjadi agen Imperialis (baca:Penjajah) yang utama (terkuat). Dalam membenarkan posisi politik mereka, Koalisi PDIP-Golkar selalu menegaskan bahwa tujuannya koalisi mayoritas (PDIP-Golkar) adalah untuk Kesejahteraan dan Pluralisme dibawah naungan Stabilitas dominasi mereka. Ini merupakan dua hal yang Kontradiktif. Tidak mungkin Stabilitas dominasi Koalisi yang berarti kedikatoran mayoritas akan berimplikasi terhadap pluralisme (baca: demokrasi). Dan tidak mungkin ada kesejahteraan apabila ruang partisipasi demokrasi telah ditutup atas nama kediktaktoran mayoritas. Tidak mungkin buruh pabrik bisa mendapatkan upah, tunjangan, kesehatan dan rumah yang layak apabila kebebasannya untuk berkumpul (berorganisasi) dan menuntut (berpolitik) dihalangi-halangi atas nama stabilitas. Kedua, menguatnya Fundamentalisme Agama (Ekspresi dari kaum intelekual agamawan atas krisis kapitalisme) yang menolak kebebasan berekspresi; menolak sekularisme; menolak demokrasi. Ketiga, Menguatnya milisi sipil Reaksioner yang menghambat perkembangan Gerakan Alternatif dengan cara-cara kekerasan/anti demokrasi. Keempat, penetrasi modal Kapitalisme yang semakin besar, yang mengakibatkan kehancuran dalam aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya.


Kondisi-kondisi tersebut, tidak pula menghilangkan peluang bagi gerakan demokratik untuk berkembang, meluas dan memimpin. Sejauh ia mampu melakukan beberapa hal, yaitu: 1. Mengolah mobilisasi fragmentatif-spontan (ekonomis) itu menjadi mobilisasi yang monolitik (menyatu) dan politis. Dilihat dari sebab-akibatnya, mayoritas radikalisasi yang muncul merupakan buah perlawanan dari penindasan kapitalisme internasional (imperialisme) sehingga mudah untuk ditarik pada perjuangan anti imperialis. Tentu saja, sejauh kepeloporan politik gerakan mengolah itu. 2. Dapat memukul mundur kekuatan terbesar agen Imperialis, Koalisi PDIP-Golkar (plus Militer). Yang hendak mengeliminir kekuatan alternatif dengan cara membunuh demokrasi dengan demokrasi (membuat UU Politik dan Sistem Politik yang Ketat dan Proseduralis oleh Demokrasi Parlemen (yang mayoritas mereka)) 3. Dapat memaksimalkan berbagai arena/ajang/panggung dalam kepentingan untuk mengkampanyekan secara maksimal program dan metode yang demokratik maupun yang strategis.


Situasi Internal (PAPERNAS)


Dalam situasi tersebut, Papernas yang proses pembangunannya telah dipersiapkan selama 1.5 tahun dalam kesimpulan struktur saat ini belum memiliki kesanggupan untuk dapat meloloskan diri sesuai dalam syarat-syarat administrative Depkumham dan KPU. Meski tetap harus dicatat, belum ada sebuah diskusi tentang evaluasi konsepsi secara mendalam terhadap kenyataan struktur saat ini.


Meski tidak sanggup (dalam situasi saat ini), ada beberapa hal yang menunjukkan kemajuan secara kualitatif dan kuantitatif dari struktur Papernas: Pertama, Seluruh struktur Papernas dari DPP – Pengurus Kecamatan telah mengakui dan menerima Program TRI PANJI yang dapat dikategorikan program Maksimum/Sejati/Vangguard. Diluar Papernas, hanya beberapa elit politik saja yang ikut mengangkat salah satu dari program Tri Panji, tetapi secara organisasional mereka tidak sanggup untuk mengangkat program tersebut.
Kesanggupan struktur Papernas masih terlihat dengan tidak terlalu banyak struktur Papernas yang bubar paska terjadinya pemukulan/penyerangan oleh FPI dan FBR.


Satu hal yang dapat disimpulkan oleh kita saat ini iallah bahwa Papernas telah menjadi alat politik alternatif yang membahayakan popularitas dan posisi politik partai-partai elit dan posisi Imperialisme di Indonesia. Maka, tidak ada jalan lain untuk tetap mengamankan posisi politik-ekonomi imperialism dan agennya, selain dengan mengeliminir kekuatan alternative untuk terlibat dalam setiap momentum politik apapun.


Dan menanggapi keinginan untuk melakukan Koalisi dalam tulisan ini saya hendak menawarkan konsepsi Koalisi dengan Tidak Mengikat Kaki, Tangan, dan Leher kita bagi Koalisi, Melainkan membebaskannya untuk tetap setia pada perkembangan realitas politik yang ada dalam kepentingan untuk memajukannya pada batas-batas kemajuannya.


Program- Stratak


Prinsip:


Pertama, dalam kemaksimalan tujuan memanfaatkan ruang demokrasi (meski belum sepenuhnya terbuka) Intelektual Kerakyatan harus terlebih dahulu mengerti sejauh mana posisi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancamannya. Dan juga, mengerti karakter perjuangan elit politik nasional (Borjuis) yang dalam sejarahnya tidak hendak bersatu dengan gerakan untuk penuntasan pembebasan nasional. Dalam berbagai epik sejarah kaum elit nasional (borjuis) merupakan elemen terakhir yang bergerak ketika atmosphere politik telah berada pada program dan taktik gerakan. Memanfaatkannya dalam kepentingan politik-ekonomi tanpa mempelopori perjuangan politik sedar awal. Dengan pengetahuan ini kita dapat menyimpulkan karakter borjuis nasional:lemah. Tak sanggup menuntaskan perjuangan pembebasan nasional. Atas kesadaran tersebut, kita tidak akan terlena pada ilusi mereka pada tuntutan yang berwatak kerakyatan.


Kedua, sehingga ketika kita memandang arena politik borjuis (Pemilu dan Pilkada), tidak kemudian menjadikan panggung/ajang tersebut yang utama bagi pencapaian kemaksimalan program. Sebab dalam arena politik borjuis berbagai jebakan dan hambatan telah disiapkan agar gerakan tidak leluasa untuk berpropaganda sehingga harus memberikan kompromi-kompromi dalam tujuan dan metode. Begitupun, arena politik borjuis (Pemilu dan Pilkada) penting untuk diolah sebagai peluang untuk mengatasi sisi-sisi kelemahan gerakan. Bahwa pada prinsipnya, pengolahan atau pemanfaatan ruang demokrasi memang dalam kepentingan membangun kesadaran politik-ideologis gerakan dan rakyat, melatih pengalaman kerja politik gerakan, membangun persatuan gerakan, membangun struktur gerakan sehingga terdapat kemudahan untuk mencapai program yang lebih maksimal.


Ketiga, dalam pengertian diatas, ruang demokrasi, pemilu dan pilkada, bukan sebagai tujuan gerakan. Melainkan arena yang dimanfaatkan/diolah oleh gerakan dalam kepentingan memaksimalkan propaganda program politik-ideologis; pelatihan kerja politik; pembangunan persatuan; pewadahan massa/perluasan struktur. Sehingga dalam targetannya, Kursi parlemen bukanlah tujuan utama dari kerja politik ini. Melainkan Propaganda Program Alternatif; Strategi-Taktik; Organisasi sebagai muaranya. Tetapi memang, pencapaian kursi didalam parlemen akan memudahkan tujuan-tujuan sejatinya sampai pada muaranya. Hal ini tidak berarti melakukan apapun (semisal: menanggalkan kepeloporan program dan metode) hanya untuk kemudahan-kemudahan lolos dalam seleksi pemilu dan mendapatkan kursi di parlemen—sehingga setelah lolos dan duduk di parlemen bisa dengan mudah berbicara program politik mendesak. Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin) menyebutkan sebagai pentahap-tahapanisme atau mekanik. Jika itu terjadi sangat mustahil rakyat dan kaum demokrat dapat mengerti, menerima dan melaksanakan tugas-tugas politik pembukaan ruang demokrasi seluas-luasnya untuk pemenuhan kesejahteraan sebesar-besarnya sebagai keharusan. Jika tidak sedari awal diberikan perspektifnya kearah itu. Dan tidak mungkin pula, tokoh-tokoh gerakan yang tengah berbicara program politik utama justru disingkirkan oleh kekuatan yang anti terhadap partisipasi demokrasi rakyat dan tuntutan pemenuhan kesejahteraan. Ataupun, bisa saja justru tokoh-tokoh gerakan tersebut kembali menunda-nunda mempropagandakan program politik utama hingga pada waktunya tiba—yang tak jelas ukuran waktunya.


Keempat, agar terhindar pada penundaan-penundaan mengkampanyekan propgram dan metode politik alternatif. Gerakan harus tetap konsisten bergerak pada berbagai arena. Baik arena demokrasi borjuis, Pemilu. Ataupun arena ekstra parlementer. Karena secara sistemik, keseluruhan arena/ajang tersebut tidaklah terpisah. Melainkan memiliki saling keterhubungan (interelasi); saling terkait satu sama lain. Kemajuan-kemajuan secara kuantitatif dan kualitatif di dalam arena ekstra parlementer tidak bisa dilepaskan atas pengolahan dalam arena parlementer. Begitupun sebaliknya, kemajuan-kemajuan secara kualitatif dalam arena parlementer tidak dipisahkan dari tekanan-tekanan politik ekstra parlementer. Maka penting bagi gerakan untuk memaksimalkan kedua arena tersebut demi kepentingan program (tujuan) minimum atau maksimum/utama


Kelima, dalam kepentingan konsistensi pembangunan Alat Politik Alternatif (Papernas) dan Investasi propaganda politik Alternatif maka Papernas harus sanggup menunjukkan kepoloporan politiknya dalam Program Politik dan tindakan politik serta kesanggupannya untuk bermain dalam momentum apapun juga. Menginjeksikan tujuan-tujuan minimum ataupun menginjeksikan tujuan-tujuan maksimum/sejati/pelopor kepada masa, gerakan demokratik, ataupun elit politik.


Keenam, dengan tetap mengerti perbedaan karakteristik kedua arena tersebut. Arena Pemilu/Parlementer merupakan arena pertarungan politik yang menuntut kompromi-kompromi dalam tujuan politik maupun tindakan politik. Sehingga, hanya tujuan (baca:Program) minimum dan tindakan radikal-moderat (semisal: Rapat Akbar, Panggung kebudayaan, Seminar) yang diterima secara akal oleh logika politik borjuis. Sebaliknya, arena ekstra parlementer merupakan arena yang dapat bergerak pada program dan tindakan yang maksimum/utama (radikal) dan dapat bergerak pada program dan tindakan yang minimum (moderat). Pengolahan arena-arena (arena parlementer, arena ekstra parlementer radikal, arena ekstra parlementer moderat) ini secara dialektis (baca:Simultan) akan memberikan keuntungan politik yang sebesar-besarnya bagi perluasan propaganda program; taktik dan organisasi. Sejauh, dapat mengolahnya dengan metode, bentuk dan alat yang tepat.

Ketujuh, dalam kepentingan-kepentingan minimum maupun utama tersebut, gerakan harus membangun sebuah alat politik yang mencerminkan persatuan yang oleh Soekarno sering disebut sebagai “penggalangan yang padu semua kekuatan revolusioner”, samenbundeling van all revolutionaire krachten. Penggalangan yang padu (persatuan) ini bukanlah kelompok/golongan yang justru berlawanan seperti yang dibangun Soekarno dalam Front Nasional (PKI, NU, PNI, Masyumi, Tentara). Melainkan kelompok/golongan yang memiliki kesamaan terhadap persoalan demokrasi, kesejahteraan dan penjajahan baru (Imperialisme).
Kesanggupan-kesanggupan PAPERNAS dan unsure-unsurenya untuk dapat memaksimalkan arena parlementer yang minimum dalam aspek program maupun tagihan tindakan kongkret—yang menekankan pada mobilisasi politik. Akan menstimulasi situasi politik nasional. Begitupun, secara bersamaan ketika PAPERNAS atau unsure-unsurenya ataupun gerakan kerakyatan lainnya yang hendak melakukan tindakan serupa dapat menghubungkan serta memaksimalkan arena ekstra parlementer secara politik dan organisasi. Maka akan membangun suatu atmosphere politik yang radikal. Dimana, partai-partai elit (borjuis) tidak dapat lagi memakai topeng-topeng sok populisnya (kerakyatan) dihadapan rakyat. Sehingga, rakyat tersadar mana kelompok yang sedari awal mengkampanyekan program-program alternatif yang kongkret. Sekali lagi, ini semua terjadi apabila Papernas dapat memposisikan arena-arena tersebut tepat berada dibawah kepemimpinannya secara politik dan organisasi


Program:
Maka dalam posisi ini Papernas memberikan pilahan-pilahan program dalam kategorisasi Maksimum (Strategis/Pelopor) dan program Minimum (demokratik). Dalam hal ini saya mengusulkan Program maksimum: a. Gulingkan Pemerintahan SBY-JK b. Bentuk Pemerintahan Persatuan Rakyat. C. Tri Panji Persatuan Nasional. D, Boikot Pemilu (Dapat diambil sejauhmana gerakan demokratik sanggup melaksanakan kampanye dan tindakan politiknya. Papernas ataupun unsure-unsure didalamnya wajib melibatkan diri untuk terus memajukan tindakan politik Boikot yang muncul tersebut dalam kepenting menginvestasikan sistem politik alternative yang ditawarkan oleh Papernas). Program Minimum: a. Demokrasi dan UU Politik b. Pendidikan dan Kesehatan Gratis. C. Lapangan Kerja D. Perumahan Murah dan Layak.


Dalam prinsip penawaran Program atau Flatporm dalam Koalisi yang harus pertama kali yang kita sampaikan kepada Koalisi iallah program sejati/pelopor pada point ini tidak berarti kita tidak mengerti seperti apa karakter koalisi yang ada tetapi tugas politik kita untuk tetap menyampaikan apa yang menjadi kesejatian dalam tujuan (program) kepada sekutu dalam koalisi. Oleh karena itu kita tetap menyediakan Flatporm minimum dalam koalisi yang tentunya akan diterima oleh mereka.


Prinsip utama kita dalam meletakkan program minimum dan maksimum pada arena koalisi ataupun Parlementer adalah dalam kepentingan untuk meluweskan tindakan politik kita agar tetap dialektis dalam mengolah situasi yang ada dengan tidak beranjak pada satu level program saja dan mentahap-tahapkannya dalam tujuan maksimum.


Maka dari itu, kita tidak hendak untuk melakukan KONSENTRASI pada satu level program ataupun pada satu arena/ajang. Melainkan mengolah kedua level program tersebut dan kedua ajang/arena (Koalisi dan Ekstraparlementer) dalam tujuan untuk memajukan keduanya dan terus mensimultankan kerja pengolahan Koalisi dan Ekstra Parlemennter


Targetan: Perihal targetan politik ini penting untuk ditetapkan agar selanjutnya kerja politik kita tidak mengawang-ngawang pada harapan-harapan yang ilusif. Dan sedari saat ini telah sadar pada kenyataan kedepannya yang kemudian hendak ditagih. Sebab, jika kita menetapkan targetan yang terlalu mengawang hal ini akan berkibat pada jurang keputusasaan. Sehingga menurut saya, sangat perlu bagi kita untuk menentukan targetan-targetan tersebut pada batas-batas realitasnya. Dalam hal ini saya mengusulkan beberapa targetan:
a. Propaganda Program-Stratak dihadapan koalisi dan gerakan pada umumnya.
b. Peningkatan mobilisasi politik (Propaganda dan Menuntut)
c. Rekruitmen struktur Koalisi kepada Papernas dan unsur-unsur didalamnya.
d. Kursi Parlemen (Sulit)


Pengolahan Koalisi dan Ekstra-Parlementer


Dasar:
Dalam taktik pemilu ini, posisi papernas tidak dapat melakukan Konsentrasi sepenuhnya hanya pada Koalisi sebab Koalisi merupakan arena/ajang minimum yang tidak dapat sepenuhnya memuat dan mengusung tujuan-tujuan maksimum yang penting untuk memajukan perkembangan gerakan dan situasi politik. Apabila itu terjadi, maka posisi Papernas harus melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam ajang/arena minimum. Dan apabila itu terjadi maka penyesuaian tersebut akan terjadi seperti ini: Penurunan atau penghalusan posisi program Papernas. Dan menunda posisi politik papernas yang utama/pelopor serta menunda metode politik papernas yang radikal. Dan tidak mungkin pula dalam koalisi ini posisi Papernas secara partai akan dibubarkan dan dibuat menjadi Ormas Payung. Kemungkinan-kemungkinan ini bisa terjadi apabila kita hanya menempatkan koalisi sebagai yang utama (sentral). Dan semuanya akan diabdikan dalam kemudahan-kemudahan berjalannya koalisi. Ini artinya kita akan menunda posisi politik radikal hingga mendapatkan kursi di Parlemen dan baru akan melakukan kampanye program yang lebih maju paskanya (Teori Tahapan). Apabila memang kita bergerak dalam konsepsi politik seperti ini maka kita akan terikat secara politik dan organisasi sehingga kita harus menanggalkan watak politik kita yang progressif.
Taktik Tak Terikat (mengolah Koalisi dan Ekstra parlementer)


Telah kita ketahui sedari dulu bahwa karakter borjuasi di Indonesia memiliki karakter yang lemah dan pengecut sehingga tidak sanggup untuk menuntaskan perjuangan pembebasan nasional. Dalam pandangan itu maka Koalisi yang unsure-unsurenya adalah borjuis nasional tidak akan sanggup untuk mengusung program dalam tingkat yang lebih maju. Maka koalisi tidak akan ditempatkan oleh mereka sebagai alat politik dalam melawan imperialisme dan menuntaskan perjuangan pembebasan nasional melainkan hanya akan digunakan sebagai alat politik electoral semata. Oleh karena itu tugas terutama kita adalah tetap bergerak memajukan arena minimum (koalisi) dan memajukan arena maksimum (ekstra-parlementer). Konsep tidak berarti melepaskan diri dari arena minimum sebab tanpa memaksimalkan arena minimum menjadi tindakan politik dan kampanye program maka tagihan-tagihan gerakan ekstra parlementer untuk memajukannya pada tingkatan yang lebih lanjut tidak memiliki basis yang nyata. Justru dengan kita memaksimalkan arena minimum akan memiliki landasan yang obyektif untuk memajukan lebih tinggi lagi arena ekstra parlementer.


Memajukan arena minimum ini dilakukan dengan mendesak koalisi mengkongkretkan propaganda politik minimum dan tindakan politik-organisasi minimum. Kongkritisasi tindakan politik ini (meski dalam batasan minimum) akan menstimulasikan politik nasional untuk berbicara pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi lagi.


Tindakan-tindakan kita untuk memajukan koalisi ini memiliki batas-batasan kemaksimalanannya, sebab materi dalam koalisi ini tidak akan sanggup pada tuntutan-tuntutan yang lebih sejati. Ketika koalisi sudah tidak sanggup untuk menjalankan tindakan politik yang lebih maju, yang dibutuhkan bagi perjuangan pembebasan nasional maka tekanan utama bagi kerja politik organisasi adalah memaksimalkan kerja agitasi propaganda dan mobilisasi massa pada gerakan ekstra-parlementer yang sanggup untuk melaksanakannya. Dan apabila Koalisi hendak mundur dan atau hendak berkhianat terhadap tuntutan politik gerakan yang lebih maju maka posisi Papernas harus mengkritik Koalisi dan menyandarkan kekuatan sepenuhnya pada Gerakan.


Strategi Bawah: Aku bersepakat dengan mengambil peluang Dapil sejauh itu tidak dikonsentrasikan secara politik dan organisasi. Maksudnya, peluang dapil dapat diambil tetapi tidak mengikatkan diri kedalamnya sehingga berakibat tidak fleksibel dalam makna politik dan organisasi. Semisal, disatu dapil kita melakukan kerja politik, dan diluar itu terdapat radikalisasi dalam usungan program sejati (semisal Turunkan Pemerintahan SBY-JK atau Boikot Pemilu) dalam kepentingan membangun alternative, mesin-mesin Papernas melakukan respon politik dan organisasi pada teritori diluar dapil yang melakukan radikalisasi politik tersebut.


Melakukan Aksi menuntut terjadwal dan serentak (bukan piket). Dengan terlebih dahulu memaksimalkan penggalian data dan perumusan kesimpulan terhadap potensi-potensi kasus basis. Melakukan kerja Agitasi-Propaganda sebagai prosentase kerja yang maksimal. Dengan bentuk panggung-panggung basis. Seperti: Diskusi Kampus/kampong/Pabrik, Panggung budaya, Orasi keliling, Boom Selebaran. Nonton Film di Kampus/ Kampung. Dan membangun Posko-posko di kampus dan Kampung. Kerja Agitasi-propaganda ini diabdikan untuk melakukan radikalisasi menuntut serentak terjadwal dengan mengangkat potensi kasus basis dan atau mengusung program minimum/maksimum.


Kerja Politik Sektoral Mahasiswa:


Prinsip:
Keseluruhan taktik diatas dalam proses pembangunannya tentu tidak dapat dilepaskan dari ketepatan gerakan mahasiswa dalam memanfaatkan dan mengolah politik kampus. Bukan dalam artian “kembali ke kampus’, Back To Campus. Namun, dalam makna membangun tenaga politik gerakan untuk dapat menstimulasi politik nasional serta memajukan sektor-sektor rakyat yang belum tercerahkan. Ini juga tidak berarti meninggalkan pengalaman integrasi kerja politik-organisasi mahasiswa dan rakyat yang telah terbangun sebelumnya. Melainkan, kembali menjadikan kampus sebagai panggung politik untuk berpropaganda program politik pelopor dan taktik. Serta, kembali mengorganisir struktur tenaga politik gerakan. Hal ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dalam kampus: Mimbar bebas, orasi keliling, mogok makan, booming selebaran, seminar, diskusi publik, Happening Art (Aksi kebudayaan), Panggung kebudayaan, Graffiti Action (Aksi corat-coret), pembangunan posko/stand, pendidikan politik. Dimana keseluruhannya diabdikan dalam kepentingan menstimulus politik secara nasional dengan bentuk taktik: Rapat Akbar (Vergadering) dan Aksi Massa (Mobilisasi) menuntut.


Kerja Atas:
Pertama, Membangun front Sektor Mahasiswa dengan tekanan pada kerja agitasi propaganda Program dan Stratak Persatuan dan Intervensi Pemilu. Kedua, membangun front sector Mahasiswa dengan tujuan yang tidak dilepaskan pula. Yakni, membangun Embrio Liga Mahasiswa (Persatuan Gerakan Mahasiswa)


Kerja Agitasi Propaganda:
Mengkampanyekan Persoalan mendesak disektor mahasiswa : Pendidikan Gratis, Ilmiah dan Demokratis, Demokratisasi Kampus, Perbaikan Infrastruktur dan mutu pendidikan, dan Transparansi Kampus.


Kerja Radikalisasi:
i. Kembali melakukan kerja Investigasi, Sosial, analisa kelas dan menentukan Kampus Konsentras/Prioritas. Ii. Menentukan Satu Kampus Prioritas pembangunan Organisasi dan Panggung Politik Gerakan yang didasarkan pada Geopolitik Kampus. Konsentrasi pengerjaan kampus prioritas ini merupakan kerja politik organisasi yang panjang dan tidak momentual. iii.Menentukan Fakultas dan Jurusan Prioritas dalam Kampus Konsentrasi Tersebut. Iv. Membangun Posko-posko Gerakan.v. Melakukan kerja Agitasi Propaganda : Booming Selebaran, Mimbar bebas, Diskusi Publik dan Seminar (Yang menghadirkan tokoh politik nasional). Panggung kebudayaan. vi. Memuarakan kerja Agitasi propaganda pada kerja radikalisasi menuntut bulanan. Disini saya menekankan mobilisasi menuntut bukan vergadering dalam tujuan memaksimalkan serangan politik demi kepentingan menstimulus politik nasional. kembali melatih struktur melakukan serangan politik. Vii. Mobilisasi menutut ini dilakukan oleh seluruh kekuatan sektoral Papernas dengan melakukan start Aksi dari kampus menuju sasaran-sasaran aksi. Hal ini dimaksudkan agar kembali menjadikan kampus sebagai panggung politik dan katarsis (penghantar) energi radikalisasi politik secara nasional.viii. Menentukan dan mengaktifkan kembali jalur-jalur mobilisasi Revolusi ditingkat kota/kabupaten.


Kerja Perluasan: Melakukan kerja propaganda dan pengorganisasian (pewadahan) baik dengan menstrukturkan mahasiswa atas nama LMND ataupun atas nama komite local/kampus. Baik di Kota/Kabupaten/Kampus/Fakultas Perluasan.



*Ketua Bidang Kedaulatan Energi dan Pertambangan dan Sekjen LMND

24 September 2007

Hancurkan Dominasi Imperalisme Di Indonesia !!!

Oleh: Rheza Andhika P.

Sejak dimulainya revolusi industri di Inggris pada abad ke 17 kebutuhan manusia akan Sumber Daya Alam (SDA) semakin besar. Kekurangan dan kebutuhan negaranegara dunia pertama yang tidak tercukupi oleh SDA didalam negeri menyebabkan mereka menjajah dan mencari lahan eksplorasi baru agar dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri mereka. Lewat jalur perdagangan dengan penjajahan model kolonialisme negaranegara dunia pertama mulai merambah masuk dan menjajah negaranegara dunia kedua dan ketiga. Pada zaman tersebut fokus utama mereka bukan disektor minyak dan gas alam melainkan kebutuhan akan barangbarang yang menjadi komoditi utama dalam perdagangan seperti : rempahrempah.
Hal ini terjadi sampai dengan abad ke 19. pada awal abad ke 20 mereka menyadari bahwa sektor migas merupakan sektor penting menguntungkan dan harus dieksplorasi dan dioptimalkan hanya untuk kepentingan mereka (kapitalisme) sendiri. Target sasaran mereka adalah negara dunia ketiga. Terdiri dari para pemodal pengusaha dan birokrat negara dunia ketiga yang korup. Usai berakhirnya perang dunia II dengan terbentuknya deklarasi Hakhak Asasi Manusia (HAM) para kapitalis menyadari cara penjajahan kolonialisme sudah tidak dapat digunakan lagi. Kapitalisme mulai berpikir untuk melakukan penjajahan gaya baru dengan caracara yang mereka anggap lebih manusiawi dan tidak melanggar HAM tetapi tujuan mereka dapat tercapai. Dari sinilah awal mulai terbentuknya Imperialisme gaya baru. Penjajahan dengan membentuk pemerintahan boneka pemerintahan yang dapat mereka atur dan lebih memihak kepada kepentingan kapitalis dan memenuhi kebutuhan mereka khususnya di sektor minyak dan gas. Dibentuk pula badanbadan legal (IMF World Bank dll) untuk semakin menancapkan kukunya dengan cara meminjamkan modal kepada negaranegara dunia ketiga dengan bunga yang melilit negara dunia ketiga dan tidak akan bisa lepas dari jeratan utang sehingga negara dunia ketiga akan patuh kepada mereka. Apabila negaranegara dunia ketiga yang tidak patuh dan melawan kebijakan mereka embargo atau penutupan akses dari akses penting sampai keseluruhan akses adalah hukumannya.
Runtuhnya Uni Sovyet di akhir 80an membuat kapitalisme yang dipimpin Amerika Serikat berada dalam puncak kejayaannya. Hanya ada Kuba dan Korea Utara yang berani untuk menentang kebijakan AS dan sekutunya. Kedua negara tersebut mendapatkan embargo dari negaranegara lain yang tunduk kepada ideologi kapitalisme. Keadaan ini berlanjut sampai tahun 1998 kemudian lahirlah satu negara lagi yang mampu melawan penindasan kapitalisme. Venezuela dibawah kepemimpinan kolonel Hugo Chavez Frias dengan berani menentang kebijakan presiden AS George W. Bush. Setelah sekian lama berada dalam penindasan kapitalisme Chavez muncul sebagai tokoh kiri yang telah lama diimpikan oleh golongan proletar dinegaranya untuk dapat hidup sejahtera dan terlepas dari segala macam penindasan. Di blok latin Kuba yang telah lama berjalan sendiri akhirnya menemukan kawannya yang bekerja sama dalam upaya memerangi kapitalisme. Disusul oleh Bolivia yang mulai bergabung dengan Venezuela dan Kuba. Serta negaranegara amerika latin yang lain yang ikut bergabung walaupun tidak berani secara terangterangan melawan kapitalisme tetapi mulai berani menentang beberapa beberapa kebijakan kapitalisme yang menindas mereka. Contohnya : Argentina yang berani menolak melakukan pembayaran utang kepada IMF dan World Bank. Situasi nasional yang terjadi dinegara Indonesia juga tidak terlepas dari situasi internasional.
Sejak dimulainya kekuasaan rezim Soeharto kebijakan yang diambil oleh negara indonesia juga tidak terlepas dari intervensi asing. Dimulai lewat UU nomor 1 tahun 1967 (yang kemudian diubah menjadi UU nomor 11 tahun 1970) yang merupakan embrio berkembangnya kapitalisme yang juga dilahirkan untuk menjawab desakan Imperialisme atas pembukaan pasar dan eksploitasi sumber daya alam dan tenaga manusia bagi kepentingan operasi modal di Indonesia. Saat kepemimpinan Soeharto modal yang seharusnya diinvestasikan di Indonesia pada kenyataannya lebih banyak dikorup oleh Soeharto dan antekanteknya. Pada dasarnya prinsip dari Kapitalisme adalah menginginkan efisiensi namun di Indonesia justru bertentangan dengan tujuan mereka lewat berbagai macam jalan birokrasi yang berbelitbelit semakin membuat modal untuk investasi mereka setengahnya habis untuk pembiayaan birokrasi. Karena itulah kekuasaan Soeharto yang besar dan diktator membuat imperalisme harus mengakhiri kekuasaan Soeharto dan membuat rezim yang dapat mereka atur dan menuruti kehendak mereka. Lewat Reformasi pada tahun 1998 kekuasaan rezim diktator Soeharto akhirnya turun. Kesalahan gerakan mahasiswa 1998 adalah mahasiswa tidak melibatkan rakyat. Padahal rakyat sangat mendukung dan percaya bahwa mahasiswalah yang pada waktu itu dapat menyelamatkan kondisi Indonesia pada saat itu. Setelah Soeharto lengser kekosongan pemerintahan tidak direspon dan diambil oleh mahasiswa dan mahasiswa malah menyerahkan kekuasaan kepada elitelit politik dan reformis gadungan. Akibatnya reformis gadungan yang ada di kelompok Ciganjur seperti : Amien Rais Megawati Gusdur dll mengkhianati citacita reformasi dan rakyat Indonesia dengan menjadi kaki tangan (baca : Mandor) Imperialisme. Hal ini malah membuat korporasi asing semakin berkuasa di Indonesia rezimrezim setelah Soeharto membuat mereka semakin mudah untuk mengekploitasi kekayaan alam Indonesia dengan modal yang lebih efisien.

Mengapa Momen Pemilu 2009 Harus Kita Ambil ?

Karena kesadaran massa yang masih kurang untuk memahami situasi nasional ditambah lagi kekecewaan masyarakat akan gagalnya reformasi 1998 membuat sebagian besar masyarakat bersikap apolitis. Massa mengambang ( floating mass ) justru menjadi sebuah kerugian besar karena suara yang golput tentu akan masuk kepada golongan atau partai yang menang dalam pemilu. Untuk kondisi saat ini sangatlah jelas bahwa partai yang menang pemilu sudah tentu partai yang bermodal kuat dan didukung oleh pengusaha dan mewakili kepentingan borjuasi. Jadi janganlah berharap partai seperti ini akan memperjuangkan kepentingan rakyat miskin dan memperjuangkan golongan proletar. Oleh karena itu massa yang sudah tersadarkan dan ingin merubah Indonesia menjadi terbebas dari segala macam penghisapan dan dominasi asing yang mengekploitasi kekayaan alam demi kepentingan Imperialisme maka momen lima tahun pemilu 2009 harus diambil. Karena jalur paling ampuh untuk mempropagandakan dan membuat kesadaran massa meningkat hanya lewat pemilu. Jutaan pasang mata masyarakat Indonesia yang hanya memandang pemilu menjadi sebuah keuntungan untuk propaganda kepada massa secara lebih meluas. Seharusnya semua elemen sektor rakyat yang perduli dan progresif revolusioner bersatu dan mengambil isu pemilu 2009 sebagai momen untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan antekantek imperalisme yang saat ini menduduki pamerintahan dan menjalankan kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Hal ini yang harus DIRUBAH !! apabila kesadaran massa sudah meningkat maka tidak diperlukan lagi isu pemilu dan mungkin mengambil jalan Revolusi sebagai jalan paling ampuh untuk mengakhiri kekuasaan dan memulai suatu tahapan menuju masyarakat yang humanis dan terbebas dari segala jenis penindasan!***

Penulis Adalah Anggota Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) Jakarta

17 September 2007

Kaum Intelektual Dan Tanggung Jawab Politiknya

Oleh: Paulus Suryanta Ginting*

Kaum Intelektual tersadarkan, khususnya Gerakan Mahasiswa, memiliki kontribusi penting dalam alur sejarah nasional. Keterlibatannya dalam proses perjuangan pembebasan nasional tidak dapat dilupakan begitu saja oleh siapapun. Kesanggupan-kesanggupannya untuk mempelopori perjuangan politik dalam berbagai momentum telah berhasil menginspirasi perjuangan massa rakyat. Dalam berbagai masa, keterbukaan cara pandang dan keberanian untuk memperjuangankan persoalan telah menghantarkan gerakan mahasiswa pada posisi yang tidak dapat dilepaskan dengan massa rakyat. Itulah mengapa mahasiswa kerap menjadi sandaran kegelisahan rakyat yang tertindas, baik pada masa penjajahan Belanda, Jepang ataupun masa kediktaktoran Soeharto. Tetapi point ini, selanjutnya memiliki alur perdebatan menyejarah dalam sejarah Gerakan Mahasiswa, yang kemudian memiliki perbedaan mendasar dalam cara pandang dan tindakan ketika melihat persoalan. Yang selalu terlihat yaitu: apakah Gerakan Intelektual tercerahkan ini muncul ketika rakyat tengah gelisah atas penindasan yang mereka alami? Ataukah memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam membangun kesadaran perjuangannya, melatih pengalaman berorganisasinya dan bahkan mempersiapkan kekuasaannya yang sejati agar dapat memimpin, dipimpin dan terpimpin secara adil dan layak. Pada muaranya, perdebatan yang menyejarah ini tersebutkan pada posisi: Gerakan Moral vs Gerakan Politik dan atau Gerakan Kultural vs Gerakan Struktural. Sebuah perbedaan konsepsi yang akan dibenarkan hanya oleh pembuktian sejarah (Praktek).

Perspektif Sejarah

Jika kita melihat kembali sejarah awal perjuangan pembebasan nasional, kemerdekaan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan oleh beberapa bukti keberanian intelektual yang tercerahkan dalam mempelopori perjuangan, antara lain: Pertama, keberanian Raden Mas Tirto Adhi Suryo (Minke-dalam Tetralogi Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer) untuk membuat Koran (alat perjuangan) Medan Priyayi, dan membangun organisasi sebagai wadah perjuangan (Sarekat Priyayi) serta memberikan landasan nasionalisme sebagai tujuan perjuangannya. Satu hal yang ketika itu pada masanya (awal abad 19) masih belum terpikirkan oleh angkatan-angkatan pada masanya atau yang sebelumnya. Meski belum berhasil memperjuangkan apa yang hendak ia capai tetapi perjuangan pembebasan nasional dalam cita-cita dan tindakan telah ia pelopori sebelum orang-orang yang terdidik lainnya melakukan hal yang serupa. Justru karena keberanian inilah maka intelektual yang terdidik (yang belum terberanikan) mulai mencontoh tindakan-tindakan politiknya.Di mana kemudian mereka bersama-sama dengan RM. Tirto membangun organisasi pedagang Islam (Sarekat Dagang Islam/SDI). Kedua, pengalaman berorganisasi dan kebutuhan memperjuangkan pembebasan nasoinal (nasionalisme) atas penindasan kapitalisme Belanda yang mulanya telah dimulakan oleh RM. Tirto Adhi Surya, selanjutnya dilakukan oleh kaum Intelektual lainya: 3 serangkai (Suryadi Suryaningrat, Douwess Dekker, Cipto Mangunkusumo). Kala itu, 3 serangkai telah sadar bahwa perjuangan pembebasan nasional harus memiliki konsep nasionalisme yang jelas dan utuh, dan pencapaian perjuangan tersebut tidak dapat dicapai tanpa kebutuhan Partai Politik. Sejak kesadaran itu tumbuh dan berkembang, maka lahirlah sebuah partai politik pertama saat itu: Indische Partij (Partai Indonesia). Kemajuan-kemajuan dalam metode dan bentuk perjuangan mulai meningkat, perjuangan tidak hanya dilakukan dengan menulis dan memproduksi bacaan tetapi meluaskan organisasi dan mengolah panggung parlementer (Volksraad) agar dapat secara leluasa berbicara tentang Nasionalisme; Perjuangan Pembebasan Nasional; Persatuan. Meski mengalami pukulan yang mengakibatkan demoralisasi tetapi 3 serangkai sudah memberikan inspirasi perjuangan yang kelak mengilhami kelahiran partai-partai progressif lainnya. Ketiga, perjuangan pada tingkat yang lebih maju dalam metode dan bentuk untuk melawan penindasan kolonialisme berikutnya dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bertransformasi dari sekedar Asosiasi Demokratik Sosial Hindia (Indies Social Democratic Association, ISDV) dibentuk atas inisiatif Hendrik Sneevliet. Dan berkembang Karena berintegrasi dengan buruh perkebunan, kereta api dan organisasi pedagang Islam (SI). Kepeloporan mereka, ditunjukkan selain dalam ketulusan untuk mengintegrasikan diri dengan kaum miskin dan keberanian untuk melakukan perjuangan bersenjata untuk melawan tekanan penjajahan Belanda. Terlepas berbagai perbedaan pandangan atas kesalahan atau ketepatan tindakan politik tersebut tetapi sejarah perjuangan perlawanan dalam metode bersenjata (dalam substansi nasionalisme) pada proses kemedekaan tidak dapat dilepaskan dari pemberontakan 1926. Keempat, kegagalan pemberontakan tersebut, mewajibkan Soekarno pada tahun 1927—yang pada tahun sebelumnya masih berkutat dengan kelompok studi umum (Algemeene Studie Club) di Bandung—untuk mengisi ruang politik perjuangan pembebasan nasional yang tengah kosong karena banyaknya kaum kiri yang dipenjara dan dibuang ke Boven Digul. Keberanian terus Ia dan kawan-kawannya lakukan dengan mendeklarasikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Sejak saat ini, Soekarno dan PNI telah berani menunjukkan kepeloporan dalam program dan metode ditengah demoralisasi besar-besaran paska kekalahan pemberontakan 1926 ditengah kelompok lainnya yang berkubang pada pendidikan keahlian dan keterampilan sebagai yang utama dalam perjuangan pembebasan nasional—yang oleh Soekarno disebut sebagai gerakan Kooperatif. Kelima, pada masa yang jauh setelah itu, keberanian dan keyakinan atas kebenaran pandangan ditunjukkan oleh unsur-unsur pembentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), antara lain: Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta, Solidaritas Mahasiswa Semarang, Forum Belajar Bebas, dan lainnya. Sebuah kelompok Intelektual tersadarkan paska Deideologisasi-Depolitisasi-Deorganisasi Orde Baru yang mengerti bahwa perjuangan tidak bisa berhenti didalam lingkaran kelompok Studi dan Debat ataupun mengorganisir aksi dalam kampus melainkan juga mengorganisir kaum tani, buruh pabrik, dan kaum miskin perkotaan serta membangun alat politik alternatif sebagai wadah perjuangan dalam hal ini adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pemukulannya pada tahun 1996, lewat pengkambinghitaman kasus 27 Juli di Kantor PDI, merupakan rentetan awal keberanian politik gerakan mahasiswa dan rakyat untuk turun ke jalan-jalan dan menyuarakan: Penjatuhan Soeharto.

Dari pemaparan sejarah ini dapat kita temukan, bahwa penciptaan momentum politik; pencapaian perubahan; pencapaian keberhasilan merupakan wujud kongkret atas manifestasi pelaksanaan kebenaran pengetahuan (teori) dan keberanian untuk menempatkannya sebagai hal yang prinsipil serta keyakinan untuk mewujudkannya didalam tindakan-tindakan politik. Atau dalam kata lain: Tanggung Jawab mereka yang sadar (mengetahui kebenaran) untuk memperjuangkan Kebenaran itu agar menjadi Benar. Dalam hal ini, Gerakan Moral atau Kultural hanya menepatkan perjuangan sebagai tuntutan kegelisahan massa dan tidak memajukannya pada tingkat yang lebih tinggi lagi agar dapat membuat Mahasiswa dan Rakyat berada pada posisi berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dan bertautan tangan untuk melakukan tindakan yang sama dalam tujuan yang sejati-jatinya. Sedangkan Gerakan Politik atau Gerakan Struktural secara berani dan konsisten mengambil tanggung jawab serius dalam memulai tindakannya hingga bertanggung jawab memajukan kesadaran rakyat dalam aspek politik dan organisasi hingga membangun kesanggupan rakyat untuk bersama-sama mewujudkan kekuasaan yang Adil, Demokratis dan Sejahtera. Inilah yang membedakan antara prespektif Gerakan Moral vs Gerakan Politik.

Tugas Mendesak ke Depan

Dalam pelbagai periode perjuangan sesungguhnya antara Gerakan Moral dan Gerakan Politik memiliki kesamaan tujuan pada tingkat yang minimum. Tetapi sejauh situasi harus diarahkan pada tingkat yang lebih tinggi lagi, Gerakan Moral tidak sanggup untuk berbicara dan bertindak pada tingkat itu. Semisal: pada masa penjatuhan Soeharto Gerakan Moral dan Gerakan Politik memiliki kesamaan flatporm yaitu, Penjatuhan Soeharto dan Anti Korupsi. Tetapi ketika situasi telah berkembang dan Soeharto sudah lengser, Gerakan Moral tidak bersedia untuk berbicara dan bertindak pada tingkat yang lebih maju lagi, yaitu pembentukan Majelis Rakyat Indonesia sebagai perwujudan cita-cita masyarakat yang adil, demokratis dan sejahtera. Ataupun ketika rakyat dan gerakan politik sudah berbicara mengenai Revolusi (Sebagai sebuah perubahan yang cepat dan mendasar) sebaliknya gerakan moral hanya berbicara Reformasi (sebagai sebuah perubahan yang bertahap). Dan justru memberikan lapangan kekuasan terhadap kelompok elit yang sebelumnya tidak mempelopori penjatuhan Soeharto (4 Tokoh Ciganjur). Selain memang kelompok Gerakan Mahasiswa Kerakyatan yang sedari awal telah mempelopori tindakan politik tersebut belum memiliki tokoh politik sekaliber (baca:sepopuler) Amien Rais, Gusdur, Megawati dan Sultan HB X.

Paska penjatuhan Soeharto, ruang demokrasi sudah mulai terbuka. Meski tidak sepenuhnya terbuka secara lebar sebab sisa-sisa Orde Baru dan Militer hendak bangkit kembali. Dan upaya tarik menarik agar ruang demokrasi terbuka selebar-lebarnya; seluas-luasnya terjadi antara sisa Orba dan Militer disatu sisi melawan kelompok Demokratik (Gerakan Demkartik dan Borjuis Demokrat) disisi lain.

Hari ini, Ruang Demokrasi tersebut masih terbuka—meski tidak sepenuhnya dan masih sering diganggu oleh kelompok milisi sipil reaksioner (FPI, GPK, GEPAKO, FBR) yang menjadi kaki tangan Sisa Orba dan Militer. Tapi ruang demokrasi ini masih sangat formal dan proseduralis, penuh tipu muslihat hanya dalam kepentingan dominasi elit politik dan tuntutan Imperialisme bukan dalam perspektif demokrasi seluasnya dan kesejahteraan sebagai syarat membangun bangsa seutuhnya. Terlepas seperti itu situasinya, capaian-capaian hari ini merupakan hasil jerih payah perjuangan bertahun-tahun untuk membuka ruang demokrasi yang sebelumnya tertutup rapat. Adalah salah apabila tidak memanfaatkan ruang demokrasi (democratic space) atau justru meninggalkannya. Sebab, mungkin ruang demokrasi yang sudah terbuka saat ini (meski memiliki batasan) akan menyempit karena bangkitnya kekuatan sisa Orba dan Militer yang anti demokrasi. Maka sangat penting bagi seluruh Gerakan yang tersadarkan untuk memanfaatkan ruang demokrasi yang telah ada dalam tujuan membuka ruang demokrasi ini pada tingkat yang lebih luas lagi (baca:sepenuh-penuhnya) ataupun memanfaatkannya untuk mengkampanyekan program alternatif, membangun kekuatan politik alternatif dan mempopulerkan tokoh politik alternatif bagi rakyat (sebagaimana gerakan kiri dan nasionalis mempopulerkan Soekarno sebagai tokoh alternatif dalam Rapat Ikada).

Dalam kepentingan tersebut maka, Gerakan Intelektual tersadarkan wajib untuk bertarung (dalam makna Program) di berbagai Arena. Baik arena Ekstra-Parlementer ataupun arena Pemilu dan Pilkada. Apabila, gerakan mahasiswa hanya berkutat saja dalam pergumulan didalam kampus akibatnya rakyat tidak dapat melihat politik alternatif dari Gerakan tersebut. Adalah penting untuk memasokkan pemahaman politik dan organisasi Alternatif secara terus menerus didalam kesadaran rakyat. Agar kelak, rakyat dapat mengikutinya dalam pikiran dan tindakan.

Kekuatan, Kelemahan dan Ancaman

Memanfaatkan atau mengolah berbagai arena dan momentum sebagai konsekuensi kesetiaan dalam pelaksanaan prinsip (Teori) harus tetap melihat secara jernih kekuatan dan kelemahan subyektif gerakan dalam sudut pandang saat ini berdasarkan pengaruh historis. Dan dengan tetap melihat ancaman-ancaman yang akan menghambat tujuan: membuka sepenuhnya ruang demokrasi, propaganda program alternatif, dan melatih rakyat dan gerakan untuk dapat mewujudkan pemerintahan adil, demokratis dan sejahtera.

Pada masa Orde Baru, berbagai persoalan muncul dan mempengaruhi gerakan hingga saat ini, yaitu: Deideoligisasi, Depolitisasi, Deorganisasi dan pengaburan ingatan sejarah. Dan lebih parahnya lagi menghancurkan kebudayaan progressif bangsa Indonesia yang terlahir dari sebuah pergulatan sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan (pra Ordebaru). Kondisi tersebut mempengaruhi kondisi gerakan, antara lain: Miskin terhadap Konsepsi Perjuangan (Program dan Strategi-Taktik), Kelemahan struktur organisasi, elitis/sektarian dan mobilisasi (radikalisasi) yang Fragmentatif (pecah-pecah) dan Spontan (ekonomis). Disamping itu, Gerakan Demokratik memiliki kekuatan hasil dari keterlibatannya dalam proses perjuangan bersama rakyat, yaitu:a. Aksi Massa telah menjadi budaya perlawanan bagi seluruh sektor masyarakat. b. Kesadaran anti Militerisme dan Orde Baru (belum sepenuhnya/total) masih terpatri dalam benak rakyat. c. ketidakpercayaan terhadap reformis gadungan akan sanggup membawa mereka pada kondisi adil, demokratis dan sejahtera, d. Ketidaksukaan terhadap kejahatan-kejahatan Milisi Sipil Reaksioner. e. Menggulingkan pemerintah daerah (Bupati, Lurah) dan memaksa koruptor ditangkap dengan metode-metode radikal (aksi massa) f. Penerimaan program anti penjajahan baru ataupun nasionalisme dalam tingkat awal diterima oleh kaum miskin, klas menengah dan elit politik (borjuasi).Meski dalam soal ini, Borjuasi tidak hendak memompa rasa nasionalisme tersebut menjadi bentuk perjuangan anti Imperialisme yang kongkret, atau membangkitkan kembali National Character Building-yang sebelumnya ditekankan oleh Soekarno. Melainkan hanya pada upaya pencarian popularitas semata demi keuntungan politik pada pagelaran pemilu 2009. Itulah mengapa berbagai spanduk-spanduk pro rakyat miskin dan anti neoliberalisme banyak digelar oleh Partai-Partai Politik Borjuis, seperti yang dilakukan oleh PDIP. Seperti apapun karakter penerimaan dan pelaksanaan program elit politik pada masa sekarang ini memiliki keuntungan politik bagi gerakan untuk menggunakannya demi kepentingan perluasan kesadaran anti Imperialisme.

Kekuatan dan kelemahan tersebut harus dapat diolah sedemikian rupa dalam menghadapi ancaman yang tengah berkembang. Ancaman-ancaman tersebut antara lain: Pertama, menguatnya Sisa Ordebaru+Militerisme (kecenderungan) ditunjukkan dengan Koalisi PDIP-Golkar+Militer (potensi) untuk mendominasi peta politik nasional. Kepentingan utamanya tidak dapat dilepaskan dalam kepentingan untuk mengeliminasi borjuasi lainnya dan juga kelompok alternatif yang membahayakan secara politik dan ekonomi. Serta, kepentingan sejatinya untuk menjadi agen Imperialis (baca:Penjajah) yang utama (terkuat). Dalam membenarkan posisi politik mereka, Koalisi PDIP-Golkar selalu menegaskan bahwa tujuannya koalisi mayoritas (PDIP-Golkar) adalah untuk Kesejahteraan dan Pluralisme dibawah naungan Stabilitas dominasi mereka. Ini merupakan dua hal yang Kontradiktif. Tidak mungkin Stabilitas dominasi Koalisi yang berarti kedikatoran mayoritas akan berimplikasi terhadap pluralisme (baca: demokrasi). Dan tidak mungkin ada kesejahteraan apabila ruang partisipasi demokrasi telah ditutup atas nama kediktaktoran mayoritas. Tidak mungkin buruh pabrik bisa mendapatkan upah, tunjangan, kesehatan dan rumah yang layak apabila kebebasannya untuk berkumpul (berorganisasi) dan menuntut (berpolitik) dihalangi-halangi atas nama stabilitas. Kedua, menguatnya Fundamentalisme Agama (Ekspresi dari kaum intelekual agamawan atas krisis kapitalisme) yang menolak kebebasan berekspresi; menolak sekularisme; menolak demokrasi. Ketiga, Menguatnya milisi sipil Reaksioner yang menghambat perkembangan Gerakan Alternatif dengan cara-cara kekerasan/anti demokrasi. Keempat, penetrasi modal Kapitalisme yang semakin besar, yang mengakibatkan kehancuran dalam aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya.

Kondisi-kondisi tersebut, tidak pula menghilangkan peluang bagi gerakan demokratik untuk berkembang, meluas dan memimpin. Sejauh ia mampu melakukan beberapa hal, yaitu: 1. Mengolah mobilisasi fragmentatif-spontan (ekonomis) itu menjadi mobilisasi yang monolitik (menyatu) dan politis. Dilihat dari sebab-akibatnya, mayoritas radikalisasi yang muncul merupakan buah perlawanan dari penindasan kapitalisme internasional (imperialisme) sehingga mudah untuk ditarik pada perjuangan anti imperialis. Tentu saja, sejauh kepeloporan politik gerakan mengolah itu. 2. Dapat memukul mundur kekuatan terbesar agen Imperialis, Koalisi PDIP-Golkar (plus Militer). Yang hendak mengeliminir kekuatan alternatif dengan cara membunuh demokrasi dengan demokrasi (membuat UU Politik dan Sistem Politik yang Ketat dan Proseduralis oleh Demokrasi Parlemen (yang mayoritas mereka)) 3. Dapat memaksimalkan berbagai arena/ajang/panggung dalam kepentingan untuk mengkampanyekan secara maksimal program dan metode yang demokratik maupun yang strategis.

Dalam kepentingan-kepentingan minimum maupun utama tersebut, gerakan harus membangun sebuah alat politik yang mencerminkan persatuan yang oleh Soekarno sering disebut sebagai “penggalangan yang padu semua kekuatan revolusioner”, samenbundeling van all revolutionaire krachten. Penggalangan yang padu (persatuan) ini bukanlah kelompok/golongan yang justru berlawanan seperti yang dibangun Soekarno dalam Front Nasional (PKI, NU, PNI, Masyumi, Tentara). Melainkan kelompok/golongan yang memiliki kesamaan terhadap persoalan demokrasi, kesejahteraan dan penjajahan baru (Imperialisme). Persamaan inilah yang menyatukan dan menjadikannya sebagai ikatan kerjasama dalam politik. Dalam soal-soal ini, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) secara nasional telah membangun dan bergabung kedalam sebuah alat politik persatuan: Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS). Dengan program utamanya, yaitu: Tripanji Persatuan Nasional (1. Nasionalisasi Industri Pertambangan, 2. Hapuskan Utang Luar Negeri, 3. Bangun Industri (Pabrik) Nasional).
Kesanggupan-kesanggupan LMND dan PAPERNAS untuk dapat memaksimalkan arena parlementer dalam aspek program maupun tagihan tindakan kongkret—yang menekankan pada mobilisasi politik. Akan menstimulasi situasi politik nasional. Begitupun, secara bersamaan ketika LMND atau PAPERNAS ataupun gerakan intelektual kerakyatan lainnya yang hendak melakukan tindakan serupa dapat menghubungkan serta memaksimalkan arena ekstra parlementer secara politik dan organisasi. Maka akan membangun suatu atmosphere politik yang radikal. Dimana, partai-partai elit (borjuis) tidak dapat lagi memakai topeng-topeng sok populisnya (kerakyatan) dihadapan rakyat. Sehingga, rakyat tersadar mana kelompok yang sedari awal mengkampanyekan program-program alternatif yang kongkret. Sekali lagi, ini semua terjadi apabila gerakan intelektual kerakyatan dapat memposisikan arena-arena tersebut tepat berada dibawah kepemimpinannya secara politik dan organisasi.

Kesemua itu, dalam proses pembangunannya tentu tidak dapat dilepaskan dari ketepatan kaum intelektual kerakyatan memanfaatkan dan mengolah politik kampus. Bukan dalam artian “kembali ke kampus’, Back To Campus. Namun, dalam makna membangun tenaga politik gerakan untuk dapat menstimulasi politik nasional serta memajukan sektor-sektor rakyat yang belum tercerahkan. Ini juga tidak berarti meninggalkan pengalaman integrasi kerja politik-organisasi mahasiswa dan rakyat yang telah terbangun sebelumnya. Melainkan, kembali menjadikan kampus sebagai panggung politik untuk berpropaganda program politik pelopor dan taktik. Serta, kembali mengorganisir struktur tenaga politik gerakan. Hal ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dalam kampus:Mimbar bebas, orasi keliling, mogok makan, booming selebaran, seminar, diskusi publik, Happening Art (Aksi kebudayaan), Panggung kebudayaan, Graffiti Action (Aksi corat-coret), pembangunan posko/stand, pendidikan politik. Dimana keseluruhannya diabdikan dalam kepentingan menstimulus politik secara nasional dengan bentuk taktik: Rapat Akbar (Vergadering) dan Aksi Massa (Mobilisasi) menuntut.

*Sekretaris Jendral Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)

05 September 2007

IMPERIALISME DI INDONESIA DARI MASA KE MASA

Oleh : Egalite
Sejak jaman dahulu kala, Indonesia, atau dulu dikenal sebagai kepulauan Hindia Timur, diketahui memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah ruah baik botani, geologi maupan kelautan. Hutan- hutan di Indonesia selain penting bagi eksosistem global, juga merupakan komoditas penting bagi pasar dan industri. Hal itu disebabkan kesuburan tanah di Indonesia yang banyak mengandung zat-zat dan mineral yang sangat berguna untuk pertumbuhan dan kesuburan tanam-tanaman. Pulau Jawa misalnya dikenal sebagai salah satu tanah tersubur di dunia. Pertanian Indonesia, selain menghasilkan padi sebagai bahan makanan pokok penduduknya, juga menghasilkan rempah-rempah seperti cengkeh, lada, pala, ketumbar, kayu manis, yang sangat diminati pasar dunia. Hasil pertanian lainnya yang juga sangat diminati pasar antara lain adalah tembakau, teh, kopi, gula, karet alam, kopra, kelapa sawit, kina, sisal, tumbuh subur di bumi negeri ini. Perut bumi Indonesia, baik di daratan maupun di dasar laut, mengandung banyak pendaman berharga sperti minyak bumi, gas alam, timah tembaga, nikel, emas dan sebagainya. Sejak OPEC (Organisation of Petroleum Exporting Coutries) didirikan, Indonesia menjadi anggota organisasi ini dengan kuota consensus sebesar 1,5 juta barel per hari. Selain itu Indonesia meiliki posisi strategis yang sangat signifikan dalam perdagangan, antara lain karena letaknya yang menjembatani benua Asia dengan Australia.

Imperialisme Klasik : masa kolonial

Rupanya aroma rempah-rempah dari kepulauan Hindia Timur ini tercium jauh hingga ke benua Eropa. Dan inilah awal bencana di negeri ini. Cristopher Columbus dari Spanyol penasaran untuk berlayar mengarungi samudera demi mencari negeri ini. Namun ia tersesat sangat jauh ke Amerika yang disangkanya Hindia. Pada tahun 1292, penjelajah dari Italia bernama Marcopolo pernah singgah di negeri ini. Pada tahun 1496, orang-orang portugis datang ke kepulauan Maluku untuk berdagang, menginjil, dan merampok rempah-rempah. Untuk tiga tujuan itu mereka mengadu domba raja-raja yang beragama Islam dengan yang beragama Hindu. Selagi pedagang perampok dari Portugis berulah, datang pula orang-orang Spanyol pada tahun 1512. mereka adalah “Columbus-columbus yang terlambat menemukan” Indonesia. Untuk menguasai negeri ini mereka mengadakan persekutuan dengan raja Tidore yang ketika itu sedang berjuang melawan pedagang perampok Portugis yang bersekutu dengan raja Ternate. Konflik antar elit-imperialis ini menimbulkan perpecahan dan korban pada rakyat pribumi biasa yang sebagian besar adalah petani rempah itu. Rakyat pribumi yang menjual rempah kepada Spanyol dibantai habis oleh pihak lawannya, demikian pula sebaliknya. Bantai-membantaipun terjadi. Kampung-kampung dibakar habis, penduduk tua-muda dibunuh, permpuan-perempuan diperkosa. Akhirnya, aroma rempah-rempah itu berubah menjadi bau darah, api, mesiu dan bangkai. Dua pedagang perampok dari dua negeri Eropa itu saling berperang, melibatkan penguasa-penguasa local, dan mengorbankan rakyat pribumi. Spanyol kalah, dan akhirnya setelah menerima ganti rugi dari Portugis sebesar 350000 Crusado, mereka hengkang dan memilih focus pada penaklukan-perampokan Filipina. Patung-patung, benteng-benteng, lukisan-lukisan tua di Maluku bisa menjadi saksi tentang masa-masa kegelapan itu.

Neraka rakyat di bumi nusantarapun berlanjut. Pada tanggal 22 Juni 1596, sebuah armada yang terdiri dari 4 buah kapal perompak dari negeri Belanda di bawah pimpinan Cornelius Houtman membuang jangkar di pelabuhan Banten. Selain mendarat di pulau Jawa, pedagang perampok Belanda ini kemudian juga mendarat di pulau-pulau lainnya di Nusantara termasuk Maluku yang saat itu dikuasai Portugis. Konflikpun terulang lagi. Rakyat pribumi jadi korban lagi. Kali ini Portugis kalah dan hengkang diganti penguasa baru yang wilayah kekuasaannya tidak hanya Maluku, tapi (kemudian) seluruh Nusantara.

Pada tahun 1602 di negeri Belanda, dibentuklah sebuah perkumpulan dagang yang terdiri dari sejumlah pengusaha dan perwira yang diberi nama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie = Perkumpulan Perkongsian Dagang Hindia Timur) dengan tujuan menggeser monopoli Portugis atas rempah-rempah Indonesia ke tangan pedagang perampok Belanda. Selain mematahkan monopoli Portugis dengan jalan merampok, VOC juga melakukan akumulasi capital secara primitive. Artinya, capital itu membengkak tidak secara modern, yaitu karena nilai tambah dari produksi dan perdagangan, tapi secara primitive, yaitu perampokan absolute. VOC melakukan “hongitochten” (mars hongi) ke Indonesia bagian timur. Dengan kapal-kapal hongi yang sangat laju, VOC menyerang, merampok, menangkap, menyiksa dan menyembelih penduduk. Penduduk pulau Banda misalnya, hampir seluruhnya musnah dibantai. ‘Hongitochten’ ditujukan untuk memusnahkan pohon-pohon cengkeh di pulau-pulau luar Ambon guna mendapatkan harga yang tinggi buat VOC.

Penumpukan capital melalui perampokan absolute juga dibangun di atas dua landasan penting. Pertama, system pajak tanah yang sangat tinggi, kedua, system jual paksa, dimana kaum tani dipaksa menjual sebagian hasil pertanian mereka kepada VOC dengan harga monopoli, artinya : harga ditentukan tidak oleh si penjual tetapi oleh si pembeli dan pula pembeli satu-satunya. Karena korupsi merajalela pada satu pihak dan perlawanan kaum tani pada pihak lainnya, akhirnya tahun 1800, VOC gulung tikar. Sejak itu hingga bulan maret 1942, operasi perampokan atas rakyat dan negeri ini dilakukan langsung dibawah otoritas pemerintah kerajaan Belanda. Otoritas pertama dipegang oleh gubernur jenderal dictator bernama Daendels. Pada masa pemerintahannya rakyat, Jawa dipaksa bekerja membangun jalan raya terpanjang di Indonesia sepanjang 1000km dari Anyer (Banten) hingga Panarukan (Madura), dengan upah sangat minim, bahkan ada yang tak dibayar. Banyak rakyat yang meniggal dalam melakukan kerja paksa itu.

Tidak hanya pedagang perampok dari Portugis, Spanyol, dan Belanda yang memperebutkan surga khatulistiwa ini, pedagang perampok dari kerajaan Inggrispun tak mau ketinggalan, walau hanya sementara waktu saja. Dari tahun 1811 hingga 1814 administrasi atas negeri jajahan ini berpindah tangan dari Belanda ke kerajaan Inggris. Itu adalah masa administrasi Letnan Jenderal ‘Sir’ Thomas Stamfort Raffles. Ini terjadi karena negeri Belanda diduduki oleh Perancis. Sekalipun Raffles mencoba melaksanakan politik persaingan bebas dan mengubah system ekonomi politik Belanda di negeri ini yang didasarkan pada system ‘lintah darat’ dan perampokan, namun esensinya adalah tetap penghisapan terhadap kaum tani tapi dalam bentuk lain. Pada masa administrasi Raffles yang singkat itu dikeluarkan sebuah dekrit yang mendera kaum tani, yang disebut “Domeinsverklaring”, dengan mana ditetapkan bahwa semua tanah adalah milik Negara (staatsdomein). Berdasarkan ini kaum tani dipaksa membayar pajak tanah yang sangat tinggi kepada Kerajaan Inggris, tanah yang mana sebelum imperialis-imperialis ini datang adalah milik rakyat pribumi negeri ini. Tingginya pajak tanah berkisar dari kurang lebih duaperlima hasil panen yang baik dan seperempat sampai sepertiga hasil panen yang kurang baik. Administrasi Raffles di Indonesia secara resmi berakhir pada tahun 1814 ketika kerajaan Inggris menandatangani pengembalian koloni-koloni Belanda setelah Perancis di bawah komandan Napoleon Bonaparte kalah perang.

Cultuurstelsel

Setelah menerima pengembalian koloni dari Kerajaan Inggris, pada tahun 1830 pemerintah Kerajaan Belanda atas prakarsa Van den Bosch memperkenalkan sebuah system baru bernama “Cultuurstelsel” (tanam paksa). Ini adalah suatu kultur penghisapan dan penindasan model baru yang lebih kejam dari model-model sebelumnya. Dalam system ini kaum tani tidak mempunyai kebebasan sama sekali. Kaum tani diwajibkan menanam tanaman untuk komoditi pasar Eropa seperti tebu, kopi, nila, kapas, tembakau. Petani juga diwajibkan menyerahkannya kepada pemerintah colonial dengan harga yang ditetapkan oleh colonial itu. Dalam prakteknya ‘cultuurstelsel’ telah mewajibkan kaum tani menanam sepertiga sampai duapertiga dan adakalanya seluruh sawahnya dengan komoditi pasar Eropa. Tenaga kerja untuk tanam paksa komoditi Eropa ini direkrut dan dimobilisasi secara masiv, jauh lebih banyak daripada padi. Hamparan padi yang luas itupun disulap menjadi perkebunan komoditi Eropa. Pajak tanah dinaikan lagi. Kelebihan hasil tanaman komoditi dan hasil penjualan padi (yang sudah semakin berkurang) tidak dikembalikan kepada petani, melainkan untuk membayar kekurangan pajak tanah. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani. Petani wajib mengantarkan hasil ke gudang-gudang tanpa dibayar. Selain itu para petani juga diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan umum seperti pembangunan benteng-benteng, tanpa bayaran. Pada masa itu banyak sekali jumlah rakyat yang mati kelaparan dan tertindas oleh cara kerja system cultuurstelsel ini seperti di Cirebon tahun 1844, Demak tahun 1848, dan Grobogan tahun 1849.

Cultuurstelsel berlangsung selama 40 tahun, diakhiri pada tahun 1870. Dalam 40 tahun Belanda dapat mengeruk kira-kira 800 juta florin, yaitu hampir sama banyaknya dengan jumlah yang diperoleh VOC selama dua abad menghisap kekayaan alam dan jerih payah rakyat Indonesia. Pendapatan ini selain dapat mengganti kerugian selama Indonesia jatuh ke tangan administrasi Inggris, menutupi ongkos menindas perlawanan kaum tani di Jawa tengah selama lima tahun (1825-1830) di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, mengongkosi perang terhadap bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Belgia dan Perancis, juga mengongkosi perang-perang colonial untuk memperluas imperium Hindia Belanda ke pulau-pulau luar Jawa. Perlawanan kaum tani di wilayah-wilayah itu yang terkenal antara lain perang Bali, Lombok, Sumbawa, Dompo, Flores, Bone, Maluku, Banjarmasin,Sumatera Barat, Jambi, Tapanuli dan Aceh. Pemberontakan rakyat petani terhadap imperialis sudah berlangsung sejak VOC berkuasa.



Imperalisme politik pintu terbuka : “Globalisasi pertama”?

Berakhirnya cultuurstelsel bukan berarti berakhirnya penindasan terhadap rakyat Indonesia. Cultuurstelsel kemudian diganti dengan system penghisapan modern yang lebih maju tetapi lebih intensif dan sistimatis. Mulai tahun 1870 dan seterusnya, pemerintah colonial Belanda melaksanakan “politik pintu terbuka”. Maka kini Indonesia terbuka bagi penanaman modal swasta asing. Perusahaan-perusahaan perkebunan swasta asing membuka perkebunan-perkebunan kopi, teh, gula dan kina yang cukup besar di Jawa dan Sumatera Timur berdasarkan Undang-undang Agraria tahun 1870. Undang-undang ini meminimalisir intervensi pemerintah atau Negara (Kerajaan) dalam bisnis dan memaksimalkan peluang kaum pemilik modal swasta (kapitalis) untuk menghisap kekayaan alam Indonesia. Penindas rakyat kini bertambah, selain pemerintah colonial kini juga pihak swasta atau kaum kapitalis dari korporasi-korporasi internasional. Selain Belanda, mereka berasal dari Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Jepang dan sebagainya. Dengan demikian imperialime di Indonesia telah bersifat Internasional, dimana modal asing telah diinvestasikan dalam sector pertanian seperti karet, teh, kopi, tebu, tembakau dan lain-lain. Juga sector pertambangan seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara. Perusahaan-perusahaan pribumi yang kalah bersaing dengan modal asing terpaksa gulung tikar.

Selama berlangsungnya tanam paksa, rakyat bekerja kepada pemerintah dan setelah dihapusnya tanam paksa, rakyat bekerja kepada majikan barunya yakni kaum kapitalis. Rakyat Indonesia banyak yang dipaksa bekerja di perkebunan dan pertambangan swasta dengan upah yang sangat minim dan perlakuan yang sangat keji, tidak manusiawi, merendahkan martabat. Kemiskinan dan penderitaan rakyat Indonesiapun bertambah. Di bawah sistem modern ini jumlah kekayaan alam Indonesia yang dikeruk orang-orang asing (sebelum krisis ekonomi global tahun 1929), hanya dalam tempo setahun saja, sudah hampir sama dengan 40 tahun Cultuurstelsel! Namun demikian mayoritas rakyat (miskin) Indonesia tidak dapat mengecap sedikitpun kekayaan alamnya, hasil jerih payah keringat, darah dan air mata mereka (bahkan hingga saat ini). Menjelang krisis ekonomi global tahun 1929 banyak perusahaan yang bangkrut. Terjadi PHK massal. Yang lainnya terpaksa ditutup karena para pekerjanya mogok dan memboikot. Pemberontakan nasional pertama melawan imperialis oleh buruh dan tani yang diorganisir PKI pada tahun 1926 di Jawa dan tahun 1927 di Sumatera Timur, dapat ditumpas habis. Ratusan kader PKI dan rakyat pekerja ditangkap, disiksa, dibunuh, dan dibuang ke pulau-pulau terpencil untuk kerja paksa.

Imperialisme Jepang

Pemerintah colonial Belanda terusir pada tahun 1942 oleh pendatang baru yaitu kekuatan fasis militeris dari negeri Jepang yang tak kalah ganas. Jepang datang dengan semboyan menipu – “Kemakmuran bersama di Asia Timur Raya” seolah sebagai pembebas. Bahkan beberapa pemimpin nasionalis terkemuka seperti Soekarno sempat terilusi dengan semboyan dan “janji kemerdekaan” dari Jepang. Tapi semboyan dan janji itu adalah penipuan belaka. Yang diterima rakyat Indonesia hanyalah kesengsaraan hidup Jaman tengah dalam jaman modern! Kekayaan alam Indonesia dan puluhan juta pasang tangan kaum tani dan buruh tidak dapat lagi memberikan makan dan pakaian kepada rakyatnya. Rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan absolut. Kaum tani yang menanam padi terpaksa makan singkong, sedangkan serdadu-serdadu imperialis Jepang bisa makan nasi tiga kali sehari sebanyak yang mereka mampu. Kaum buruh yang menenun kain tak lagi dapat memberi pakaian untuk anak-anaknya. Keluarga mereka terpaksa berpakaian kain goni gombal, karet atau kulit kayu.

Sedangkan serdadu-serdadu Jepang hanya bermabuk-mabukan setiap hari dan menikmati perempuan-perempuan Indonesia, Cina, Korea yang diculik, ditipu dan dipaksa jadi pelacur. Berpakaian tiga lapis sekalipun Indonesia bersuhu tinggi. Pencuri-pencuri di gudang-gudang bahan makanan tidak lagi perlu diadili. Mereka dibunuh begitu saja dengan cara yang sadis dan di muka umum hanya karena 2 atau 3 piring beras. Kesengsaraan rakyat di negeri yang subur dan kekayaan alamnya luar biasa ini persis dilukiskan pepatah tua Indonesia :” Ayam mati di lumbung padi!” Selama tiga setengah tahun yang singkat itu, kurang lebih 5 juta rakyat Indonesia mati kelaparan. Kurang lebih 2 juta diantaranya mati sebagai “romusya”(“pekerja”, baca: kerja paksa) atau gugur di medan perang sebagai “heiho”(tentara pembantu, baca: tumbal) Jepang di dalam dan luar negeri. Selain sebagian besarnya mati karena kelaparan, “romusya” lainnya dibunuh selesai membangun proyek-proyek militer yang harus dirahasiakan. Yang lainnya lagi gugur dalam perjuangan dan kegiatan-kegiatan bawah tanah melawan pendudukan fasis Jepang, termasuk kegiatan ‘front anti fasis’, sebagai bagian dari upaya persiapan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari.

Era Neoliberalisme

Setelah dibombardir sekutu, akhirnya Jepang menyerah dan hengkang dari Indonesia. Maka pada 17 Agustus 1945 Soekarno, atas dorongan pemuda-pemuda kiri, memproklamirkan ‘kemerdekaan’ Indonesia. Tapi benarkah Indonesia telah benar-benar merdeka? Sesungguhnya tidak! Indonesia belum pernah benar-benar merdeka bahkan hingga saat ini! Pasca imperialisme Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Jepang, Indonesia masuk dalam cengkeraman penindasan system ekonomi politik yang jauh lebih besar, lebih intensif, lebih sistematis, dengan skala teritorial yang lebih luas.

Pada tanggal 1-22 Juli 1944, negara-negara Imperialis atas prakarsa Amerika Serikat (AS) berkumpul di Bretton Woods, New Hampsire, AS. Pertemuan ini bertujuan mencari kesepakatan mengenai kerangka institusional untuk perekonomian global pasca perang dunia II. Namun tujuan utama sebenarnya di mata para arsiteknya adalah menyatukan dunia dalam suatu jaringan global yang terbuka dan saling bergantung secara ekonomi di bawah kepemimpinan AS, yang akan menjamin akses AS ke pasar dan sumber bahan baku dunia, terutama di negara-negara dunia ke tiga (khususnya : Indonesia!). Hasil dari pertemuan ini adalah terbentuknya institusi-institusi multilateral yang independen yaitu : International Bank For Reconstruction and Development (IBRD, kemudian lebih dikenal sebagai World Bank atau Bank dunia), dan International Monetary Fund (IMF). Menyusul pada tahun 1947 dibentuklah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT, yang kemudian menjadi World Trade Organisation atau WTO). Inilah awal dari “liberalisasi kapital model baru” atau “neoliberalisme”.

Fungsi World Bank adalah, menciptakan ketergantungan negara-negara miskin yang kaya sumber daya alamnya terhadap kaum imperalis, dengan memberikan akses untuk pinjaman dana bagi pembangunan berupa kredit (utang luar negeri), yang berasal dari negara-negara Imperialis.

Fungsi IMF adalah : Pertama , menciptakan nilai tukar tetap (fixed rate) terhadap semua mata uang dunia dengan standar dolar AS. Kedua, memberlakukan ‘penyesuaian struktural’ (structural adjustment) kebijakan ekonomi secara menyeluruh terhadap negara debitur (yang telah menjadi ‘klien’ World Bank) guna menyalurkan lebih banyak sumber daya dan aktivitas produksi negara tersebut ke arah pelunasan kembali utang, serta membuka lebih lebar ekonomi nasional negara debitur bagi ekonomi global.

Fungsi WTO adalah, menghapuskan hambatan terhadap perdagangan dan investasi internasional.

Ketiga institusi ini telah bekerja sama untuk memperkuat kebergantungan negara-negara dunia ke tiga (selain negara-negara sosialis) pada system ekonomi politik dunia, dan kemudian membuka perekonomian mereka bagi kolonisasi kapital-imperialis global. Indonesia adalah korban utama dari neoliberalisme. Periode 1965-1967 terjadi penggulingan kekuasaan paling berdarah di seluruh dunia terhadap rejim Soekarno yang anti ‘nekolim’ (neo colonial imperialis) itu. Jutaan rakyat Indonesia yang dituduh komunis tewas dibantai oleh tentara Angkatan Darat dan gerakan rakyat anti komunis dalam scenario kudeta yang dirancang oleh agen-agen imperialis AS. Begitu Soekarno tergulingkan, maka muluslah jalan bagi kaum imperialis untuk menancapkan kuku-kukunya di bumi nusantara ini. Rezim Soekarno digantikan oleh pemerintahan orde baru (Orba) di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang tak lain adalah agen kepentingan imperialis global modern di bawah komando AS. Sejak saat itu, beberapa strategi social politik dan ekonomi yang dibangun negara-negara imperialis dijalankan di bawah payung ideologi developmentalisme (pembangunan) dan pertumbuhan ekonomi yang di doktrinkan melalui World Bank (lalu diteruskan ke kampus-kampus). Ideology developmentalisme dan pertumbuhan ekonomi mulai diterapkan oleh pemerintah Orba pada tahun 1968. Hal ini tercermin dalam undang-undang no.2 tahun 1968 tentang penanaman modal asing di Indonesia. Sejak saat itu korporasi-korporasi multi dan trans nasional berduyun datang berinvestasi di Indonesia. Diantaranya adalah investasi minyak dan gas bumi di Aceh (oleh Standard Oil Company yang berganti nama menjadi EXXON Mobile), di Riau (CALTEX), di Papua (Freeport Mc Moran). Hampir semua korporasi global itu berasal dari AS. Sejak saat itu kebijakan perekonomian Indonesia didikte oleh imperialis global.

Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah Indonesia mulai meminjam dana secara masiv untuk pembangunan dan modernisasi ‘agar tak kalah dan bisa bersaing dengan negara-negara maju’. Peminjaman dana itu difasilitasi oleh IMF dan World Bank yang bekerja sama dengan negara-negara Imperialis yang tergabung dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang kemudian hari berganti nama menjadi Consultative Group for Indonesia (CGI). Peminjaman dana secara masiv itu menyebabkan menjamurnya bank-bank swasta baru yang kelahirannya dibidani oleh Pakto 1988 tentang kebijakan liberalisasi sector perbankan. Menjamurnya bank-bank swasta baru ini menyebabkan terjadinya kredit macet yang cukup besar untuk merusak fundamen ekonomi nasional. Pada tahun 1992, pengusaha-pengusaha swasta melakukan pinjaman devisa secara besar-besaran dengan menggunakan bank-bank swasta tersebut sebagai kendaraan. Meskipun pemerintahan Orba membentuk Panitia Kredit Luar Negeri (PKLN) untuk mengontrol pinjaman luar negeri tersebut, namun tetap terjadi pembengkakan utang swasta. Belum lagi pertumbuhan utang oleh Badan Usaha Milik Negara. Indonesia mulai terjebak ‘perangkap’ (utang) imperalisme global. Ketika jatuh tempo pembayaran lima tahun berikutnya, yaitu pada tahun 1997, terjadilah gejolak moneter yang dahsyat, sehingga para pengusaha tersebut dan pemerintah tidak dapat mengembalikan utangnya yang mengakibatkan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Untuk mengatasi krisis moneter tersebut, pada Januari 1998, Managing Director IMF, Michael Camdessus, berhasil ‘memaksa’ Soeharto untuk menandatangani Letter of Intent (LoI) yang menyangkut restrukturasi perekonomian Indonesia melalui program penyesuaian structural (structural adjustment program/SAP). Berdasarkan SAP, maka pemerintah Indonesia harus melakukan : a. devaluasi mata uang ; b. deregulasi sector keuangan ; c. pemotongan subsidi BBM, listrik, pendidikan dan kesehatan ; d. menjual perusahaan public, yaitu privatisasi BUMN ; e. memangkas anggaran social dan tenaga kerja ; f. liberalisasi sector perdagangan ; g. penurunan upah. Begitu Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, SAP terus diwariskan kepada rejim-rejim penerusnya hingga rejim SBY Kala ini.

Anak kandung Imperialis, menindas bangsanya sendiri

Sejak LoI diberlakukan, jutaan rakyat Indonesia terperosok ke dalam jurang kemiskinan yang makin dalam. Banyak perusahaan bangkrut. Ribuan buruh di PHK. Sejumlah besar generasi muda tak dapat melanjutkan pendidikan. Pengangguran terus bertambah. Angka kemiskinan dan kriminalitas melonjak tinggi, seiring kenaikan harga BBM dan kebutuhan-kebutuhan pokok primer. Kebutuhan pokok sekunder seperti pendidikan dan kesehatan dikomersilkan sehingga biayanya semakin mahal, dan hanya orang-orang kaya saja yang menikmatinya. Berbagai jenis wabah penyakit, busung lapar dan kekurangan gizi meningkat seiring semakin membengkaknya ongkos berobat di rumah sakit. Perusahaan-perusahaan public di swastakan. Mal-mal dan pusat-pusat pertokoan multi nasional seperti carefour dan lain-lain mulai bermunculan menggusur pasar-pasar local dan tradisional. Pemukiman rakyat miskin dan fasilitas-fasilitas rakyat miskin digusur untuk membangun fasilitas niaga yang mempunyai nilai komersil dan profit yang tinggi. Sementara urbanisasi semakin tak terkendali karena pembangunan di desa-desa terabaikan sekalipun otonomi daerah sudah diberlakukan. Mobil-mobil mewahpun makin banyak bersliweran di jalan.

Namun ironisnya, pemerintahan SBY Kala ini baik di tataran eksekutif maupun legislatifnya, bukannya menunjukan kepedulian terhadap keterpurukan bangsa ini, tapi malah menaikan upah, tunjangan dan anggaran operasionalnya yang sudah tinggi itu. Mereka memperkaya diri di tengah kesengsaraan rakyatnya. Pemerintah dan ‘wakil rakyat’ memang sengaja dipenuhi dengan orang-orang yang tidak kompeten dan qualified, serta dimanjakan pula dengan uang dan fasilitas yang tidak rasional agar mereka mandul terhadap aspirasi rakyat. Maka boleh dikatakan pemerintah SBY kala ini adalah anak kandungnya imperialis, bukan sekedar kaki tangannya. Dan ia menindas saudara-saudara sebangsanya sendiri. Belum puas melihat rakyatnya menderita akibat kemiskinan, bencana alam, penyakit, pemerintah menaikan harga BBM sampai dua kali (sebagai konsekuensi LoI). Masih belum puas juga, pemerintah melalui Bulog menerapkan kebijakan impor beras di negeri lumbung padi Asia tenggara ini, yang sangat merugikan petani, dua kali juga. Pertama pada November 2005 sebesar 70050 ton, lalu Januari 2006 sebesar 11000 ton, semuanya dari Vietnam. Ini terkait dengan SAP mengenai liberalisasi sector perdagangan dalam LoI 1998, yang menuntut diberlakukannya tariff impor beras sebesar 0% sesuai standard WTO. Ini juga berlaku bagi komditi jagung, kedele, tepung terigu, dan gula. Selain itu LoI juga mengatur agar Bulog tidak lagi mengurus kestabilan harga pangan dan agar melepaskannya pada mekanisme pasar. Wewenang Bulog menjadi hanya sebatas pedagang beras saja, itupun harus bersaing dengan pedagang beras swasta. Dengan demikian kaum imperialis global melalui Bulog telah menghancurkan ketahanan pangan rakyat Indonesia. Sehingga tak heran muncul wabah kelaparan seperti di NTT dan Yahukimo, Papua. Rakyat terus menderita dalam cengkeraman imperialisme, tapi sampai kapan? Mereka pun terus berjuang sambil menatap harapan yang tampak samar di hari esok yang suram. Harapan yang tanpa mereka sadari hanya bisa di raih lewat jalan REVOLUSI SOSIAL… !!!***

18 Agustus 2007

Kebutuhan untuk Membangun Dewan Mahasiswa sebagai Alat Politik di Kampus

Gusti Galuh Ratna Sari*


Situasi nasional dan deindustrialisasi
Memburuknya situasi sosial di negara-negara berkembang saat ini sangat terkait dengan krisis yang dialami oleh imperialisme, keterpurukan negara-negara berkembang ini adalah ekses dari penerapan agenda neoliberalisme sebagai jalan keluar dari krisis imperialisme. Neoliberalisme sama sekali tidak mau menyisakan sedikitpun ruang bagi rakyat untuk bisa mencari penghidupannya, segala aspek ia kuasai dan ia gunakan semaksimal mungkin untuk menambah akumulasi capital meski dengan mengorbankan milyaran rakyat di dunia.
Program-program neoliberalisme yang dijalankan pemerintah kita atas keinginan imperialisme ini menghasilkan deindustrialisasi secara nasional (matinya produktifitas rakyat secara massal) dan kebangkrutan negara karena tidak memiliki sumber pemasukan yang maksimal, betapa tidak, neoliberalisme memprivatisasi semua hajat hidup publik (komunikasi, perhubungan, pertambangan dan industri-industri lain), memberikan upah buruh yang rendah dan mencabut subsidi-subisidi yang sangat vital bagi perkembangan produktivitas rakyat (pendidikan, kesehatan, bahan bakar dll). Ditengah situasi dimana semua barang dan akses sangat mahal, rakyat juga tidak diberikan kesempatan untuk berproduksi. Konsekwensi logisnya adalah krisis kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, meluasnya kemiskinan dan ketidakmampuan rakyat dalam memberdayakan dirinya untuk bangkit menjadi sebuah bangsa yang besar dihambat oleh pemerintah kita sendiri. Subsidi energi (BBM, listrik, gas, air), pendidikan, kesehatan, perumahan, telekomunikasi adalah penting untuk pertumbuhan dan perkembangan kapital sosial sebagai prasyarat untuk membangun industrialisasi nasional yang modern.
Pencabutan subsidi terhadap pendidikan yang bahkan sudah diatur dalam konstitusi sebanyak 20% saja tetap tidak mau direalisasikan oleh pemerintah, pemerintah juga secara sembarangan melakukan privatisasi terhadap istitusi-institusi sekolah dan kampus dengan menggunakan legitimasi RUU BHP dan UU sisdiknas yang tendensinya sangat anti rakyat(komersialisasi), kurikulum yang anti realitas serta menempatkan pelajar dan mahasiswa sebagai calon buruh-buruh murah yang kembali pada kepentingan imperialisme itu lagi.

Hasil dari kemerosotan kesejahteraan rakyat secara umum serta kebijakan anti rakyat dari pemerintah ini tentunya juga berdampak langsung kepada system dan kehidupan pendidikan yang kini menjadi problem pokok yang dihadapi mahasiswa sekarang. System pendidikan yang dibangun sedemikian rupa mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan kepada level yang sangat rendah, kurikulum yang anti realitas dan system pendidikan monologis atau dalam istilah Paulo friere disebut sebagai pendidikan gaya bank juga masih dominan dalam dunia pendidikan kita. Rendah dan minimnya sarana infrastruktur pendidikan juga merupakan persoalan yang berawal dari lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan infrastruktur yang cukup dan memadai untuk peserta didik, ditambah lagi dengan adanya privatisasi dimana pengelolaan pendidikan diserahkan kepada pihak swasta, akan menambah deretan potret buram dunia pendidikan yang akan berakibat pada melambungnya biaya kuliah yang tidak bisa terjangkau oleh mayoritas rakyat.


Jalan keluar dalam aspek pembiayaan untuk pembangunan produktifitas rakyat

Bagaimana mengatasi persoalan mahasiswa yang tidak terlepas dari problem keseluruhan rakyat ini? Untuk membangun bangsa yang besar dan produktif, kita harus mampu memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki terutama modal untuk pembangunan basis produktifitas rakyat itu sendiri. Maka dari itu maksimalisasi untuk pembiayaan mengharuskan kita untuk segera mengambil sikap dengan merebut kembali industri pertambangan (estratif) kita yang sudah jatuh ketangan asing melalui nasionalisasi dan berani mengupayakan penghapusan hutang walaupun harus dilakukan secara sepihak karena selain hasilnya hanya dinikmati para koruptor terutama soeharto dan kroninya, beban utang luar negeri ini juga sangat membebani APBN dan selalu menjadi alasan pemerintah untuk mengatakan “kas negara sedang kosong sehingga tidak ada alokasi untuk subsidi kebutuhan rakyat”. sedangkan legitimasi negara dalam bentuk perundang-undangan untuk mempraktekkan neoliberalisme dunia pendidikan ini maka UU, RUU, PP atau Permen yang tidak berpihak pada peserta didik harus ditolak dan dicabut.

Apa yang harus dilakukan

Sistem perpolitikan yang timpang didalam kampus, misalnya antara birokrat dan mahsiswa bukanlah suatu hal yang kebetulan, situasi ini sudah sedemikian rupa dibuat untuk membatasi ruang gerak mahasiswa untuk bisa secara legal memperjuangkan hak-hak sejatinya. Maka dari itu metode perjuangan yang dapat dilakukan oleh mayoritas mahasiswa yang selama ini terus diposisikan sebagai sasaran kebijakan adalah dengan membangun kekuatan yang diisi oleh individu dan organisasi mahasiswa yang bersama-sama dengan intelektual progresif yang juga sudah melihat adanya kebutuhan untuk mendapatkan posisi tawar yang ideal bagi mayoritas untuk menghadapi arogansi dari birokrat sebagai agen neoliberal dilingkungan kampus. Dengan adanya pemahaman bahwa mayoritas (mahasiswa) adalah sejatinya decision maker maka kebutuhan untuk membangun sebuah alat politik mahasiswa yang solid, terstruktur dan memiliki kapasitas yang ideal adalah satu kemendesakan, dimana situasi ini menjadikan dewan mahasiswa sebagai harga mati untuk pembukaan ruang demokrasi yang sejati di dalam kampus dan alat politik yang paling memiliki kapabilitas dalam mengkampanyekan program-program kerakyatan lainnya yang sejatinya adalah bagian dari kepentingan dunia pendidikan itu sendiri.

Long Live Socialism!!!

*Dept Hubungan Intenasional LMND