18 Agustus 2007

Hilangkan Keraguan

Oleh : Ade Oriza Rio

Hanya rakyat yang mau merdeka bisa merdeka
Tilak

Didunia ini, tak ada satu mahlukpun yang mau melepaskan kemapanannya secara sukarela. Terlebih, bagi mereka yang kemapananya didapat melalui cara-cara yang menindas. Status quo harus dipertahankan walau bagaimanapun caranya. Tidak bisa tidak, perlawanan harus dilakukan. Kemapanan penindas harus digulingkan secara paksa. Tentunya ini adalah tugas semua elemen gerakan termasuk gerakan mahasiswa. Kekuasaan, harus segera direbut. Harus !. Namun mampukah gerakan mahasiswa menjalankan tugasnya tersebut ?

Tentang Gerakan Mahasiswa

Indonesia, pada awalnya lebih mengenal nama gerakan pemuda jika dibandingkan dengan gerakan mahasiswa. Pada masa sebelum kemerdekaan misalnya terdapat organisasi-organisasi pemuda seperti jong java dan jong celebes yang kemudian memprakarsai terjadinya sumpah pemuda. Namun, pada masa kemerdekaan, tepatnya pada masa demokrasi liberal dimana berdiri banyak partai, mahasiswa mendapatkan peranan politiknya. Hal ini terjadi karena terbentuknya organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke partai politik. Misalnya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafiliasi ke PNI, Concentratie Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang berafiliasi ke PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS) yang berafiliasasi ke PSI dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berafiliasi ke Masyumi. Hal ini mungkin terjadi karena politik pada saat itu memang merasuk kesetiap lini kehidupan termasuk kehidupan kampus.

Sesuai dengan situasi politik nasional, dimana terjadi polarisasi kekuasaan antara Angkatan Darat (AD), Soekarno, dan PKI. Didalam gerakan mahasiswapun terjadi polarisasi, yaitu GMNI dan CGMI sebagai organisasi mahasiswa pendukung pemerintah dan HMI bersama GMS menjadi organisasi mahasiswa yang beroposisi terhadap pemerintah. PSI dan Masyumi sendiri tersingkir dari panggung politik nasional karena pilihan reaksionernya menjalankan gerakan separatis ( PRRI dan Permesta) setelah kalah bersaing melalui panggung resmi melawan PNI dan PKI. HMI dan GMS yang merupakan asuhan Masyumi dan PSI yang bagai “ anak ayam kehilangan induk “ kemudian menyatukan dirinya dengan gerakan kelompok militer reaksioner. Hasilnya adalah HMI bersama GMS dan kelompok mahasiwa lainnya berhasil mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ( KAMI ) yang kemudian aktif berdemo menekan pemerintah dengan Tritura[1]nya sampai kejatuhan Soekarno / rezim orde lama pada tahun 1966. Kelompok mahasiswa yang “menang” inilah yang menjadi generasi pertama gerakan mahasiswa yang kemudian menyatakan dirinya sebagai kaum intelek murni dan menganggap berpolitik adalah penghianatan kaum intelektual[2]. Mahasiswa hanya berpolitik jika kondisi sudah benar-benar gawat dan setelah “menang” maka mahasiswa harus kembali ke”pertapaan”nya yaitu kampus. Anggapan ini kemudian menghasilkan semboyan kembali kekampus. Betapa munafik melihat mereka yang pada awalnya berafiliasi dengan partai politik yaitu PSI dan Masyumi menyuarakan semboyan kembali kekampus. Depolitisasi dan deideologi terhadap mahasiswa dimulai dari titik ini.Bagaimana dengan gerakan Mahasiswa hari ini ?

Setidaknya, ada 4 penyakit yang diidap oleh elemen gerakan mahasiswa hari ini. Pertama, adanya sektarianisme yang kental dalam beberapa organisasi mahasiswa sekarang. Mereka menyerang keyakinan organisasi mahasiswa lain tanpa mau membuka ruang dialog, diskusi apalagi debat. Sikap ini membuat rasa persatuan diantara mahasiswa menjadi sangat lemah. Masing-masing akan menonjolkan eksisitensinya masing-masing. Merasa paling hebat didalam perjuangan dengan menonjolkan prestasinya masing-masing. Akibatnya, sektor mahasiswa menjadi sektor yang amat rapuh jika digunakan untuk menghantam penguasa.

Kedua, semakin hilangnya kredibilitas gerakan mahasiswa baik dimata rakyat maupun dimata mahasiswa sendiri. Hal ini terjadi karena banyaknya oknum-oknum didalam gerakan mahasiswa yang memanfaatkan gerakan untuk kepentingannya pribadi. Sebut sajalah bisnis menyewakan demonstran bagi penguasa yang perlu menaikkan opini. Mahasiswa dan massa rakyat yang lain menjadi bingung membedakan mana massa aksi bayaran dan mana massa aksi yang revolusioner sehingga mengambil sikap pukul rata terhadap semua massa aksi.

Ketiga, adanya pandangan bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan moral dan bukannya gerakan politik. Melihat sekilas kebelakang, tampak jelas bahwa ini adalah tradisi warisan angkatan 66.Kegiatan berpolitik mahasiswa, terbelenggu oleh pikiran mahasiswa itu sendiri yang masih menganggap bahwa “khittah” gerakan mahasiswa adalah gerakan moral dan sebatas agen perubahan masyarakat saja. Padahal, apa yang mereka lakukan selama ini sebagai bentuk kepedulian mereka misalnya seperti demo menolak impor beras, menolak naiknya harga bahan bakar minyak adalah satu kegiatan berpolitik. Politik berasal dari asal kata “policy” yang artinya kebijakan. Bukankah dengan kegiatan mereka tadi mereka berusaha mempengaruhi “policy” pemerintah alias berpolitik ?. Hanya saja menurut penulis, cara berpolitik mereka tidaklah profesional bahkan cenderung sia-sia. Memposisikan diri sebagai pengawas sosial dari pemerintah dan membatasi diri sekedar sebagai gerakan moral dan gerakan agen perubahan sosial sama saja dengan berteriak di tengah samudra dimana tak seorangpun dapat mendengar. Sayangnya, kelompok mahasiswa yang mengaku revolusioner, menolak jalan parlementariat justru melakukan praktek ini. Mereka sekaligus merayu, membujuk, merajuk dan mengancam parlemen untuk memenuhi tuntutan mereka. Terus menerus memilih merespon kebijakan pemerintah ketimbang memilih menjadi pembuat kebijakan sendiri dengan bertarung melalui partai politik. Suatu sikap yang tidak konsisten

Keempat, adanya pandangan bahwa gerakan mahasiswa harus dimulai dari kebutuhan mahasiswa sendiri. Logikanya, mahasiswa harus sadar akan hak-haknya dan memperjuangkan hak-haknya tersebut sebelum mahasiswa berjuang bersama-sama dengan sektor yang lain memperjuangkan kebutuhan bersama. Gerakan multisektoral hanya dilakukan melalui front-front yang terus dibangun setiap ada momentum namun selalu kemudian bubar lagi. Gerakan multisektoral yang kuat dalam wadah partai politik belum dirasa perlu untuk dibangun. Pandangan politik jauh kedepan masih dikalahkan oleh perjuangan front untuk merebut konsesi-konsesi. Ekonomisme yang reformis telah mengalahkan kebutuhan gerakan revolusioner yang paling penting yaitu partai politik. Lebih buruk lagi, jika berhasil memenangkan satu konsesi. Muncul heroisme yang tidak perlu didalam gerakan mahasiswa. Mahasiswa menjadi mengagung-agungkan jalan ekonomisme reformis dan mengagung-agungkan prestasinya mendulang konsesi. Menjadi kecanduan terhadap konsesi-konsesi namun lupa akan kebutuhan yang lebih mendasar. Tengok saja terbitan masing-masing. Kaya akan catatan prestasi ketimbang analisa dan perdebatan ideologis.

Gunanya Partai Politik

Dalam situasi seperti saat ini, kekuatan-kekuatan politik yang ambil bagian dalam kekuasaan pemerintahan tidak berpihak kepada rakyat. Presiden, wakil presiden, menteri-menteri, dan partai-partai besar yang berhasil meraup suara rakyat tidak memperjuangkan apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Yang mereka butuhkan hanya legitimasi rakyat melalui pemilu sehingga setiap kali kampanye selalu memberikan janji yang muluk- muluk. Rakyat dengan demikian belum menjadi subjek politik melainkan objek politik partai-partai besar. Tampak jelas oleh kita kebijakan-kebijakan pemerintah semakin menyengsarakan rakyat.

Untuk membuat rakyat menjadi subjek politik, rakyat membutuhkan alat politik alternatif yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan strategisnya. Alat politik tersebut adalah partai politik. Partai politik adalah wadah paling kuat yang dapat menampung semua sektor menjadi sebuah gerakan poltik multisektor. Partai politik, dapat memimpin massa dan mendidik massa sehingga memiliki kesadaran revolusioner dalam berjuang. Partai politik melalui kampanye-kampanye program yang disusun oleh semua sektor rakyat akan mampu mengikis kesadaran kompromis dan reformis menjadi kesadaran yang revolusioner[3]. Sebagai sebuah partai politik maka sudah tentu kepentingannya adalah merebut posisi berkuasa dalam pemerintahan sehingga bisa menjalankan program-program yang sesuai dengan kebutuhan rakyat. Namun berkuasa bukan menjadi tujuan akhir. Berkuasa hanyalah sarana untuk dapat menjalankan program-program yang berpihak kepada rakyat. Walaupun tidak ada harapan untuk menang, paling tidak rakyat harus ikut berperan melalui partai untuk menunjukkan independensinya serta mengukur kekuatan sendiri[4]. Disini, parlemen diubah dari alat kebohongan penguasa menjadi alat partisipasi rakyat. Inilah yang disebut melakukan aktivitas parlementer revolusioner

Namun, Partai tidak boleh hanya dikuasai dan dimiliki oleh segolongan elit, tetapi harus dimiliki oleh seluruh rakyat. Partai juga harus menghalau dua penyakit; menghalau ekononomisme yang hanya ribut soal konsesi sehingga menjadi reformis dan menghalau anarko sindikalisme yang menolak politik sehingga berujung pada amuk-amukan saja dengan menolak semua otoritas, yang secara membabi buta ingin membubarkan negara dengan sekali pukul, tanpa paham bahwa pada hakikatnya negara harus diberikan bentuk revolusioner dan digunakan untuk mematahkan perlawanan borjuasi untuk sementara waktu. Negara nantinya akan menghilang bersamaan dengan lenyapnya kelas-kelas, fungsi politik negara akan digantikan fungsi adsministrasi saja yang menjaga kebutuhan masyarakat. Jadi tunggu apalagi ?. Hilangkan keraguan, Segera Rebut Kekuasaan!







[1] Tri Tuntutan Rakyat yaitu bubarkan PKI, bersihkan pemerintah dari unsur PKI dan turunkan harga
[2] Lebih dikenal dengan nama angkatan 66. Tokohnya yang populer dan bahkan sempat difilmkan biografinya saat ini adalah Soe Hok Gie. Selain itu juga ada Fahmi Idris yang sekarang duduk didalam kabinet SBY-JK sebagai Menteri Perindustrian.
[3] Misalnya, Maurice Sibelle dalam Kaum Revolusioner dan Parlemen mengatakan : Salah satu hambatan terbesar untuk menyadarkan kelas pekerja tentang kemungkinan revolusi sosialis adalah karena kelas pekerja sudah terbuai/terbius oleh impian dan janji-janji yang ditanamkan ke benak mereka dari hari ke hari oleh penguasa kapitalis. Pengaruh/impian tersebut demikian mendalam dan meluas di kalangan kelas pekerja – yakni impian bahwa dengan atau melalui lembaga-lembaga demokrasi borjuis, terutama parlemen, kelas pekerja dapat mempertahankan/memperjuangkan dan memajukan kepentingan-kepentingan atau tuntutan-tuntutan mereka. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa kaum sosialis tidak dapat menghancurkan pengaruh/impian tersebut, yang telah begitu tertanam sedmikian mendalam di benak kelas pekerja, hanya dengan memblejeti/membongkar impian tersebut. Sebaliknya, untuk meyakinkan massa kelas pekerja bahwa parlemen hanya lah merupakan alat kaum borjuis, harus lah didukung oleh alasan-alasan atau argumen-argumen yang kuat dengan didukung oleh pengalaman-pengalaman kelas pekerja itu sendiri. Atau, dengan kata lain, massa kelas pekerja harus lah mengalami sendiri praktek-praktek perjuangan dalam menuntut kepentingannya di hadapan parlemen, sehingga mereka dapat menguji atau melihat sendiri keterbatasan-keterbatasan (baca: ketidakmampuan) parlemen dalam memenuhi segala macam kepentingan yang ada dalam aktivitas kelas pekerja. Setelah kelas pekerja yakin akan ketidakmampuan parlemen borjuis dalam memenuhi kepentingannya, maka mereka akan memiliki keteguhan dalam menghancurkan sistim parlemen borjuis tersebut, sehingga akan ada upaya untuk menggantikannya dengan lembaga-lembaga politik yang benar-benar demokratik


[4] Engels dalam kata pengantar Class Struggle in France menulis, Benarkah hak pilih universal tidak memberikan sebuah keuntungan dibandingkan sebelumnya, karena dengan itu memungkinkan kita dapat menghitung kembali jumlah anggota setiap


3 tahun sekali dan, melalui lembaga reguler, peningkatan suara, secara cepat dan bersamaan dapat meyakinkan kelas pekerja akan kemenangan yang bermakna pemusnahan oposisi mereka serta, selain itu, dapat menjadi alat propaganda utama; juga dapat mengingatkan kembali akan kekuatan kita, dan menyodorkan pada kita satu parameter tersendiri bagi tindakan-tindakan kita; selain itu, menyelamatkan kita dari ketidakyakinan yang bebal, seperti halnya suatu kedunguan yang tak tertolongkan –untuk memuntaskan/melengkapi penjelasan di atas, maka tolak ukurnya adalah dukungan politik, dan sejauh ini memang telah terlihat. Agitasi pemilu dapat menjadi alat untuk berhubungan dengan massa, yang masih jauh dari kita; mengerahkan/memanfaatkan seluruh lembaga untuk mempertahankan pendapat-pendapat dan tindakan-tindakan kita dihadapan rakyat dan, lebih jauh lagi, hal itu akan membekali wakil-wakil kita di parlemen dengan suatu platform dalam berhadapan dengan lawan kita di parlemen dan kepada massa yang "hilang," juga kita bisa memperoleh wewenang dan kebebasan lainnya ketimbang sekadar di media ataupun forum-forum pertemuan. ***
*)Anggota LMND Jakarta, Ketua PAPERNAS Depok

0 komentar: