11 Oktober 2007

Tanggung Jawab Partai Alternatif

Oleh : Paulus Suryanta G*

Landasan

Ekonomi:


Pelaksanaan kebijakan Neoliberalisme sepenuh-penuhnya oleh Pemerintahan SBY-JK justru membawa kondisi perekonomian Indonesia sebagai salah satu Negara yang menjalankan “Resep Ekonomi” Washington Konsensus, justru terjerembab dalam jurang krisis ekonomi yang semakin dalam. Kenyataan social-ekonomi saat ini membuktikan bahwa pandangan-pandangan Milton Friedman dan Frederich Von Hayek bahwa akan adanya kesetaraan persaingan yang sempurna dalam wilayah tingkat-permainan (level of playing field) dimana semua pemilik komoditas seimbang (Konvergensi) justru beranjak pada ketidaksetaraan persaingan dalam berbagai tingkat permainan (Divergensi). Sehingga globalisasi modal, barang dan jasa menjadi tidak terglobalkan. Melainkan dimonopoli oleh segelintir pemilik modal besar. Akhirnya, pandangan pertumbuhan dengan Tricle Down Effect (Efek tetesan air kebawah) menjadi hanya sekedar mimpi belaka.


Membengkaknya penetrasi Kapital Asing—yang tidak bergerak dalam sector riil—melainkan dalam Fortopolio, pasar saham dan surat obligasi membuka peluang pergerakan modal secara liar karena tidak adanya sistem keuangan yang kuat dan ketat. Situasi ini akan mengakibatkan ketidakstabilan neraca capital nasional.


Sejak keruntuhan sistem kurs tetap ala Bretton Woods pada awal 70an. Dan dimulainya sistem kurs mengambang/bebas (freely floating system). Modal dan sistem keuangan telah terintegrasi secara internasional. Menuntut kebijakan liberalisasi keuangan pada komponen: Liberalisasi Domestik dan Internasional. Dimana liberalisasi domestic menuntut keaktifan kekuatan-kekuatan pasar dengan mengurangi peran Negara di sector keuangan. Sedangkan, Liberalisasi keuangan internasional menuntut penghapusan control dan regulasi tentang penanaman (inflows) dan pelarian(outflows) modal. Dengan komponen kunci, antara lain: a. Deregulasi suku bunga. b. Penghapusan control kredit. c. Swastanisasi bank dan instiusi keuangan milik Negara. d. pembebasan jalan masuk sector swasta, bank-bank dan institusi keuangan asing kedalam pasar keuangan dalam negeri. e. liberalisasi lalu lintas devisa. Dengan mengizinkan devisa lintas batas Negara. Dewasa ini, pasar keuangan global telah bergerak melampaui fungsi awalnya: memfasilitasi perdagangan dan penanaman modal lintas Negara. Pasar keuangan tidak lagi sekedar mekanisme untuk menyediakan tabungan bagi investasi sector produksi, justru kurang berkait dengan arus sumber daya riil dan investasi jangka panjang sector produksi. Maka, Penetrasi Hot Money tidak bergerak pada sector riil, melainkan pada saham dan surat berharga yang tidak memberikan kontribusi positif bagi pembangunan Industri Nasional. Terlebih lagi, penetrasi Foreign Direct Investment yang diharapkan sebagai ujung tombak ekonomi pasar (bagi penganut mazhab liberalism) yang sangup mendongkrak perekonomian nasional berbanding terbalik dengan tingkat penetrasi Foreign Fortopolio Investment yang justru menggelembung.


Jika ditilik secara historis, berkembangnya sistem kurs bebas dan membengkaknya aliran capital pendek di berbagai negeri merupakan imbas dari tidak berkembangnya sector real. Modal-modal yang ada tidak ditanamkan kepada berbagai industry barang dan jasa. Karena dianggap tidak memberikan keuntungan yang signifikan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dengan factor rendahnya daya beli masyarakat. Melimpahnya barang-barang (overproduksi) dan spekulan produk (barang) yang memainkan pasar dalam kepentingan sepihak ditambah dengan rendanya tingkat pembelian konsumen telah membawa kapitalis internasional dan local untuk bermain dalam arena pasar valuta asing, portofolio, surat obligasi, dan derivatif modal. Situasi ini membuat kuat-lemahnya kurs mata uang suatu Negara menjadi ajang permainan investor modal. Dan mereka mendapatkan keuntungan besar (pelipatgandaan capital) tanpa adanya proses produksi. Keharusan siklus kapitalisme dan kegilaannya untuk meraup keuntungan maksimal justru membawa kapitalis finance pada jurang kehancurannya.
Baik krisis yang terjadi di Meksiko (Efek Tequila), di Chili, dan Devaluasi Bath di Thailand akibat sistem kurs bebas dan outflows capital. Telah berhasil menggeret krisis-krisis di berbagai negeri di Indonesia. Penarikan modal besar-besaran dari negara maju dan sebaliknya dari negara berkembang ke negara maju telah mengakibatkan ketidakstabilan nilai tukar mata uang negara-negara berkembang. Ketiadaan sistem pertahanan dalam sistem keuangan, mengakibatkan kehancuran industry real karena industry di negara-negara berkembang membutuhkan bahan mentah, energy dan teknologi dari luar. Yang kesemua itu harus dibeli dengan kurs dollar. Pelipatgandaan satu mata uang disatu sisi dan kehancuran mata uang negara berkembang disisi lain telah mengakibatkan nilai suatu produk melambung tinggi diluar batas-batas kesanggupan daya beli masyarakat.


Kebijakan keuangan (politik anggaran) juga tidak menekankan pada pembangunan Industri Nasional dan syarat-syaratnya. Melainkan pendistribusian anggaran untuk pembayaran utang luar negeri, belanja barang, pembayaran surat obligasi perbankan, dan belanja militer. Hal ini mengakibatkan Negara tidak memiliki ketahanan keuangan nasional karena terlalu banyak modal yang lari keluar negeri (Capital Flights). Serta minimnya anggaran yang berorientasi membangun industri dan infrastrukturnya. Ditambah minimnya kehendak pemerintah untuk melakukan lobby internasional (seperti Nigeria) untuk mendapatkan pemotongan sebagian utang (Hair cut) dengan jalan mengungkapkan hutang haram (Oudious debt) ataupun memperjuangkan kenyataan indonesia sebagai negara Heavely Indebted Poor Country (HIPC). Memperjuangan perubahan standar HPIC ataupu melakukan penundaan pembayaran utang sementara (moratorium utang). Yang justru getol dilakukan oleh pemerintah adalah melaksanakan sepenuhnya program konversi utang (Debt Swapt) yang mana dananya berasal dari APBN akan tetapi orientasi pelaksanaannya tidak memiliki konsentrasi/fragmentatig sehingga kemaksimalan capaian program konversi utang tidak memberikan capaian maksimal bagi peningkatan kesejahteraan ataupun pendidikan.


Situasi ini, sebaliknya tidak dilakukan penanganan secara utuh oleh pemerintah melainkan justru meningkatkan Suku Bunga Indonesia, 8.75%. Hal ini justru tidak menguatkan posisi rupiah dengan meningkatnya mobilisasi dana untuk tabungan melainkan semakin menumpukkan ketidakmampuan debitor untuk membayar pinjamannya. Memang disatu sisi, peningkatan suku bunga Indonesia akan menarik capital (inflows) asing untuk masuk. Karena rendahnya Suku bunga di negara-negara maju. Tetapi tidak dalam Investasi real tetapi masuk dalam portofolio, valuta asing, obligasi, spekulan property, dan kredit konsumsi. Bahkan dibeberapa negara berkembang, peningkatan suku bunga dan liberalisasi arus invetasi memaksa negara tersebut membayar biaya sebesar 10-20% dari Produk Domestik Brutonya (PDB).


Liberalisasi Perdagangan yang dijalankan sepenuhnya oleh pemerintahan SBY-JK berdasarkan skenario lembaga perdagangan Internasional (WTO) mengakibatkan kehancuran industri tekstil dan produk tekstil serta produk-produk pertanian nasional yang wajib tidak diproteksi. Situasi ini terjadi pula pada industri jasa.Akibat terbesarnya adalah fenomena larinya modal (outflows) menengah (mid term capital) ke negara-negara yang memiliki tenaga kerja murah dan dengan tingkat daya beli yang relative sedang. Contoh, Industri tekstil dan Elektronik yang ditinggal lari pengusahanya. Dalam beberapa situasi juga terdapat pelarian modal (outflows) jangka panjang meski tidak terlalu banyak terjadi. Seperti Reebok.


Praktek spekulan industry energy (minyak, gas dan batubara) dan pembagian keuntungan yang kecil (Production Sharring) serta liberalisasi dalam struktur Industri Energi (Minyak, Gas, dan listrik) memberikan dampak yang sangat besar bagi pelipatgandaan biaya produksi dan distribusi industry barang dan jasa dalam negeri. Terlebih regulasi yang ada justru meliberalisasikan struktur industry energi, yang mengakibatkan terjadi persaingan di industry Hilir (membuat perusahaan negara tidak lagi memiliki kekuatan monopoli) bukannya membangun Industri Hulu dan Infrastruktur produksinya.


Ketiadaan kebijakan konsep dan pelaksanaan energi alternative secara cepat, murah dan modern mengakibatkan tingkat produktifitas tidak kunjung meningkat.
Pembengkakan keuangan (Buble Economic) dan liberalisasi perdagangan akan semakin memperdalam ketidaksanggupan daya beli dan deindustrialiasi. (Outflows short term capital) pelarian modal asing jangka pendek, akan diikuti oleh kehancuran nilai mata uang rupiah dan (outflows mid term capital) pelarian modal menengah yang ada dalam Industri real karena mahalnya biaya energy (dibeli dalam dollar), mahalnya pembelian barang mentah dan teknologi. Sehingga, kecenderungan krisis (seperti 98) berpotensi terjadi. Terlebih tidak adanya perbaikan struktur ekonomi nasional secara signifikan yang dapat menahan perilaku praktek spekulan modal besar. Dan kepatuhan pemerintah dalam menjalankan liberalisasi perdagangan barang dan jasa yang membuat kehancuran pasar dalam negeri, ditengah lemahnya lemahnya daya saing produk—karena rendahnya teknologi dan kualitas tenaga produktif.


Atas situasi ini, berbagai konsesi-konsesi Imperialis dan Agennya , baik dalam bentuk program MDG’s ataupun Askeskin, BLT, BOS, BOP tetap tidak dapat menaham gejolak perlawanan anti pendindasan Imperialisme. Sebab, pemerintahan agen Imperialis tidak memiliki cukup modal bagi konsesi-konsesi dan pengilusian itu. Belum lagi, ditambah budaya korupsi yang memanfaatkan kemiskinan rakyat sebagai alat memperkaya diri bagi kaum birokrat di negeri ini. Suara-suara sumbang karena penambahan biaya tetek bengek setelah adanya BLT, BOS, BOP merupakan kenyataan dimana praktek pencarian keuntungan sepihak masih menjadi budaya di negara ini.


Politik:


Situasi ini akan membuka peluang radikalisasi massa dengan karakter populisme, ekspresi atas penindasan terstruktur Imperialisme. Radikalisasi-radikalisasi yang berkembang pada situasi ini berada pada kondisi Ekonomis-Fragmentatif. Radikalisasi spontan-fragmentatif ini memiliki kandungan kesadaran Imperialisme meski belum sepenuhnya. Tetapi penindasan strukturalnya memudahkan gerakan-gerakan spontan tersebut sampai pada kesadaran anti imperialisme (tentu apabila diolah oleh kepeloporan politik).


Dalam situasi saat ini, penindasan Imperialisme dan Radikalisasi Spontan-fragmentatif gerakan buah dari penindasan tersebut telah memberikan kemajuan-kemajuan dikalangan Elit Politik (Borjuis) dalam menerima dan mengangkat program anti penjajahan asing. Situasi ini tidak dapat dilepaskan pula atas perkembangan tokoh, pemerintahan dan system alternative yang sedang berkembang di Amerika Latin ( Brazil, Bolivia, Cuba, Argentina, dan Venezuela). Keberanian-keberanian pemimpin negeri-negeri tersebut dalam menerapkan suatu kebijakan diluar pandangan mainstream memberikan inspirasi positif kepada kalangan elit. Tapi, memang kita tidak dapat melebih-lebihkannya hingga pada karakter penerimaan dan pelaksanaan programatik pada masa Soekarno. Elit Politik saat ini menerima pengaruh-pengaruh positif dari negeri-negeri tersebut dan menggunakannya dalam kepentingan mencari popularitas belaka dihadapan rakyat miskin yang tertindas. Hal ini harus dilakukan oleh seluruh blok dari elit (Borjuis) dalam kepentingan yang sejatinya iallah menjadi agen utama kapitalisme internasional. Dikarena beberapa Faktor politik yang mempengaruhinya: I. Paska Pemilu 2004, dalam peta politik nasional, tidak didapat sama sekali satu dominasi ekonomi-politik dari satu golongan elit borjuis yang memimpin. II. Polarisasi Politik-Ekonomi ini tidak dapat dilepaskan atas ketidaksanggupan Reformis-reformis gadungan untuk memimpin dan menguatnya kembali unsure-unsur kekuatan Orde baru (Golkar-Militer). Pada situasi ini ada beberapa hal yang harus dijalankan oleh Elit Borjuis agar dapat sepenuhnya menjadi agen utama Imperialisme di negeri in, yaitu: a. Mengeliminir perkembangan kekuatan politik alternative yang sedang berkembang.ini dilakukan untuk tidak menyulitkan posisi politik mereka pada pertarungan politik 2009. d. Mengeliminasi kekuatan borjuis dan alat politiknya melalui sistem politik yang mensyaratkan administratif formal. c. Membangun Blok Politik yang solid (Koalisi PDIP-Golkar+Militer) untuk memastikan proses pengeliminiran tersebut berjalan dan memastikan kemenangan kaki-tangan mereka di Provinsi/Kota/Kabupaten sebab penetrasi modal sudah bergerak semakin bebas dan dalam hingga pada teritori tersebut. Tentu saja atas nama Stabilitas dan Pluralisme, meski kedua hal yang menjadi landasan tersebut sangat kontradiktif untuk menjadi sebuah landasan Pijak. Posisi mereka ini tentu akan diamini oleh Imperialisme. Sebab, akan lebih mudah dan aman secara politik-ekonomi apabila kekuatan politik penguasa tidak terlalu fragmentatif. d. Metode politik ini tetap akan dibingkai atas nama Nasionalisme, Keutuhan Bangsa, slogan-slogan populis, dan stabilitas politik-ekonomi dan perlawanan terhadap Fundamentalisme Islam yang tengah berkembang. Hanya dengan slogan-slogan tersebut dominasi politik mereka akan memiliki dukungan politik secara besar-besaran dikalangan massa rakyat yang luas.

Paska penjatuhan Soeharto, ruang demokrasi sudah mulai terbuka. Meski tidak sepenuhnya terbuka secara lebar sebab sisa-sisa Orde Baru dan Militer hendak bangkit kembali. Dan upaya tarik menarik agar ruang demokrasi terbuka selebar-lebarnya; seluas-luasnya terjadi antara sisa Orba dan Militer disatu sisi melawan kelompok Demokratik (Gerakan Demkartik dan Borjuis Demokrat) disisi lain.


Hari ini, Ruang Demokrasi tersebut masih terbuka—meski tidak sepenuhnya dan masih sering diganggu oleh kelompok milisi sipil reaksioner (FPI, GPK, GEPAKO, FBR) yang menjadi kaki tangan Sisa Orba dan Militer. Tapi ruang demokrasi ini masih sangat formal dan proseduralis, penuh tipu muslihat hanya dalam kepentingan dominasi elit politik dan tuntutan Imperialisme bukan dalam perspektif demokrasi seluasnya dan kesejahteraan sebagai syarat membangun bangsa seutuhnya. Terlepas seperti itu situasinya, capaian-capaian hari ini merupakan hasil jerih payah perjuangan bertahun-tahun untuk membuka ruang demokrasi yang sebelumnya tertutup rapat. Adalah salah apabila tidak memanfaatkan ruang demokrasi (democratic space) atau justru meninggalkannya. Sebab, mungkin ruang demokrasi yang sudah terbuka saat ini (meski memiliki batasan) akan menyempit karena bangkitnya kekuatan sisa Orba dan Militer yang anti demokrasi. Maka sangat penting bagi seluruh Gerakan yang tersadarkan untuk memanfaatkan ruang demokrasi yang telah ada dalam tujuan membuka ruang demokrasi ini pada tingkat yang lebih luas lagi (baca:sepenuh-penuhnya) ataupun memanfaatkannya untuk mengkampanyekan program alternatif, membangun kekuatan politik alternatif dan mempopulerkan tokoh politik alternatif bagi rakyat (sebagaimana gerakan kiri dan nasionalis mempopulerkan Soekarno sebagai tokoh alternatif dalam Rapat Ikada)


Gerakan dan Kesadaran Massa


Memanfaatkan atau mengolah berbagai arena dan momentum sebagai konsekuensi kesetiaan dalam pelaksanaan prinsip (Teori) harus tetap melihat secara jernih kekuatan dan kelemahan subyektif gerakan dalam sudut pandang saat ini berdasarkan pengaruh historis. Dan dengan tetap melihat ancaman-ancaman yang akan menghambat tujuan: membuka sepenuhnya ruang demokrasi, propaganda program alternatif, dan melatih rakyat dan gerakan untuk dapat mewujudkan pemerintahan adil, demokratis dan sejahtera. Pada masa Orde Baru, berbagai persoalan muncul dan mempengaruhi gerakan hingga saat ini, yaitu: Deideoligisasi, Depolitisasi, Deorganisasi dan pengaburan ingatan sejarah. Dan lebih parahnya lagi menghancurkan kebudayaan progressif bangsa Indonesia yang terlahir dari sebuah pergulatan sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan (pra Ordebaru). Kondisi tersebut mempengaruhi kondisi gerakan, antara lain: Miskin terhadap Konsepsi Perjuangan (Program dan Strategi-Taktik), Kelemahan struktur organisasi, elitis/sektarian dan mobilisasi (radikalisasi) yang Fragmentatif (pecah-pecah) dan Spontan (ekonomis). Disamping itu, Gerakan Demokratik memiliki kekuatan hasil dari keterlibatannya dalam proses perjuangan bersama rakyat, yaitu:a. Aksi Massa telah menjadi budaya perlawanan bagi seluruh sektor masyarakat. b. Kesadaran anti Militerisme dan Orde Baru (belum sepenuhnya/total) masih terpatri dalam benak rakyat. c. ketidakpercayaan terhadap reformis gadungan akan sanggup membawa mereka pada kondisi adil, demokratis dan sejahtera, d. Ketidaksukaan terhadap kejahatan-kejahatan Milisi Sipil Reaksioner. e. Menggulingkan pemerintah daerah (Bupati, Lurah) dan memaksa koruptor ditangkap dengan metode-metode radikal (aksi massa) f. Penerimaan program anti penjajahan baru ataupun nasionalisme dalam tingkat awal diterima oleh kaum miskin, klas menengah dan elit politik (borjuasi).Meski dalam soal ini, Borjuasi tidak hendak memompa rasa nasionalisme tersebut menjadi bentuk perjuangan anti Imperialisme yang kongkrer, atau membangkitkan kembali National Character Building-yang sebelumnya ditekankan oleh Soekarno. Melainkan hanya pada upaya pencarian popularitas semata demi keuntungan politik pada pagelaran pemilu 2009. Itulah mengapa berbagai spanduk-spanduk pro rakyat miskin dan anti neoliberalisme banyak digelar oleh Partai-Partai Politik Borjuis, seperti yang dilakukan oleh PDIP. Seperti apapun karakter penerimaan dan pelaksanaan program elit politik pada masa sekarang ini memiliki keuntungan politik bagi gerakan untuk menggunakannya demi kepentingan perluasan kesadaran anti Imperialisme.


Kekuatan dan kelemahan tersebut harus dapat diolah sedemikian rupa dalam menghadapi ancaman yang tengah berkembang. Ancaman-ancaman tersebut antara lain: Pertama, menguatnya Sisa Ordebaru+Militerisme (kecenderungan) ditunjukkan dengan Koalisi PDIP-Golkar+Militer (potensi) untuk mendominasi peta politik nasional. Kepentingan utamanya tidak dapat dilepaskan dalam kepentingan untuk mengeliminasi borjuasi lainnya dan juga kelompok alternatif yang membahayakan secara politik dan ekonomi. Serta, kepentingan sejatinya untuk menjadi agen Imperialis (baca:Penjajah) yang utama (terkuat). Dalam membenarkan posisi politik mereka, Koalisi PDIP-Golkar selalu menegaskan bahwa tujuannya koalisi mayoritas (PDIP-Golkar) adalah untuk Kesejahteraan dan Pluralisme dibawah naungan Stabilitas dominasi mereka. Ini merupakan dua hal yang Kontradiktif. Tidak mungkin Stabilitas dominasi Koalisi yang berarti kedikatoran mayoritas akan berimplikasi terhadap pluralisme (baca: demokrasi). Dan tidak mungkin ada kesejahteraan apabila ruang partisipasi demokrasi telah ditutup atas nama kediktaktoran mayoritas. Tidak mungkin buruh pabrik bisa mendapatkan upah, tunjangan, kesehatan dan rumah yang layak apabila kebebasannya untuk berkumpul (berorganisasi) dan menuntut (berpolitik) dihalangi-halangi atas nama stabilitas. Kedua, menguatnya Fundamentalisme Agama (Ekspresi dari kaum intelekual agamawan atas krisis kapitalisme) yang menolak kebebasan berekspresi; menolak sekularisme; menolak demokrasi. Ketiga, Menguatnya milisi sipil Reaksioner yang menghambat perkembangan Gerakan Alternatif dengan cara-cara kekerasan/anti demokrasi. Keempat, penetrasi modal Kapitalisme yang semakin besar, yang mengakibatkan kehancuran dalam aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya.


Kondisi-kondisi tersebut, tidak pula menghilangkan peluang bagi gerakan demokratik untuk berkembang, meluas dan memimpin. Sejauh ia mampu melakukan beberapa hal, yaitu: 1. Mengolah mobilisasi fragmentatif-spontan (ekonomis) itu menjadi mobilisasi yang monolitik (menyatu) dan politis. Dilihat dari sebab-akibatnya, mayoritas radikalisasi yang muncul merupakan buah perlawanan dari penindasan kapitalisme internasional (imperialisme) sehingga mudah untuk ditarik pada perjuangan anti imperialis. Tentu saja, sejauh kepeloporan politik gerakan mengolah itu. 2. Dapat memukul mundur kekuatan terbesar agen Imperialis, Koalisi PDIP-Golkar (plus Militer). Yang hendak mengeliminir kekuatan alternatif dengan cara membunuh demokrasi dengan demokrasi (membuat UU Politik dan Sistem Politik yang Ketat dan Proseduralis oleh Demokrasi Parlemen (yang mayoritas mereka)) 3. Dapat memaksimalkan berbagai arena/ajang/panggung dalam kepentingan untuk mengkampanyekan secara maksimal program dan metode yang demokratik maupun yang strategis.


Situasi Internal (PAPERNAS)


Dalam situasi tersebut, Papernas yang proses pembangunannya telah dipersiapkan selama 1.5 tahun dalam kesimpulan struktur saat ini belum memiliki kesanggupan untuk dapat meloloskan diri sesuai dalam syarat-syarat administrative Depkumham dan KPU. Meski tetap harus dicatat, belum ada sebuah diskusi tentang evaluasi konsepsi secara mendalam terhadap kenyataan struktur saat ini.


Meski tidak sanggup (dalam situasi saat ini), ada beberapa hal yang menunjukkan kemajuan secara kualitatif dan kuantitatif dari struktur Papernas: Pertama, Seluruh struktur Papernas dari DPP – Pengurus Kecamatan telah mengakui dan menerima Program TRI PANJI yang dapat dikategorikan program Maksimum/Sejati/Vangguard. Diluar Papernas, hanya beberapa elit politik saja yang ikut mengangkat salah satu dari program Tri Panji, tetapi secara organisasional mereka tidak sanggup untuk mengangkat program tersebut.
Kesanggupan struktur Papernas masih terlihat dengan tidak terlalu banyak struktur Papernas yang bubar paska terjadinya pemukulan/penyerangan oleh FPI dan FBR.


Satu hal yang dapat disimpulkan oleh kita saat ini iallah bahwa Papernas telah menjadi alat politik alternatif yang membahayakan popularitas dan posisi politik partai-partai elit dan posisi Imperialisme di Indonesia. Maka, tidak ada jalan lain untuk tetap mengamankan posisi politik-ekonomi imperialism dan agennya, selain dengan mengeliminir kekuatan alternative untuk terlibat dalam setiap momentum politik apapun.


Dan menanggapi keinginan untuk melakukan Koalisi dalam tulisan ini saya hendak menawarkan konsepsi Koalisi dengan Tidak Mengikat Kaki, Tangan, dan Leher kita bagi Koalisi, Melainkan membebaskannya untuk tetap setia pada perkembangan realitas politik yang ada dalam kepentingan untuk memajukannya pada batas-batas kemajuannya.


Program- Stratak


Prinsip:


Pertama, dalam kemaksimalan tujuan memanfaatkan ruang demokrasi (meski belum sepenuhnya terbuka) Intelektual Kerakyatan harus terlebih dahulu mengerti sejauh mana posisi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancamannya. Dan juga, mengerti karakter perjuangan elit politik nasional (Borjuis) yang dalam sejarahnya tidak hendak bersatu dengan gerakan untuk penuntasan pembebasan nasional. Dalam berbagai epik sejarah kaum elit nasional (borjuis) merupakan elemen terakhir yang bergerak ketika atmosphere politik telah berada pada program dan taktik gerakan. Memanfaatkannya dalam kepentingan politik-ekonomi tanpa mempelopori perjuangan politik sedar awal. Dengan pengetahuan ini kita dapat menyimpulkan karakter borjuis nasional:lemah. Tak sanggup menuntaskan perjuangan pembebasan nasional. Atas kesadaran tersebut, kita tidak akan terlena pada ilusi mereka pada tuntutan yang berwatak kerakyatan.


Kedua, sehingga ketika kita memandang arena politik borjuis (Pemilu dan Pilkada), tidak kemudian menjadikan panggung/ajang tersebut yang utama bagi pencapaian kemaksimalan program. Sebab dalam arena politik borjuis berbagai jebakan dan hambatan telah disiapkan agar gerakan tidak leluasa untuk berpropaganda sehingga harus memberikan kompromi-kompromi dalam tujuan dan metode. Begitupun, arena politik borjuis (Pemilu dan Pilkada) penting untuk diolah sebagai peluang untuk mengatasi sisi-sisi kelemahan gerakan. Bahwa pada prinsipnya, pengolahan atau pemanfaatan ruang demokrasi memang dalam kepentingan membangun kesadaran politik-ideologis gerakan dan rakyat, melatih pengalaman kerja politik gerakan, membangun persatuan gerakan, membangun struktur gerakan sehingga terdapat kemudahan untuk mencapai program yang lebih maksimal.


Ketiga, dalam pengertian diatas, ruang demokrasi, pemilu dan pilkada, bukan sebagai tujuan gerakan. Melainkan arena yang dimanfaatkan/diolah oleh gerakan dalam kepentingan memaksimalkan propaganda program politik-ideologis; pelatihan kerja politik; pembangunan persatuan; pewadahan massa/perluasan struktur. Sehingga dalam targetannya, Kursi parlemen bukanlah tujuan utama dari kerja politik ini. Melainkan Propaganda Program Alternatif; Strategi-Taktik; Organisasi sebagai muaranya. Tetapi memang, pencapaian kursi didalam parlemen akan memudahkan tujuan-tujuan sejatinya sampai pada muaranya. Hal ini tidak berarti melakukan apapun (semisal: menanggalkan kepeloporan program dan metode) hanya untuk kemudahan-kemudahan lolos dalam seleksi pemilu dan mendapatkan kursi di parlemen—sehingga setelah lolos dan duduk di parlemen bisa dengan mudah berbicara program politik mendesak. Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin) menyebutkan sebagai pentahap-tahapanisme atau mekanik. Jika itu terjadi sangat mustahil rakyat dan kaum demokrat dapat mengerti, menerima dan melaksanakan tugas-tugas politik pembukaan ruang demokrasi seluas-luasnya untuk pemenuhan kesejahteraan sebesar-besarnya sebagai keharusan. Jika tidak sedari awal diberikan perspektifnya kearah itu. Dan tidak mungkin pula, tokoh-tokoh gerakan yang tengah berbicara program politik utama justru disingkirkan oleh kekuatan yang anti terhadap partisipasi demokrasi rakyat dan tuntutan pemenuhan kesejahteraan. Ataupun, bisa saja justru tokoh-tokoh gerakan tersebut kembali menunda-nunda mempropagandakan program politik utama hingga pada waktunya tiba—yang tak jelas ukuran waktunya.


Keempat, agar terhindar pada penundaan-penundaan mengkampanyekan propgram dan metode politik alternatif. Gerakan harus tetap konsisten bergerak pada berbagai arena. Baik arena demokrasi borjuis, Pemilu. Ataupun arena ekstra parlementer. Karena secara sistemik, keseluruhan arena/ajang tersebut tidaklah terpisah. Melainkan memiliki saling keterhubungan (interelasi); saling terkait satu sama lain. Kemajuan-kemajuan secara kuantitatif dan kualitatif di dalam arena ekstra parlementer tidak bisa dilepaskan atas pengolahan dalam arena parlementer. Begitupun sebaliknya, kemajuan-kemajuan secara kualitatif dalam arena parlementer tidak dipisahkan dari tekanan-tekanan politik ekstra parlementer. Maka penting bagi gerakan untuk memaksimalkan kedua arena tersebut demi kepentingan program (tujuan) minimum atau maksimum/utama


Kelima, dalam kepentingan konsistensi pembangunan Alat Politik Alternatif (Papernas) dan Investasi propaganda politik Alternatif maka Papernas harus sanggup menunjukkan kepoloporan politiknya dalam Program Politik dan tindakan politik serta kesanggupannya untuk bermain dalam momentum apapun juga. Menginjeksikan tujuan-tujuan minimum ataupun menginjeksikan tujuan-tujuan maksimum/sejati/pelopor kepada masa, gerakan demokratik, ataupun elit politik.


Keenam, dengan tetap mengerti perbedaan karakteristik kedua arena tersebut. Arena Pemilu/Parlementer merupakan arena pertarungan politik yang menuntut kompromi-kompromi dalam tujuan politik maupun tindakan politik. Sehingga, hanya tujuan (baca:Program) minimum dan tindakan radikal-moderat (semisal: Rapat Akbar, Panggung kebudayaan, Seminar) yang diterima secara akal oleh logika politik borjuis. Sebaliknya, arena ekstra parlementer merupakan arena yang dapat bergerak pada program dan tindakan yang maksimum/utama (radikal) dan dapat bergerak pada program dan tindakan yang minimum (moderat). Pengolahan arena-arena (arena parlementer, arena ekstra parlementer radikal, arena ekstra parlementer moderat) ini secara dialektis (baca:Simultan) akan memberikan keuntungan politik yang sebesar-besarnya bagi perluasan propaganda program; taktik dan organisasi. Sejauh, dapat mengolahnya dengan metode, bentuk dan alat yang tepat.

Ketujuh, dalam kepentingan-kepentingan minimum maupun utama tersebut, gerakan harus membangun sebuah alat politik yang mencerminkan persatuan yang oleh Soekarno sering disebut sebagai “penggalangan yang padu semua kekuatan revolusioner”, samenbundeling van all revolutionaire krachten. Penggalangan yang padu (persatuan) ini bukanlah kelompok/golongan yang justru berlawanan seperti yang dibangun Soekarno dalam Front Nasional (PKI, NU, PNI, Masyumi, Tentara). Melainkan kelompok/golongan yang memiliki kesamaan terhadap persoalan demokrasi, kesejahteraan dan penjajahan baru (Imperialisme).
Kesanggupan-kesanggupan PAPERNAS dan unsure-unsurenya untuk dapat memaksimalkan arena parlementer yang minimum dalam aspek program maupun tagihan tindakan kongkret—yang menekankan pada mobilisasi politik. Akan menstimulasi situasi politik nasional. Begitupun, secara bersamaan ketika PAPERNAS atau unsure-unsurenya ataupun gerakan kerakyatan lainnya yang hendak melakukan tindakan serupa dapat menghubungkan serta memaksimalkan arena ekstra parlementer secara politik dan organisasi. Maka akan membangun suatu atmosphere politik yang radikal. Dimana, partai-partai elit (borjuis) tidak dapat lagi memakai topeng-topeng sok populisnya (kerakyatan) dihadapan rakyat. Sehingga, rakyat tersadar mana kelompok yang sedari awal mengkampanyekan program-program alternatif yang kongkret. Sekali lagi, ini semua terjadi apabila Papernas dapat memposisikan arena-arena tersebut tepat berada dibawah kepemimpinannya secara politik dan organisasi


Program:
Maka dalam posisi ini Papernas memberikan pilahan-pilahan program dalam kategorisasi Maksimum (Strategis/Pelopor) dan program Minimum (demokratik). Dalam hal ini saya mengusulkan Program maksimum: a. Gulingkan Pemerintahan SBY-JK b. Bentuk Pemerintahan Persatuan Rakyat. C. Tri Panji Persatuan Nasional. D, Boikot Pemilu (Dapat diambil sejauhmana gerakan demokratik sanggup melaksanakan kampanye dan tindakan politiknya. Papernas ataupun unsure-unsure didalamnya wajib melibatkan diri untuk terus memajukan tindakan politik Boikot yang muncul tersebut dalam kepenting menginvestasikan sistem politik alternative yang ditawarkan oleh Papernas). Program Minimum: a. Demokrasi dan UU Politik b. Pendidikan dan Kesehatan Gratis. C. Lapangan Kerja D. Perumahan Murah dan Layak.


Dalam prinsip penawaran Program atau Flatporm dalam Koalisi yang harus pertama kali yang kita sampaikan kepada Koalisi iallah program sejati/pelopor pada point ini tidak berarti kita tidak mengerti seperti apa karakter koalisi yang ada tetapi tugas politik kita untuk tetap menyampaikan apa yang menjadi kesejatian dalam tujuan (program) kepada sekutu dalam koalisi. Oleh karena itu kita tetap menyediakan Flatporm minimum dalam koalisi yang tentunya akan diterima oleh mereka.


Prinsip utama kita dalam meletakkan program minimum dan maksimum pada arena koalisi ataupun Parlementer adalah dalam kepentingan untuk meluweskan tindakan politik kita agar tetap dialektis dalam mengolah situasi yang ada dengan tidak beranjak pada satu level program saja dan mentahap-tahapkannya dalam tujuan maksimum.


Maka dari itu, kita tidak hendak untuk melakukan KONSENTRASI pada satu level program ataupun pada satu arena/ajang. Melainkan mengolah kedua level program tersebut dan kedua ajang/arena (Koalisi dan Ekstraparlementer) dalam tujuan untuk memajukan keduanya dan terus mensimultankan kerja pengolahan Koalisi dan Ekstra Parlemennter


Targetan: Perihal targetan politik ini penting untuk ditetapkan agar selanjutnya kerja politik kita tidak mengawang-ngawang pada harapan-harapan yang ilusif. Dan sedari saat ini telah sadar pada kenyataan kedepannya yang kemudian hendak ditagih. Sebab, jika kita menetapkan targetan yang terlalu mengawang hal ini akan berkibat pada jurang keputusasaan. Sehingga menurut saya, sangat perlu bagi kita untuk menentukan targetan-targetan tersebut pada batas-batas realitasnya. Dalam hal ini saya mengusulkan beberapa targetan:
a. Propaganda Program-Stratak dihadapan koalisi dan gerakan pada umumnya.
b. Peningkatan mobilisasi politik (Propaganda dan Menuntut)
c. Rekruitmen struktur Koalisi kepada Papernas dan unsur-unsur didalamnya.
d. Kursi Parlemen (Sulit)


Pengolahan Koalisi dan Ekstra-Parlementer


Dasar:
Dalam taktik pemilu ini, posisi papernas tidak dapat melakukan Konsentrasi sepenuhnya hanya pada Koalisi sebab Koalisi merupakan arena/ajang minimum yang tidak dapat sepenuhnya memuat dan mengusung tujuan-tujuan maksimum yang penting untuk memajukan perkembangan gerakan dan situasi politik. Apabila itu terjadi, maka posisi Papernas harus melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam ajang/arena minimum. Dan apabila itu terjadi maka penyesuaian tersebut akan terjadi seperti ini: Penurunan atau penghalusan posisi program Papernas. Dan menunda posisi politik papernas yang utama/pelopor serta menunda metode politik papernas yang radikal. Dan tidak mungkin pula dalam koalisi ini posisi Papernas secara partai akan dibubarkan dan dibuat menjadi Ormas Payung. Kemungkinan-kemungkinan ini bisa terjadi apabila kita hanya menempatkan koalisi sebagai yang utama (sentral). Dan semuanya akan diabdikan dalam kemudahan-kemudahan berjalannya koalisi. Ini artinya kita akan menunda posisi politik radikal hingga mendapatkan kursi di Parlemen dan baru akan melakukan kampanye program yang lebih maju paskanya (Teori Tahapan). Apabila memang kita bergerak dalam konsepsi politik seperti ini maka kita akan terikat secara politik dan organisasi sehingga kita harus menanggalkan watak politik kita yang progressif.
Taktik Tak Terikat (mengolah Koalisi dan Ekstra parlementer)


Telah kita ketahui sedari dulu bahwa karakter borjuasi di Indonesia memiliki karakter yang lemah dan pengecut sehingga tidak sanggup untuk menuntaskan perjuangan pembebasan nasional. Dalam pandangan itu maka Koalisi yang unsure-unsurenya adalah borjuis nasional tidak akan sanggup untuk mengusung program dalam tingkat yang lebih maju. Maka koalisi tidak akan ditempatkan oleh mereka sebagai alat politik dalam melawan imperialisme dan menuntaskan perjuangan pembebasan nasional melainkan hanya akan digunakan sebagai alat politik electoral semata. Oleh karena itu tugas terutama kita adalah tetap bergerak memajukan arena minimum (koalisi) dan memajukan arena maksimum (ekstra-parlementer). Konsep tidak berarti melepaskan diri dari arena minimum sebab tanpa memaksimalkan arena minimum menjadi tindakan politik dan kampanye program maka tagihan-tagihan gerakan ekstra parlementer untuk memajukannya pada tingkatan yang lebih lanjut tidak memiliki basis yang nyata. Justru dengan kita memaksimalkan arena minimum akan memiliki landasan yang obyektif untuk memajukan lebih tinggi lagi arena ekstra parlementer.


Memajukan arena minimum ini dilakukan dengan mendesak koalisi mengkongkretkan propaganda politik minimum dan tindakan politik-organisasi minimum. Kongkritisasi tindakan politik ini (meski dalam batasan minimum) akan menstimulasikan politik nasional untuk berbicara pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi lagi.


Tindakan-tindakan kita untuk memajukan koalisi ini memiliki batas-batasan kemaksimalanannya, sebab materi dalam koalisi ini tidak akan sanggup pada tuntutan-tuntutan yang lebih sejati. Ketika koalisi sudah tidak sanggup untuk menjalankan tindakan politik yang lebih maju, yang dibutuhkan bagi perjuangan pembebasan nasional maka tekanan utama bagi kerja politik organisasi adalah memaksimalkan kerja agitasi propaganda dan mobilisasi massa pada gerakan ekstra-parlementer yang sanggup untuk melaksanakannya. Dan apabila Koalisi hendak mundur dan atau hendak berkhianat terhadap tuntutan politik gerakan yang lebih maju maka posisi Papernas harus mengkritik Koalisi dan menyandarkan kekuatan sepenuhnya pada Gerakan.


Strategi Bawah: Aku bersepakat dengan mengambil peluang Dapil sejauh itu tidak dikonsentrasikan secara politik dan organisasi. Maksudnya, peluang dapil dapat diambil tetapi tidak mengikatkan diri kedalamnya sehingga berakibat tidak fleksibel dalam makna politik dan organisasi. Semisal, disatu dapil kita melakukan kerja politik, dan diluar itu terdapat radikalisasi dalam usungan program sejati (semisal Turunkan Pemerintahan SBY-JK atau Boikot Pemilu) dalam kepentingan membangun alternative, mesin-mesin Papernas melakukan respon politik dan organisasi pada teritori diluar dapil yang melakukan radikalisasi politik tersebut.


Melakukan Aksi menuntut terjadwal dan serentak (bukan piket). Dengan terlebih dahulu memaksimalkan penggalian data dan perumusan kesimpulan terhadap potensi-potensi kasus basis. Melakukan kerja Agitasi-Propaganda sebagai prosentase kerja yang maksimal. Dengan bentuk panggung-panggung basis. Seperti: Diskusi Kampus/kampong/Pabrik, Panggung budaya, Orasi keliling, Boom Selebaran. Nonton Film di Kampus/ Kampung. Dan membangun Posko-posko di kampus dan Kampung. Kerja Agitasi-propaganda ini diabdikan untuk melakukan radikalisasi menuntut serentak terjadwal dengan mengangkat potensi kasus basis dan atau mengusung program minimum/maksimum.


Kerja Politik Sektoral Mahasiswa:


Prinsip:
Keseluruhan taktik diatas dalam proses pembangunannya tentu tidak dapat dilepaskan dari ketepatan gerakan mahasiswa dalam memanfaatkan dan mengolah politik kampus. Bukan dalam artian “kembali ke kampus’, Back To Campus. Namun, dalam makna membangun tenaga politik gerakan untuk dapat menstimulasi politik nasional serta memajukan sektor-sektor rakyat yang belum tercerahkan. Ini juga tidak berarti meninggalkan pengalaman integrasi kerja politik-organisasi mahasiswa dan rakyat yang telah terbangun sebelumnya. Melainkan, kembali menjadikan kampus sebagai panggung politik untuk berpropaganda program politik pelopor dan taktik. Serta, kembali mengorganisir struktur tenaga politik gerakan. Hal ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dalam kampus: Mimbar bebas, orasi keliling, mogok makan, booming selebaran, seminar, diskusi publik, Happening Art (Aksi kebudayaan), Panggung kebudayaan, Graffiti Action (Aksi corat-coret), pembangunan posko/stand, pendidikan politik. Dimana keseluruhannya diabdikan dalam kepentingan menstimulus politik secara nasional dengan bentuk taktik: Rapat Akbar (Vergadering) dan Aksi Massa (Mobilisasi) menuntut.


Kerja Atas:
Pertama, Membangun front Sektor Mahasiswa dengan tekanan pada kerja agitasi propaganda Program dan Stratak Persatuan dan Intervensi Pemilu. Kedua, membangun front sector Mahasiswa dengan tujuan yang tidak dilepaskan pula. Yakni, membangun Embrio Liga Mahasiswa (Persatuan Gerakan Mahasiswa)


Kerja Agitasi Propaganda:
Mengkampanyekan Persoalan mendesak disektor mahasiswa : Pendidikan Gratis, Ilmiah dan Demokratis, Demokratisasi Kampus, Perbaikan Infrastruktur dan mutu pendidikan, dan Transparansi Kampus.


Kerja Radikalisasi:
i. Kembali melakukan kerja Investigasi, Sosial, analisa kelas dan menentukan Kampus Konsentras/Prioritas. Ii. Menentukan Satu Kampus Prioritas pembangunan Organisasi dan Panggung Politik Gerakan yang didasarkan pada Geopolitik Kampus. Konsentrasi pengerjaan kampus prioritas ini merupakan kerja politik organisasi yang panjang dan tidak momentual. iii.Menentukan Fakultas dan Jurusan Prioritas dalam Kampus Konsentrasi Tersebut. Iv. Membangun Posko-posko Gerakan.v. Melakukan kerja Agitasi Propaganda : Booming Selebaran, Mimbar bebas, Diskusi Publik dan Seminar (Yang menghadirkan tokoh politik nasional). Panggung kebudayaan. vi. Memuarakan kerja Agitasi propaganda pada kerja radikalisasi menuntut bulanan. Disini saya menekankan mobilisasi menuntut bukan vergadering dalam tujuan memaksimalkan serangan politik demi kepentingan menstimulus politik nasional. kembali melatih struktur melakukan serangan politik. Vii. Mobilisasi menutut ini dilakukan oleh seluruh kekuatan sektoral Papernas dengan melakukan start Aksi dari kampus menuju sasaran-sasaran aksi. Hal ini dimaksudkan agar kembali menjadikan kampus sebagai panggung politik dan katarsis (penghantar) energi radikalisasi politik secara nasional.viii. Menentukan dan mengaktifkan kembali jalur-jalur mobilisasi Revolusi ditingkat kota/kabupaten.


Kerja Perluasan: Melakukan kerja propaganda dan pengorganisasian (pewadahan) baik dengan menstrukturkan mahasiswa atas nama LMND ataupun atas nama komite local/kampus. Baik di Kota/Kabupaten/Kampus/Fakultas Perluasan.



*Ketua Bidang Kedaulatan Energi dan Pertambangan dan Sekjen LMND