04 Januari 2008

POLITIK RAKYAT MISKIN

Oleh : Zainudin Harahap

1.Setahap demi setahap kemampuan industri (nasional) hancur, terutama force of production-nya, tidak signifikan lagi untuk membangun kemandirian. Dibandingkan Bangladesh saja, biaya peningkatan force of production-nya bahkan lebih rendah?biaya peningkatan pelatihan dan peningkatan sumber daya manusianya di atas US$ 1.oo per kapita; sedangkan di Indonesia di bawah US$1.oo. Ekonom borjuis saja memintanya ditingkatkan, terutama dalam hal teknologi. Kemudian, investasi?baik dalam perdagangan, industri, atau pun jasa?semakin mengarah (baik swastanya maupun pemerintah) ke konsep penyaluran kapital asing. Kapital asing tersebut, sebenarnya, sudah tak bisa (baca: tak berkehendak) disalurkan/ditampung/ditanamkan kembali di negerinya sendiri sehingga gelembung modal (asing) tersebut berupaya dimasukkan ke dalam negeri, dan ditampung (baik oleh agen swastanya maupun pemerintah). Alat pendesaknya adalah lembaga-lembaga keuangan, perdagangan dan pembangunan dunia, seperti International Monetary Fund (IMF), World Trade Organization (WTO), World Bank (WB), kesepakatan-kesepakatan/lembaga-lembaga bilateral dan multilateral lainnya, dan lain sebagainya. Bahkan, perkembangan terbaru dalam sejarah penanaman modal asing di Indonesia adalah: modal-modal tersebut ditampung oleh berbagai BUMN secara besar-besaran?baik sebagai peserta modal maupun sebagai pembeli langsung BUMN dan bank-bank yang diambil alih pemerintah (yang sudah atau tetap bangkrut walaupun sudah dipasok BLBI). Investasi spekulatif yang sangat berbahaya adalah portofolio, yang tak bisa diinvestasikan di sektor riil tapi diperjudikan lewat lalu-lalang perdagangannya. Itulah juga mengapa lembaga-lembaga keuangan (kredit) asing mulai marak di Indonesia.
2.Dampak dari kebijakan ekonomi seperti itu adalah kenaikan harga dan turunnya daya beli rakyat , terutama di sektor pertanian yang tak tersentuh modal?kecuali sektor agribisnis besar (seperti sawit, karet dan beberapa perkebunan besar negara). Dan pengangguran semakin terasa (juga peningkatannya). Itulah mengapa gerakan spontan mulai merebak dan meningkat di mana-mana, bahkan kwalitasnya pun mulai meningkat?peningkatan golput, penjatuhan pimpinan daerah dan sebagainya. (Apapun alasannya, Golput adalah cermin tak adanya harapan akan alternatif.)
3.Namun, berbeda dengan sebelum tahun 1998, sekarang gerakan spontan (dan tak spontan) terbagi dalam 2 spektrum. Spektrum 1 gerakan: mendekati tahun 1998, kaitan antara gerakan 80an/90an dengan gerakan 98 mulai kelihatan putus (secara organisasional maupun pengaruh ideologis), apalagi beberapa gerakan yang tadinya memiliki pengaruh kuat masih bergerak di bawah tanah sehingga tak bisa terlibat penuh bersama gerakan 98 dan kaitannya dengan gerakan mahasiswa melemah. Dan, setelah tahun 1998, beberapa elemen gerakan 80an, 90an dan 98 mulai dikooptasi oleh elit-elit, kelompok-kelompok, partai-partai kaum reformis gadungan?termasuk, contohnya, semua Ketua Umum PRD masuk ke kubu mereka. Sehingga, kaitan gerakan (spontan)?yang terus menerus berkembang dan meningkat saat ini?dengan gerakan 80an dan 90an semakin menurun.
4.Spektrum lain gerakan (spontan) lainnya, spektrum 2 gerakan, yang kwantitas (dan bahkan kwalitasnya mulai) meningkat secara signifikan di seluruh nasional (kecuali di daerah-daerah terpencil), adalah: gerakan spontan-ekonomisme-fragmentatif, yang tak memiliki atau kecil sekali kaitannya dengan gerakan 80an, 90an dan 1998, atau tak memiliki/kecil sekali kaitannya dengan spektrum 1 gerakan. Statistik aksinya sudah puluhan aksi per bulannya?yang menggembirakan, ketimbang sebelum tahun 1998, gerakan tani juga semakin meningkat, bukan saja dalam hal perebutan/pendudukan (reclaiming) tanah, tapi juga dalam issues yang tak kasat mata seperti soal pupuk, pengairan, harga gabah, impor beras dan lain sebagainya. Itulah kondisi objektif yang memudahkan?namun bisa dilihat sulit atau belum memadai (oleh kaum mayoritas di PRD dan PAPERNAS)?untuk diolah sebagai landasan memajukan gerakan; padahal, bukan kondisi obyektifnya yang menyulitkan atau belum memadai untuk diolah, namun karena kondisi subjektifnya yang tidak jalan. Itulah yang mendemorasilisasi mereka; buruk rupa cermin dibelah.
5.Kemudian, hal yang menggembirakan lainnya adalah: issues kemandiran bangsa, nasionalisasi, kontrak ulang dan sebagainya mulai diangkat oleh sebagian (kecil) kelas menengah dan elit politik?Amien Rais hendak bangkit lagi dengan mengangkat issues tersebut. Terlepas dari motifasi mereka yang sekadar mencari popularitas (menaikan nilai tawarnya) dan hendak meningkatkan harga jual sumber daya alam nasional (baca: harga jual bangsa) kepada imperialis.
6.Hal lain yg menyulitkan (tapi memudahkan kita memahami musuh) yakni, karena kejatuhan Gus Dur, ada 3 kekuatan yang sedang dan akan berusaha terus berkuasa: 1) revitalisasi atau restorasi Orde Baru dalam manifestasi Golkar; 2) kaum reformis gadungan, terutama yang menjadi benalu pada momen reformasi tahun 1998, seperti PKS dan lain sebagainya; 3) Tentara. Kejatuhan Gus Dur adalah cerminan bagaimana tentara mendukung kelompok (1 dan 2 tersebut) untuk menjatuhkan Gus Dur—terutama Ryacudu. Dan sekarang, kecenderungan ekonomi-politik mereka adalah menjadi agen modal (penjajah) asing.
7.Musuh lainnya: penjajah (modal) asing. Mereka sekarang sedang butuh pembuangan modal?bukan di Afrika, tentunya, kecuali di Afrika yang kaya sumberdaya alamnya, terutama yang kaya enerji (karena mereka belum bisa beralih seketika ke enerji lain), pertambangan lainnya, dan mineralnya. Dan, di negeri-negeri berkembang, reinvestasi modal asing dalam bentuk constant capital (dalam konsep force of production) peningkatannya sedikit/lambat. Dinamika modal (dalam konsep force of production) ada di negeri asalnya; sedikit saja keuntungan yang diperoleh di negeri-negeri berkembang, akan dengan segera ditransfer ke negeri asalnya?di Indonesia, tentu saja atas tekanan “moralitas kebijakan-kebijakan” neoliberalis dan alat-alatnya, undang-undang lalu lintas devisa/modal sudah dan akan lebih dipermudah. Walupun telah diaudit, tak ada aturan seberapa porsi yang harus ditanamkan kembali. Itulah yang kemudian menjadi landasan bagi ajang kompetisi industri yang anarkis: masuk satu industri, maka industri (serupa) lainnya hancur?dan industri yang hancur justru industri yang banyak menyerap tenaga kerja, itulah mengapa mereka membutuhkan undang-undang yang menjamin outsourching, apalagi belakangan ini semakin anarkis. Konsekwensi langsungnya adalah: hancurnya produktivitas nasional; meningkatnya penganguran; dan turunnya daya beli mayarakat.
8.Soal budaya. Sekarang sudah mulai meningkat budaya ketidakpercayaan terhadap elit, alat-alatnya dan mekanisme-mekanismenya, dalam bentuk: SBY-JK tak bisa memberi jalan keluar; elit korup; pemilu bukan untuk partai alternatif; partai-partai politik yang ada bukan alternatif yang bisa memberikan jalan keluar. Dengan demikian, seharusnya, saatnyalah untuk mengolah gerakan karena hasilnya akan lebih menggembirakan; kondisi objektif lah yang lebih banyak membantu kita. (Dalam konsep Tiga Serangkai dan Soekarno: ketika rakyat sudah tak percaya lagi pada penjajahnya, walau Belanda menawarkan Volksraad, jawabannya: NON-KOOPERASI. Lawan! Bahkan kompromi dianggap tak akan bisa memberikan jalan keluar.)
9.Kemudian tentang dua taktik. Kaum pelopor sekarang berada dalam lautan kesadaran reformis (itulah mengapa butuh kaum pelopor yang bekerja keras dengan alat-alatnya yang kreatif, tepat dan meluas). Di mana-mana bergejolak tuntutan reformisme. Agar lautan kesadaran reformis tersebut menguntungkan gerakan maka harus dimobilisir menjadi tindakan politik?namun demikian, harus ada kompartemen kesadaran sosialis di lautan reformisme tersebut agar tidak sesat atau berputar-putar pada jalan keluar dan hasil yang reformis; dan agar secara simultan bisa memberikan kesadaran sosialis, tidak menahapkannya. Kita ambil hikmahnya kejadian di Nigeria: buruh pertambangan minyaknya sanggup mogok selam 3 bulan, bahkan merembet kemana-mana sehingga seluruh sektor perekonomian masyarakat lumpuh total, namun kesadarannya bukan kesadaran politik (tidak ada skenario politik melawan tentara) sehingga, ketika dipukul tentara, tak ada kesiapan untuk melawannya, dan kalah. Atau seperti LSM, yang tak menganjurkan untuk mengajarkan politik kepada rakyat?bahkan ada yang beralasan: nanti saja kalau massanya sudah besar. Sebesar apapun massanya, bila tak pernah diberikan acuan politik, maka akan semakin sulit untuk diajak bertindak politik (terlebih-lebih akan banyak dari kalangan pimpinan massanya yang akan menolaknya karena tidak sejak awal pimpinan massa tersebut diajarkan politik). Oleh karena itu, jangan disepakati bila PAPERNAS hendak dimatikan potensinya sebagai partai aternatif, yang akan memasokkan dan meyebarluaskan politik alternatif; lain lagi yang dapat diambil hikmahnya dari gerakan HAMAS yang, awalnya, memberikan kesadaran politis di landasan lautan kesadaran dan alat-alat reformis (koperasi dan advokasi) sehingga, setahap demi setahap, sesuai dengan pembesaran massanya, mereka bisa menjadi organisasi alternatif bagi rakyat: tetap melawan Israel (secara radikal dan militan), serta bisa memenangkan pemilu mengalahkan dominasi FATAH selama puluhan tahun.
10.Bagaimana situasi tersebut diarahkan/diolah dengan strategi-taktik kita?bisa saja dengan pemilu sebagai salah satu variabel politiknya, dan dengan koaliasi-pemilu sebagai salah satu unsur taktisnya (tapi koalisi dengan siapa?). Seharusnya, kesadaran koalisi yang harus dipropagandakan adalah: kita bisa menyerang musuh (obyektif) bersama, yakni: penjajahan (modal) asing; sisa-sisa Orde Baru (terutama GOLKAR), tentara, dan kaum reformis gadungan, sebagai bahaya nyata, bahaya mendesak. Namun, dalam koalisi, tak jadi masalah bila hanya program miminum saja yang bisa diterima oleh sekutu kita, tapi program minimum tersebut tidak boleh kontradiktif atau kontra-produktif terhadap program-program maksimum atau program sejati kita, atau kita dengan bebas, tak terikat, harus (di segala kesempatan) berupaya mempropagandakan program-program sejati kita. Oleh karena itu, koalisi dengan PBR TIDAK BOLEH!
11.Salah satu strategi-taktik mengembangkan partai dan politik alternatif rakyat miskin lihat tulisan Arah Pengorganisasian Massa untuk Revolusi dengan Metode Tiga Bulanan.
12.Sekali lagi, dari fakta yang ada dalam analisa situasi nasional di atas, jelas program yang harus diperjuangkan adalah menghancurkan: 1) sisa-sisa lama (Orde Baru dan Golkar); 2) tentara. Karena mereka terus mengendap-ngendap untuk mencari celah menjarah ranah sispil kembali, bahkan sekarang semakin terbuka bergerak naik. Ilusi yang dibangun adalah bahwa militer masih bisa dikontrol oleh sipil—misalnya dengan adanya kementerian pertahanan dan keamanan, yang menterinya seorang sipil—tak terbukti di lapangan, mereka tetap saja tak bisa dikontrol (kasus penembakan di Pasuruan, misalnya). Bahkan sekarang perluasan pengaruh militer di partai-partai semakin kuat. Artinya masih ada problem tentara, dan Dwi Fungsi harus dituntaskan; 3) reformis Gadungan. Kita harus membongkar ilusi terhadap reformis gadungan, agar rakyat bertambah mengerti. Harus ditunjukkan bahwa program reformasi pun tidak mau mereka tuntaskan, hanya sekadar janji; 4) penjajahan modal asing dan kapitalisme. Bila kita tak berhasil menyelesaikan problem penjajahan modal asing, maka kita telah kehilangan potensi untuk mengembangkan force of production sosialisme.
13.Sebagian aspek yang harus ditekankan dalam agitasi-propaganda adalah: jangan percaya pada neoliberalisme, karena semangatnya adalah semangat penjajahan, semangat penghisapan. Karenanya konsep neoliberalisme harus dirubah menjadi konsep penjajahan; jangan percaya pada sisa-sisa lama (Orde Baru dan GOLKAR); jangan percaya pada tentara (penindas rakyat); jangan percaya kaum reformis gadungan; jangan percaya partai-partai lama (yang bukan alternatif); yang lainnya adalah soal budaya: budaya kemandirian (anti penjajahan), budaya non kooperasi, budaya alternatif, budaya berlawan (radikal, militan, dan cerdik), budaya berorganisasi, budaya bersatu/kolektif, budaya membaca/belajar, budaya bekerja, budaya cinta ke-ilmiah-an, budaya sayang rakyat dan sesama, budaya cinta lingkungan, budaya demokratik, budaya anti rasialisme, budaya kesetaraan gender, budaya toleran terhadap orientasi seksual, dan lain sebagainya.
14.Hegemoni kepemimpinan program dan politik partai alternatif rakyat miskin sendiri memang tak bisa berkembang bila dilepaskan dari persatuannya dengan kelompok-kelompok lain. Tapi harus hati-hati memahami kelompok-kelompok tersebut. Bahkan spektrum gerakan lama (80an dan 90an) pun banyak yang sudah tak bersih lagi, sudah terkooptasi, dan campur aduk antara yg radikal dan moderat, sehingga malah bisa memperlambat gerakan. Bahkan, gilanya, yang radikal bisa terkooptasi oleh yang moderat?apalagi, setelah kejatuhan Suharto, bila tak jeli, sulit untuk menilai kadar kwalitas mobilisasi (yang tidak sepenuhnya politis) yang dilancarkan oleh unsur-unsur (terutama LSM) yang, pada masa Suharto, bukan main moderatnya. Misalnya, sebagai contoh, spektrum gerakan 80an dan 90an sudah mulai mencoba mewujudkan proyek persatuan, namun konsolidasinya masih campur aduk, tanpa unsur pelopor (yang bebas dan berkehendak memiliki program serta metode politiknya sendiri). Layaknya proyek mimpi. Karena itu, pengolahannya: harus ada analisa dan penetapan rangking unsur-unsur yang harus dipersatukan sesuai dengan program-program dan metode-metode politiknya, agar lebih cepat berkembang dan meluas. Masing-masing ada wadah persatuannya sendiri, namun kita tidak boleh sektarian dengan menghindarkan diri atau tidak terlibat dalam wadah-wadah persatuan yang program-programnya minimum dan metode-metode politiknya moderat. Bahkan kita harus juga mempelopori wadah-wadah seperti itu, sebagaimana layaknya kerja kaum pelopor di lautan kesadaran dan elemen-elemen reformis. Bila dapat diolah dengan efektif maka memungkinkan adanya perkembangan gerakan yang signifikan, sekaligus memungkinkan dihasilkannya figur-figur [yang, paling tidak, demokrat (sejati) atau populis] yang akan terus bertahan.
15.Isian politik dalam persatuan dengan unsur-unsur reformis, pada tahap awal, minimal ada dalam batas-batas demokrasi dan kesejahteraan. Kemudian, bila ada landasan komitemen kerja?terutama dalam upayanya menghancurkan sektarianisme, dengan melibatkan sebanyak mungkin unsur-unsur reformis [yang, bahkan, ada yang sudah menginginkan “alternatif” (dalam pengertian mereka]?maka wibawa persatuan akan meningkat (apalagi bila massanya meluas), dan kepercayaan terhadap persatuan, dengan demikian, akan meningkat pula. Dan bisa saja, pada satu kondisi yang memadai, wadah persatuan tersebut akan bertransformasi menjadi partai dan mengambil taktik pemilu dengan politiknya sendiri (yang masih reformis). Namun, pergerakan tersebut tidak boleh dilepaskan dari konsep perjuangan kompartemen sosialis di lautan kesadaran dan politik reformis, agar kita bisa mengambil manfaat terhadap perkembangan persatuan tersebut (lihat tulisan: Arah Pengorganisasian massa untuk revolusi dengan Metode Tiga Bulanan). Prosesnya sekarang adalah pembesaran gerakan sendiri dan gerakan persatuan, dengan tanpa membatasi atau menahap-nahapkan agitasi-propaganda sejati?tentu saja, dalam kesepakatan persatuan, kita akan dengan cerdik dan rendah hati bisa berkompromi menyepakati reformasi yang menguntungkan rakyat (yang tidak berkontradiksi dan kontra-produktif terhadap program-program kita). Hasil langsung dari strategi-taktik tersebut adalah: atmosir politik (yang semakin lama semakin meluas tapi mem–fokus) akan tetap terjaga (hidup), walaupun terdapat banyak kekuatan/gerakan (yang sebelumnya sulit untuk disatukan); dan atmosfir politik inilah yang justru akan menjadi landasan lebih mudahnya persatuan semakin meluas dan mem-fokus.
16.Agar gabungan antar-sektor dan antar-teritori dapat lebih cepat berkembang menjadi gerakan nasional/internasional yang berwibawa dan memiliki daya tempur maka, dalam tahap awal, harus segera ada seruan (dengan alat-alat medianya ) dan turne ke daerah-daerah (yang harus diproritaskan di teritori geopolitik): BAHWA GERAKAN ALTERNATIF HARUS MEREBUT HEGEMONI AGENDA POLITIK!?termasuk mengambil keuntungan dari perkembangan positif gerakan tani setelah kejatuhan Suharto. Gerakan tani harus disatukan (terutama dengan daerah-daerah terdekatnya yang berlawan) baik dengan sektornya sendiri maupun dengan sektor masyarakat lainnya, dan didorong agar mobilisasinya bisa mempengaruhi atmosfir politik dan kebijakan nasional/internasional. Mereka, setahap demi setahap, harus bergerak ke pusat-pusat kekuasaan, dari mulai ke kecamatan, ke kabupaten, ke propinsi, dan nasional (bahkan internasional). Selain itu, agar gerakan tani menemukan alat-alat dan saluran-salurannya untuk populer, agar gerakannya didengar rakyat secara luas. ***

0 komentar: