17 September 2007

Kaum Intelektual Dan Tanggung Jawab Politiknya

Oleh: Paulus Suryanta Ginting*

Kaum Intelektual tersadarkan, khususnya Gerakan Mahasiswa, memiliki kontribusi penting dalam alur sejarah nasional. Keterlibatannya dalam proses perjuangan pembebasan nasional tidak dapat dilupakan begitu saja oleh siapapun. Kesanggupan-kesanggupannya untuk mempelopori perjuangan politik dalam berbagai momentum telah berhasil menginspirasi perjuangan massa rakyat. Dalam berbagai masa, keterbukaan cara pandang dan keberanian untuk memperjuangankan persoalan telah menghantarkan gerakan mahasiswa pada posisi yang tidak dapat dilepaskan dengan massa rakyat. Itulah mengapa mahasiswa kerap menjadi sandaran kegelisahan rakyat yang tertindas, baik pada masa penjajahan Belanda, Jepang ataupun masa kediktaktoran Soeharto. Tetapi point ini, selanjutnya memiliki alur perdebatan menyejarah dalam sejarah Gerakan Mahasiswa, yang kemudian memiliki perbedaan mendasar dalam cara pandang dan tindakan ketika melihat persoalan. Yang selalu terlihat yaitu: apakah Gerakan Intelektual tercerahkan ini muncul ketika rakyat tengah gelisah atas penindasan yang mereka alami? Ataukah memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam membangun kesadaran perjuangannya, melatih pengalaman berorganisasinya dan bahkan mempersiapkan kekuasaannya yang sejati agar dapat memimpin, dipimpin dan terpimpin secara adil dan layak. Pada muaranya, perdebatan yang menyejarah ini tersebutkan pada posisi: Gerakan Moral vs Gerakan Politik dan atau Gerakan Kultural vs Gerakan Struktural. Sebuah perbedaan konsepsi yang akan dibenarkan hanya oleh pembuktian sejarah (Praktek).

Perspektif Sejarah

Jika kita melihat kembali sejarah awal perjuangan pembebasan nasional, kemerdekaan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan oleh beberapa bukti keberanian intelektual yang tercerahkan dalam mempelopori perjuangan, antara lain: Pertama, keberanian Raden Mas Tirto Adhi Suryo (Minke-dalam Tetralogi Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer) untuk membuat Koran (alat perjuangan) Medan Priyayi, dan membangun organisasi sebagai wadah perjuangan (Sarekat Priyayi) serta memberikan landasan nasionalisme sebagai tujuan perjuangannya. Satu hal yang ketika itu pada masanya (awal abad 19) masih belum terpikirkan oleh angkatan-angkatan pada masanya atau yang sebelumnya. Meski belum berhasil memperjuangkan apa yang hendak ia capai tetapi perjuangan pembebasan nasional dalam cita-cita dan tindakan telah ia pelopori sebelum orang-orang yang terdidik lainnya melakukan hal yang serupa. Justru karena keberanian inilah maka intelektual yang terdidik (yang belum terberanikan) mulai mencontoh tindakan-tindakan politiknya.Di mana kemudian mereka bersama-sama dengan RM. Tirto membangun organisasi pedagang Islam (Sarekat Dagang Islam/SDI). Kedua, pengalaman berorganisasi dan kebutuhan memperjuangkan pembebasan nasoinal (nasionalisme) atas penindasan kapitalisme Belanda yang mulanya telah dimulakan oleh RM. Tirto Adhi Surya, selanjutnya dilakukan oleh kaum Intelektual lainya: 3 serangkai (Suryadi Suryaningrat, Douwess Dekker, Cipto Mangunkusumo). Kala itu, 3 serangkai telah sadar bahwa perjuangan pembebasan nasional harus memiliki konsep nasionalisme yang jelas dan utuh, dan pencapaian perjuangan tersebut tidak dapat dicapai tanpa kebutuhan Partai Politik. Sejak kesadaran itu tumbuh dan berkembang, maka lahirlah sebuah partai politik pertama saat itu: Indische Partij (Partai Indonesia). Kemajuan-kemajuan dalam metode dan bentuk perjuangan mulai meningkat, perjuangan tidak hanya dilakukan dengan menulis dan memproduksi bacaan tetapi meluaskan organisasi dan mengolah panggung parlementer (Volksraad) agar dapat secara leluasa berbicara tentang Nasionalisme; Perjuangan Pembebasan Nasional; Persatuan. Meski mengalami pukulan yang mengakibatkan demoralisasi tetapi 3 serangkai sudah memberikan inspirasi perjuangan yang kelak mengilhami kelahiran partai-partai progressif lainnya. Ketiga, perjuangan pada tingkat yang lebih maju dalam metode dan bentuk untuk melawan penindasan kolonialisme berikutnya dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bertransformasi dari sekedar Asosiasi Demokratik Sosial Hindia (Indies Social Democratic Association, ISDV) dibentuk atas inisiatif Hendrik Sneevliet. Dan berkembang Karena berintegrasi dengan buruh perkebunan, kereta api dan organisasi pedagang Islam (SI). Kepeloporan mereka, ditunjukkan selain dalam ketulusan untuk mengintegrasikan diri dengan kaum miskin dan keberanian untuk melakukan perjuangan bersenjata untuk melawan tekanan penjajahan Belanda. Terlepas berbagai perbedaan pandangan atas kesalahan atau ketepatan tindakan politik tersebut tetapi sejarah perjuangan perlawanan dalam metode bersenjata (dalam substansi nasionalisme) pada proses kemedekaan tidak dapat dilepaskan dari pemberontakan 1926. Keempat, kegagalan pemberontakan tersebut, mewajibkan Soekarno pada tahun 1927—yang pada tahun sebelumnya masih berkutat dengan kelompok studi umum (Algemeene Studie Club) di Bandung—untuk mengisi ruang politik perjuangan pembebasan nasional yang tengah kosong karena banyaknya kaum kiri yang dipenjara dan dibuang ke Boven Digul. Keberanian terus Ia dan kawan-kawannya lakukan dengan mendeklarasikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Sejak saat ini, Soekarno dan PNI telah berani menunjukkan kepeloporan dalam program dan metode ditengah demoralisasi besar-besaran paska kekalahan pemberontakan 1926 ditengah kelompok lainnya yang berkubang pada pendidikan keahlian dan keterampilan sebagai yang utama dalam perjuangan pembebasan nasional—yang oleh Soekarno disebut sebagai gerakan Kooperatif. Kelima, pada masa yang jauh setelah itu, keberanian dan keyakinan atas kebenaran pandangan ditunjukkan oleh unsur-unsur pembentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), antara lain: Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta, Solidaritas Mahasiswa Semarang, Forum Belajar Bebas, dan lainnya. Sebuah kelompok Intelektual tersadarkan paska Deideologisasi-Depolitisasi-Deorganisasi Orde Baru yang mengerti bahwa perjuangan tidak bisa berhenti didalam lingkaran kelompok Studi dan Debat ataupun mengorganisir aksi dalam kampus melainkan juga mengorganisir kaum tani, buruh pabrik, dan kaum miskin perkotaan serta membangun alat politik alternatif sebagai wadah perjuangan dalam hal ini adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pemukulannya pada tahun 1996, lewat pengkambinghitaman kasus 27 Juli di Kantor PDI, merupakan rentetan awal keberanian politik gerakan mahasiswa dan rakyat untuk turun ke jalan-jalan dan menyuarakan: Penjatuhan Soeharto.

Dari pemaparan sejarah ini dapat kita temukan, bahwa penciptaan momentum politik; pencapaian perubahan; pencapaian keberhasilan merupakan wujud kongkret atas manifestasi pelaksanaan kebenaran pengetahuan (teori) dan keberanian untuk menempatkannya sebagai hal yang prinsipil serta keyakinan untuk mewujudkannya didalam tindakan-tindakan politik. Atau dalam kata lain: Tanggung Jawab mereka yang sadar (mengetahui kebenaran) untuk memperjuangkan Kebenaran itu agar menjadi Benar. Dalam hal ini, Gerakan Moral atau Kultural hanya menepatkan perjuangan sebagai tuntutan kegelisahan massa dan tidak memajukannya pada tingkat yang lebih tinggi lagi agar dapat membuat Mahasiswa dan Rakyat berada pada posisi berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dan bertautan tangan untuk melakukan tindakan yang sama dalam tujuan yang sejati-jatinya. Sedangkan Gerakan Politik atau Gerakan Struktural secara berani dan konsisten mengambil tanggung jawab serius dalam memulai tindakannya hingga bertanggung jawab memajukan kesadaran rakyat dalam aspek politik dan organisasi hingga membangun kesanggupan rakyat untuk bersama-sama mewujudkan kekuasaan yang Adil, Demokratis dan Sejahtera. Inilah yang membedakan antara prespektif Gerakan Moral vs Gerakan Politik.

Tugas Mendesak ke Depan

Dalam pelbagai periode perjuangan sesungguhnya antara Gerakan Moral dan Gerakan Politik memiliki kesamaan tujuan pada tingkat yang minimum. Tetapi sejauh situasi harus diarahkan pada tingkat yang lebih tinggi lagi, Gerakan Moral tidak sanggup untuk berbicara dan bertindak pada tingkat itu. Semisal: pada masa penjatuhan Soeharto Gerakan Moral dan Gerakan Politik memiliki kesamaan flatporm yaitu, Penjatuhan Soeharto dan Anti Korupsi. Tetapi ketika situasi telah berkembang dan Soeharto sudah lengser, Gerakan Moral tidak bersedia untuk berbicara dan bertindak pada tingkat yang lebih maju lagi, yaitu pembentukan Majelis Rakyat Indonesia sebagai perwujudan cita-cita masyarakat yang adil, demokratis dan sejahtera. Ataupun ketika rakyat dan gerakan politik sudah berbicara mengenai Revolusi (Sebagai sebuah perubahan yang cepat dan mendasar) sebaliknya gerakan moral hanya berbicara Reformasi (sebagai sebuah perubahan yang bertahap). Dan justru memberikan lapangan kekuasan terhadap kelompok elit yang sebelumnya tidak mempelopori penjatuhan Soeharto (4 Tokoh Ciganjur). Selain memang kelompok Gerakan Mahasiswa Kerakyatan yang sedari awal telah mempelopori tindakan politik tersebut belum memiliki tokoh politik sekaliber (baca:sepopuler) Amien Rais, Gusdur, Megawati dan Sultan HB X.

Paska penjatuhan Soeharto, ruang demokrasi sudah mulai terbuka. Meski tidak sepenuhnya terbuka secara lebar sebab sisa-sisa Orde Baru dan Militer hendak bangkit kembali. Dan upaya tarik menarik agar ruang demokrasi terbuka selebar-lebarnya; seluas-luasnya terjadi antara sisa Orba dan Militer disatu sisi melawan kelompok Demokratik (Gerakan Demkartik dan Borjuis Demokrat) disisi lain.

Hari ini, Ruang Demokrasi tersebut masih terbuka—meski tidak sepenuhnya dan masih sering diganggu oleh kelompok milisi sipil reaksioner (FPI, GPK, GEPAKO, FBR) yang menjadi kaki tangan Sisa Orba dan Militer. Tapi ruang demokrasi ini masih sangat formal dan proseduralis, penuh tipu muslihat hanya dalam kepentingan dominasi elit politik dan tuntutan Imperialisme bukan dalam perspektif demokrasi seluasnya dan kesejahteraan sebagai syarat membangun bangsa seutuhnya. Terlepas seperti itu situasinya, capaian-capaian hari ini merupakan hasil jerih payah perjuangan bertahun-tahun untuk membuka ruang demokrasi yang sebelumnya tertutup rapat. Adalah salah apabila tidak memanfaatkan ruang demokrasi (democratic space) atau justru meninggalkannya. Sebab, mungkin ruang demokrasi yang sudah terbuka saat ini (meski memiliki batasan) akan menyempit karena bangkitnya kekuatan sisa Orba dan Militer yang anti demokrasi. Maka sangat penting bagi seluruh Gerakan yang tersadarkan untuk memanfaatkan ruang demokrasi yang telah ada dalam tujuan membuka ruang demokrasi ini pada tingkat yang lebih luas lagi (baca:sepenuh-penuhnya) ataupun memanfaatkannya untuk mengkampanyekan program alternatif, membangun kekuatan politik alternatif dan mempopulerkan tokoh politik alternatif bagi rakyat (sebagaimana gerakan kiri dan nasionalis mempopulerkan Soekarno sebagai tokoh alternatif dalam Rapat Ikada).

Dalam kepentingan tersebut maka, Gerakan Intelektual tersadarkan wajib untuk bertarung (dalam makna Program) di berbagai Arena. Baik arena Ekstra-Parlementer ataupun arena Pemilu dan Pilkada. Apabila, gerakan mahasiswa hanya berkutat saja dalam pergumulan didalam kampus akibatnya rakyat tidak dapat melihat politik alternatif dari Gerakan tersebut. Adalah penting untuk memasokkan pemahaman politik dan organisasi Alternatif secara terus menerus didalam kesadaran rakyat. Agar kelak, rakyat dapat mengikutinya dalam pikiran dan tindakan.

Kekuatan, Kelemahan dan Ancaman

Memanfaatkan atau mengolah berbagai arena dan momentum sebagai konsekuensi kesetiaan dalam pelaksanaan prinsip (Teori) harus tetap melihat secara jernih kekuatan dan kelemahan subyektif gerakan dalam sudut pandang saat ini berdasarkan pengaruh historis. Dan dengan tetap melihat ancaman-ancaman yang akan menghambat tujuan: membuka sepenuhnya ruang demokrasi, propaganda program alternatif, dan melatih rakyat dan gerakan untuk dapat mewujudkan pemerintahan adil, demokratis dan sejahtera.

Pada masa Orde Baru, berbagai persoalan muncul dan mempengaruhi gerakan hingga saat ini, yaitu: Deideoligisasi, Depolitisasi, Deorganisasi dan pengaburan ingatan sejarah. Dan lebih parahnya lagi menghancurkan kebudayaan progressif bangsa Indonesia yang terlahir dari sebuah pergulatan sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan (pra Ordebaru). Kondisi tersebut mempengaruhi kondisi gerakan, antara lain: Miskin terhadap Konsepsi Perjuangan (Program dan Strategi-Taktik), Kelemahan struktur organisasi, elitis/sektarian dan mobilisasi (radikalisasi) yang Fragmentatif (pecah-pecah) dan Spontan (ekonomis). Disamping itu, Gerakan Demokratik memiliki kekuatan hasil dari keterlibatannya dalam proses perjuangan bersama rakyat, yaitu:a. Aksi Massa telah menjadi budaya perlawanan bagi seluruh sektor masyarakat. b. Kesadaran anti Militerisme dan Orde Baru (belum sepenuhnya/total) masih terpatri dalam benak rakyat. c. ketidakpercayaan terhadap reformis gadungan akan sanggup membawa mereka pada kondisi adil, demokratis dan sejahtera, d. Ketidaksukaan terhadap kejahatan-kejahatan Milisi Sipil Reaksioner. e. Menggulingkan pemerintah daerah (Bupati, Lurah) dan memaksa koruptor ditangkap dengan metode-metode radikal (aksi massa) f. Penerimaan program anti penjajahan baru ataupun nasionalisme dalam tingkat awal diterima oleh kaum miskin, klas menengah dan elit politik (borjuasi).Meski dalam soal ini, Borjuasi tidak hendak memompa rasa nasionalisme tersebut menjadi bentuk perjuangan anti Imperialisme yang kongkret, atau membangkitkan kembali National Character Building-yang sebelumnya ditekankan oleh Soekarno. Melainkan hanya pada upaya pencarian popularitas semata demi keuntungan politik pada pagelaran pemilu 2009. Itulah mengapa berbagai spanduk-spanduk pro rakyat miskin dan anti neoliberalisme banyak digelar oleh Partai-Partai Politik Borjuis, seperti yang dilakukan oleh PDIP. Seperti apapun karakter penerimaan dan pelaksanaan program elit politik pada masa sekarang ini memiliki keuntungan politik bagi gerakan untuk menggunakannya demi kepentingan perluasan kesadaran anti Imperialisme.

Kekuatan dan kelemahan tersebut harus dapat diolah sedemikian rupa dalam menghadapi ancaman yang tengah berkembang. Ancaman-ancaman tersebut antara lain: Pertama, menguatnya Sisa Ordebaru+Militerisme (kecenderungan) ditunjukkan dengan Koalisi PDIP-Golkar+Militer (potensi) untuk mendominasi peta politik nasional. Kepentingan utamanya tidak dapat dilepaskan dalam kepentingan untuk mengeliminasi borjuasi lainnya dan juga kelompok alternatif yang membahayakan secara politik dan ekonomi. Serta, kepentingan sejatinya untuk menjadi agen Imperialis (baca:Penjajah) yang utama (terkuat). Dalam membenarkan posisi politik mereka, Koalisi PDIP-Golkar selalu menegaskan bahwa tujuannya koalisi mayoritas (PDIP-Golkar) adalah untuk Kesejahteraan dan Pluralisme dibawah naungan Stabilitas dominasi mereka. Ini merupakan dua hal yang Kontradiktif. Tidak mungkin Stabilitas dominasi Koalisi yang berarti kedikatoran mayoritas akan berimplikasi terhadap pluralisme (baca: demokrasi). Dan tidak mungkin ada kesejahteraan apabila ruang partisipasi demokrasi telah ditutup atas nama kediktaktoran mayoritas. Tidak mungkin buruh pabrik bisa mendapatkan upah, tunjangan, kesehatan dan rumah yang layak apabila kebebasannya untuk berkumpul (berorganisasi) dan menuntut (berpolitik) dihalangi-halangi atas nama stabilitas. Kedua, menguatnya Fundamentalisme Agama (Ekspresi dari kaum intelekual agamawan atas krisis kapitalisme) yang menolak kebebasan berekspresi; menolak sekularisme; menolak demokrasi. Ketiga, Menguatnya milisi sipil Reaksioner yang menghambat perkembangan Gerakan Alternatif dengan cara-cara kekerasan/anti demokrasi. Keempat, penetrasi modal Kapitalisme yang semakin besar, yang mengakibatkan kehancuran dalam aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya.

Kondisi-kondisi tersebut, tidak pula menghilangkan peluang bagi gerakan demokratik untuk berkembang, meluas dan memimpin. Sejauh ia mampu melakukan beberapa hal, yaitu: 1. Mengolah mobilisasi fragmentatif-spontan (ekonomis) itu menjadi mobilisasi yang monolitik (menyatu) dan politis. Dilihat dari sebab-akibatnya, mayoritas radikalisasi yang muncul merupakan buah perlawanan dari penindasan kapitalisme internasional (imperialisme) sehingga mudah untuk ditarik pada perjuangan anti imperialis. Tentu saja, sejauh kepeloporan politik gerakan mengolah itu. 2. Dapat memukul mundur kekuatan terbesar agen Imperialis, Koalisi PDIP-Golkar (plus Militer). Yang hendak mengeliminir kekuatan alternatif dengan cara membunuh demokrasi dengan demokrasi (membuat UU Politik dan Sistem Politik yang Ketat dan Proseduralis oleh Demokrasi Parlemen (yang mayoritas mereka)) 3. Dapat memaksimalkan berbagai arena/ajang/panggung dalam kepentingan untuk mengkampanyekan secara maksimal program dan metode yang demokratik maupun yang strategis.

Dalam kepentingan-kepentingan minimum maupun utama tersebut, gerakan harus membangun sebuah alat politik yang mencerminkan persatuan yang oleh Soekarno sering disebut sebagai “penggalangan yang padu semua kekuatan revolusioner”, samenbundeling van all revolutionaire krachten. Penggalangan yang padu (persatuan) ini bukanlah kelompok/golongan yang justru berlawanan seperti yang dibangun Soekarno dalam Front Nasional (PKI, NU, PNI, Masyumi, Tentara). Melainkan kelompok/golongan yang memiliki kesamaan terhadap persoalan demokrasi, kesejahteraan dan penjajahan baru (Imperialisme). Persamaan inilah yang menyatukan dan menjadikannya sebagai ikatan kerjasama dalam politik. Dalam soal-soal ini, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) secara nasional telah membangun dan bergabung kedalam sebuah alat politik persatuan: Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS). Dengan program utamanya, yaitu: Tripanji Persatuan Nasional (1. Nasionalisasi Industri Pertambangan, 2. Hapuskan Utang Luar Negeri, 3. Bangun Industri (Pabrik) Nasional).
Kesanggupan-kesanggupan LMND dan PAPERNAS untuk dapat memaksimalkan arena parlementer dalam aspek program maupun tagihan tindakan kongkret—yang menekankan pada mobilisasi politik. Akan menstimulasi situasi politik nasional. Begitupun, secara bersamaan ketika LMND atau PAPERNAS ataupun gerakan intelektual kerakyatan lainnya yang hendak melakukan tindakan serupa dapat menghubungkan serta memaksimalkan arena ekstra parlementer secara politik dan organisasi. Maka akan membangun suatu atmosphere politik yang radikal. Dimana, partai-partai elit (borjuis) tidak dapat lagi memakai topeng-topeng sok populisnya (kerakyatan) dihadapan rakyat. Sehingga, rakyat tersadar mana kelompok yang sedari awal mengkampanyekan program-program alternatif yang kongkret. Sekali lagi, ini semua terjadi apabila gerakan intelektual kerakyatan dapat memposisikan arena-arena tersebut tepat berada dibawah kepemimpinannya secara politik dan organisasi.

Kesemua itu, dalam proses pembangunannya tentu tidak dapat dilepaskan dari ketepatan kaum intelektual kerakyatan memanfaatkan dan mengolah politik kampus. Bukan dalam artian “kembali ke kampus’, Back To Campus. Namun, dalam makna membangun tenaga politik gerakan untuk dapat menstimulasi politik nasional serta memajukan sektor-sektor rakyat yang belum tercerahkan. Ini juga tidak berarti meninggalkan pengalaman integrasi kerja politik-organisasi mahasiswa dan rakyat yang telah terbangun sebelumnya. Melainkan, kembali menjadikan kampus sebagai panggung politik untuk berpropaganda program politik pelopor dan taktik. Serta, kembali mengorganisir struktur tenaga politik gerakan. Hal ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dalam kampus:Mimbar bebas, orasi keliling, mogok makan, booming selebaran, seminar, diskusi publik, Happening Art (Aksi kebudayaan), Panggung kebudayaan, Graffiti Action (Aksi corat-coret), pembangunan posko/stand, pendidikan politik. Dimana keseluruhannya diabdikan dalam kepentingan menstimulus politik secara nasional dengan bentuk taktik: Rapat Akbar (Vergadering) dan Aksi Massa (Mobilisasi) menuntut.

*Sekretaris Jendral Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)

0 komentar: