24 September 2007

Hancurkan Dominasi Imperalisme Di Indonesia !!!

Oleh: Rheza Andhika P.

Sejak dimulainya revolusi industri di Inggris pada abad ke 17 kebutuhan manusia akan Sumber Daya Alam (SDA) semakin besar. Kekurangan dan kebutuhan negaranegara dunia pertama yang tidak tercukupi oleh SDA didalam negeri menyebabkan mereka menjajah dan mencari lahan eksplorasi baru agar dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri mereka. Lewat jalur perdagangan dengan penjajahan model kolonialisme negaranegara dunia pertama mulai merambah masuk dan menjajah negaranegara dunia kedua dan ketiga. Pada zaman tersebut fokus utama mereka bukan disektor minyak dan gas alam melainkan kebutuhan akan barangbarang yang menjadi komoditi utama dalam perdagangan seperti : rempahrempah.
Hal ini terjadi sampai dengan abad ke 19. pada awal abad ke 20 mereka menyadari bahwa sektor migas merupakan sektor penting menguntungkan dan harus dieksplorasi dan dioptimalkan hanya untuk kepentingan mereka (kapitalisme) sendiri. Target sasaran mereka adalah negara dunia ketiga. Terdiri dari para pemodal pengusaha dan birokrat negara dunia ketiga yang korup. Usai berakhirnya perang dunia II dengan terbentuknya deklarasi Hakhak Asasi Manusia (HAM) para kapitalis menyadari cara penjajahan kolonialisme sudah tidak dapat digunakan lagi. Kapitalisme mulai berpikir untuk melakukan penjajahan gaya baru dengan caracara yang mereka anggap lebih manusiawi dan tidak melanggar HAM tetapi tujuan mereka dapat tercapai. Dari sinilah awal mulai terbentuknya Imperialisme gaya baru. Penjajahan dengan membentuk pemerintahan boneka pemerintahan yang dapat mereka atur dan lebih memihak kepada kepentingan kapitalis dan memenuhi kebutuhan mereka khususnya di sektor minyak dan gas. Dibentuk pula badanbadan legal (IMF World Bank dll) untuk semakin menancapkan kukunya dengan cara meminjamkan modal kepada negaranegara dunia ketiga dengan bunga yang melilit negara dunia ketiga dan tidak akan bisa lepas dari jeratan utang sehingga negara dunia ketiga akan patuh kepada mereka. Apabila negaranegara dunia ketiga yang tidak patuh dan melawan kebijakan mereka embargo atau penutupan akses dari akses penting sampai keseluruhan akses adalah hukumannya.
Runtuhnya Uni Sovyet di akhir 80an membuat kapitalisme yang dipimpin Amerika Serikat berada dalam puncak kejayaannya. Hanya ada Kuba dan Korea Utara yang berani untuk menentang kebijakan AS dan sekutunya. Kedua negara tersebut mendapatkan embargo dari negaranegara lain yang tunduk kepada ideologi kapitalisme. Keadaan ini berlanjut sampai tahun 1998 kemudian lahirlah satu negara lagi yang mampu melawan penindasan kapitalisme. Venezuela dibawah kepemimpinan kolonel Hugo Chavez Frias dengan berani menentang kebijakan presiden AS George W. Bush. Setelah sekian lama berada dalam penindasan kapitalisme Chavez muncul sebagai tokoh kiri yang telah lama diimpikan oleh golongan proletar dinegaranya untuk dapat hidup sejahtera dan terlepas dari segala macam penindasan. Di blok latin Kuba yang telah lama berjalan sendiri akhirnya menemukan kawannya yang bekerja sama dalam upaya memerangi kapitalisme. Disusul oleh Bolivia yang mulai bergabung dengan Venezuela dan Kuba. Serta negaranegara amerika latin yang lain yang ikut bergabung walaupun tidak berani secara terangterangan melawan kapitalisme tetapi mulai berani menentang beberapa beberapa kebijakan kapitalisme yang menindas mereka. Contohnya : Argentina yang berani menolak melakukan pembayaran utang kepada IMF dan World Bank. Situasi nasional yang terjadi dinegara Indonesia juga tidak terlepas dari situasi internasional.
Sejak dimulainya kekuasaan rezim Soeharto kebijakan yang diambil oleh negara indonesia juga tidak terlepas dari intervensi asing. Dimulai lewat UU nomor 1 tahun 1967 (yang kemudian diubah menjadi UU nomor 11 tahun 1970) yang merupakan embrio berkembangnya kapitalisme yang juga dilahirkan untuk menjawab desakan Imperialisme atas pembukaan pasar dan eksploitasi sumber daya alam dan tenaga manusia bagi kepentingan operasi modal di Indonesia. Saat kepemimpinan Soeharto modal yang seharusnya diinvestasikan di Indonesia pada kenyataannya lebih banyak dikorup oleh Soeharto dan antekanteknya. Pada dasarnya prinsip dari Kapitalisme adalah menginginkan efisiensi namun di Indonesia justru bertentangan dengan tujuan mereka lewat berbagai macam jalan birokrasi yang berbelitbelit semakin membuat modal untuk investasi mereka setengahnya habis untuk pembiayaan birokrasi. Karena itulah kekuasaan Soeharto yang besar dan diktator membuat imperalisme harus mengakhiri kekuasaan Soeharto dan membuat rezim yang dapat mereka atur dan menuruti kehendak mereka. Lewat Reformasi pada tahun 1998 kekuasaan rezim diktator Soeharto akhirnya turun. Kesalahan gerakan mahasiswa 1998 adalah mahasiswa tidak melibatkan rakyat. Padahal rakyat sangat mendukung dan percaya bahwa mahasiswalah yang pada waktu itu dapat menyelamatkan kondisi Indonesia pada saat itu. Setelah Soeharto lengser kekosongan pemerintahan tidak direspon dan diambil oleh mahasiswa dan mahasiswa malah menyerahkan kekuasaan kepada elitelit politik dan reformis gadungan. Akibatnya reformis gadungan yang ada di kelompok Ciganjur seperti : Amien Rais Megawati Gusdur dll mengkhianati citacita reformasi dan rakyat Indonesia dengan menjadi kaki tangan (baca : Mandor) Imperialisme. Hal ini malah membuat korporasi asing semakin berkuasa di Indonesia rezimrezim setelah Soeharto membuat mereka semakin mudah untuk mengekploitasi kekayaan alam Indonesia dengan modal yang lebih efisien.

Mengapa Momen Pemilu 2009 Harus Kita Ambil ?

Karena kesadaran massa yang masih kurang untuk memahami situasi nasional ditambah lagi kekecewaan masyarakat akan gagalnya reformasi 1998 membuat sebagian besar masyarakat bersikap apolitis. Massa mengambang ( floating mass ) justru menjadi sebuah kerugian besar karena suara yang golput tentu akan masuk kepada golongan atau partai yang menang dalam pemilu. Untuk kondisi saat ini sangatlah jelas bahwa partai yang menang pemilu sudah tentu partai yang bermodal kuat dan didukung oleh pengusaha dan mewakili kepentingan borjuasi. Jadi janganlah berharap partai seperti ini akan memperjuangkan kepentingan rakyat miskin dan memperjuangkan golongan proletar. Oleh karena itu massa yang sudah tersadarkan dan ingin merubah Indonesia menjadi terbebas dari segala macam penghisapan dan dominasi asing yang mengekploitasi kekayaan alam demi kepentingan Imperialisme maka momen lima tahun pemilu 2009 harus diambil. Karena jalur paling ampuh untuk mempropagandakan dan membuat kesadaran massa meningkat hanya lewat pemilu. Jutaan pasang mata masyarakat Indonesia yang hanya memandang pemilu menjadi sebuah keuntungan untuk propaganda kepada massa secara lebih meluas. Seharusnya semua elemen sektor rakyat yang perduli dan progresif revolusioner bersatu dan mengambil isu pemilu 2009 sebagai momen untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan antekantek imperalisme yang saat ini menduduki pamerintahan dan menjalankan kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Hal ini yang harus DIRUBAH !! apabila kesadaran massa sudah meningkat maka tidak diperlukan lagi isu pemilu dan mungkin mengambil jalan Revolusi sebagai jalan paling ampuh untuk mengakhiri kekuasaan dan memulai suatu tahapan menuju masyarakat yang humanis dan terbebas dari segala jenis penindasan!***

Penulis Adalah Anggota Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) Jakarta

17 September 2007

Kaum Intelektual Dan Tanggung Jawab Politiknya

Oleh: Paulus Suryanta Ginting*

Kaum Intelektual tersadarkan, khususnya Gerakan Mahasiswa, memiliki kontribusi penting dalam alur sejarah nasional. Keterlibatannya dalam proses perjuangan pembebasan nasional tidak dapat dilupakan begitu saja oleh siapapun. Kesanggupan-kesanggupannya untuk mempelopori perjuangan politik dalam berbagai momentum telah berhasil menginspirasi perjuangan massa rakyat. Dalam berbagai masa, keterbukaan cara pandang dan keberanian untuk memperjuangankan persoalan telah menghantarkan gerakan mahasiswa pada posisi yang tidak dapat dilepaskan dengan massa rakyat. Itulah mengapa mahasiswa kerap menjadi sandaran kegelisahan rakyat yang tertindas, baik pada masa penjajahan Belanda, Jepang ataupun masa kediktaktoran Soeharto. Tetapi point ini, selanjutnya memiliki alur perdebatan menyejarah dalam sejarah Gerakan Mahasiswa, yang kemudian memiliki perbedaan mendasar dalam cara pandang dan tindakan ketika melihat persoalan. Yang selalu terlihat yaitu: apakah Gerakan Intelektual tercerahkan ini muncul ketika rakyat tengah gelisah atas penindasan yang mereka alami? Ataukah memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam membangun kesadaran perjuangannya, melatih pengalaman berorganisasinya dan bahkan mempersiapkan kekuasaannya yang sejati agar dapat memimpin, dipimpin dan terpimpin secara adil dan layak. Pada muaranya, perdebatan yang menyejarah ini tersebutkan pada posisi: Gerakan Moral vs Gerakan Politik dan atau Gerakan Kultural vs Gerakan Struktural. Sebuah perbedaan konsepsi yang akan dibenarkan hanya oleh pembuktian sejarah (Praktek).

Perspektif Sejarah

Jika kita melihat kembali sejarah awal perjuangan pembebasan nasional, kemerdekaan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan oleh beberapa bukti keberanian intelektual yang tercerahkan dalam mempelopori perjuangan, antara lain: Pertama, keberanian Raden Mas Tirto Adhi Suryo (Minke-dalam Tetralogi Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer) untuk membuat Koran (alat perjuangan) Medan Priyayi, dan membangun organisasi sebagai wadah perjuangan (Sarekat Priyayi) serta memberikan landasan nasionalisme sebagai tujuan perjuangannya. Satu hal yang ketika itu pada masanya (awal abad 19) masih belum terpikirkan oleh angkatan-angkatan pada masanya atau yang sebelumnya. Meski belum berhasil memperjuangkan apa yang hendak ia capai tetapi perjuangan pembebasan nasional dalam cita-cita dan tindakan telah ia pelopori sebelum orang-orang yang terdidik lainnya melakukan hal yang serupa. Justru karena keberanian inilah maka intelektual yang terdidik (yang belum terberanikan) mulai mencontoh tindakan-tindakan politiknya.Di mana kemudian mereka bersama-sama dengan RM. Tirto membangun organisasi pedagang Islam (Sarekat Dagang Islam/SDI). Kedua, pengalaman berorganisasi dan kebutuhan memperjuangkan pembebasan nasoinal (nasionalisme) atas penindasan kapitalisme Belanda yang mulanya telah dimulakan oleh RM. Tirto Adhi Surya, selanjutnya dilakukan oleh kaum Intelektual lainya: 3 serangkai (Suryadi Suryaningrat, Douwess Dekker, Cipto Mangunkusumo). Kala itu, 3 serangkai telah sadar bahwa perjuangan pembebasan nasional harus memiliki konsep nasionalisme yang jelas dan utuh, dan pencapaian perjuangan tersebut tidak dapat dicapai tanpa kebutuhan Partai Politik. Sejak kesadaran itu tumbuh dan berkembang, maka lahirlah sebuah partai politik pertama saat itu: Indische Partij (Partai Indonesia). Kemajuan-kemajuan dalam metode dan bentuk perjuangan mulai meningkat, perjuangan tidak hanya dilakukan dengan menulis dan memproduksi bacaan tetapi meluaskan organisasi dan mengolah panggung parlementer (Volksraad) agar dapat secara leluasa berbicara tentang Nasionalisme; Perjuangan Pembebasan Nasional; Persatuan. Meski mengalami pukulan yang mengakibatkan demoralisasi tetapi 3 serangkai sudah memberikan inspirasi perjuangan yang kelak mengilhami kelahiran partai-partai progressif lainnya. Ketiga, perjuangan pada tingkat yang lebih maju dalam metode dan bentuk untuk melawan penindasan kolonialisme berikutnya dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bertransformasi dari sekedar Asosiasi Demokratik Sosial Hindia (Indies Social Democratic Association, ISDV) dibentuk atas inisiatif Hendrik Sneevliet. Dan berkembang Karena berintegrasi dengan buruh perkebunan, kereta api dan organisasi pedagang Islam (SI). Kepeloporan mereka, ditunjukkan selain dalam ketulusan untuk mengintegrasikan diri dengan kaum miskin dan keberanian untuk melakukan perjuangan bersenjata untuk melawan tekanan penjajahan Belanda. Terlepas berbagai perbedaan pandangan atas kesalahan atau ketepatan tindakan politik tersebut tetapi sejarah perjuangan perlawanan dalam metode bersenjata (dalam substansi nasionalisme) pada proses kemedekaan tidak dapat dilepaskan dari pemberontakan 1926. Keempat, kegagalan pemberontakan tersebut, mewajibkan Soekarno pada tahun 1927—yang pada tahun sebelumnya masih berkutat dengan kelompok studi umum (Algemeene Studie Club) di Bandung—untuk mengisi ruang politik perjuangan pembebasan nasional yang tengah kosong karena banyaknya kaum kiri yang dipenjara dan dibuang ke Boven Digul. Keberanian terus Ia dan kawan-kawannya lakukan dengan mendeklarasikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Sejak saat ini, Soekarno dan PNI telah berani menunjukkan kepeloporan dalam program dan metode ditengah demoralisasi besar-besaran paska kekalahan pemberontakan 1926 ditengah kelompok lainnya yang berkubang pada pendidikan keahlian dan keterampilan sebagai yang utama dalam perjuangan pembebasan nasional—yang oleh Soekarno disebut sebagai gerakan Kooperatif. Kelima, pada masa yang jauh setelah itu, keberanian dan keyakinan atas kebenaran pandangan ditunjukkan oleh unsur-unsur pembentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), antara lain: Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta, Solidaritas Mahasiswa Semarang, Forum Belajar Bebas, dan lainnya. Sebuah kelompok Intelektual tersadarkan paska Deideologisasi-Depolitisasi-Deorganisasi Orde Baru yang mengerti bahwa perjuangan tidak bisa berhenti didalam lingkaran kelompok Studi dan Debat ataupun mengorganisir aksi dalam kampus melainkan juga mengorganisir kaum tani, buruh pabrik, dan kaum miskin perkotaan serta membangun alat politik alternatif sebagai wadah perjuangan dalam hal ini adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pemukulannya pada tahun 1996, lewat pengkambinghitaman kasus 27 Juli di Kantor PDI, merupakan rentetan awal keberanian politik gerakan mahasiswa dan rakyat untuk turun ke jalan-jalan dan menyuarakan: Penjatuhan Soeharto.

Dari pemaparan sejarah ini dapat kita temukan, bahwa penciptaan momentum politik; pencapaian perubahan; pencapaian keberhasilan merupakan wujud kongkret atas manifestasi pelaksanaan kebenaran pengetahuan (teori) dan keberanian untuk menempatkannya sebagai hal yang prinsipil serta keyakinan untuk mewujudkannya didalam tindakan-tindakan politik. Atau dalam kata lain: Tanggung Jawab mereka yang sadar (mengetahui kebenaran) untuk memperjuangkan Kebenaran itu agar menjadi Benar. Dalam hal ini, Gerakan Moral atau Kultural hanya menepatkan perjuangan sebagai tuntutan kegelisahan massa dan tidak memajukannya pada tingkat yang lebih tinggi lagi agar dapat membuat Mahasiswa dan Rakyat berada pada posisi berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dan bertautan tangan untuk melakukan tindakan yang sama dalam tujuan yang sejati-jatinya. Sedangkan Gerakan Politik atau Gerakan Struktural secara berani dan konsisten mengambil tanggung jawab serius dalam memulai tindakannya hingga bertanggung jawab memajukan kesadaran rakyat dalam aspek politik dan organisasi hingga membangun kesanggupan rakyat untuk bersama-sama mewujudkan kekuasaan yang Adil, Demokratis dan Sejahtera. Inilah yang membedakan antara prespektif Gerakan Moral vs Gerakan Politik.

Tugas Mendesak ke Depan

Dalam pelbagai periode perjuangan sesungguhnya antara Gerakan Moral dan Gerakan Politik memiliki kesamaan tujuan pada tingkat yang minimum. Tetapi sejauh situasi harus diarahkan pada tingkat yang lebih tinggi lagi, Gerakan Moral tidak sanggup untuk berbicara dan bertindak pada tingkat itu. Semisal: pada masa penjatuhan Soeharto Gerakan Moral dan Gerakan Politik memiliki kesamaan flatporm yaitu, Penjatuhan Soeharto dan Anti Korupsi. Tetapi ketika situasi telah berkembang dan Soeharto sudah lengser, Gerakan Moral tidak bersedia untuk berbicara dan bertindak pada tingkat yang lebih maju lagi, yaitu pembentukan Majelis Rakyat Indonesia sebagai perwujudan cita-cita masyarakat yang adil, demokratis dan sejahtera. Ataupun ketika rakyat dan gerakan politik sudah berbicara mengenai Revolusi (Sebagai sebuah perubahan yang cepat dan mendasar) sebaliknya gerakan moral hanya berbicara Reformasi (sebagai sebuah perubahan yang bertahap). Dan justru memberikan lapangan kekuasan terhadap kelompok elit yang sebelumnya tidak mempelopori penjatuhan Soeharto (4 Tokoh Ciganjur). Selain memang kelompok Gerakan Mahasiswa Kerakyatan yang sedari awal telah mempelopori tindakan politik tersebut belum memiliki tokoh politik sekaliber (baca:sepopuler) Amien Rais, Gusdur, Megawati dan Sultan HB X.

Paska penjatuhan Soeharto, ruang demokrasi sudah mulai terbuka. Meski tidak sepenuhnya terbuka secara lebar sebab sisa-sisa Orde Baru dan Militer hendak bangkit kembali. Dan upaya tarik menarik agar ruang demokrasi terbuka selebar-lebarnya; seluas-luasnya terjadi antara sisa Orba dan Militer disatu sisi melawan kelompok Demokratik (Gerakan Demkartik dan Borjuis Demokrat) disisi lain.

Hari ini, Ruang Demokrasi tersebut masih terbuka—meski tidak sepenuhnya dan masih sering diganggu oleh kelompok milisi sipil reaksioner (FPI, GPK, GEPAKO, FBR) yang menjadi kaki tangan Sisa Orba dan Militer. Tapi ruang demokrasi ini masih sangat formal dan proseduralis, penuh tipu muslihat hanya dalam kepentingan dominasi elit politik dan tuntutan Imperialisme bukan dalam perspektif demokrasi seluasnya dan kesejahteraan sebagai syarat membangun bangsa seutuhnya. Terlepas seperti itu situasinya, capaian-capaian hari ini merupakan hasil jerih payah perjuangan bertahun-tahun untuk membuka ruang demokrasi yang sebelumnya tertutup rapat. Adalah salah apabila tidak memanfaatkan ruang demokrasi (democratic space) atau justru meninggalkannya. Sebab, mungkin ruang demokrasi yang sudah terbuka saat ini (meski memiliki batasan) akan menyempit karena bangkitnya kekuatan sisa Orba dan Militer yang anti demokrasi. Maka sangat penting bagi seluruh Gerakan yang tersadarkan untuk memanfaatkan ruang demokrasi yang telah ada dalam tujuan membuka ruang demokrasi ini pada tingkat yang lebih luas lagi (baca:sepenuh-penuhnya) ataupun memanfaatkannya untuk mengkampanyekan program alternatif, membangun kekuatan politik alternatif dan mempopulerkan tokoh politik alternatif bagi rakyat (sebagaimana gerakan kiri dan nasionalis mempopulerkan Soekarno sebagai tokoh alternatif dalam Rapat Ikada).

Dalam kepentingan tersebut maka, Gerakan Intelektual tersadarkan wajib untuk bertarung (dalam makna Program) di berbagai Arena. Baik arena Ekstra-Parlementer ataupun arena Pemilu dan Pilkada. Apabila, gerakan mahasiswa hanya berkutat saja dalam pergumulan didalam kampus akibatnya rakyat tidak dapat melihat politik alternatif dari Gerakan tersebut. Adalah penting untuk memasokkan pemahaman politik dan organisasi Alternatif secara terus menerus didalam kesadaran rakyat. Agar kelak, rakyat dapat mengikutinya dalam pikiran dan tindakan.

Kekuatan, Kelemahan dan Ancaman

Memanfaatkan atau mengolah berbagai arena dan momentum sebagai konsekuensi kesetiaan dalam pelaksanaan prinsip (Teori) harus tetap melihat secara jernih kekuatan dan kelemahan subyektif gerakan dalam sudut pandang saat ini berdasarkan pengaruh historis. Dan dengan tetap melihat ancaman-ancaman yang akan menghambat tujuan: membuka sepenuhnya ruang demokrasi, propaganda program alternatif, dan melatih rakyat dan gerakan untuk dapat mewujudkan pemerintahan adil, demokratis dan sejahtera.

Pada masa Orde Baru, berbagai persoalan muncul dan mempengaruhi gerakan hingga saat ini, yaitu: Deideoligisasi, Depolitisasi, Deorganisasi dan pengaburan ingatan sejarah. Dan lebih parahnya lagi menghancurkan kebudayaan progressif bangsa Indonesia yang terlahir dari sebuah pergulatan sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan (pra Ordebaru). Kondisi tersebut mempengaruhi kondisi gerakan, antara lain: Miskin terhadap Konsepsi Perjuangan (Program dan Strategi-Taktik), Kelemahan struktur organisasi, elitis/sektarian dan mobilisasi (radikalisasi) yang Fragmentatif (pecah-pecah) dan Spontan (ekonomis). Disamping itu, Gerakan Demokratik memiliki kekuatan hasil dari keterlibatannya dalam proses perjuangan bersama rakyat, yaitu:a. Aksi Massa telah menjadi budaya perlawanan bagi seluruh sektor masyarakat. b. Kesadaran anti Militerisme dan Orde Baru (belum sepenuhnya/total) masih terpatri dalam benak rakyat. c. ketidakpercayaan terhadap reformis gadungan akan sanggup membawa mereka pada kondisi adil, demokratis dan sejahtera, d. Ketidaksukaan terhadap kejahatan-kejahatan Milisi Sipil Reaksioner. e. Menggulingkan pemerintah daerah (Bupati, Lurah) dan memaksa koruptor ditangkap dengan metode-metode radikal (aksi massa) f. Penerimaan program anti penjajahan baru ataupun nasionalisme dalam tingkat awal diterima oleh kaum miskin, klas menengah dan elit politik (borjuasi).Meski dalam soal ini, Borjuasi tidak hendak memompa rasa nasionalisme tersebut menjadi bentuk perjuangan anti Imperialisme yang kongkret, atau membangkitkan kembali National Character Building-yang sebelumnya ditekankan oleh Soekarno. Melainkan hanya pada upaya pencarian popularitas semata demi keuntungan politik pada pagelaran pemilu 2009. Itulah mengapa berbagai spanduk-spanduk pro rakyat miskin dan anti neoliberalisme banyak digelar oleh Partai-Partai Politik Borjuis, seperti yang dilakukan oleh PDIP. Seperti apapun karakter penerimaan dan pelaksanaan program elit politik pada masa sekarang ini memiliki keuntungan politik bagi gerakan untuk menggunakannya demi kepentingan perluasan kesadaran anti Imperialisme.

Kekuatan dan kelemahan tersebut harus dapat diolah sedemikian rupa dalam menghadapi ancaman yang tengah berkembang. Ancaman-ancaman tersebut antara lain: Pertama, menguatnya Sisa Ordebaru+Militerisme (kecenderungan) ditunjukkan dengan Koalisi PDIP-Golkar+Militer (potensi) untuk mendominasi peta politik nasional. Kepentingan utamanya tidak dapat dilepaskan dalam kepentingan untuk mengeliminasi borjuasi lainnya dan juga kelompok alternatif yang membahayakan secara politik dan ekonomi. Serta, kepentingan sejatinya untuk menjadi agen Imperialis (baca:Penjajah) yang utama (terkuat). Dalam membenarkan posisi politik mereka, Koalisi PDIP-Golkar selalu menegaskan bahwa tujuannya koalisi mayoritas (PDIP-Golkar) adalah untuk Kesejahteraan dan Pluralisme dibawah naungan Stabilitas dominasi mereka. Ini merupakan dua hal yang Kontradiktif. Tidak mungkin Stabilitas dominasi Koalisi yang berarti kedikatoran mayoritas akan berimplikasi terhadap pluralisme (baca: demokrasi). Dan tidak mungkin ada kesejahteraan apabila ruang partisipasi demokrasi telah ditutup atas nama kediktaktoran mayoritas. Tidak mungkin buruh pabrik bisa mendapatkan upah, tunjangan, kesehatan dan rumah yang layak apabila kebebasannya untuk berkumpul (berorganisasi) dan menuntut (berpolitik) dihalangi-halangi atas nama stabilitas. Kedua, menguatnya Fundamentalisme Agama (Ekspresi dari kaum intelekual agamawan atas krisis kapitalisme) yang menolak kebebasan berekspresi; menolak sekularisme; menolak demokrasi. Ketiga, Menguatnya milisi sipil Reaksioner yang menghambat perkembangan Gerakan Alternatif dengan cara-cara kekerasan/anti demokrasi. Keempat, penetrasi modal Kapitalisme yang semakin besar, yang mengakibatkan kehancuran dalam aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya.

Kondisi-kondisi tersebut, tidak pula menghilangkan peluang bagi gerakan demokratik untuk berkembang, meluas dan memimpin. Sejauh ia mampu melakukan beberapa hal, yaitu: 1. Mengolah mobilisasi fragmentatif-spontan (ekonomis) itu menjadi mobilisasi yang monolitik (menyatu) dan politis. Dilihat dari sebab-akibatnya, mayoritas radikalisasi yang muncul merupakan buah perlawanan dari penindasan kapitalisme internasional (imperialisme) sehingga mudah untuk ditarik pada perjuangan anti imperialis. Tentu saja, sejauh kepeloporan politik gerakan mengolah itu. 2. Dapat memukul mundur kekuatan terbesar agen Imperialis, Koalisi PDIP-Golkar (plus Militer). Yang hendak mengeliminir kekuatan alternatif dengan cara membunuh demokrasi dengan demokrasi (membuat UU Politik dan Sistem Politik yang Ketat dan Proseduralis oleh Demokrasi Parlemen (yang mayoritas mereka)) 3. Dapat memaksimalkan berbagai arena/ajang/panggung dalam kepentingan untuk mengkampanyekan secara maksimal program dan metode yang demokratik maupun yang strategis.

Dalam kepentingan-kepentingan minimum maupun utama tersebut, gerakan harus membangun sebuah alat politik yang mencerminkan persatuan yang oleh Soekarno sering disebut sebagai “penggalangan yang padu semua kekuatan revolusioner”, samenbundeling van all revolutionaire krachten. Penggalangan yang padu (persatuan) ini bukanlah kelompok/golongan yang justru berlawanan seperti yang dibangun Soekarno dalam Front Nasional (PKI, NU, PNI, Masyumi, Tentara). Melainkan kelompok/golongan yang memiliki kesamaan terhadap persoalan demokrasi, kesejahteraan dan penjajahan baru (Imperialisme). Persamaan inilah yang menyatukan dan menjadikannya sebagai ikatan kerjasama dalam politik. Dalam soal-soal ini, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) secara nasional telah membangun dan bergabung kedalam sebuah alat politik persatuan: Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS). Dengan program utamanya, yaitu: Tripanji Persatuan Nasional (1. Nasionalisasi Industri Pertambangan, 2. Hapuskan Utang Luar Negeri, 3. Bangun Industri (Pabrik) Nasional).
Kesanggupan-kesanggupan LMND dan PAPERNAS untuk dapat memaksimalkan arena parlementer dalam aspek program maupun tagihan tindakan kongkret—yang menekankan pada mobilisasi politik. Akan menstimulasi situasi politik nasional. Begitupun, secara bersamaan ketika LMND atau PAPERNAS ataupun gerakan intelektual kerakyatan lainnya yang hendak melakukan tindakan serupa dapat menghubungkan serta memaksimalkan arena ekstra parlementer secara politik dan organisasi. Maka akan membangun suatu atmosphere politik yang radikal. Dimana, partai-partai elit (borjuis) tidak dapat lagi memakai topeng-topeng sok populisnya (kerakyatan) dihadapan rakyat. Sehingga, rakyat tersadar mana kelompok yang sedari awal mengkampanyekan program-program alternatif yang kongkret. Sekali lagi, ini semua terjadi apabila gerakan intelektual kerakyatan dapat memposisikan arena-arena tersebut tepat berada dibawah kepemimpinannya secara politik dan organisasi.

Kesemua itu, dalam proses pembangunannya tentu tidak dapat dilepaskan dari ketepatan kaum intelektual kerakyatan memanfaatkan dan mengolah politik kampus. Bukan dalam artian “kembali ke kampus’, Back To Campus. Namun, dalam makna membangun tenaga politik gerakan untuk dapat menstimulasi politik nasional serta memajukan sektor-sektor rakyat yang belum tercerahkan. Ini juga tidak berarti meninggalkan pengalaman integrasi kerja politik-organisasi mahasiswa dan rakyat yang telah terbangun sebelumnya. Melainkan, kembali menjadikan kampus sebagai panggung politik untuk berpropaganda program politik pelopor dan taktik. Serta, kembali mengorganisir struktur tenaga politik gerakan. Hal ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dalam kampus:Mimbar bebas, orasi keliling, mogok makan, booming selebaran, seminar, diskusi publik, Happening Art (Aksi kebudayaan), Panggung kebudayaan, Graffiti Action (Aksi corat-coret), pembangunan posko/stand, pendidikan politik. Dimana keseluruhannya diabdikan dalam kepentingan menstimulus politik secara nasional dengan bentuk taktik: Rapat Akbar (Vergadering) dan Aksi Massa (Mobilisasi) menuntut.

*Sekretaris Jendral Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)

05 September 2007

IMPERIALISME DI INDONESIA DARI MASA KE MASA

Oleh : Egalite
Sejak jaman dahulu kala, Indonesia, atau dulu dikenal sebagai kepulauan Hindia Timur, diketahui memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah ruah baik botani, geologi maupan kelautan. Hutan- hutan di Indonesia selain penting bagi eksosistem global, juga merupakan komoditas penting bagi pasar dan industri. Hal itu disebabkan kesuburan tanah di Indonesia yang banyak mengandung zat-zat dan mineral yang sangat berguna untuk pertumbuhan dan kesuburan tanam-tanaman. Pulau Jawa misalnya dikenal sebagai salah satu tanah tersubur di dunia. Pertanian Indonesia, selain menghasilkan padi sebagai bahan makanan pokok penduduknya, juga menghasilkan rempah-rempah seperti cengkeh, lada, pala, ketumbar, kayu manis, yang sangat diminati pasar dunia. Hasil pertanian lainnya yang juga sangat diminati pasar antara lain adalah tembakau, teh, kopi, gula, karet alam, kopra, kelapa sawit, kina, sisal, tumbuh subur di bumi negeri ini. Perut bumi Indonesia, baik di daratan maupun di dasar laut, mengandung banyak pendaman berharga sperti minyak bumi, gas alam, timah tembaga, nikel, emas dan sebagainya. Sejak OPEC (Organisation of Petroleum Exporting Coutries) didirikan, Indonesia menjadi anggota organisasi ini dengan kuota consensus sebesar 1,5 juta barel per hari. Selain itu Indonesia meiliki posisi strategis yang sangat signifikan dalam perdagangan, antara lain karena letaknya yang menjembatani benua Asia dengan Australia.

Imperialisme Klasik : masa kolonial

Rupanya aroma rempah-rempah dari kepulauan Hindia Timur ini tercium jauh hingga ke benua Eropa. Dan inilah awal bencana di negeri ini. Cristopher Columbus dari Spanyol penasaran untuk berlayar mengarungi samudera demi mencari negeri ini. Namun ia tersesat sangat jauh ke Amerika yang disangkanya Hindia. Pada tahun 1292, penjelajah dari Italia bernama Marcopolo pernah singgah di negeri ini. Pada tahun 1496, orang-orang portugis datang ke kepulauan Maluku untuk berdagang, menginjil, dan merampok rempah-rempah. Untuk tiga tujuan itu mereka mengadu domba raja-raja yang beragama Islam dengan yang beragama Hindu. Selagi pedagang perampok dari Portugis berulah, datang pula orang-orang Spanyol pada tahun 1512. mereka adalah “Columbus-columbus yang terlambat menemukan” Indonesia. Untuk menguasai negeri ini mereka mengadakan persekutuan dengan raja Tidore yang ketika itu sedang berjuang melawan pedagang perampok Portugis yang bersekutu dengan raja Ternate. Konflik antar elit-imperialis ini menimbulkan perpecahan dan korban pada rakyat pribumi biasa yang sebagian besar adalah petani rempah itu. Rakyat pribumi yang menjual rempah kepada Spanyol dibantai habis oleh pihak lawannya, demikian pula sebaliknya. Bantai-membantaipun terjadi. Kampung-kampung dibakar habis, penduduk tua-muda dibunuh, permpuan-perempuan diperkosa. Akhirnya, aroma rempah-rempah itu berubah menjadi bau darah, api, mesiu dan bangkai. Dua pedagang perampok dari dua negeri Eropa itu saling berperang, melibatkan penguasa-penguasa local, dan mengorbankan rakyat pribumi. Spanyol kalah, dan akhirnya setelah menerima ganti rugi dari Portugis sebesar 350000 Crusado, mereka hengkang dan memilih focus pada penaklukan-perampokan Filipina. Patung-patung, benteng-benteng, lukisan-lukisan tua di Maluku bisa menjadi saksi tentang masa-masa kegelapan itu.

Neraka rakyat di bumi nusantarapun berlanjut. Pada tanggal 22 Juni 1596, sebuah armada yang terdiri dari 4 buah kapal perompak dari negeri Belanda di bawah pimpinan Cornelius Houtman membuang jangkar di pelabuhan Banten. Selain mendarat di pulau Jawa, pedagang perampok Belanda ini kemudian juga mendarat di pulau-pulau lainnya di Nusantara termasuk Maluku yang saat itu dikuasai Portugis. Konflikpun terulang lagi. Rakyat pribumi jadi korban lagi. Kali ini Portugis kalah dan hengkang diganti penguasa baru yang wilayah kekuasaannya tidak hanya Maluku, tapi (kemudian) seluruh Nusantara.

Pada tahun 1602 di negeri Belanda, dibentuklah sebuah perkumpulan dagang yang terdiri dari sejumlah pengusaha dan perwira yang diberi nama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie = Perkumpulan Perkongsian Dagang Hindia Timur) dengan tujuan menggeser monopoli Portugis atas rempah-rempah Indonesia ke tangan pedagang perampok Belanda. Selain mematahkan monopoli Portugis dengan jalan merampok, VOC juga melakukan akumulasi capital secara primitive. Artinya, capital itu membengkak tidak secara modern, yaitu karena nilai tambah dari produksi dan perdagangan, tapi secara primitive, yaitu perampokan absolute. VOC melakukan “hongitochten” (mars hongi) ke Indonesia bagian timur. Dengan kapal-kapal hongi yang sangat laju, VOC menyerang, merampok, menangkap, menyiksa dan menyembelih penduduk. Penduduk pulau Banda misalnya, hampir seluruhnya musnah dibantai. ‘Hongitochten’ ditujukan untuk memusnahkan pohon-pohon cengkeh di pulau-pulau luar Ambon guna mendapatkan harga yang tinggi buat VOC.

Penumpukan capital melalui perampokan absolute juga dibangun di atas dua landasan penting. Pertama, system pajak tanah yang sangat tinggi, kedua, system jual paksa, dimana kaum tani dipaksa menjual sebagian hasil pertanian mereka kepada VOC dengan harga monopoli, artinya : harga ditentukan tidak oleh si penjual tetapi oleh si pembeli dan pula pembeli satu-satunya. Karena korupsi merajalela pada satu pihak dan perlawanan kaum tani pada pihak lainnya, akhirnya tahun 1800, VOC gulung tikar. Sejak itu hingga bulan maret 1942, operasi perampokan atas rakyat dan negeri ini dilakukan langsung dibawah otoritas pemerintah kerajaan Belanda. Otoritas pertama dipegang oleh gubernur jenderal dictator bernama Daendels. Pada masa pemerintahannya rakyat, Jawa dipaksa bekerja membangun jalan raya terpanjang di Indonesia sepanjang 1000km dari Anyer (Banten) hingga Panarukan (Madura), dengan upah sangat minim, bahkan ada yang tak dibayar. Banyak rakyat yang meniggal dalam melakukan kerja paksa itu.

Tidak hanya pedagang perampok dari Portugis, Spanyol, dan Belanda yang memperebutkan surga khatulistiwa ini, pedagang perampok dari kerajaan Inggrispun tak mau ketinggalan, walau hanya sementara waktu saja. Dari tahun 1811 hingga 1814 administrasi atas negeri jajahan ini berpindah tangan dari Belanda ke kerajaan Inggris. Itu adalah masa administrasi Letnan Jenderal ‘Sir’ Thomas Stamfort Raffles. Ini terjadi karena negeri Belanda diduduki oleh Perancis. Sekalipun Raffles mencoba melaksanakan politik persaingan bebas dan mengubah system ekonomi politik Belanda di negeri ini yang didasarkan pada system ‘lintah darat’ dan perampokan, namun esensinya adalah tetap penghisapan terhadap kaum tani tapi dalam bentuk lain. Pada masa administrasi Raffles yang singkat itu dikeluarkan sebuah dekrit yang mendera kaum tani, yang disebut “Domeinsverklaring”, dengan mana ditetapkan bahwa semua tanah adalah milik Negara (staatsdomein). Berdasarkan ini kaum tani dipaksa membayar pajak tanah yang sangat tinggi kepada Kerajaan Inggris, tanah yang mana sebelum imperialis-imperialis ini datang adalah milik rakyat pribumi negeri ini. Tingginya pajak tanah berkisar dari kurang lebih duaperlima hasil panen yang baik dan seperempat sampai sepertiga hasil panen yang kurang baik. Administrasi Raffles di Indonesia secara resmi berakhir pada tahun 1814 ketika kerajaan Inggris menandatangani pengembalian koloni-koloni Belanda setelah Perancis di bawah komandan Napoleon Bonaparte kalah perang.

Cultuurstelsel

Setelah menerima pengembalian koloni dari Kerajaan Inggris, pada tahun 1830 pemerintah Kerajaan Belanda atas prakarsa Van den Bosch memperkenalkan sebuah system baru bernama “Cultuurstelsel” (tanam paksa). Ini adalah suatu kultur penghisapan dan penindasan model baru yang lebih kejam dari model-model sebelumnya. Dalam system ini kaum tani tidak mempunyai kebebasan sama sekali. Kaum tani diwajibkan menanam tanaman untuk komoditi pasar Eropa seperti tebu, kopi, nila, kapas, tembakau. Petani juga diwajibkan menyerahkannya kepada pemerintah colonial dengan harga yang ditetapkan oleh colonial itu. Dalam prakteknya ‘cultuurstelsel’ telah mewajibkan kaum tani menanam sepertiga sampai duapertiga dan adakalanya seluruh sawahnya dengan komoditi pasar Eropa. Tenaga kerja untuk tanam paksa komoditi Eropa ini direkrut dan dimobilisasi secara masiv, jauh lebih banyak daripada padi. Hamparan padi yang luas itupun disulap menjadi perkebunan komoditi Eropa. Pajak tanah dinaikan lagi. Kelebihan hasil tanaman komoditi dan hasil penjualan padi (yang sudah semakin berkurang) tidak dikembalikan kepada petani, melainkan untuk membayar kekurangan pajak tanah. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani. Petani wajib mengantarkan hasil ke gudang-gudang tanpa dibayar. Selain itu para petani juga diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan umum seperti pembangunan benteng-benteng, tanpa bayaran. Pada masa itu banyak sekali jumlah rakyat yang mati kelaparan dan tertindas oleh cara kerja system cultuurstelsel ini seperti di Cirebon tahun 1844, Demak tahun 1848, dan Grobogan tahun 1849.

Cultuurstelsel berlangsung selama 40 tahun, diakhiri pada tahun 1870. Dalam 40 tahun Belanda dapat mengeruk kira-kira 800 juta florin, yaitu hampir sama banyaknya dengan jumlah yang diperoleh VOC selama dua abad menghisap kekayaan alam dan jerih payah rakyat Indonesia. Pendapatan ini selain dapat mengganti kerugian selama Indonesia jatuh ke tangan administrasi Inggris, menutupi ongkos menindas perlawanan kaum tani di Jawa tengah selama lima tahun (1825-1830) di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, mengongkosi perang terhadap bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Belgia dan Perancis, juga mengongkosi perang-perang colonial untuk memperluas imperium Hindia Belanda ke pulau-pulau luar Jawa. Perlawanan kaum tani di wilayah-wilayah itu yang terkenal antara lain perang Bali, Lombok, Sumbawa, Dompo, Flores, Bone, Maluku, Banjarmasin,Sumatera Barat, Jambi, Tapanuli dan Aceh. Pemberontakan rakyat petani terhadap imperialis sudah berlangsung sejak VOC berkuasa.



Imperalisme politik pintu terbuka : “Globalisasi pertama”?

Berakhirnya cultuurstelsel bukan berarti berakhirnya penindasan terhadap rakyat Indonesia. Cultuurstelsel kemudian diganti dengan system penghisapan modern yang lebih maju tetapi lebih intensif dan sistimatis. Mulai tahun 1870 dan seterusnya, pemerintah colonial Belanda melaksanakan “politik pintu terbuka”. Maka kini Indonesia terbuka bagi penanaman modal swasta asing. Perusahaan-perusahaan perkebunan swasta asing membuka perkebunan-perkebunan kopi, teh, gula dan kina yang cukup besar di Jawa dan Sumatera Timur berdasarkan Undang-undang Agraria tahun 1870. Undang-undang ini meminimalisir intervensi pemerintah atau Negara (Kerajaan) dalam bisnis dan memaksimalkan peluang kaum pemilik modal swasta (kapitalis) untuk menghisap kekayaan alam Indonesia. Penindas rakyat kini bertambah, selain pemerintah colonial kini juga pihak swasta atau kaum kapitalis dari korporasi-korporasi internasional. Selain Belanda, mereka berasal dari Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Jepang dan sebagainya. Dengan demikian imperialime di Indonesia telah bersifat Internasional, dimana modal asing telah diinvestasikan dalam sector pertanian seperti karet, teh, kopi, tebu, tembakau dan lain-lain. Juga sector pertambangan seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara. Perusahaan-perusahaan pribumi yang kalah bersaing dengan modal asing terpaksa gulung tikar.

Selama berlangsungnya tanam paksa, rakyat bekerja kepada pemerintah dan setelah dihapusnya tanam paksa, rakyat bekerja kepada majikan barunya yakni kaum kapitalis. Rakyat Indonesia banyak yang dipaksa bekerja di perkebunan dan pertambangan swasta dengan upah yang sangat minim dan perlakuan yang sangat keji, tidak manusiawi, merendahkan martabat. Kemiskinan dan penderitaan rakyat Indonesiapun bertambah. Di bawah sistem modern ini jumlah kekayaan alam Indonesia yang dikeruk orang-orang asing (sebelum krisis ekonomi global tahun 1929), hanya dalam tempo setahun saja, sudah hampir sama dengan 40 tahun Cultuurstelsel! Namun demikian mayoritas rakyat (miskin) Indonesia tidak dapat mengecap sedikitpun kekayaan alamnya, hasil jerih payah keringat, darah dan air mata mereka (bahkan hingga saat ini). Menjelang krisis ekonomi global tahun 1929 banyak perusahaan yang bangkrut. Terjadi PHK massal. Yang lainnya terpaksa ditutup karena para pekerjanya mogok dan memboikot. Pemberontakan nasional pertama melawan imperialis oleh buruh dan tani yang diorganisir PKI pada tahun 1926 di Jawa dan tahun 1927 di Sumatera Timur, dapat ditumpas habis. Ratusan kader PKI dan rakyat pekerja ditangkap, disiksa, dibunuh, dan dibuang ke pulau-pulau terpencil untuk kerja paksa.

Imperialisme Jepang

Pemerintah colonial Belanda terusir pada tahun 1942 oleh pendatang baru yaitu kekuatan fasis militeris dari negeri Jepang yang tak kalah ganas. Jepang datang dengan semboyan menipu – “Kemakmuran bersama di Asia Timur Raya” seolah sebagai pembebas. Bahkan beberapa pemimpin nasionalis terkemuka seperti Soekarno sempat terilusi dengan semboyan dan “janji kemerdekaan” dari Jepang. Tapi semboyan dan janji itu adalah penipuan belaka. Yang diterima rakyat Indonesia hanyalah kesengsaraan hidup Jaman tengah dalam jaman modern! Kekayaan alam Indonesia dan puluhan juta pasang tangan kaum tani dan buruh tidak dapat lagi memberikan makan dan pakaian kepada rakyatnya. Rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan absolut. Kaum tani yang menanam padi terpaksa makan singkong, sedangkan serdadu-serdadu imperialis Jepang bisa makan nasi tiga kali sehari sebanyak yang mereka mampu. Kaum buruh yang menenun kain tak lagi dapat memberi pakaian untuk anak-anaknya. Keluarga mereka terpaksa berpakaian kain goni gombal, karet atau kulit kayu.

Sedangkan serdadu-serdadu Jepang hanya bermabuk-mabukan setiap hari dan menikmati perempuan-perempuan Indonesia, Cina, Korea yang diculik, ditipu dan dipaksa jadi pelacur. Berpakaian tiga lapis sekalipun Indonesia bersuhu tinggi. Pencuri-pencuri di gudang-gudang bahan makanan tidak lagi perlu diadili. Mereka dibunuh begitu saja dengan cara yang sadis dan di muka umum hanya karena 2 atau 3 piring beras. Kesengsaraan rakyat di negeri yang subur dan kekayaan alamnya luar biasa ini persis dilukiskan pepatah tua Indonesia :” Ayam mati di lumbung padi!” Selama tiga setengah tahun yang singkat itu, kurang lebih 5 juta rakyat Indonesia mati kelaparan. Kurang lebih 2 juta diantaranya mati sebagai “romusya”(“pekerja”, baca: kerja paksa) atau gugur di medan perang sebagai “heiho”(tentara pembantu, baca: tumbal) Jepang di dalam dan luar negeri. Selain sebagian besarnya mati karena kelaparan, “romusya” lainnya dibunuh selesai membangun proyek-proyek militer yang harus dirahasiakan. Yang lainnya lagi gugur dalam perjuangan dan kegiatan-kegiatan bawah tanah melawan pendudukan fasis Jepang, termasuk kegiatan ‘front anti fasis’, sebagai bagian dari upaya persiapan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari.

Era Neoliberalisme

Setelah dibombardir sekutu, akhirnya Jepang menyerah dan hengkang dari Indonesia. Maka pada 17 Agustus 1945 Soekarno, atas dorongan pemuda-pemuda kiri, memproklamirkan ‘kemerdekaan’ Indonesia. Tapi benarkah Indonesia telah benar-benar merdeka? Sesungguhnya tidak! Indonesia belum pernah benar-benar merdeka bahkan hingga saat ini! Pasca imperialisme Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Jepang, Indonesia masuk dalam cengkeraman penindasan system ekonomi politik yang jauh lebih besar, lebih intensif, lebih sistematis, dengan skala teritorial yang lebih luas.

Pada tanggal 1-22 Juli 1944, negara-negara Imperialis atas prakarsa Amerika Serikat (AS) berkumpul di Bretton Woods, New Hampsire, AS. Pertemuan ini bertujuan mencari kesepakatan mengenai kerangka institusional untuk perekonomian global pasca perang dunia II. Namun tujuan utama sebenarnya di mata para arsiteknya adalah menyatukan dunia dalam suatu jaringan global yang terbuka dan saling bergantung secara ekonomi di bawah kepemimpinan AS, yang akan menjamin akses AS ke pasar dan sumber bahan baku dunia, terutama di negara-negara dunia ke tiga (khususnya : Indonesia!). Hasil dari pertemuan ini adalah terbentuknya institusi-institusi multilateral yang independen yaitu : International Bank For Reconstruction and Development (IBRD, kemudian lebih dikenal sebagai World Bank atau Bank dunia), dan International Monetary Fund (IMF). Menyusul pada tahun 1947 dibentuklah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT, yang kemudian menjadi World Trade Organisation atau WTO). Inilah awal dari “liberalisasi kapital model baru” atau “neoliberalisme”.

Fungsi World Bank adalah, menciptakan ketergantungan negara-negara miskin yang kaya sumber daya alamnya terhadap kaum imperalis, dengan memberikan akses untuk pinjaman dana bagi pembangunan berupa kredit (utang luar negeri), yang berasal dari negara-negara Imperialis.

Fungsi IMF adalah : Pertama , menciptakan nilai tukar tetap (fixed rate) terhadap semua mata uang dunia dengan standar dolar AS. Kedua, memberlakukan ‘penyesuaian struktural’ (structural adjustment) kebijakan ekonomi secara menyeluruh terhadap negara debitur (yang telah menjadi ‘klien’ World Bank) guna menyalurkan lebih banyak sumber daya dan aktivitas produksi negara tersebut ke arah pelunasan kembali utang, serta membuka lebih lebar ekonomi nasional negara debitur bagi ekonomi global.

Fungsi WTO adalah, menghapuskan hambatan terhadap perdagangan dan investasi internasional.

Ketiga institusi ini telah bekerja sama untuk memperkuat kebergantungan negara-negara dunia ke tiga (selain negara-negara sosialis) pada system ekonomi politik dunia, dan kemudian membuka perekonomian mereka bagi kolonisasi kapital-imperialis global. Indonesia adalah korban utama dari neoliberalisme. Periode 1965-1967 terjadi penggulingan kekuasaan paling berdarah di seluruh dunia terhadap rejim Soekarno yang anti ‘nekolim’ (neo colonial imperialis) itu. Jutaan rakyat Indonesia yang dituduh komunis tewas dibantai oleh tentara Angkatan Darat dan gerakan rakyat anti komunis dalam scenario kudeta yang dirancang oleh agen-agen imperialis AS. Begitu Soekarno tergulingkan, maka muluslah jalan bagi kaum imperialis untuk menancapkan kuku-kukunya di bumi nusantara ini. Rezim Soekarno digantikan oleh pemerintahan orde baru (Orba) di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang tak lain adalah agen kepentingan imperialis global modern di bawah komando AS. Sejak saat itu, beberapa strategi social politik dan ekonomi yang dibangun negara-negara imperialis dijalankan di bawah payung ideologi developmentalisme (pembangunan) dan pertumbuhan ekonomi yang di doktrinkan melalui World Bank (lalu diteruskan ke kampus-kampus). Ideology developmentalisme dan pertumbuhan ekonomi mulai diterapkan oleh pemerintah Orba pada tahun 1968. Hal ini tercermin dalam undang-undang no.2 tahun 1968 tentang penanaman modal asing di Indonesia. Sejak saat itu korporasi-korporasi multi dan trans nasional berduyun datang berinvestasi di Indonesia. Diantaranya adalah investasi minyak dan gas bumi di Aceh (oleh Standard Oil Company yang berganti nama menjadi EXXON Mobile), di Riau (CALTEX), di Papua (Freeport Mc Moran). Hampir semua korporasi global itu berasal dari AS. Sejak saat itu kebijakan perekonomian Indonesia didikte oleh imperialis global.

Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah Indonesia mulai meminjam dana secara masiv untuk pembangunan dan modernisasi ‘agar tak kalah dan bisa bersaing dengan negara-negara maju’. Peminjaman dana itu difasilitasi oleh IMF dan World Bank yang bekerja sama dengan negara-negara Imperialis yang tergabung dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang kemudian hari berganti nama menjadi Consultative Group for Indonesia (CGI). Peminjaman dana secara masiv itu menyebabkan menjamurnya bank-bank swasta baru yang kelahirannya dibidani oleh Pakto 1988 tentang kebijakan liberalisasi sector perbankan. Menjamurnya bank-bank swasta baru ini menyebabkan terjadinya kredit macet yang cukup besar untuk merusak fundamen ekonomi nasional. Pada tahun 1992, pengusaha-pengusaha swasta melakukan pinjaman devisa secara besar-besaran dengan menggunakan bank-bank swasta tersebut sebagai kendaraan. Meskipun pemerintahan Orba membentuk Panitia Kredit Luar Negeri (PKLN) untuk mengontrol pinjaman luar negeri tersebut, namun tetap terjadi pembengkakan utang swasta. Belum lagi pertumbuhan utang oleh Badan Usaha Milik Negara. Indonesia mulai terjebak ‘perangkap’ (utang) imperalisme global. Ketika jatuh tempo pembayaran lima tahun berikutnya, yaitu pada tahun 1997, terjadilah gejolak moneter yang dahsyat, sehingga para pengusaha tersebut dan pemerintah tidak dapat mengembalikan utangnya yang mengakibatkan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Untuk mengatasi krisis moneter tersebut, pada Januari 1998, Managing Director IMF, Michael Camdessus, berhasil ‘memaksa’ Soeharto untuk menandatangani Letter of Intent (LoI) yang menyangkut restrukturasi perekonomian Indonesia melalui program penyesuaian structural (structural adjustment program/SAP). Berdasarkan SAP, maka pemerintah Indonesia harus melakukan : a. devaluasi mata uang ; b. deregulasi sector keuangan ; c. pemotongan subsidi BBM, listrik, pendidikan dan kesehatan ; d. menjual perusahaan public, yaitu privatisasi BUMN ; e. memangkas anggaran social dan tenaga kerja ; f. liberalisasi sector perdagangan ; g. penurunan upah. Begitu Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, SAP terus diwariskan kepada rejim-rejim penerusnya hingga rejim SBY Kala ini.

Anak kandung Imperialis, menindas bangsanya sendiri

Sejak LoI diberlakukan, jutaan rakyat Indonesia terperosok ke dalam jurang kemiskinan yang makin dalam. Banyak perusahaan bangkrut. Ribuan buruh di PHK. Sejumlah besar generasi muda tak dapat melanjutkan pendidikan. Pengangguran terus bertambah. Angka kemiskinan dan kriminalitas melonjak tinggi, seiring kenaikan harga BBM dan kebutuhan-kebutuhan pokok primer. Kebutuhan pokok sekunder seperti pendidikan dan kesehatan dikomersilkan sehingga biayanya semakin mahal, dan hanya orang-orang kaya saja yang menikmatinya. Berbagai jenis wabah penyakit, busung lapar dan kekurangan gizi meningkat seiring semakin membengkaknya ongkos berobat di rumah sakit. Perusahaan-perusahaan public di swastakan. Mal-mal dan pusat-pusat pertokoan multi nasional seperti carefour dan lain-lain mulai bermunculan menggusur pasar-pasar local dan tradisional. Pemukiman rakyat miskin dan fasilitas-fasilitas rakyat miskin digusur untuk membangun fasilitas niaga yang mempunyai nilai komersil dan profit yang tinggi. Sementara urbanisasi semakin tak terkendali karena pembangunan di desa-desa terabaikan sekalipun otonomi daerah sudah diberlakukan. Mobil-mobil mewahpun makin banyak bersliweran di jalan.

Namun ironisnya, pemerintahan SBY Kala ini baik di tataran eksekutif maupun legislatifnya, bukannya menunjukan kepedulian terhadap keterpurukan bangsa ini, tapi malah menaikan upah, tunjangan dan anggaran operasionalnya yang sudah tinggi itu. Mereka memperkaya diri di tengah kesengsaraan rakyatnya. Pemerintah dan ‘wakil rakyat’ memang sengaja dipenuhi dengan orang-orang yang tidak kompeten dan qualified, serta dimanjakan pula dengan uang dan fasilitas yang tidak rasional agar mereka mandul terhadap aspirasi rakyat. Maka boleh dikatakan pemerintah SBY kala ini adalah anak kandungnya imperialis, bukan sekedar kaki tangannya. Dan ia menindas saudara-saudara sebangsanya sendiri. Belum puas melihat rakyatnya menderita akibat kemiskinan, bencana alam, penyakit, pemerintah menaikan harga BBM sampai dua kali (sebagai konsekuensi LoI). Masih belum puas juga, pemerintah melalui Bulog menerapkan kebijakan impor beras di negeri lumbung padi Asia tenggara ini, yang sangat merugikan petani, dua kali juga. Pertama pada November 2005 sebesar 70050 ton, lalu Januari 2006 sebesar 11000 ton, semuanya dari Vietnam. Ini terkait dengan SAP mengenai liberalisasi sector perdagangan dalam LoI 1998, yang menuntut diberlakukannya tariff impor beras sebesar 0% sesuai standard WTO. Ini juga berlaku bagi komditi jagung, kedele, tepung terigu, dan gula. Selain itu LoI juga mengatur agar Bulog tidak lagi mengurus kestabilan harga pangan dan agar melepaskannya pada mekanisme pasar. Wewenang Bulog menjadi hanya sebatas pedagang beras saja, itupun harus bersaing dengan pedagang beras swasta. Dengan demikian kaum imperialis global melalui Bulog telah menghancurkan ketahanan pangan rakyat Indonesia. Sehingga tak heran muncul wabah kelaparan seperti di NTT dan Yahukimo, Papua. Rakyat terus menderita dalam cengkeraman imperialisme, tapi sampai kapan? Mereka pun terus berjuang sambil menatap harapan yang tampak samar di hari esok yang suram. Harapan yang tanpa mereka sadari hanya bisa di raih lewat jalan REVOLUSI SOSIAL… !!!***